K A R I B
Aku urung melangkah.
Kakiku mendadak berat saat berdiri di depan pagar besi yang menjulang. Rumah
itu terlalu besar, jauh dari bayanganku sebelumnya. Bentuk bangunan semi kuno
dipadu desain modern membuat rumah itu tampak anggun dan megah. Kalau aku
diizinkan masuk melalui pagar kokoh ini, aku masih harus berjalan beberapa
ratus meter lagi untuk sampai ke halaman utama rumah itu. Tapi -sekali lagi-
aku ragu. Apakah alamat rumah ini benar
seperti yang tertulis dalam kertas kecil yang sedari tadi kupegang.
Satu-satunya harapanku tertulis dalam secarik kecil yang sejak beberapa minggu
terakhir kusimpan dengan baik.
Seorang lelaki berkumis dan berseragam keamanan putih
beremblem aneka instansi menatapku sambil menyentuh ujung topinya. Seolah ia
sedang memberi hormat pada atasannya. Sikap aneh untuk ukuran satpam penjaga
rumah mewah. Seharusnya ia waspada dan curiga dengan kehadiranku. Laki-laki
dengan kemeja kusut, celana model sepuluh tahun lalu dan topi belel,
celingak-celinguk seperti maling sedang mencari celah aman untuk masuk ke rumah
yang ia jaga. Tapi ia malah memberiku bonus senyum.
“Selamat pagi, Pak. Silakan masuk,” sapanya ramah sambil membuka pintu pagar melalui
sebuah alat yang ia pencet dari meja pos kerjanya. “Bapak sudah ditunggu.”
Aku pun melangkahkan kaki dengan ragu. Sudah ditunggu?
Apa benar begitu? Seperti orang penting saja aku ini. Hatiku mendadak ciut
membayangkan siapa pemilik rumah sangat besar nan megah ini. Sepanjang jalan
kecil menuju pintu rumah megah itu, tak henti aku berdecak kagum. Keindahan
arsitektur, perpaduan antara gaya eropa dan timur tengah, dikelilingi hutan
kecil dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh melebihi tinggi rumah bertingkat
tiga yang anggun itu. Rumah unik di
sebuah bukit di daerah Cisarua Bogor.
“Ari Sanjaya…” pekik seorang lelaki yang menghambur
keluar dari dalam rumah, membuyarkan kemelut di kepalaku. Kini ia berdiri di
puncak anak tangga, persis di depan salah satu tiang penyangga rumahnya. Senyum
dari raut yang sulit dilupakan itu mengembang menyambut kehadiranku. Seperti
menyambut calon besan saat upacara lamaran. Begitu sumringah dan bahagia.
Mataku seketika membelalak. Benar ternyata, aku tidak
salah alamat. Dan lagi-lagi benar, aku nyaris linglung saking tidak percaya
saat mengetahui dengan pasti siapa pemilik rumah gedong dengan taman luas yang
sangat indah ini. “Joko?” mulutku menganga, menampakkan kedunguan yang sudah
sangat dikenal Joko sejak belasan tahun silam.
Tawa kami berderai. Kami berpelukan sambil
meloncat-loncat seperti anak kecil yang berhasil memenangkan permainan galah.
Permainan masa kecil kami yang tidak pernah kami lewatkan setiap sore menjelang
maghrib tiba. Joko menepuk-nepuk punggungku penuh semangat. Aku nyaris batuk
dibuatnya. Tapi aku bahagia bisa bertemu Joko lagi setelah lebih dari enam
belas tahun tahun lamanya lost contact.
“Kamu kok jadi kurus, Ri?” Joko menilik-nilik penampilanku
dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Ya ampun, kamu diet atau kehabisan bahan
makanan sih?” candanya membuat dadaku tiba-tiba sesak. Hatiku perih mendengar
candaan lama yang selalu aku lontarkan pada Joko ketika masih kurus dan miskin.
Joko menarik pundakku dan membawaku ke sebuah ruangan bernuansa abu-abu dengan
dinding penuh mozaik berwarna warni yang setiap beberapa menit sekali tampak
memancarkan cahaya.
“Kita makan dulu,” Joko menarik kursi dan mempersilakan
aku duduk. Dua orang pelayan dengan pakaian khusus koki bercelemek menyuguhkan
berbagai makanan. Mereka bolak-balik membawa jenis masakan berbeda dan
menatanya di atas meja makan yang besar. Mereka juga menyajikan minuman dingin
di gelas Kristal yang ada di depanku. Tersenyum ramah lalu kembali menghilang.
Aku berasa dilayani di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta.
“Ayo dimakan, Ri, jangan sungkan,” ucap Joko ketika
dilihatnya aku belum juga menggerakkan tanganku untuk meraih makanan-makanan
lezat yang tersaji di atas meja. Karena aku masih diam, Joko lalu berdiri dan
mengisi piringku dengan sesendok nasi dan menunjuk-nunjuk lauk pauk supaya aku
memutuskan lauk mana yang harus ia ambil. Aku memilih ayam goreng berwarna
coklat muda dengan bumbu khas Priangan, kesukaanku. Joko memilih bagian dada,
yang -ia tahu persis itu- juga kesukaanku.
“Sekarang sibuk apa, Ri?” kembali Joko bertanya. Dan
lagi-lagi aku tidak memiliki sebuah jawaban basa-basi untuk memenuhi pertanyaan
itu. Aku masih diam. Diam tanpa benak apapun. Tanpa tendensi apapun. Aku hanya
tidak tahu harus berkata apa. Menjawab apa. Kehidupan begitu mudah berubah.
Orang yang dulu miskin kini bisa kaya raya seperti Joko. Dan orang yang dulu
kaya raya, bisa bangkrut seperti yang dialami keluargaku. Orang yang dulunya
jongos sekarang bisa menjadi bos. Begitupun sebaliknya, dulu aku bos, sekarang
malah mengemis pekerjaan pada orang yang dulu menjadi pembantu rumah tangga di
keluargaku.
“Nambah, Ri!”
Joko tidak berubah. Masih ramah, bersahabat. Ia sama
sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya anak kacung, dan aku anak bos. Kami
yang bersahabat sejak kecil tidak mengenal status sosial seperti itu. Kami
bersahabat layaknya dua anak laki-laki berteman dan bersahabat. Tidak ada anak
kacung. Tidak ada anak bos. Tapi sikap Joko yang selalu melayaniku itu lebih
karena ia memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Aku yakin Joko tidak pernah
menempatkan dirinya sebagai orang kelas bawah yang harus selalu hormat dan manut pada mereka yang kaya, terlebih
yang mempekerjakan mereka dan mengayomi hidupnya.
“Dulu, sejak Bapak dan Ibu berhenti kerja di rumah Pak
Pram, di rumahmu, kehidupan kami sangat.. jauh dari sejahtera. Masih lebih
bagus tinggal di rumah kecil di belakang gudang rumahmu, Ri. Kami sempat hidup
terlunta-lunta, bahkan beberapa bulan kami masuk panti karena kena razia
gepeng.” Meskipun aku jelas menunggu momen saat Joko mau bercerita tanpa pernah
kuminta, tapi hati ini mendadak berontak. Kupingku sama sekali tidak ingin
mendengar. Kesedihan perlahan merambat menuju jantungku, setelah menelusuri
paru-paru dan membuatnya sesak. Mengalahkan rasa bangga yang sejak tadi
menyelimuti diri ini. Tapi takjub yang terbentuk justru semakin tebal.
“Tapi, kamu bisa lihat sekarang. Ah.. nanti saja aku
cerita, kalau kamu sudah mau makan, hehe. Itu pun kalau kamu mau dengar
ceritaku, dan kamu juga mau bercerita tentang kehidupanmu yang tiba-tiba lenyap
ditelan bumi.” Joko menusukkan garfunya ke dalam mangkuk salad yang beberapa
saat lalu diantarkan perempuan muda bercelemek putih tadi. Mengunyah buah-buahan
segar itu perlahan, tetapi matanya tetap
mengarah padaku. Seolah menunggu jawaban, atau kesanggupanku memenuhi
permintaannya: makan, mendengarkan success
story-nya, dan bercerita mengenai hidupku sejak kami tidak pernah bertemu
lagi itu.
Alih-alih mulai makan, aku malah melemparkan pandanganku
pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding abu-abu itu. Aku kenal betul
gambar itu. Dulu aku dan Joko pernah berfoto di sekitar tempat pembuangan
akhir. Saat itu aku mendapat tugas dari guru bahasaku untuk membuat sebuah
tulisan tentang kehidupan anak-anak di Bantar Gebang. Joko yang mengusulkannya
padaku untuk terjun langsung ke TPA. Meskipun aku sangat jijik, tapi Joko
mendesak, dan akhirnya aku pergi juga ke sana. Melalui sebuah kamera analog aku
menyuruh seorang pemulung memoto kami dengan background bukit sampah menjulang. Itu foto terakhir sebelum aku
dan Joko berpisah. Rupanya Joko masih menyimpan foto itu dan bahkan
membuatkannya sebuah lukisan besar yang ditempel di dinding rumahnya. Rumah
megahnya.
“Kamu masih ingat?” keheningan di kepalaku pecah
mendengar tanya Joko.
“Tentu saja,” akhirnya keluar juga suara dari mulutku.
Joko tiba-tiba terkekeh. “Kirain kamu jadi gagu, Ri.”
Celetuknya asal.
Begitulah Joko. Ia tidak pernah membuat batas apakah ia pantas
bicara seperti itu padaku atau tidak. Bapakku pasti akan marah besar jika
melihat atau mendengar Joko berbuat kurang sopan padaku. Ia kan anak pembantu,
sangat tidak sopan mengajak anak majikan becanda, begitu kata Bapak. Apalagi
bernada meledek, yang padahal aku tahu pasti itu bukan sebuah ledekan,
melainkan lelucon belaka. Aku tahu, Bapak punya pendapat lain tentang kehidupan
orang-orang yang kurang beruntung yang karenanya mereka bersedia menjadi
pembantu atau bahkan merendahkan diri di hadapan orang berduit. Apalagi banyak
yang karena desakan ekonomi, mereka melakukan tindakan pencurian dan perampokan
seperti yang pernah Bapak alami.
Suatu waktu mobil yang membawa Bapak menuju kantornya di
bilangan Semanggi dihadang beberapa motor. Penumpang motor itu lalu memaksa
sopir kami membuka jendela, dan meskipun ia sudah menurutinya tetap saja bogem
mentah mendarat di pipi Pak Karim, bapak Joko. Bapakku juga ditarik paksa
keluar dari mobil. Jam tangan Bapak dipreteli. Tas kerja Bapak dirampas. Di
dalam tas itu terdapat uang puluhan juta yang baru Bapak tarik dari bank. Entah
dari mana perampok itu tahu kalau tas itu berisi uang banyak. Uang itu sedianya
akan dijadikan sebagai uang muka pembebasan tanah di daerah pinggiran Jakarta
yang akan Bapak jadikan sebuah supermarket besar. Bapak memiliki banyak bisnis
di bidang retail. Supermarket, restauran, club malam, juga taman rekreasi di
luar kota. Semua Bapak kelola dengan usaha keras lebih dari sepuluh tahun
lamanya.
Beberapa minggu kemudian Bapak melihat orang-orang yang merampok Bapak tempo
hari sedang bermain kartu di sebuah kios rokok pinggir jalan. Bapak pun melaporkannya pada polisi. Akhirnya mereka
masuk bui. Bapak masih menyimpan dendam pada mereka yang telah merenggut jerih
payah Bapak. Merenggut waktu dan mencuri keringat kerja kerasnya. Kejadian ini membuat persepsi Bapak terhadap
kemiskinan semakin negatif. Menurut Bapak, kemiskinan itu tercipta bukan karena
sebuah kondisi ekonomi secara makro. Faktor internal individu seperti motivasi
dan keinginan untuk maju merupakan modal yang telah disepelekan oleh
orang-orang yang kemudian jatuh miskin. Miskin itu bukan nasib, tetapi lebih
merupakan sebuah pilihan. Mereka tidak mau bekerja keras, dan karenanya mereka
miskin. Mereka telah memilih kemiskinan itu.
Gap yang
tercipta antara si kaya dan si miskin, menurut Bapak tetap harus dipelihara.
Orang miskin tetap harus sopan kepada orang yang secara materi lebih daripada
mereka, supaya mereka tahu kalau hidup ini punya harga. Bahwa mereka harus
membayar pilihan hidup mereka itu dengan cara-cara yang diterapkan oleh orang
kaya, adalah wajar. Bapak tidak akan dengan mudah memberi uang sebelum
seseorang bekerja padanya terlebih dahulu. Karenanya kerapkali Bapak dicap
sebagai orang kaya yang pelit. Ungenerous.
Aku sebenarnya tidak terlalu sependapat dengan Bapak.
Bagiku, sebagai manusia derajat hidup kita sama di mata Tuhan. Kaya ataupun
miskin hanyalah bentuk kasih sayang Tuhan yang harus disyukuri. Dengan melimpah
harta Tuhan berharap manusia bisa berbagi kepada sesama. Dan dengan kondisi
yang serba kekurangan Tuhan memberi pahala melalui kesabaran dan ketabahan
hatinya. Miskin bukan berarti tidak bisa berbuat baik. Banyak hal yang bisa
dilakukan orang miskin untuk menimba pahala Tuhan. Orang miskin pun masih bisa
berbagi dengan caranya sendiri, asalkan ikhlas dan hanya mengharap ridlo-Nya.
Tuhan hanya akan mengajak orang baik saja ke surganya yang indah. Dan menendang
mereka yang tidak sayang pada Tuhan dan menyia-nyiakan karunianya ke neraka
yang membara.
Aku takut Bapak mendapat murka-Nya. Kesombongan Bapak
melebihi apapun. Ia tidak mau bergaul dengan sembarang orang, terutama dari
kalangan bawah. Aku tahu, kekayaan yang Bapak dapatkan bukanlah dengan cara
mudah. Perlu belasan mungkun puluhan tahun untuk bisa menjadi seperti ini. Tapi
hati kecilku juga berontak saat Bapak memperlakukan Pak Karim, Joko dan ibunya
dengan seenaknya. Mereka sudah mengabdikan diri lebih dari dua puluh tahun
lamanya, bahkan sebelum Bapak menikah dengan Ibu, Pak Karim sudah menjadi supir
Kakek. Pak Karim mendapat jodohnya setelah nenekku mempertemukannya dengan
pembantu rumah tangga salah seorang kerabatnya. Pernikahan Pak Karim hanya
selisih beberapa minggu sebelum pernikahan Bapak dan Ibu. Lalu Nenek meminta Pak Karim dan istrinya mengurus
keluarga kecil Bapak dan pindah dari rumah Nenek di utara ke bagian selatan
Jakarta.
Bersama Ibu, Bapak merintis banyak usaha. Selain
melanjutkan beberapa bisnis yang sebelumnya digeluti Kakek, Bapak juga membuka
usaha baru. Ilmu yang ia dapat dari hasil sekolah di luar negeri ia terapkan di
Indonesia. Dan Bapak menjadi orang yang berhasil hanya dalam kurun waktu
beberapa tahun saja. Tetapi tabiat Bapak, seperti yang pernah aku dengar dari
Kakek, memang sudah begitu sejak kecil. Terbiasa hidup enak, membuatnya tidak
bisa berempati terhadap kerasnya kehidupan orang lain yang kurang beruntung. Ia
kerapkali berbuat kasar pada para pembantu rumah tangganya. Tak terkecuali pada Pak Karim dan Joko.
“Kita ke balkon, Ri. Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan
padamu.”
Aku mengikuti langkah Joko menuju sebuah balkon. Aku jadi
ingat bagaimana kami menghabiskan waktu sepulang sekolah di atas balkon.
Bermain layangan, mengerjakan PR, bahkan tidur siang di bawah terik matahari di
sebuah rumah kardus yang kami buat sendiri.
“Lihat, pemandangannya bagus kan?”
Aku melepas retina mataku jauh ke depan sana. Sejauh mata
ini memandang pohon teh terhampar seperti permadani hijau yang lembut. Hawa
sejuk membelai mukaku yang tirus termakan kesedihan. Aku menghirup udara
kebebasan di sini. Begitu damai.
“Aku tahu apa yang sudah menimpa keluargamu. Aku turut
prihatin dan berduka cita. Pak Pram sebenarnya orang baik. Tapi kenapa hidupnya
bisa berakhir seperti itu,” desah Joko. Aku melihat kilat kesungguhan di
matanya. Kesedihan yang menggenang, dan rasa kehilangan yang sama seperti yang
aku rasakan.
Kematian Bapak, pengusaha kaya yang mendadak bangkrut
setelah terkena krisis moneter tahun 1998 lalu, ditambah kecurangan yang
dilakukan beberapa koleganya, banyak diliput media. Bapak meninggal akibat
stress berat. Bunuh diri menjadi pilihan terakhirnya. Hutang-hutang yang
menggunung selama ia menjalankan bisnisnya menjadi satu-satunya warisan yang
Ibu dan aku dapatkan.
“Cukup, Joko. Itu semua masa lalu. Bapak sudah membayar
keangkuhannya dengan caranya sendiri. “
“Joko memeluk pundakku dengan tangan kirinya. Mencoba
mengembalikan keteguhan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Aku yakin
Joko mengetahui lebih banyak hal dari yang bisa aku duga tentang kehidupan kami
setelah ia dan Bapaknya terpaksa diberhentikan bekerja.
Joko lahir pada tahun yang sama dengan kelahiranku.
Bahkan kami lahir dalam minggu yang sama, selang beberapa hari saja. Joko lahir
hari Senin, dan aku hari Kamis. Joko lahir oleh bidan di sebuah klinik bersalin
dengan biaya ditanggung oleh Nenek, sedangkan aku lahir di sebuah rumah sakit
ternama. Kami tumbuh dalam satu atap dan tempat bermain yang sama. Bedanya
hanya di tempat makan dan tempat tidur saja. Tapi masa kecil kami lewati
bersama karena selain mengasuh Joko, Bu Karim
juga mengasuhku. Ibu terlalu sibuk mengurus bisnis Bapak di tempat lain.
Karena tumbuh bersama, aku merasa bahwa Joko adalah
satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Saat aku marah Joko tahu dia harus
berbuat apa. Saat aku sedih Joko selalu menunjukkan perannya sebagai seorang
sahabat. Meskipun kadang Joko –mungkin untuk menuruti perintah orangtuanya-
agak sungkan padaku, bahkan tampak seperti melakukan pelayanan akan apapun
kebutuhanku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai sahabat dan bukan anak
pembantu seperti yang Bapak minta. Bahkan sampai kami sama-sama masuk sekolah
dasar persahabatan itu masih berlanjut. Hingga akhirnya perpisahan itu terjadi.
Aku tidak tahu kemana perginya Joko setelah itu. Bapak tidak pernah memberitahuku
bahkan ia melarangku berhubungan lagi dengan anak pembantunya itu. Entahlah apa
alasannya.
Dan hidupku benar-benar hancur setelah Bapak bunuh diri
akibat beban pikiran yang menderanya bertubi-tubi. Krisis moneter yang melanda
negeri ini sejak beberapa tahun sebelum itu telah membuatnya benar-benar goyah.
Aku dan Ibu kemudian menjadi korban karena semua harta peninggalan Bapak yang
sudah tinggal sedikit itu disita oleh petugas bank dan beberapa investor. Tak
tahan selalu disalahkah oleh Nenek dan Kakek sebagai penyebab kematian Bapak,
Ibu dan aku pergi menjauh. Aku terpaksa pindah sekolah dari sebuah SMU favorit
ke sekolah biasa yang biayanya terjangkau. Bahkan di tahun kedua Ibu menyerah.
Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus berjuang. Mentalku sudah jatuh sejak
lama. Bahkan mental itu rasanya tak pernah ada karena Bapak tidak pernah menularkan mental
wirausaha dan kerja kerasnya padaku. Yang diberikannya adalah segala kemudahan,
seolah itu akan kekal adanya. Jadilah aku penambah beban pemerintah dengan
status baru : pengangguran. Kalaupun mendapatkan pekerjaan paling banter aku
jadi kenek bus atau tukang parkir. Aku bekerja serabutan. Apapun demi memenuhi
kebutuhan perutku dan Ibu. Tanpa bekal ijazah SMU -apalagi perguruan tinggi-,
aku terlunta-lunta di tanah kelahiranku sendiri. Tidak ada yang bisa membantu.
Semua orang sepertinya menganggap layak bagi kami untuk merasakan penderitaan
ini.
Berbeda denganku, Joko malah memiliki semangat baru sejak
keluar dari kehidupan kami. Meskipun ia bersekolah di sekolah biasa, tetapi
kecerdasannya mengantarkan ia ke sekolah lanjutan dengan beasiswa. Bahkan
selepas SMU ia masih bisa kuliah sambil bekerja. Setelah lulus ia mengelola
bisnis sampah dan barang bekas, mendaur ulangnya menjadi barang baru yang lebih
berguna. Bahkan beberapa hasil produksinya sudah diekspor ke manca negara. Aku
membaca keberhasilan Joko ini di sebuah majalah bisnis yang aku temukan di
tempat sampah saat aku memungut dus-dus bekas untuk dijual. Di usianya yang
masih muda Joko Purwono menjadi salah seorang pengusaha sukses di Indonesia.
Aku tersenyum saat melihat foto Joko dan judul besar tentang kesuksesannya
terpampang di majalah edisi beberapa tahun silam itu. Joko sahabat karibku,
kalau Tuhan mengizinkan pasti kita akan dipertemukan kembali. Dan rupanya Tuhan
masih sayang padaku. Hari ini kami bertemu dan aku seperti mendapatkan energi
baru untuk menghadapi hari esok. Energi dari seorang kawan setiaku. Karib
sejatiku.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar