Bocah
itu berdiri di ujung tebing terjal. Dengan sesibak angin, tubuh ringkihnya bisa
saja terpelanting hingga dasar karang. Memecah batok kepalanya, mencabik tulang
belulang, dan memburai seluruh isi raganya. Lalu ombak ganas menelannya hingga
lumat, membuih dengan jentik lautan. Jiwa mungil itu pun terbang ke angkasa
setelah puas menyelami lautan terdalam yang belum pernah sekalipun terpikir
mampu ia rengkuh.
Tak sedikitpun rasa takut bercokol
dalam dirinya. Kematian hanyalah sebuah proses untuk mencapai titik awal
kehidupan baru di dunia berikutnya. Baginya, kematian hanyalah masalah waktu.
Dan waktu takkan pernah bisa didustai oleh akal, terjenius sekalipun. Bukankah
lebih baik mati daripada hidup hanya untuk menjadi penonton setiap adegan kotor
yang mereka lakoni. Orang-orang bejat yang telah menyihirnya dari tikus got
menjadi seekor anak hamster berkulit bersih dan menarik.
“Aku tidak mungkin duduk dan memaksa
otakku merekam semuanya. Aku terlalu kerdil untuk memahami apa yang mereka
sebut sebagai kenikmatan yang di mataku hanyalah aksi binatang yang
menjijikan,” bocah itu berurai air mata, mengadukan kesahnya pada dewa penguasa
langit. Bahasa jiwanya jauh lebih dewasa ketimbang rengek kanak-kanak raganya.
Dewasa lantaran tertempa derita yang sekian lama bersahabat dengannya. Yang
sekian lama telah merenggut kebahagiaan masa kanak-kanaknya yang indah.
“Tapi kau tak perlu mati sia-sia di
usia ranummu,” protes sang dewa, menyayangkan keputusan bocah ingusan itu.
Anak itu tidak tahu, manakah yang
lebih baik: menjadi buta dan tuli, atau mati? Ia sudah berusaha lari, sejauh
yang ia mampu, tapi selalu saja ada cara bagi mereka untuk membawanya kembali. Lalu
setiap ia berhasil ditangkap, tangannya akan diikat lebih kuat, mulutnya
disumpal. Bahkan hampir saja ia dipaksa melakukan hal tidak waras seperti yang
mereka pertontonkan di depan matanya. Biadab!
Bocah lelaki sepuluh tahun itu
meronta dengan lelehan air mata. Setiap ia berusaha memejamkan matanya,
tamparan hebat akan mendarat di pipinya. Lelaki dengan telapak tangan kayu, nyaris
membuat ia terpelanting hingga membentur lantai. Tapi ia tidak akan pernah puas
sebelum membenamkan kemaluan bengkoknya ke muka si bocah lalu memaksanya
memuntahkan semua isi perut yang seharian dibiarkan kosong di atasnya. Lalu laki-laki
lain yang berjalan gontai dari arah panggung penuh cahaya, memainkan peran
protagonis sebagai dewa pelindung sang bocah. Baginya, tangis iba anak itu seperti
sebuah permohonan yang sangat indah, yang membuatnya merasa menjadi dewa
sungguhan. Bocah itu dipeluk dan dielusnya penuh kasih sayang. Ia tidak akan
membiarkan lelaki bertangan gempal yang menjadi pasangan hidupnya selama ini, memperlakukan
anak pungut mereka begitu rupa.
“Sudah sayang, sudah saatnya kita biarkan
anak ini melakukan apa yang ia inginkan. Ia tidak pernah sekalipun berterima
kasih pada kita. Lihat kelakuannya?” sorot mata lelaki bengis itu membara
menahan amarah. Tapi sorot itu kemudian
berubah teduh saat beradu dengan lelaki gontai, sang aktor baik.
Lelaki gontai itu berhasil menenangkannya.
Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka. Membuka sumpalan kain
di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris sambil menghambur ke
luar rumah. Kaki kecilnya terus berlari menjauh
sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di atas sebuah tebing tinggi di
sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti
saat telinganya menangkap deburan alam memanggilnya. Memanggil jiwa
mungilnya untuk melebur bersama.
*
“Seseorang telah menemukan Rian,
Andika, dan Fadli. Sialan! Mereka bisa saja buka mulut,” pekik Jimbon sambil
menjambaki rambutnya kalut. Laki-laki bertubuh gempal itu menyalakan sebatang
kretek dengan gelisah. Butiran-butiran bening sebesar biji jagung berkerumun di keningnya. Ia sudah kehabisan
akal bagaimana caranya menutupi semua yang pernah ia lakukan pada anak-anak
jalanan itu. Orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak kepolisian sudah
pasti akan segera meringkuknya.
“Semua sudah diatur,” Haris malah
menanggapi ketakutan Jimbon dengan santai. Dengan gemulai, Haris menghampiri
Jimbon dan mengelap keringat yang membanjir di wajah kekasihnya.
“Maksudmu?” kedua alis Jimbon
bertaut. “Jangan bilang kalau kamu melakukannya lagi!” Bola mata Jimbon nyaris
loncat membayangkan Haris mengulang perbuatan paling nista yang membuat
tidurnya dihantui mimpi buruk berminggu-minggu lamanya. Bahkan obat-obatan
setan itu pun tak mampu menghilangkan bayangan bocah-bocah riang yang menari
telanjang sepanjang hari di hadapannya, lalu menjerit-jerit kesakitan, bahkan
berlari lintang pukang saat dirinya hendak memaksakan nafsu binatangnya pada
mereka.
Haris tersenyum. Senyum paling
menakutkan yang selalu Jimbon tangkap usai ia menghilangkan jejak-jejak
biadabnya.
*
Zul adalah satu-satunya pengamen jalanan
yang memiliki perawakan lumayan. Tidak kurus, tidak juga gemuk. Badannya
berotot, hasil tempaan pekerjaannya sehari-hari menjadi kuli di pasar, dan tak
jarang sebagai pengangkut ikan hasil tangkapan nelayan sebelum dijual ke pasar
lelang. Meski usianya masih 10 tahun tapi ia kelihatan lebih dewasa dibanding
anak-anak sebayanya. Pembawaannya tenang, setenang wajahnya yang tampan. Anak
ini murah senyum hingga siapapun yang pertama bertemu dengannya tak sabar untuk
mengajaknya berteman.
Zul bukan keturunan timur tengah,
tetapi wajah tampannya sangat mirip dengan anak-anak arab. Dengan rambut ikal
kecil dan bulu mata lentik, Zul sangat mencolok diantara teman-temannya sesama
anak jalanan, yang keseharian hidupnya mereka habiskan di bawah terik mentari. Zul
hanya seorang anak miskin pembuat jaring ikan yang hidup di rumah kayu di
belakang pasar tradisional, tak jauh dari balai lelang, dan stasiun kereta yang
menghubungkan desa nelayan dengan pusat kota dan pasar kulakan. Tidak jelas
siapa bapaknya, dan mungkin ibu yang selama ini hidup seatap dengannya,
bukanlah ibu kandungnya. Kesepian hidup membuat Zul lebih suka menghabiskan
waktunya di jalanan beraspal, mengais rezeki menjadi pengamen ataupun kuli
angkut. Meskipun kehidupan di jalanan sangat keras, tetapi Zul tidak punya
pilihan yang lebih baik dalam hidupnya. Dan inilah hidup yang ada dalam
benaknya.
“Zul, dicari Bang Jimbon,” seru
Fadli seraya melepas tali gitar mungil yang menyampir di pundaknya. Ia lalu
duduk di samping Zul yang sedang menikmati debur ombak yang sepi.
Zul mendongak, ada perasaan cemas
merayapi dirinya. Laki-laki bertubuh gempal itu mencarinya? Apakah tidak jelas
jawaban Zul kemarin saat lelaki itu membujuknya untuk menjadi anak angkatnya.
Zul pernah mendengar kalau Bang Jimbon itu adalah duda yang ditinggal mati
istrinya. Bertahun-tahun mereka menikah, tetapi belum juga dikaruniai
anak, sampai kecelakaan maut itu
merenggut nyawa istrinya. Tapi Zul juga mendengar kisah lain tentang kelakuan
Bang Jimbon yang kerap mengajak anak-anak jalanan ke rumahnya, memberinya
makanan yang enak-enak, bahkan tak jarang dibelikan baju baru dan mainan, lalu
anak-anak itu tak lagi muncul di pasar karena sakit dan kemudian meninggal.
Beberapa anak tak benar-benar pulang ke rumah atau kembali ke jalanan. Entah ke
mana, Zul berpikir mereka mungkin pindah atau disekolahkan oleh Bang Jimbon ke
luar kota.
Seperti kebanyakan anak-anak miskin
lainnya di kampung nelayan itu, Zul juga tidak bersekolah. Tapi ia cukup pandai
membaca dan berhitung. Itu cukup membuatnya tampak lebih pintar dibanding
anak-anak lainnya. Dan itu pula yang membuat ia sulit didekati oleh orang
seperti Jimbon, yang memberikan perhatian khusus pada anak-anak dengan sikap
yang menurut pandangan Zul, mencurigakan.
“Kamu dari rumah Bang Jimbon? Hari
ini dikasi apa?” selidik Zul.
Fadli menggeleng lesu. Mukanya pucat
pasi. Bibirnya gemetar seolah menahan rasa takut yang ia sembunyikan begitu
lama.
“Kamu kenapa? Sakit?” tanya Zul
cemas. “Mukamu pucat, Dli. Kita ke puskesmas, ya!”
Kembali Fadli menggeleng. Wajahnya
tertunduk lesu. Butiran-butiran air mata berguguran dari kelopak matanya yang
sembab. Zul merasa heran dengan sikap kawannya. Hendak dipaksanya bertanya
lebih jauh pada Fadli, tetapi anak itu malah berlari, meninggalkan Zul dengan seribu
tanya yang menggantung di langit-langit hatinya. Melihat sikap Fadli, Zul
tergerak untuk mencari tahu ada apa gerangan. Langkah kakinya pun terbawa
hingga ke rumah di tepi tebing itu. Rumah indah yang hanya orang-orang tertentu
bisa memasukinya. Mungkin seseorang bisa membukakan pintu untuknya, melongok
seisi rumahnya yang selama ini hanya ada dalam bayangannya saja, dan mungkin ia
bisa menikmati hidangan ikan laut bumbu special yang tak pernah menyentuh
lidahnya itu.
“Zul!” seorang lelaki kurus, agak feminim,
berdiri di ambang pintu saat Zul hendak mengetuk pintu rumah besar itu.
Zul tersenyum dengan raut penuh
tanya. Siapa lelaki feminism ini, bagaimana ia bisa mengetahui namanya
sedangkan ia belum pernah sekalipun bertemu dengannya.
“Owh, saya Revan, teman baiknya Bang
Jimbon,” laki-laki itu mengulurkan tangannya. Baru sekali ini Zul bersentuhan
dengan tangan laki-laki dewasa yang begitu lembut. Terlalu lembut untuk ukuran
seorang pria dewasa. “Bang Jimbon sering cerita tentang kamu. Masuk, sini,” Revan
menuntun Zul memasuki rumahnya yang bukan saja bersih dan wangi, tetapi terang
dan penuh dengan hiasan dinding yang indah memukau. Mata Zul takjub melihat
foto-foto besar bergantungan di hampir semua dinding dalam rumah itu. Belum
lagi sebuah perpustakaan mini di pojok ruangan dengan koleksi buku-buku bagus
yang ditata rapi di dalam rak berkaca.
Revan membuka sebuah kotak dan
mengeluarkan foto-foto berukuran kecil dari dalamnya. Ternyata itu adalah
gambar Zul yang karena kualitas gambarnya, kemungkinan besar diambil oleh
fotografer profesional dari jarak jauh melalui sebuah kamera analog. “Ini
foto-foto kamu, Bang Jimbon yang motret. Katanya mau ditunjukkan ke kamu kalau
kamu mau datang ke sini dan menerima tawarannya menjadi anak angkatnya,” jelas
Revan.
“Apa enaknya jadi anak angkat Bang
Jimbon? Bukankah Bang Jimbon sudah punya anak angkat?” tanya Zul polos.
Benaknya masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Foto-foto dirinya yang
tampak sangat bagus, dengan fose alami.
“Apa enaknya? Hemh, kamu bisa
sekolah lagi, dan mungkin bisa belajar fotografi kayak Bang Jimbon. Atau kamu
suka melukis?”
“Foto?” mata Zul berbinar. Entah
kenapa ia langsung jatuh hati begitu melihat foto-foto yang terpampang di
dinding rumah Bang Jimbon. Begitu indah dan sangat kaya warna. Coba ia bisa
memoto objek seindah itu, atau paling tidak ia bisa mencoba menggunakan kamera
untuk membidik pemandangan-pemandangan indah di pantai.
Revan tersenyum sambil mengangguk.
