Sabtu, 19 Januari 2013

Bocah Pelindung




Bocah itu berdiri di ujung tebing terjal. Dengan sesibak angin, tubuh ringkihnya bisa saja terpelanting hingga dasar karang. Memecah batok kepalanya, mencabik tulang belulang, dan memburai seluruh isi raganya. Lalu ombak ganas menelannya hingga lumat, membuih dengan jentik lautan. Jiwa mungil itu pun terbang ke angkasa setelah puas menyelami lautan terdalam yang belum pernah sekalipun terpikir mampu ia rengkuh.
            Tak sedikitpun rasa takut bercokol dalam dirinya. Kematian hanyalah sebuah proses untuk mencapai titik awal kehidupan baru di dunia berikutnya. Baginya, kematian hanyalah masalah waktu. Dan waktu takkan pernah bisa didustai oleh akal, terjenius sekalipun. Bukankah lebih baik mati daripada hidup hanya untuk menjadi penonton setiap adegan kotor yang mereka lakoni. Orang-orang bejat yang telah menyihirnya dari tikus got menjadi seekor anak hamster berkulit bersih dan menarik.
            “Aku tidak mungkin duduk dan memaksa otakku merekam semuanya. Aku terlalu kerdil untuk memahami apa yang mereka sebut sebagai kenikmatan yang di mataku hanyalah aksi binatang yang menjijikan,” bocah itu berurai air mata, mengadukan kesahnya pada dewa penguasa langit. Bahasa jiwanya jauh lebih dewasa ketimbang rengek kanak-kanak raganya. Dewasa lantaran tertempa derita yang sekian lama bersahabat dengannya. Yang sekian lama telah merenggut kebahagiaan masa kanak-kanaknya yang indah.
            “Tapi kau tak perlu mati sia-sia di usia ranummu,” protes sang dewa, menyayangkan keputusan bocah ingusan itu.
            Anak itu tidak tahu, manakah yang lebih baik: menjadi buta dan tuli, atau mati? Ia sudah berusaha lari, sejauh yang ia mampu, tapi selalu saja ada cara bagi mereka untuk membawanya kembali. Lalu setiap ia berhasil ditangkap, tangannya akan diikat lebih kuat, mulutnya disumpal. Bahkan hampir saja ia dipaksa melakukan hal tidak waras seperti yang mereka pertontonkan di depan matanya. Biadab!
            Bocah lelaki sepuluh tahun itu meronta dengan lelehan air mata. Setiap ia berusaha memejamkan matanya, tamparan hebat akan mendarat di pipinya. Lelaki dengan telapak tangan kayu, nyaris membuat ia terpelanting hingga membentur lantai. Tapi ia tidak akan pernah puas sebelum membenamkan kemaluan bengkoknya ke muka si bocah lalu memaksanya memuntahkan semua isi perut yang seharian dibiarkan kosong di atasnya. Lalu laki-laki lain yang berjalan gontai dari arah panggung penuh cahaya, memainkan peran protagonis sebagai dewa pelindung sang bocah. Baginya, tangis iba anak itu seperti sebuah permohonan yang sangat indah, yang membuatnya merasa menjadi dewa sungguhan. Bocah itu dipeluk dan dielusnya penuh kasih sayang. Ia tidak akan membiarkan lelaki bertangan gempal yang menjadi pasangan hidupnya selama ini, memperlakukan anak pungut mereka begitu rupa.
            “Sudah sayang, sudah saatnya kita biarkan anak ini melakukan apa yang ia inginkan. Ia tidak pernah sekalipun berterima kasih pada kita. Lihat kelakuannya?” sorot mata lelaki bengis itu membara menahan amarah.  Tapi sorot itu kemudian berubah teduh saat beradu dengan lelaki gontai, sang aktor baik.
            Lelaki gontai itu berhasil menenangkannya. Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka. Membuka sumpalan kain di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris sambil menghambur ke luar rumah.  Kaki kecilnya terus berlari menjauh sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di atas sebuah tebing tinggi di sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti  saat telinganya menangkap deburan alam memanggilnya. Memanggil jiwa mungilnya untuk melebur bersama.
*
            “Seseorang telah menemukan Rian, Andika, dan Fadli. Sialan! Mereka bisa saja buka mulut,” pekik Jimbon sambil menjambaki rambutnya kalut. Laki-laki bertubuh gempal itu menyalakan sebatang kretek dengan gelisah. Butiran-butiran bening sebesar biji jagung  berkerumun di keningnya. Ia sudah kehabisan akal bagaimana caranya menutupi semua yang pernah ia lakukan pada anak-anak jalanan itu. Orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak kepolisian sudah pasti akan segera meringkuknya.
            “Semua sudah diatur,” Haris malah menanggapi ketakutan Jimbon dengan santai. Dengan gemulai, Haris menghampiri Jimbon dan mengelap keringat yang membanjir di wajah kekasihnya.
            “Maksudmu?” kedua alis Jimbon bertaut. “Jangan bilang kalau kamu melakukannya lagi!” Bola mata Jimbon nyaris loncat membayangkan Haris mengulang perbuatan paling nista yang membuat tidurnya dihantui mimpi buruk berminggu-minggu lamanya. Bahkan obat-obatan setan itu pun tak mampu menghilangkan bayangan bocah-bocah riang yang menari telanjang sepanjang hari di hadapannya, lalu menjerit-jerit kesakitan, bahkan berlari lintang pukang saat dirinya hendak memaksakan nafsu binatangnya pada mereka.
            Haris tersenyum. Senyum paling menakutkan yang selalu Jimbon tangkap usai ia menghilangkan jejak-jejak biadabnya.
*
            Zul adalah satu-satunya pengamen jalanan yang memiliki perawakan lumayan. Tidak kurus, tidak juga gemuk. Badannya berotot, hasil tempaan pekerjaannya sehari-hari menjadi kuli di pasar, dan tak jarang sebagai pengangkut ikan hasil tangkapan nelayan sebelum dijual ke pasar lelang. Meski usianya masih 10 tahun tapi ia kelihatan lebih dewasa dibanding anak-anak sebayanya. Pembawaannya tenang, setenang wajahnya yang tampan. Anak ini murah senyum hingga siapapun yang pertama bertemu dengannya tak sabar untuk mengajaknya berteman.
            Zul bukan keturunan timur tengah, tetapi wajah tampannya sangat mirip dengan anak-anak arab. Dengan rambut ikal kecil dan bulu mata lentik, Zul sangat mencolok diantara teman-temannya sesama anak jalanan, yang keseharian hidupnya mereka habiskan di bawah terik mentari. Zul hanya seorang anak miskin pembuat jaring ikan yang hidup di rumah kayu di belakang pasar tradisional, tak jauh dari balai lelang, dan stasiun kereta yang menghubungkan desa nelayan dengan pusat kota dan pasar kulakan. Tidak jelas siapa bapaknya, dan mungkin ibu yang selama ini hidup seatap dengannya, bukanlah ibu kandungnya. Kesepian hidup membuat Zul lebih suka menghabiskan waktunya di jalanan beraspal, mengais rezeki menjadi pengamen ataupun kuli angkut. Meskipun kehidupan di jalanan sangat keras, tetapi Zul tidak punya pilihan yang lebih baik dalam hidupnya. Dan inilah hidup yang ada dalam benaknya.
            “Zul, dicari Bang Jimbon,” seru Fadli seraya melepas tali gitar mungil yang menyampir di pundaknya. Ia lalu duduk di samping Zul yang sedang menikmati debur ombak yang sepi.
            Zul mendongak, ada perasaan cemas merayapi dirinya. Laki-laki bertubuh gempal itu mencarinya? Apakah tidak jelas jawaban Zul kemarin saat lelaki itu membujuknya untuk menjadi anak angkatnya. Zul pernah mendengar kalau Bang Jimbon itu adalah duda yang ditinggal mati istrinya. Bertahun-tahun mereka menikah, tetapi belum juga dikaruniai anak,  sampai kecelakaan maut itu merenggut nyawa istrinya. Tapi Zul juga mendengar kisah lain tentang kelakuan Bang Jimbon yang kerap mengajak anak-anak jalanan ke rumahnya, memberinya makanan yang enak-enak, bahkan tak jarang dibelikan baju baru dan mainan, lalu anak-anak itu tak lagi muncul di pasar karena sakit dan kemudian meninggal. Beberapa anak tak benar-benar pulang ke rumah atau kembali ke jalanan. Entah ke mana, Zul berpikir mereka mungkin pindah atau disekolahkan oleh Bang Jimbon ke luar kota.
            Seperti kebanyakan anak-anak miskin lainnya di kampung nelayan itu, Zul juga tidak bersekolah. Tapi ia cukup pandai membaca dan berhitung. Itu cukup membuatnya tampak lebih pintar dibanding anak-anak lainnya. Dan itu pula yang membuat ia sulit didekati oleh orang seperti Jimbon, yang memberikan perhatian khusus pada anak-anak dengan sikap yang menurut pandangan Zul, mencurigakan.
            “Kamu dari rumah Bang Jimbon? Hari ini dikasi apa?” selidik Zul.
            Fadli menggeleng lesu. Mukanya pucat pasi. Bibirnya gemetar seolah menahan rasa takut yang ia sembunyikan begitu lama.
            “Kamu kenapa? Sakit?” tanya Zul cemas. “Mukamu pucat, Dli. Kita ke puskesmas, ya!”
            Kembali Fadli menggeleng. Wajahnya tertunduk lesu. Butiran-butiran air mata berguguran dari kelopak matanya yang sembab. Zul merasa heran dengan sikap kawannya. Hendak dipaksanya bertanya lebih jauh pada Fadli, tetapi anak itu malah berlari, meninggalkan Zul dengan seribu tanya yang menggantung di langit-langit hatinya. Melihat sikap Fadli, Zul tergerak untuk mencari tahu ada apa gerangan. Langkah kakinya pun terbawa hingga ke rumah di tepi tebing itu. Rumah indah yang hanya orang-orang tertentu bisa memasukinya. Mungkin seseorang bisa membukakan pintu untuknya, melongok seisi rumahnya yang selama ini hanya ada dalam bayangannya saja, dan mungkin ia bisa menikmati hidangan ikan laut bumbu special yang tak pernah menyentuh lidahnya itu.
            “Zul!” seorang lelaki kurus, agak feminim, berdiri di ambang pintu saat Zul hendak mengetuk pintu rumah besar itu.
            Zul tersenyum dengan raut penuh tanya. Siapa lelaki feminism ini, bagaimana ia bisa mengetahui namanya sedangkan ia belum pernah sekalipun bertemu dengannya.
            “Owh, saya Revan, teman baiknya Bang Jimbon,” laki-laki itu mengulurkan tangannya. Baru sekali ini Zul bersentuhan dengan tangan laki-laki dewasa yang begitu lembut. Terlalu lembut untuk ukuran seorang pria dewasa. “Bang Jimbon sering cerita tentang kamu. Masuk, sini,” Revan menuntun Zul memasuki rumahnya yang bukan saja bersih dan wangi, tetapi terang dan penuh dengan hiasan dinding yang indah memukau. Mata Zul takjub melihat foto-foto besar bergantungan di hampir semua dinding dalam rumah itu. Belum lagi sebuah perpustakaan mini di pojok ruangan dengan koleksi buku-buku bagus yang ditata rapi di dalam rak berkaca.
            Revan membuka sebuah kotak dan mengeluarkan foto-foto berukuran kecil dari dalamnya. Ternyata itu adalah gambar Zul yang karena kualitas gambarnya, kemungkinan besar diambil oleh fotografer profesional dari jarak jauh melalui sebuah kamera analog. “Ini foto-foto kamu, Bang Jimbon yang motret. Katanya mau ditunjukkan ke kamu kalau kamu mau datang ke sini dan menerima tawarannya menjadi anak angkatnya,” jelas Revan.
            “Apa enaknya jadi anak angkat Bang Jimbon? Bukankah Bang Jimbon sudah punya anak angkat?” tanya Zul polos. Benaknya masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Foto-foto dirinya yang tampak sangat bagus, dengan fose alami.
            “Apa enaknya? Hemh, kamu bisa sekolah lagi, dan mungkin bisa belajar fotografi kayak Bang Jimbon. Atau kamu suka melukis?”
            “Foto?” mata Zul berbinar. Entah kenapa ia langsung jatuh hati begitu melihat foto-foto yang terpampang di dinding rumah Bang Jimbon. Begitu indah dan sangat kaya warna. Coba ia bisa memoto objek seindah itu, atau paling tidak ia bisa mencoba menggunakan kamera untuk membidik pemandangan-pemandangan indah di pantai.
            Revan tersenyum sambil mengangguk.
            Sore itu Zul tidak bertemu dengan Jimbon karena lelaki itu sedang ke kota untuk menjual hasil lukisannya, dan mencetak beberapa foto yang belakangan ia ambil. Tetapi sejak saat itu Zul tidak sungkan berkunjung ke rumah Jimbon. Meminjam kamera Jimbon dan belajar memotret benda apa saja yang menarik hatinya. Jimbon dan Revan memberikan perhatian penuh pada Zul. Meskipun Zul kadang merasa tidak nyaman, tetapi ia berusaha menerima perlakuan mereka dengan sopan. Hingga pada suatu waktu, karena cuaca yang tidak bersahabat, Zul terpaksa menginap di rumah Jimbon.
            Dan drama dalam kehidupan Zul mendadak berubah.
            Malam itu ia melihat pribadi lain dalam diri Jimbon dan Revan. Kedua lelaki itu tidak menunjukkan sikap seperti biasanya. Mula-mula Zul diminta memotret Revan yang sedang bertelanjang dada. Lalu Revan membuka jins-nya lalu melepaskan pakaian dalam lainnya hingga membuat jantung Zul berdegup tak menentu. Bahkan Zul tetap dipaksa memotret Revan yang sedang dicumbu oleh Jimbon, seolah mereka pasangan suami istri yang sedang melakukan hubungan intim. Zul berusaha menolak, tetapi Jimbon memaksanya. Tubuh Zul bergetar hebat. Apa yang sedang terjadi dengan dirinya malam itu membuat ia tidak bisa tidur dan hanya menangis semalaman.
            Keesokan harinya, sikap kedua lelaki itu kembali biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan mereka. Saking biasanya Zul mengira ia hanya bermimpi karena pengaruh omongan miring orang-orang tentang kedua lelaki yang sudah lama hidup seatap itu. Tetapi pada kesempatan-kesempatan lain, Jimbon menjemputnya dan memintanya membantu pekerjaannya menyelesaikan lukisan atau objek foto dan menjanjikan bayaran yang lumayan. Zul tentu tertarik mengingat ia sedang membutuhkan biaya untuk ibunya yang sedang sakit. Ia juga bisa kembali mendalami ilmu fotografi dan membaca banyak buku menarik di rumah Jimbon. Tak peduli omongan orang tentang kedua lelaki berbeda karakter itu, ataupun mimpi buruknya malam itu.    
            Tetapi Zul tidak bermimpi malam itu. Kejadian itu kembali berulang. Kali ini bahkan Zul dipelakukan dengan kasar. Ancaman bahkan intimidasi membuat bocah lelaki ini sangat ketakutan. Tapi ia tidak bisa melarikan diri. Ke manapun ia pergi, kedua lelaki itu selalu saja bisa membawanya kembali. Kembali memaksanya melihat adegan mesum mereka, lalu mengabadikannya dalam foto ataupun rekaman video.
            Zul hanya bisa menangis, menyesali keputusannya menerima tawaran anak angkat kedua lelaki sinting itu. Laki-laki gila yang bisa memanfaatkan kelemahan anak-anak jalanan.
*
            Tubuh Zul bergetar hebat,
            Tetapi lelaki gontai itu berhasil menenangkannya. Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka. Membuka sumpalan kain di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris sambil menghambur ke luar rumah.  Kaki kecilnya terus berlari menjauh sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di atas sebuah tebing tinggi di sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti  saat telinganya menangkap deburan alam memanggilnya. Memanggil jiwa mungilnya untuk melebur bersama.
            “Aku tidak akan mati sia-sia. Aku akan berkelana, menjadi pelindung bagi bocah-bocah malang yang mengalami nasib tragis sepertiku. Di jalanan, di kolong jembatan, di gerbong kereta api, banyak anak-anak menjerit dan merintih kesakitan. Berdarah, terluka, robek hati dan jiwa mereka. Lalu mereka bungkam, karena sekali buka suara, tubuh mereka akan remuk dilibas kereta. Aku akan membawa mereka ke sini, atau lari semakin jauh. Aku tahu jalan mana yang bisa mereka tempuh tanpa harus mengalami siksaan yang lebih perih.” Ucap bocah itu,  seraya menatap dewa langit yang tiada henti mengulum senyum bangga.
            Perih. Amarah menggunung setiap mendengar masih banyak terjadi pelecehan terhadap anak-anak jalanan, trafficking, bahkan pembunuhan. Zul tak akan pernah mati untuk diam.
*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar