Rabu, 12 September 2012

INVISIBLE LOVE



INVISIBLE LOVE

Penghujung malam belum berakhir. Angin yang menggelitik kulit membuat bulu-bulu halus yang tumbuh di atasnya berdiri tegak, berontak tak mau lepas dari dekapan hangatnya selimut.
            Jam dinding masih bertahan di pukul setengah tiga  pagi, tetapi Nina sudah terjaga untuk memulai aktivitas rutinnya. Setiap hari, selama setahun belakangan ini. Di saat orang-orang masih dibuai mimpi dan bergulung di atas tempat tidur, Nina sudah bergelut dengan pekerjaan rutin demi mempertahankan hidup banyak orang.
            Setelah selesai mandi air hangat, Nina menyalakan kompor dan memanaskan wajan untuk menggoreng aneka makanan yang semalam sudah disiapkannya.  Adonan jajanan seperti pisang goreng, risole, pastel, dan sebagainya menjadi sahabat setianya sejak ia berkomitmen akan mengurus sendiri yayasan kecil itu.
            Bukan yayasan seperti yang mungkin ada di benak banyak orang. Hanya ada beberapa orang tua terlantar yang ia layani dan cukupi kebutuhannya. Sumber dana pun terbatas dari penghasilan usaha yang dijalani Nina saja. Dari hasil usaha membuat dan menjual kue-kue, serta magang di sebuah warung internet untuk mengisi kekosongan karyawan yang berganti shift.
            “Coba Kamu buat sebuah blog atau website pribadi yang berisi tentang kegiatanmu itu, Nin,” usul Gyan sambil menyerahkan kunci kasir sesaat setelah ia membereskan barang-barangnya dan bersiap meninggalkan warung internet yang seharian ia jaga. Sekilas diliriknya jam di pergelangan tangannya. Baru pukul tiga. Ia masih punya waktu satu jam sebelum ia benar-benar harus membiarkan Nina sendiri menjalankan tugasnya. Dan tidak ada salahnya kalau satu jam ini ia habiskan bersama Nina, untuk membimbingnya membuat blog atau sekedar menanyakan kabar para penghuni panti jompo Nina. Kebersamaan yang mungkin jarang terjadi secara kebetulan.
            “Ribet nggak, Mas bikinnya?” Nina menerima kunci kasir dan memberikan lembar tanda serah terima tugas dan saldo kas kepada Gyan. “Pernah sih kepikir untuk membuat semacam blog pribadi. Tapi saya belum sempat.  Dan.. nggak pede juga, mau diisi dengan apa,” Nina menyambut usul Gyan. Ditatapnya mata lelaki itu. Pertemanan yang dijalinnya selama ia bekerja di warnet ini telah membuat Nina percaya bahwa Gyan adalah lelaki yang baik dan sangat perhatian.
            “Gampang koq, Nin. Tuh di laci ada buku petunjuk praktis untuk membuat blog. Atau perlu aku buatkan website aja sekalian.” lanjut Gyan. Ia sudah membayangkan kalau Nina mau membuat blog dan bercerita tentang kegiatan yang dijalaninya selama ini, akan banyak orang yang peduli dan mau membantu. Gyan kadang miris kalau harus membayangkan bagaimana Nina bisa mengurus lebih dari 5 orang tua jompo di rumahnya, dengan penghasilan Nina yang pas-pasan.
            Gyan membuka buku dan menunjukkan cara praktis membuat blog gratis untuk sekedar belajar dulu. Nina langsung mempraktekkannya dengan sungguh-sungguh. Beruntung ia bisa bekerja di warnet sehingga bisa menggunakan layanan internet secara gratis, sambil menjalankan tugas melayani para tamu yang menggunakan jasa warnet itu, pastinya. Gyan juga orangnya asyik. Selain pintar dan mau berbagi ilmu, ia juga kadang membantu Nina dengan memberikan bantuan materi untuk meringankan beban Nina mengurus para manula itu. Terutama kalau pada saat gajian tiba. Yah, itung-itung sedekah, katanya.
            “Nah, Sekarang, mulai deh Kamu isi blog Kamu ini dengan postingan tentang kegiatan-kegiatan pribadi Kamu, nanti aku bantu upload foto, dan iklanin blog ini,” ucap Gyan puas memberikan tutorial singkat dengan hasil yang lumayan. Nina memang punya daya tangkap yang cepat, jadi apa yang Gyan jelaskan bisa langsung dia praktekkan tanpa ada kesalahan yang berarti.
“Makasih ya, Mas,” balas Nina tak kalah puas. Dalam benaknya menari-nari berbagai inspirasi yang ingin ia tuangkan ke dalam blognya. Ia semakin bersemangat mendengar Gyan masih mau membantu memperindah blognya itu di kemudian hari.
            Gyan  kembali melirik jam di tangannya. Ia lalu mengenakan jaket dan siap untuk pulang. “Saya suka banget nama blog Kamu, Nin. Saya bisa jadi penggemar fanatic nih,” ucapnya sambil mengacungkan jempol dan berlalu.
            Nina tersenyum menanggapi ucapan Gyan.
            Ada waktu sekitar empat jam sebelum Arnold datang untuk shift malam, yang bisa Nina gunakan untuk mengisi Blognya yang masih kosong. Sambil menarik nafas dan menghempaskannya perlahan, jemari Nina mulai menari di atas keyboard.
*
            Invisible Love, sebuah Blog yang akan menuntun Anda mencurahkan rasa cinta Anda tanpa ada orang lain yang tahu bila Anda berbagi. Nina tersenyum sendiri melihat bagaimana pikirannya kembali menerawang mengingat satu persatu orang tua itu berdatangan dan mengisi rumah sederhananya. Nina tidak perlu mengundang mereka, tetapi Tuhan telah mengirim mereka dengan jalan yang tidak terduga sama sekali.
            Sejak orang tua Nina meninggal belasan tahun yang lalu karena kecelakaan, Nina praktis diasuh dan dirawat oleh neneknya dari pihak ibu yang sudah lama menjanda. Nina adalah anak tunggal, sehingga semua warisan peninggalan orang tua Nina, jatuh ke tangannya. Sebuah rumah dan sejumlah investasi menjadi hak Nina sepenuhnya. Dari bekal uang asuransi dan tabungan itulah, Nina tumbuh dan dibesarkan dengan baik oleh neneknya. Tetapi sayang, dua tahun yang lalu neneknya meninggal duNadia dan tidak bisa menyaksikan acara wisuda Nina beberapa bulan kemudian.
            Tinggalah Nina sendirian di sebuah rumah besar bergaya Belanda dengan teras asri dan halaman yang luas itu. Dua buah pohon mahoni besar berdiri kekar di bagian depan rumah  seolah menjadi pelindung dan penjaga setia di sana. Ada taman kecil yang terdiri dari kolam ikan hias dan beberapa koleksi bunga anggrek dan bonsai peninggalan nenek Nina.
            Di tengah kesendirian itulah tiba-tiba  Nina kedatangan tamu, seorang pengemis tua. Teringat neneknya yang sudah meninggal, Nina lalu mengajak perempuan tua itu tinggal bersamanya. Bukan sebagai pembantu, tetapi sebagai seseorang yang Nina ingin berbagi kebahagiaan bersamanya. Ketika neneknya masih ada, Nina memang jarang bermanja-manja, apalagi mengurus neneknya itu. Kesibukan kuliah waktu itu benar-benar menguras waktu dan tenaga Nina sampai nyaris tak bersisa. Makanya untuk menebus kesalahan itu, Nina ingin membantu pengemis tua itu supaya punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Dialah Nenek Ngatiyem asal Semarang yang terlunta di Jakarta sejak bertahun-tahun silam.    Entah apa yang hendak Tuhan sampaikan pada Nina, tidak lama waktu berselang Nina menemukan seorang nenek bernama Natiah yang sedang meringis menahan sakit, di tepi jalan. Rupanya nenek gelandangan itu adalah korban razia gepeng yang berhasil melarikan diri. Rumah kardusnya sudah habis diobrak-abrik petugas taman kota karena memang kebanyakan gelandangan menggunakan lahan taman untuk tempat mukim mereka. Nina lalu membawa Nenek Natiah, ke rumahnya. Dan bersama Nenek Ngatiyem, Nenek Natiah pun mengisi satu kamar kosong bekas neneknya Nina.
            Untuk mengurus kedua nenek itu Nina akhirnya menggunakan jasa pembantu rumah tangga paruh waktu. Gaji yang ia peroleh selama bekerja di sebuah perusahaan asing, ia sisihkan untuk kehidupan kedua nenek itu. Makanan, pakaian, obat-obatan, semua sudah dianggarkan, termasuk untuk menggaji pembantu rumah tangga yang pada akhirnya harus menetap di situ. Nina sama sekali tidak pernah mengeluh dengan membengkaknya pengeluaran Nina. Kadang ia sendiri harus menggunakan sisa tabungannya, dan merelakan semua gajinya untuk keperluan mengurus kedua nenek itu.
            Rupanya Tuhan masih memberikan kepercayaan pada Nina dengan mengirimkan sepasang orang tua yang kehilangan bekal karena dirampok ketika mereka baru tiba di Jakarta. Uang dan semua perbekalan mereka raib, termasuk alamat sang anak yang hendak ditemuinya di ibukota ini. Nenek  Mirah dan Kakek Sadikun pun diajak Nina menetap di rumahnya. Kebetulan masih ada satu lagi kamar kosong di dekat dapur yang tidak terpakai.
            Bersama para jompo itu Nina merasa rumahnya kembali hangat dan ramai. Masa-masa ketika kedua orang tuanya masih ada kembali hadir. Cinta dan kasih yang tercurah dari para orang tua itu membuat Nina merasa tidak memiliki beban hidup apapun. Nenek Mirah dan Kakek Sadikun saja begitu betah sehingga tidak kepikiran lagi untuk mencari anaknya atau meminta Nina untuk mengiklankan keberadaan mereka sehingga keduanya bisa ditemukan oleh anaknya. Tinggal bersama Nina dan orang tua jompo lainnya di sini sudah membuatnya jauh lebih tenang.
            “Kami senang bisa tinggal di sini bersama-sama. Kalau ada yang bisa Kami lakukan untuk meringankan beban Nak Nina, katakan saja, Nenek dan Kakek tidak bisa tinggal diam dan hanya merepotkan Nak Nina saja,“ ucap Nenek Mirah suatu waktu ketika dilihatnya Nina duduk sendirian di teras.
            “Nina nggak kenapa-naka koq, Nek. Nina senang Nenek dan Kakek, juga nenek-nenek yang lain bisa hidup tenang di sini. Kalau saja nenek Nina masih ada, ia pasti juga akan senang punya banyak teman,” balas Nina. Kegundahan perlahan sirna mendengar pengakuan Nek Mirah.       
            Mungkin Nina mulai keteter menangani banyaknya orang tua jompo di rumahnya. Mereka memang tidak terlalu merepotkan. Kondisinya masih sehat, tidak pikun dan tidak sakit-sakitan, tetapi tetap saja ia membutuhkan banyak biaya untuk perawatan mereka. Bahkan Nina kadang harus merelakan bolos kerja demi mengantar mereka ke dokter untuk pemeriksaan kesehatan.
            Akhirnya Nina memutuskan berhenti bekerja dan mencari pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel. Nina pun mendapatkan pekerjaan baru menjadi marketing freelance dengan penghasilan yang tidak terlalu jauh berbeda dibanding dengan gaji di perusahaan lamanya. Ia juga mengajar di sebuah lembaga pendidikan berbasis bimbel.
            Sebulan sejak  Nina menjalani pekerjaan barunya, ia dipertemukan lagi dengan seorang nenek yang sedang menangis di suatu tempat.                 
            “Nenek kenapa menangis?” tanya Nina iba. Dilihatnya Nenek itu sendiri tanpa membawa apa-apa. Nenek itu tidak lantas menjawab sehingga Nina mendekatinya dan memegang tangannya yang dingin dan gemetaran.
            “Saya diusir anak saya, Neng..” jawabnya terisak.
            “Koq bisa, Nek?” tanya Nina lagi, prihatin.
            “Mungkin saya bisanya cuma ngerepotin anak saya saja. Sedangkan dia sendiri sudah berkeluarga dan harus mengurus anak dan isterinya yang cerewet itu,” lanjut perempuan tua itu semakin terisak.
            Tanpa sedikit pun rasa canggung Nina memeluk Nenek itu. “Ya sudah, Nenek tinggal dengan saya aja ya, Nek,” Nina lalu mengajak perempuan tua itu dan membawanya ke rumah. Kedatangannya disambut oleh semua penghuni rumah yang kemudian menghiburnya sehingga kesedihan Nenek Fat, panggilan kecil Nenek Fatimah, nama perempuan itu, seketika sirna.
            Nenek Fat tinggal di kamar bekas Nina, sedangkan Nina terpaksa pindah kamar ke lantai atas bekas perpustakaan pribadi dan ruang kerja ayahnya dulu.
            Nina merekam semua kejadian itu dan memostingnya satu persatu di blog yang belum lama ia buat. Semua profil para jompo yang ada di rumahnya lengkap dengan foto yang sempat ia ambil melalui kamera hand phonenya pun ia upload. Beberapa peristiwa menarik seperi saat salah satu diantara mereka berulang tahun Nina buatkan cerita tersendiri dengan aneka foto berbagai ekspresi bahagia di gurat wajah tua mereka. Judul artikelnya ‘Bahagia Bersama Tak akan Sirna’ . Saat Nina membuat kue pesanan orang untuk menambah penghasilan rumah jomponya juga ia posting. Sebuah foto jepretan Nek Fat yang bagus melengkapi tulisan yang ia beri judul ‘Lovely Cookies’. Dan foto ketika Kakek Sadikun bersama dengan pegawai kebun Nina menanam pohon mangga hasil cangkokak mereka di pojok halaman rumah, Nina posting dengan judul ‘Pohon Mangga cangkokak Kakek Sadikun’
            Dalam waktu hanya beberapa jam saja Nina sudah membuat postingan yang menarik. Biar nanti Nina tanyakan ke Mas Arnold bagaimana supaya blognya kemudian banyak dibaca orang. Tadi Mas Gyan sempat ngasi tahu, tapi karena terburu-buru, Nina belum sempat memahami cara-caranya.
            Senja beranjak malam. Dan Malam memang akan datang sesuai waktu yang semestinya. Nina bersiap pulang saat Mas Arnold datang.
            “Wah tumben datangnya telat, Mas,” sapa Nina sambil memperbaiki penampilannya supaya lebih rapi pas pulang nanti.
            “Iya, sorry Nin, macet nih. Sumringah banget kelihatannya,” balas Mas Arnold. Dilihatnya segaris senyum mengembang di wajah Nina.
            “Ini Mas, Nina barusan buat blog, diajarin Mas Gyan. Lucu aja, cerita-cerita di blog seru juga ya. Tapi Nina nggak tahu nih caranya supaya blog ini banyak yang baca dan comment, gimana,” lanjut Nina.
            “Itu sih soal gampang, biar Mas-mu ini yang ngurus, jangan diclose dulu ya,” canda Arnold sambil mengucek-ucek rambut Nina yang baru saja disisir. Nina menepisnya dengan candaan juga, lalu diambil lagi sisir dan dirapikannya kembali rambut sebahunya itu.
            Nina kemudian pamit karena ia harus segera membuat brownies untuk dipasarkan besok.
            Arnold lalu membuka blog yang Nina buat tadi dan tersenyum-senyum sendiri begitu membaca tulisan-tulisan Nina. Tetapi di balik itu semua Arnold merasa salut dan bangga dengan apa yang sudah Nina perjuangkan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau gadis ceria seperi Nina mau melakukan hal besar dan merepotkan seperti itu.            Arnold lalu menyebarkan link Invisible Love melalui facebook dan twitter.  Ia juga membuatkan linknya di blog pribadi dia sendiri dengan ulasan yang berisi rasa takjubnya terhadap ketulusan hati Nina.
-o-
            Gyan baru selesai makan malam, dan baru sempat menyalakan laptopnya sekitar satu jam kemudian karena teringat dengan blog yang Nina buat tadi sore. Sebuah blog dengan tittle unik pasti berisi kisah-kisah yang juga unik dari seorang Nina, perempuan cantik yang belakangan ini menyita perhatiannya.
            Sebuah puisi dalam blog itu membuat Gyan termanggu cukup lama.

CINTA TAK KASAT MATA
Cinta tersampaikan melalui aliran udara,
Melalui rongga-rongga tanah
Melalui desiran air di tiap buih ombak
Dan riak sungai pada muara
Cinta tak perlu bahasa
Kata, puja ataupun rayuan
Cinta hanya perlu sehalus sentuhan
Setulus senyuman
Dan setitik pengabdian
Cinta hanya terjamah oleh perasaan yang sama
Cinta hanya terukir dalam hati yang sama
Cinta hanya bermuara pada samudera yang sama
Ketika cinta bertebaran bak kunang-kunang di sekitar kita
Ke mana kita mengikuti arah cahayanya
Ketika cinta bersembunyi seperti kepik
yang hanya terdengar kepaknya
Ke mana kita akan mencari
Cinta tak kasat mata
Kita hanya perlu sedikit merasa.

            Gyan tidak menyangka dengan apa yang sudah Nina lakukan selama ini. Ia pikir Nina hanya membantu memberi tempat tinggal dan makan seadanya. Ternyata ia juga mengurus semua keperluan penghuni rumah jomponya. Cinta yang berkobar di dalam dirinya,sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan cinta Nina terhadap para manula itu. Nina menyalurkan cintanya tanpa harus berfikir apakah cinta itu akan berbalas atau tidak. Hanya Tuhan yang menuntun dan Nina sungguh merupakan ciptaan-Nya yang sempurna.
            Hanya dalam waktu beberapa jam saja, blog itu ternyata sudah banyak yang mengunjungi, terlihat dari jumlah comment yang masuk. Tak perlu konfirmasi dari yang punya blog, hanya dengan memasukkan kata sandi tertentu, maka comment-comment itu akan bermunculan dengan sendirinya. Kebanyakan dari pengunjung blog itu merasa takjub dan tertarik dengan kegiatan Nina. Malah ada yang minta alamat untuk memberikan bantuan materi, minta nomor telepon dan alamat email, minta akun facebook dan twitter, dan yang lebih menarik ada yang membalas puisi Nina dengan puisi juga.
            Mas Gyan tersenyum kembali. Blog Invisible Love bukan saja sudah memberinya banyak inspirasi, tetapi juga  sebuah kekuatan untuk berani mencurahkan cintanya, meskipun dengan cara yang tak kasat mata. Nina memberinya cara bagaimana ia bisa meraih cinta itu dan berharap seseorang bisa menjamahnya dengan perasaan yang sama. Nina.
-o0o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar