Jumat, 30 November 2012

KARIB



K A R I B

Aku urung melangkah. Kakiku mendadak berat saat berdiri di depan pagar besi yang menjulang. Rumah itu terlalu besar, jauh dari bayanganku sebelumnya. Bentuk bangunan semi kuno dipadu desain modern membuat rumah itu tampak anggun dan megah. Kalau aku diizinkan masuk melalui pagar kokoh ini, aku masih harus berjalan beberapa ratus meter lagi untuk sampai ke halaman utama rumah itu. Tapi -sekali lagi- aku ragu.  Apakah alamat rumah ini benar seperti yang tertulis dalam kertas kecil yang sedari tadi kupegang. Satu-satunya harapanku tertulis dalam secarik kecil yang sejak beberapa minggu terakhir kusimpan dengan baik.
            Seorang lelaki berkumis dan berseragam keamanan putih beremblem aneka instansi menatapku sambil menyentuh ujung topinya. Seolah ia sedang memberi hormat pada atasannya. Sikap aneh untuk ukuran satpam penjaga rumah mewah. Seharusnya ia waspada dan curiga dengan kehadiranku. Laki-laki dengan kemeja kusut, celana model sepuluh tahun lalu dan topi belel, celingak-celinguk seperti maling sedang mencari celah aman untuk masuk ke rumah yang ia jaga. Tapi ia malah memberiku bonus senyum.
            “Selamat pagi, Pak. Silakan masuk,” sapanya  ramah sambil membuka pintu pagar melalui sebuah alat yang ia pencet dari meja pos kerjanya. “Bapak sudah ditunggu.”
            Aku pun melangkahkan kaki dengan ragu. Sudah ditunggu? Apa benar begitu? Seperti orang penting saja aku ini. Hatiku mendadak ciut membayangkan siapa pemilik rumah sangat besar nan megah ini. Sepanjang jalan kecil menuju pintu rumah megah itu, tak henti aku berdecak kagum. Keindahan arsitektur, perpaduan antara gaya eropa dan timur tengah, dikelilingi hutan kecil dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh melebihi tinggi rumah bertingkat tiga yang anggun itu.  Rumah unik di sebuah bukit di daerah Cisarua Bogor.
            “Ari Sanjaya…” pekik seorang lelaki yang menghambur keluar dari dalam rumah, membuyarkan kemelut di kepalaku. Kini ia berdiri di puncak anak tangga, persis di depan salah satu tiang penyangga rumahnya. Senyum dari raut yang sulit dilupakan itu mengembang menyambut kehadiranku. Seperti menyambut calon besan saat upacara lamaran. Begitu sumringah dan bahagia.
            Mataku seketika membelalak. Benar ternyata, aku tidak salah alamat. Dan lagi-lagi benar, aku nyaris linglung saking tidak percaya saat mengetahui dengan pasti siapa pemilik rumah gedong dengan taman luas yang sangat indah ini. “Joko?” mulutku menganga, menampakkan kedunguan yang sudah sangat dikenal Joko sejak belasan tahun silam.
            Tawa kami berderai. Kami berpelukan sambil meloncat-loncat seperti anak kecil yang berhasil memenangkan permainan galah. Permainan masa kecil kami yang tidak pernah kami lewatkan setiap sore menjelang maghrib tiba. Joko menepuk-nepuk punggungku penuh semangat. Aku nyaris batuk dibuatnya. Tapi aku bahagia bisa bertemu Joko lagi setelah lebih dari enam belas tahun  tahun lamanya lost contact.
            “Kamu kok jadi kurus, Ri?” Joko menilik-nilik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Ya ampun, kamu diet atau kehabisan bahan makanan sih?” candanya membuat dadaku tiba-tiba sesak. Hatiku perih mendengar candaan lama yang selalu aku lontarkan pada Joko ketika masih kurus dan miskin. Joko menarik pundakku dan membawaku ke sebuah ruangan bernuansa abu-abu dengan dinding penuh mozaik berwarna warni yang setiap beberapa menit sekali tampak memancarkan cahaya.
            “Kita makan dulu,” Joko menarik kursi dan mempersilakan aku duduk. Dua orang pelayan dengan pakaian khusus koki bercelemek menyuguhkan berbagai makanan. Mereka bolak-balik membawa jenis masakan berbeda dan menatanya di atas meja makan yang besar. Mereka juga menyajikan minuman dingin di gelas Kristal yang ada di depanku. Tersenyum ramah lalu kembali menghilang. Aku berasa dilayani di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta.