Sore itu Zul tidak bertemu dengan
Jimbon karena lelaki itu sedang ke kota untuk menjual hasil lukisannya, dan
mencetak beberapa foto yang belakangan ia ambil. Tetapi sejak saat itu Zul
tidak sungkan berkunjung ke rumah Jimbon. Meminjam kamera Jimbon dan belajar
memotret benda apa saja yang menarik hatinya. Jimbon dan Revan memberikan
perhatian penuh pada Zul. Meskipun Zul kadang merasa tidak nyaman, tetapi ia
berusaha menerima perlakuan mereka dengan sopan. Hingga pada suatu waktu,
karena cuaca yang tidak bersahabat, Zul terpaksa menginap di rumah Jimbon.
Dan drama dalam kehidupan Zul
mendadak berubah.
Malam itu ia melihat pribadi lain
dalam diri Jimbon dan Revan. Kedua lelaki itu tidak menunjukkan sikap seperti
biasanya. Mula-mula Zul diminta memotret Revan yang sedang bertelanjang dada.
Lalu Revan membuka jins-nya lalu melepaskan pakaian dalam lainnya hingga
membuat jantung Zul berdegup tak menentu. Bahkan Zul tetap dipaksa memotret
Revan yang sedang dicumbu oleh Jimbon, seolah mereka pasangan suami istri yang
sedang melakukan hubungan intim. Zul berusaha menolak, tetapi Jimbon
memaksanya. Tubuh Zul bergetar hebat. Apa yang sedang terjadi dengan dirinya
malam itu membuat ia tidak bisa tidur dan hanya menangis semalaman.
Keesokan harinya, sikap kedua lelaki
itu kembali biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan mereka. Saking
biasanya Zul mengira ia hanya bermimpi karena pengaruh omongan miring
orang-orang tentang kedua lelaki yang sudah lama hidup seatap itu. Tetapi pada
kesempatan-kesempatan lain, Jimbon menjemputnya dan memintanya membantu
pekerjaannya menyelesaikan lukisan atau objek foto dan menjanjikan bayaran yang
lumayan. Zul tentu tertarik mengingat ia sedang membutuhkan biaya untuk ibunya
yang sedang sakit. Ia juga bisa kembali mendalami ilmu fotografi dan membaca
banyak buku menarik di rumah Jimbon. Tak peduli omongan orang tentang kedua
lelaki berbeda karakter itu, ataupun mimpi buruknya malam itu.
Tetapi Zul tidak bermimpi malam itu.
Kejadian itu kembali berulang. Kali ini bahkan Zul dipelakukan dengan kasar.
Ancaman bahkan intimidasi membuat bocah lelaki ini sangat ketakutan. Tapi ia
tidak bisa melarikan diri. Ke manapun ia pergi, kedua lelaki itu selalu saja
bisa membawanya kembali. Kembali memaksanya melihat adegan mesum mereka, lalu
mengabadikannya dalam foto ataupun rekaman video.
Zul hanya bisa menangis, menyesali
keputusannya menerima tawaran anak angkat kedua lelaki sinting itu. Laki-laki
gila yang bisa memanfaatkan kelemahan anak-anak jalanan.
*
Tubuh Zul bergetar hebat,
Tetapi lelaki gontai itu berhasil
menenangkannya. Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka.
Membuka sumpalan kain di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris
sambil menghambur ke luar rumah. Kaki
kecilnya terus berlari menjauh sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di
atas sebuah tebing tinggi di sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti saat telinganya menangkap deburan alam
memanggilnya. Memanggil jiwa mungilnya untuk melebur bersama.
“Aku tidak akan mati sia-sia. Aku
akan berkelana, menjadi pelindung bagi bocah-bocah malang yang mengalami nasib
tragis sepertiku. Di jalanan, di kolong jembatan, di gerbong kereta api, banyak
anak-anak menjerit dan merintih kesakitan. Berdarah, terluka, robek hati dan
jiwa mereka. Lalu mereka bungkam, karena sekali buka suara, tubuh mereka akan
remuk dilibas kereta. Aku akan membawa mereka ke sini, atau lari semakin jauh.
Aku tahu jalan mana yang bisa mereka tempuh tanpa harus mengalami siksaan yang
lebih perih.” Ucap bocah itu, seraya menatap
dewa langit yang tiada henti mengulum senyum bangga.
Perih. Amarah menggunung setiap
mendengar masih banyak terjadi pelecehan terhadap anak-anak jalanan, trafficking, bahkan pembunuhan. Zul tak
akan pernah mati untuk diam.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar