Mengagumi Semangat Anak Bangsa
Sekolah adalah … tempat yang mengubah anak kecil
menjadi laki-laki dewasa
The
Time and the Place
Membaca
Antologi Cerpen Jujurlah Matahariku ini,
membuat saya seolah sedang menyelami lebih dalam tentang kehidupan anak-anak di
negara subur makmur ini. Kehidupan yang sangat ironis. Pada era digital yang
dengan mudah orang, -termasuk anak-anak- mengakses berbagai informasi, masih
saja ditemui keterbelakangan, kesulitan untuk mendapatkan perlakuan yang adil,
terlebih gagap teknologi. Sebagian besar anak-anak Indonesia masih disibukkan
dengan keharusan mereka memenuhi kebutuhan perutnya sendiri, bahkan tidak
sedikit yang kemudian menjadi tulang punggung dan bertanggung jawab mengisi
bakul nasi keluarga setiap hari. Kehidupan yang sangat keras, penuh liku
perjuangan, harapan, juga keputusasaan. Perlakuan diskriminatif, eksploitasi
terhadap anak, trafficking, kekerasan
dalam rumah tangga, bullying menjadi
PR bukan saja Komnas Perlindungan Anak, tetapi kita semua, segenap komponen
bangsa ini.
Mungkin hanya sekelumit saja yang
bisa diungkap. Kisah yang mengharu-biru, cerita sedih
tentang
kemismikan yang mendera, juga harapan-harapan sebagian besar anak yang tidak
mampu mereka raih.
Banyak kisah yang lebih dramatis memang, juga kisah-kisah membanggakan yang
seharusnya muncul dan menjadi gambaran betapa kompleksnya dunia anak. Begitu
luas, sangat jauh, dan kerap sering kita jadikan alasan saat kita tidak mampu memecah
semua persoalan yang timbul. Tetapi 23 Kisah dalam buku ini setidaknya menjadi
awal untuk kita membuka mata, mengenal dan memahami dunia anak jauh lebih dalam
untuk kemudian lebih mencintai anak-anak kita. Anak-anak Indonesia. Generasi
penerus yang di pundaknya kita letakkan masa depan bangsa dan negara ini.
Sebagian besar kisah dalam antologi
ini menunjukkan betapa besar perjuangan yang harus dilewati anak-anak untuk
mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Bahkan untuk mendapatkan hak mereka
berupa pendidikan pun, mereka memburunya dengan kerja keras, seolah itu adalah sebuah kewajiban mereka dan
setelah itu terlunasi baru kemudian boleh menerima apa yang menjadi hak mereka.
Menyedihkan, sekaligus membanggakan, karena hanya dengan kerja keras dan
perjuangan saja, kegigihan anak bangsa ini tertempa. Kesungguhan merupakan
pijakan pertama bagi anak-anak untuk menjadi lebih mandiri. Ketangguhan dan
kemandirian anak-anak Indonesia merupakan sebuah aset besar yang bisa menjadi
pondasi kokoh dalam pembangunan negeri
ini.
Sebut saja Parjo dalam cerpen Parjo karya Zahra Qomara, atau Putra
dan Ryan dalam Sebuah Gang Sebuah Cerita
karya Junita Susanti, juga anak-anak yang menjadi Ojek Payung Malioboro karya
Nanakoha dan Bocah Bintan buah karya
Riana Yahya, mereka semua adalah anak-anak kurang beruntung yang karena
ketidakberuntungannya itu menjadikan mereka anak-anak yang tangguh dan memiliki
semangat hidup yang besar. Belum lagi Catatan
Ganef untuk Langit yang merupakan kegelisahan Endang SSN melihat mimpi anak
jalanan yang begitu tinggi, ketegaran Teguh dalam Biji Tasbih Bara Aspal hasil potret Sandza dari kacamata tulisnya
dan Kotak Amal-nya Johar Dwiaji
Putra adalah replika hidup ‘semangat dan harapan’ anak-anak Indonesia. Mereka
semua adalah generasi-generasi unggul yang bangsa ini miliki. Semestinya kita
malu dengan semangat mereka. Semestinya kita menyediakan banyak ruang dan mempermudah
langkah mereka untuk mengecap pendidikan yang layak tanpa harus mengumpulkan
rupiah demi untuk membiayai hidup dan sekolah mereka.
Kita juga akan dihadapkan pada
permasalahan yang lebih pelik saat membaca Angan
yang Terkoyak buah pikir Komala Sutha, serta Ajari Anakmu dengan Sastra goresan pena Remunggai M, yang menyentil
dunia pendidikan di negara ini. Tentang kurikulum, tentang perlakuan tidak adil
guru terhadap murid, juga tentang program pemerintah yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Atau kisah Bahar dalam Mimpi yang Hilang, yang ditulis oleh seorang guru muda bernama
Sukamto Prasetyo yang mendedikasikan dirinya di negara tetangga demi mengajar
anak-anak Indonesia di sana. Begitupun dengan kisah-kisah seperti Kenapa Jagoanku Berbeda karya Petra
Shandi atau Wanita Sempurna karya
Ayesha Syarif yang keduanya menjadi cerpen favorit dewan juri, Berjanjilah pada Ibu, Nak! karya
Aimatul Hidayah, dan Aida Sayang Mama
Ariany Primastutiek, serta cerpen saya yang berjudul Jujurlah Matahariku yang kesemuanya membuka mata para orangtua
bagaimana mereka seharusnya merawat dan mendidik putra-putri mereka di rumah.
Mengagumi semangat anak bangsa
menjadi sebuah wacana praktis untuk kita menciptakan sebuah agenda yang mampu
menata kembali bagaimana kita membesarkan bangsa ini dengan memulainya melalui
peningkatan kualitas hidup anak-anak Indonesia. Jangan sampai kita terlena dan
membiarkan perjuangan keras mereka di jalanan menjadi sia-sia. Jangan biarkan
anak-anak Indonesia tidak mendapatkan haknya untuk hidup layak sebagaimana
anak-anak pada usianya, hak pengasuhan
dan perlindungan, serta hak mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang adil. Semangat
anak bangsa menjadi landasan pertama bagi pemerintah untuk memberikan ruang dan
perlakuan khusus ‘melebihi’ apa yang mereka butuhkan, karena yakin anak-anak
Indonesia bisa memberikan ‘jauh lebih’ dari sekedar yang diharapkan bangsa ini.
Jujurlah Marahariku mengajak kita
semua untuk selalu jujur dalam mendidik anak-anak kita, membimbing dan
mencintai mereka agar kelak cinta di hati mereka mampu mendamaikan bumi ini. Buku
ini hadir sebagai sebuah harapan besar, juga doa, semoga anak-anak Indonesia
membawa bangsa ini pada sebuah kemajuan pesat, subur makmur dan adil sejahtera.
Amin..
Bandung,
23 juli 2012
Kamiluddin
Azis
A must read book! trust me!
BalasHapus