            “Ayo dimakan, Ri, jangan sungkan,” ucap Joko ketika dilihatnya aku belum juga menggerakkan tanganku untuk meraih makanan-makanan lezat yang tersaji di atas meja. Karena aku masih diam, Joko lalu berdiri dan mengisi piringku dengan sesendok nasi dan menunjuk-nunjuk lauk pauk supaya aku memutuskan lauk mana yang harus ia ambil. Aku memilih ayam goreng berwarna coklat muda dengan bumbu khas Priangan, kesukaanku. Joko memilih bagian dada, yang -ia tahu persis itu- juga kesukaanku.
            “Sekarang sibuk apa, Ri?” kembali Joko bertanya. Dan lagi-lagi aku tidak memiliki sebuah jawaban basa-basi untuk memenuhi pertanyaan itu. Aku masih diam. Diam tanpa benak apapun. Tanpa tendensi apapun. Aku hanya tidak tahu harus berkata apa. Menjawab apa. Kehidupan begitu mudah berubah. Orang yang dulu miskin kini bisa kaya raya seperti Joko. Dan orang yang dulu kaya raya, bisa bangkrut seperti yang dialami keluargaku. Orang yang dulunya jongos sekarang bisa menjadi bos. Begitupun sebaliknya, dulu aku bos, sekarang malah mengemis pekerjaan pada orang yang dulu menjadi pembantu rumah tangga di keluargaku.
            “Nambah, Ri!”
            Joko tidak berubah. Masih ramah, bersahabat. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya anak kacung, dan aku anak bos. Kami yang bersahabat sejak kecil tidak mengenal status sosial seperti itu. Kami bersahabat layaknya dua anak laki-laki berteman dan bersahabat. Tidak ada anak kacung. Tidak ada anak bos. Tapi sikap Joko yang selalu melayaniku itu lebih karena ia memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Aku yakin Joko tidak pernah menempatkan dirinya sebagai orang kelas bawah yang harus selalu hormat dan manut pada mereka yang kaya, terlebih yang mempekerjakan mereka dan mengayomi hidupnya.
            “Dulu, sejak Bapak dan Ibu berhenti kerja di rumah Pak Pram, di rumahmu, kehidupan kami sangat.. jauh dari sejahtera. Masih lebih bagus tinggal di rumah kecil di belakang gudang rumahmu, Ri. Kami sempat hidup terlunta-lunta, bahkan beberapa bulan kami masuk panti karena kena razia gepeng.” Meskipun aku jelas menunggu momen saat Joko mau bercerita tanpa pernah kuminta, tapi hati ini mendadak berontak. Kupingku sama sekali tidak ingin mendengar. Kesedihan perlahan merambat menuju jantungku, setelah menelusuri paru-paru dan membuatnya sesak. Mengalahkan rasa bangga yang sejak tadi menyelimuti diri ini. Tapi takjub yang terbentuk justru semakin tebal.
            “Tapi, kamu bisa lihat sekarang. Ah.. nanti saja aku cerita, kalau kamu sudah mau makan, hehe. Itu pun kalau kamu mau dengar ceritaku, dan kamu juga mau bercerita tentang kehidupanmu yang tiba-tiba lenyap ditelan bumi.” Joko menusukkan garfunya ke dalam mangkuk salad yang beberapa saat lalu diantarkan perempuan muda bercelemek putih tadi. Mengunyah buah-buahan segar itu perlahan, tetapi  matanya tetap mengarah padaku. Seolah menunggu jawaban, atau kesanggupanku memenuhi permintaannya: makan, mendengarkan success story-nya, dan bercerita mengenai hidupku sejak kami tidak pernah bertemu lagi itu.
            Alih-alih mulai makan, aku malah melemparkan pandanganku pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding abu-abu itu. Aku kenal betul gambar itu. Dulu aku dan Joko pernah berfoto di sekitar tempat pembuangan akhir. Saat itu aku mendapat tugas dari guru bahasaku untuk membuat sebuah tulisan tentang kehidupan anak-anak di Bantar Gebang. Joko yang mengusulkannya padaku untuk terjun langsung ke TPA. Meskipun aku sangat jijik, tapi Joko mendesak, dan akhirnya aku pergi juga ke sana. Melalui sebuah kamera analog aku menyuruh seorang pemulung memoto kami dengan background bukit sampah menjulang. Itu foto terakhir sebelum aku dan Joko berpisah. Rupanya Joko masih menyimpan foto itu dan bahkan membuatkannya sebuah lukisan besar yang ditempel di dinding rumahnya. Rumah megahnya.
            “Kamu masih ingat?” keheningan di kepalaku pecah mendengar tanya Joko.
            “Tentu saja,” akhirnya keluar juga suara dari mulutku.
            Joko tiba-tiba terkekeh. “Kirain kamu jadi gagu, Ri.” Celetuknya asal.
            Begitulah Joko. Ia tidak pernah membuat batas apakah ia pantas bicara seperti itu padaku atau tidak. Bapakku pasti akan marah besar jika melihat atau mendengar Joko berbuat kurang sopan padaku. Ia kan anak pembantu, sangat tidak sopan mengajak anak majikan becanda, begitu kata Bapak. Apalagi bernada meledek, yang padahal aku tahu pasti itu bukan sebuah ledekan, melainkan lelucon belaka. Aku tahu, Bapak punya pendapat lain tentang kehidupan orang-orang yang kurang beruntung yang karenanya mereka bersedia menjadi pembantu atau bahkan merendahkan diri di hadapan orang berduit. Apalagi banyak yang karena desakan ekonomi, mereka melakukan tindakan pencurian dan perampokan seperti yang pernah Bapak alami.
            Suatu waktu mobil yang membawa Bapak menuju kantornya di bilangan Semanggi dihadang beberapa motor. Penumpang motor itu lalu memaksa sopir kami membuka jendela, dan meskipun ia sudah menurutinya tetap saja bogem mentah mendarat di pipi Pak Karim, bapak Joko. Bapakku juga ditarik paksa keluar dari mobil. Jam tangan Bapak dipreteli. Tas kerja Bapak dirampas. Di dalam tas itu terdapat uang puluhan juta yang baru Bapak tarik dari bank. Entah dari mana perampok itu tahu kalau tas itu berisi uang banyak. Uang itu sedianya akan dijadikan sebagai uang muka pembebasan tanah di daerah pinggiran Jakarta yang akan Bapak jadikan sebuah supermarket besar. Bapak memiliki banyak bisnis di bidang retail. Supermarket, restauran, club malam, juga taman rekreasi di luar kota. Semua Bapak kelola dengan usaha keras lebih dari sepuluh tahun lamanya.           
            Beberapa minggu kemudian Bapak  melihat orang-orang yang merampok Bapak tempo hari sedang bermain kartu di sebuah kios rokok pinggir jalan. Bapak pun  melaporkannya pada polisi. Akhirnya mereka masuk bui. Bapak masih menyimpan dendam pada mereka yang telah merenggut jerih payah Bapak. Merenggut waktu dan mencuri keringat kerja kerasnya.  Kejadian ini membuat persepsi Bapak terhadap kemiskinan semakin negatif. Menurut Bapak, kemiskinan itu tercipta bukan karena sebuah kondisi ekonomi secara makro. Faktor internal individu seperti motivasi dan keinginan untuk maju merupakan modal yang telah disepelekan oleh orang-orang yang kemudian jatuh miskin. Miskin itu bukan nasib, tetapi lebih merupakan sebuah pilihan. Mereka tidak mau bekerja keras, dan karenanya mereka miskin. Mereka telah memilih kemiskinan itu.
            Gap yang tercipta antara si kaya dan si miskin, menurut Bapak tetap harus dipelihara. Orang miskin tetap harus sopan kepada orang yang secara materi lebih daripada mereka, supaya mereka tahu kalau hidup ini punya harga. Bahwa mereka harus membayar pilihan hidup mereka itu dengan cara-cara yang diterapkan oleh orang kaya, adalah wajar. Bapak tidak akan dengan mudah memberi uang sebelum seseorang bekerja padanya terlebih dahulu. Karenanya kerapkali Bapak dicap sebagai orang kaya yang pelit. Ungenerous.
            Aku sebenarnya tidak terlalu sependapat dengan Bapak. Bagiku, sebagai manusia derajat hidup kita sama di mata Tuhan. Kaya ataupun miskin hanyalah bentuk kasih sayang Tuhan yang harus disyukuri. Dengan melimpah harta Tuhan berharap manusia bisa berbagi kepada sesama. Dan dengan kondisi yang serba kekurangan Tuhan memberi pahala melalui kesabaran dan ketabahan hatinya. Miskin bukan berarti tidak bisa berbuat baik. Banyak hal yang bisa dilakukan orang miskin untuk menimba pahala Tuhan. Orang miskin pun masih bisa berbagi dengan caranya sendiri, asalkan ikhlas dan hanya mengharap ridlo-Nya. Tuhan hanya akan mengajak orang baik saja ke surganya yang indah. Dan menendang mereka yang tidak sayang pada Tuhan dan menyia-nyiakan karunianya ke neraka yang membara.
            Aku takut Bapak mendapat murka-Nya. Kesombongan Bapak melebihi apapun. Ia tidak mau bergaul dengan sembarang orang, terutama dari kalangan bawah. Aku tahu, kekayaan yang Bapak dapatkan bukanlah dengan cara mudah. Perlu belasan mungkun puluhan tahun untuk bisa menjadi seperti ini. Tapi hati kecilku juga berontak saat Bapak memperlakukan Pak Karim, Joko dan ibunya dengan seenaknya. Mereka sudah mengabdikan diri lebih dari dua puluh tahun lamanya, bahkan sebelum Bapak menikah dengan Ibu, Pak Karim sudah menjadi supir Kakek. Pak Karim mendapat jodohnya setelah nenekku mempertemukannya dengan pembantu rumah tangga salah seorang kerabatnya. Pernikahan Pak Karim hanya selisih beberapa minggu sebelum pernikahan Bapak dan Ibu. Lalu Nenek  meminta Pak Karim dan istrinya mengurus keluarga kecil Bapak dan pindah dari rumah Nenek di utara ke bagian selatan Jakarta.
            Bersama Ibu, Bapak merintis banyak usaha. Selain melanjutkan beberapa bisnis yang sebelumnya digeluti Kakek, Bapak juga membuka usaha baru. Ilmu yang ia dapat dari hasil sekolah di luar negeri ia terapkan di Indonesia. Dan Bapak menjadi orang yang berhasil hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja. Tetapi tabiat Bapak, seperti yang pernah aku dengar dari Kakek, memang sudah begitu sejak kecil. Terbiasa hidup enak, membuatnya tidak bisa berempati terhadap kerasnya kehidupan orang lain yang kurang beruntung. Ia kerapkali berbuat kasar pada para pembantu rumah tangganya.   Tak terkecuali pada Pak Karim dan Joko.
            “Kita ke balkon, Ri. Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan padamu.”
            Aku mengikuti langkah Joko menuju sebuah balkon. Aku jadi ingat bagaimana kami menghabiskan waktu sepulang sekolah di atas balkon. Bermain layangan, mengerjakan PR, bahkan tidur siang di bawah terik matahari di sebuah rumah kardus yang kami buat sendiri.
            “Lihat, pemandangannya bagus kan?”
            Aku melepas retina mataku jauh ke depan sana. Sejauh mata ini memandang pohon teh terhampar seperti permadani hijau yang lembut. Hawa sejuk membelai mukaku yang tirus termakan kesedihan. Aku menghirup udara kebebasan di sini. Begitu damai.
            “Aku tahu apa yang sudah menimpa keluargamu. Aku turut prihatin dan berduka cita. Pak Pram sebenarnya orang baik. Tapi kenapa hidupnya bisa berakhir seperti itu,” desah Joko. Aku melihat kilat kesungguhan di matanya. Kesedihan yang menggenang, dan rasa kehilangan yang sama seperti yang aku rasakan.
            Kematian Bapak, pengusaha kaya yang mendadak bangkrut setelah terkena krisis moneter tahun 1998 lalu, ditambah kecurangan yang dilakukan beberapa koleganya, banyak diliput media. Bapak meninggal akibat stress berat. Bunuh diri menjadi pilihan terakhirnya. Hutang-hutang yang menggunung selama ia menjalankan bisnisnya menjadi satu-satunya warisan yang Ibu dan aku dapatkan.
            “Cukup, Joko. Itu semua masa lalu. Bapak sudah membayar keangkuhannya dengan caranya sendiri. “
            “Joko memeluk pundakku dengan tangan kirinya. Mencoba mengembalikan keteguhan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Aku yakin Joko mengetahui lebih banyak hal dari yang bisa aku duga tentang kehidupan kami setelah ia dan Bapaknya terpaksa diberhentikan bekerja.
            Joko lahir pada tahun yang sama dengan kelahiranku. Bahkan kami lahir dalam minggu yang sama, selang beberapa hari saja. Joko lahir hari Senin, dan aku hari Kamis. Joko lahir oleh bidan di sebuah klinik bersalin dengan biaya ditanggung oleh Nenek, sedangkan aku lahir di sebuah rumah sakit ternama. Kami tumbuh dalam satu atap dan tempat bermain yang sama. Bedanya hanya di tempat makan dan tempat tidur saja. Tapi masa kecil kami lewati bersama karena selain mengasuh Joko, Bu Karim  juga mengasuhku. Ibu terlalu sibuk mengurus bisnis Bapak di tempat lain.
            Karena tumbuh bersama, aku merasa bahwa Joko adalah satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Saat aku marah Joko tahu dia harus berbuat apa. Saat aku sedih Joko selalu menunjukkan perannya sebagai seorang sahabat. Meskipun kadang Joko –mungkin untuk menuruti perintah orangtuanya- agak sungkan padaku, bahkan tampak seperti melakukan pelayanan akan apapun kebutuhanku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai sahabat dan bukan anak pembantu seperti yang Bapak minta. Bahkan sampai kami sama-sama masuk sekolah dasar persahabatan itu masih berlanjut. Hingga akhirnya perpisahan itu terjadi. Aku tidak tahu kemana perginya Joko setelah itu. Bapak tidak pernah memberitahuku bahkan ia melarangku berhubungan lagi dengan anak pembantunya itu. Entahlah apa alasannya.
            Dan hidupku benar-benar hancur setelah Bapak bunuh diri akibat beban pikiran yang menderanya bertubi-tubi. Krisis moneter yang melanda negeri ini sejak beberapa tahun sebelum itu telah membuatnya benar-benar goyah. Aku dan Ibu kemudian menjadi korban karena semua harta peninggalan Bapak yang sudah tinggal sedikit itu disita oleh petugas bank dan beberapa investor. Tak tahan selalu disalahkah oleh Nenek dan Kakek sebagai penyebab kematian Bapak, Ibu dan aku pergi menjauh. Aku terpaksa pindah sekolah dari sebuah SMU favorit ke sekolah biasa yang biayanya terjangkau. Bahkan di tahun kedua Ibu menyerah. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus berjuang. Mentalku sudah jatuh sejak lama. Bahkan mental itu rasanya tak pernah ada karena  Bapak tidak pernah menularkan mental wirausaha dan kerja kerasnya padaku. Yang diberikannya adalah segala kemudahan, seolah itu akan kekal adanya. Jadilah aku penambah beban pemerintah dengan status baru : pengangguran. Kalaupun mendapatkan pekerjaan paling banter aku jadi kenek bus atau tukang parkir. Aku bekerja serabutan. Apapun demi memenuhi kebutuhan perutku dan Ibu. Tanpa bekal ijazah SMU -apalagi perguruan tinggi-, aku terlunta-lunta di tanah kelahiranku sendiri. Tidak ada yang bisa membantu. Semua orang sepertinya menganggap layak bagi kami untuk merasakan penderitaan ini.
            Berbeda denganku, Joko malah memiliki semangat baru sejak keluar dari kehidupan kami. Meskipun ia bersekolah di sekolah biasa, tetapi kecerdasannya mengantarkan ia ke sekolah lanjutan dengan beasiswa. Bahkan selepas SMU ia masih bisa kuliah sambil bekerja. Setelah lulus ia mengelola bisnis sampah dan barang bekas, mendaur ulangnya menjadi barang baru yang lebih berguna. Bahkan beberapa hasil produksinya sudah diekspor ke manca negara. Aku membaca keberhasilan Joko ini di sebuah majalah bisnis yang aku temukan di tempat sampah saat aku memungut dus-dus bekas untuk dijual. Di usianya yang masih muda Joko Purwono menjadi salah seorang pengusaha sukses di Indonesia. Aku tersenyum saat melihat foto Joko dan judul besar tentang kesuksesannya terpampang di majalah edisi beberapa tahun silam itu. Joko sahabat karibku, kalau Tuhan mengizinkan pasti kita akan dipertemukan kembali. Dan rupanya Tuhan masih sayang padaku. Hari ini kami bertemu dan aku seperti mendapatkan energi baru untuk menghadapi hari esok. Energi dari seorang kawan setiaku. Karib sejatiku.
-o0o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar