Sanggupkah Maaf Sembuhkan Luka?
Honda civic yang kukendarai dengan kecepatan tinggi
kuparkirkan buru-buru di depan sebuah rumah sakit. Aku lari melewati beberapa
koridor, membelah bebauan pembersih lantai anti kuman, menuju tempat persalinan. Mami yang
mengabariku bahwa Venna, istriku mengalami pendarahan hebat sudah berada di sana. Menanti kelahiran bayi itu.
Bayi itu? Kakiku mendadak berhenti
berlari. Langkah ini beringsut gontai. Haruskah aku sepanik ini saat menghadapi proses persalinan
istriku, sementara bayi yang akan ia lahirkan bukanlah dari benihku. Bukan benih
cinta yang mestinya kutanam dalam rahimnya? Tapi Venna tetap istriku. Aku tidak ingin ia
mengalami sesuatu yang buruk akibat pendarahan itu.
“Tio... “ Mami menghambur memelukku.
Tersedu hingga membuat kemejaku basah oleh
derainya. “Venna sudah masuk ruang operasi,” lanjutnya
seraya
menyeka sisa rinai di matanya. Kelopaknya membengkak. Aku tahu pasti,
kekhawatiran Mami bermuara di mana. “Iya,
Mam. Kita berdoa saja semoga Venna dan anaknya selamat,” ucapku membuat sebutir
kristal yang menggenang di pelupuk mata Mami kembali berguguran.
“Denis sudah ada di sini,” bisiknya kemudian.
Dari
sudut mataku tertangkap bayangan seorang lelaki bersandar pada dinding ruang tunggu operasi. Denis. Meskipun malas menemuinya, aku tetap saja menghampirinya.
“Untuk
apa kamu datang ke sini?” tanyaku dengan nada dingin.
“Untuk
kalian,” setelah beberapa saat tertunduk, Denis berani menatap mataku.
“Untukku
dan Venna? Bukan untuk bayimu?” sindirku. Darahku mendidih saat mata kami
beradu. Denis membisu. Jemarinya bertautan mempermainkan nada gelisah.
“Dari
dulu kamu memang pecundang, Nis! Kasihan Venna. Karena
kelakuan bejatmu, Ia
menanggung rasa bersalah selama berbulan-bulan,”
aku berusaha menahan intonasi suaraku agar tidak
menarik perhatian orang lain.
“Aku
… Aku masih mencintainya, Yo.”
Beraninya
ia mengucapkan itu di hadapanku.
“Cinta tai!” tanganku mengepal dan siap melayangkan tinju ke mukanya kalau saja Mami tidak datang
dan menarik lenganku.
“Dokter
mau bicara denganmu,” bisik Mami tanpa mengindahkan pandangan Denis ke arah
kami. Kepalan tanganku berangsur mengendur. Kuikuti langkah Mami menuju ruang
operasi.
*
Kisah selanjutnya bisa dibaca dalam buku Sebening Oase Kalbu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar