Sabtu, 04 Agustus 2012

Jujurlah Matahariku - 23 Kisah Inspiratif untuk Memperingati Hari AnakNasional


Mengagumi Semangat Anak Bangsa

Sekolah adalah … tempat yang mengubah anak kecil menjadi laki-laki dewasa
The Time and the Place

Membaca Antologi Cerpen Jujurlah Matahariku ini, membuat saya seolah sedang menyelami lebih dalam tentang kehidupan anak-anak di negara subur makmur ini. Kehidupan yang sangat ironis. Pada era digital yang dengan mudah orang, -termasuk anak-anak- mengakses berbagai informasi, masih saja ditemui keterbelakangan, kesulitan untuk mendapatkan perlakuan yang adil, terlebih gagap teknologi. Sebagian besar anak-anak Indonesia masih disibukkan dengan keharusan mereka memenuhi kebutuhan perutnya sendiri, bahkan tidak sedikit yang kemudian menjadi tulang punggung dan bertanggung jawab mengisi bakul nasi keluarga setiap hari. Kehidupan yang sangat keras, penuh liku perjuangan, harapan, juga keputusasaan. Perlakuan diskriminatif, eksploitasi terhadap anak, trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, bullying menjadi PR bukan saja Komnas Perlindungan Anak, tetapi kita semua, segenap komponen bangsa ini.
            Mungkin hanya sekelumit saja yang bisa diungkap. Kisah yang mengharu-biru, cerita sedih tentang kemismikan yang mendera, juga harapan-harapan sebagian besar anak yang tidak mampu mereka raih. Banyak kisah yang lebih dramatis memang, juga kisah-kisah membanggakan yang seharusnya muncul dan menjadi gambaran betapa kompleksnya dunia anak. Begitu luas, sangat jauh, dan kerap sering kita jadikan alasan saat kita tidak mampu memecah semua persoalan yang timbul. Tetapi 23 Kisah dalam buku ini setidaknya menjadi awal untuk kita membuka mata, mengenal dan memahami dunia anak jauh lebih dalam untuk kemudian lebih mencintai anak-anak kita. Anak-anak Indonesia. Generasi penerus yang di pundaknya kita letakkan masa depan bangsa dan negara ini.
            Sebagian besar kisah dalam antologi ini menunjukkan betapa besar perjuangan yang harus dilewati anak-anak untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Bahkan untuk mendapatkan hak mereka berupa pendidikan pun, mereka memburunya dengan kerja keras,  seolah itu adalah sebuah kewajiban mereka dan setelah itu terlunasi baru kemudian boleh menerima apa yang menjadi hak mereka. Menyedihkan, sekaligus membanggakan, karena hanya dengan kerja keras dan perjuangan saja, kegigihan anak bangsa ini tertempa. Kesungguhan merupakan pijakan pertama bagi anak-anak untuk menjadi lebih mandiri. Ketangguhan dan kemandirian anak-anak Indonesia merupakan sebuah aset besar yang bisa menjadi pondasi kokoh dalam  pembangunan negeri ini.
            Sebut saja Parjo dalam cerpen Parjo karya Zahra Qomara, atau Putra dan Ryan dalam Sebuah Gang Sebuah Cerita karya Junita Susanti, juga anak-anak yang menjadi Ojek Payung Malioboro  karya Nanakoha dan Bocah Bintan buah karya Riana Yahya, mereka semua adalah anak-anak kurang beruntung yang karena ketidakberuntungannya itu menjadikan mereka anak-anak yang tangguh dan memiliki semangat hidup yang besar. Belum lagi Catatan Ganef untuk Langit yang merupakan kegelisahan Endang SSN melihat mimpi anak jalanan yang begitu tinggi, ketegaran Teguh dalam Biji Tasbih Bara Aspal hasil potret Sandza dari kacamata tulisnya dan Kotak Amal-nya Johar Dwiaji Putra adalah replika hidup ‘semangat dan harapan’ anak-anak Indonesia. Mereka semua adalah generasi-generasi unggul yang bangsa ini miliki. Semestinya kita malu dengan semangat mereka. Semestinya kita menyediakan banyak ruang dan mempermudah langkah mereka untuk mengecap pendidikan yang layak tanpa harus mengumpulkan rupiah demi untuk membiayai hidup dan sekolah mereka.
            Kita juga akan dihadapkan pada permasalahan yang lebih pelik saat membaca Angan yang Terkoyak buah pikir Komala Sutha, serta Ajari Anakmu dengan Sastra goresan pena Remunggai M, yang menyentil dunia pendidikan di negara ini. Tentang kurikulum, tentang perlakuan tidak adil guru terhadap murid, juga tentang program pemerintah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Atau kisah Bahar dalam Mimpi yang Hilang, yang ditulis oleh seorang guru muda bernama Sukamto Prasetyo yang mendedikasikan dirinya di negara tetangga demi mengajar anak-anak Indonesia di sana. Begitupun dengan kisah-kisah seperti Kenapa Jagoanku Berbeda karya Petra Shandi atau Wanita Sempurna karya Ayesha Syarif yang keduanya menjadi cerpen favorit dewan juri, Berjanjilah pada Ibu, Nak! karya Aimatul Hidayah, dan Aida Sayang Mama Ariany Primastutiek, serta cerpen saya yang berjudul Jujurlah Matahariku yang kesemuanya membuka mata para orangtua bagaimana mereka seharusnya merawat dan mendidik putra-putri mereka di rumah.
            Mengagumi semangat anak bangsa menjadi sebuah wacana praktis untuk kita menciptakan sebuah agenda yang mampu menata kembali bagaimana kita membesarkan bangsa ini dengan memulainya melalui peningkatan kualitas hidup anak-anak Indonesia. Jangan sampai kita terlena dan membiarkan perjuangan keras mereka di jalanan menjadi sia-sia. Jangan biarkan anak-anak Indonesia tidak mendapatkan haknya untuk hidup layak sebagaimana anak-anak  pada usianya, hak pengasuhan dan perlindungan, serta hak mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang adil. Semangat anak bangsa menjadi landasan pertama bagi pemerintah untuk memberikan ruang dan perlakuan khusus ‘melebihi’ apa yang mereka butuhkan, karena yakin anak-anak Indonesia bisa memberikan ‘jauh lebih’ dari sekedar yang diharapkan bangsa ini.
            Jujurlah Marahariku mengajak kita semua untuk selalu jujur dalam mendidik anak-anak kita, membimbing dan mencintai mereka agar kelak cinta di hati mereka mampu mendamaikan bumi ini. Buku ini hadir sebagai sebuah harapan besar, juga doa, semoga anak-anak Indonesia membawa bangsa ini pada sebuah kemajuan pesat, subur makmur dan adil sejahtera. Amin..
Bandung, 23 juli 2012

Kamiluddin Azis

1 komentar: