Selasa, 13 November 2012

AJARKAN AKU MENIKMATI CINTAMU



AJARKAN AKU MENIKMATI CINTAMU


Ini adalah hari pernikahanku dengan Bayu. Hubungan kami sebenarnya masih bisa dibilang baru seumur jagung. Selama pacaran itu aku berusaha lebih mengenal Mas Bayu, sekarang aku memanggilnya begitu. Apa yang dia sukai dan apa yang tidak dia sukai seolah merupakan pedoman untuk aku mengabdikan diri jika nanti sudah membina bahtera rumah tangga dengannya.
            Keputusanku menerima Mas Bayu menjadi pacarku waktu itu memang agak tergesa-gesa. Mungkin karena aku sudah terlalu lama menjomblo. Umurku sudah mau seperempat abad. Walaupun masih banyak wanita seusiaku yang belum menikah karena lebih mementingkan karier atau mengejar hal-hal lain yang tidak bisa dinikmati kalau sudah menikah, orangtuaku memiliki persepsi lain tentang makna sebuah pernikahan.
            “Dulu Ibu juga menikah dengan bapakmu waktu umur Ibu baru mau dua puluh tahun. Ibu sudah merasa ketuaan karena teman-teman ibu semuanya sudah punya anak,” kata Ibu waktu menceritakan putusnya hubunganku dengan Darwin, teman sekantorku, cowok terakhir sebelum Mas Bayu. Ibu nampak kecewa.
            “Kamu masih mau menunggu sampai berapa tahun lagi, Sekar. Adikmu Lastri kelihatannya sudah mulai berpikir ke arah situ. Koq Kamu malah tenang-tenang saja,” sindir Ibu.
            Aku hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa. Baru putus, masa harus buru-buru cari cowok baru hanya karena Lastri adikku satu-satunya itu sudah kepikiran mau menikah. Itu pun baru dugaan Ibu, atau sekedar menakut-nakuti saja, supaya aku tidak dilangkah Lastri dan menjadi sial karenanya.
            Tapi kemudian aku malah jadi getol mencari pengganti Darwin. Bukan lantaran termakan bujuk rayu atau sindiran ibu, tapi entah kenapa aku jadi merasa sudah bosen hidup sendiri. Perasaan, semua keindahan masa remaja sudah aku nikmati. Nonton setiap malam minggu bareng teman atau pacar, jalan-jalan ke mall, makan di tempat nongkrongnya anak-anak gaul, baju-baju baru, tas, sepatu yang selalu branded. Apalagi? Alih-alih hidup senang, yang ada bisa-bisa aku terbawa arus pergaulan teman-teman, clubbing, drug, free sex.. Iihh amit-amit deh.
            Adalah Mas Bayu yang tiba-tiba hadir, atau lebih tepatnya dihadirkan Tuhan di tengah-tengah pencarian pasangan hidupku. Ia adalah Ketua sebuah organisasi sosial yang konsisten membantu  rakyat kecil, terutama yang tertimpa bencana. Pertemuanku dengan Mas Bayu terjadi secara tidak disengaja di sebuah seminar. Waktu itu aku iseng-iseng mengikuti seminar tentang bahaya Aids, pada perayaan Hari Aids sedunia. Undangannya pun aku dapatkan secara cuma-cuma dari seorang teman lama yang kebetulan menjadi panitia.
            Mas Bayu duduk di sebelahku. Ia tampil sederhana tapi kelihatan sangat tampan menurutku. Memang kebanyakan yang hadir adalah orang-orang dengan penampilan seperti layaknya executive. Mas Bayu tersenyum dan memperkenalkan dirinya dengan ramah. Aku langsung kepincut melihat lesung pipinya. Segaris tipis bulu rambut di atas bibirnya dan dagu licinnya yang baru dicukur menambah satu point macho buat Mas Bayu.
            Entah karena takdir atau aku yang sedang dikejar marriage dead line aku langsung merasa akrab dengan Mas Bayu. Bukannya kegatelan atau sok cari perhatian, aku bisa langsung tertawa mendengar beberapa joke ringan yang dilontarkan Mas Bayu. Dibalik penampilannya yang kelihatan serius, Mas Bayu tuh lucu juga orangnya. Ia memiliki selera humor yang bagus. Banyolannya orsinil dan nggak norak.
            “Saya sudah sering banget denger orang bicara di seminar seperti ini. Tapi yang satu ini yang paling bosenin,” katanya serius. Kelopak matanya menuntun saya melihat ke arah pembicara, seorang cowok dengan rambut gondrong diikat yang sedang menjelaskan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergiliran oleh para pemakai narkoba adalah salah satu penyebab tersebarnya visur HIV yang paling sering ditemui..
            “Kenapa emang, Bay?” tanyaku. Menurutku sih cara presentasi cowok itu masih lebih bagus dari aku.
            “Naskah itu sudah puluhan kali ia baca. Dan yang menyusun naskah itu adalah aku, jadi pantes dong kalo aku bosen,” nada bicaranya seperti tidak sedang menyombongkan diri. Kharisma itu yang menyihir aku untuk terus berbagi cerita dan pengalaman mengenai apa saja. Wawasannya luas. Orangnya enak banget diajak diskusi. Sempurna buat dijadikan teman konselling.
            Tapi aku tidak mau hanya menjadikannya sebagai teman ngobrol saja. Aku pun menangkap sinyal serupa dari Mas Bayu. Pertemanan kami menjadi lebih dekat. Kami lebih sering meluangkan waktu bersama, sampai akhirnya dua bulan berikutnya kami jadian. Siapa yang memulai, aku pun lupa. Yang jelas perasaan saling mencintai sudah terpancar dari bola mata kami masing-masing. Dan setiap genggaman tangan kami itu adalah ungkapan perasaan cinta yang menggelora..
            Aku pun memperkenalkan Mas Bayu kepada kedua orangtuaku. Mereka semua setuju. Mas Bayu rupanya sang negosiator yang hebat.
            Sejak pacaran dengan Mas Bayu, frekuensi aku jalan bareng sama teman-teman kantor pun berkurang. Jelas, waktuku hanya kufokuskan pada satu hal : Menikah. Dan itu sudah aku putuskan dengan Mas Bayu sejak pertama jadian. Aku berusaha lebih mengenal dan mengimbangi sifat dan karakter Mas Bayu. Aku bahkan seringkali terlibat dalam kegiatan sosial Mas Bayu.
            Motivasi kami untuk segera menikah adalah sama, yaitu karena sudah bosen melajang. Plus sudah saling cocok, tentunya. Tapi walaupun begitu,Mas Bayu kelihatannya tidak seantusias aku dalam menghadapi pernikahan ini. Ia terlihat lebih santai, bahkan cenderung cuek. Sikapnya menunjukkan seolah aku hanya sesuatu dan menikah adalah sebuah formalitas sosialnya.
            Akupun suatu waktu menanyakan hal itu pada Mas Bayu.
            “Mas koq kayaknya nggak serius sih sama aku?”
            “Nggak serius bagaimana?” Mas Bayu balik bertanya.
            “Kita kan akan segera menikah, tapi saya tidak melihat Mas sibuk mempersiapkan itu” jawabku.
            “Jadi maunya kamu bagaimana. Kamu kan tahu sendiri aku hanya bekerja di LSM. Penghasilanku berapa sih? Jadi apa yang bisa aku persiapkan. Kita ke KUA saja sudah cukup, nggak perlu pake resepsi segala, nanti keluarga Kamu malu undangan di pihakku hanya pencari dana semua,” Mas Bayu tiba-tiba ketus. Itu kali pertama aku melihat Mas Bayu tersinggung dengan perkataanku.
            “Bukan begitu maksudku, Mas. Tapi dari pihak laki-laki kan biasanya sudah punya persiapan tertentu. Atau Mas  Bayu sengaja merahasiakannya supaya aku surprise ya….?” candaku berusaha mencairkan suasana.
            “Sekar, aku hanya punya cinta. Tak ada harta yang bisa aku persembahkan. Tapi kalau Kamu ragu, kita bisa lupain rencana pernikahan kita.” Mas Bayu melepaskan genggaman tanganku dari lengannya. Sepertinya ia benar-benar marah atas ucapanku. Padahal mengenai rencana pernikahan ini dan menjalani hidup berumah tangga nanti sudah sering kami bahas. Kadang kami tertawa bersama saat berangan-angan kalau kami memiliki beberapa orang anak yang pintar dan lucu-lucu. Usaha kecil-kecilan akan kami rintis bersama mengingat pendapatan Mas Bayu sebagai pengurus LSM kemungkinan belum cukup untuk hidup kami berdua. Sedangkan aku bisa jadi berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga.
            Tak terasa air mata meleleh waktu itu. Keraguan hampir saja muncul di benakku, tetapi aku sudah kadung janji sama ibu dan bapak untuk menikah tahun ini. Ibu bahkan sudah menyusun daftar undangan. Bapak ikut-ikutan sibuk nyarter penata rias kerabat bapak, sekalian hiburan organ tunggal terkenal di daerahku. Adikku membantu mendesain undangan dan beberapa diantaranya yang aku pilih aku tunjukkan pada Mas Bayu untuk diseleksi. Anak Omku memaksa kami menerima tawaran gratisnya untuk membuat fhoto pre wedding. Dan di kantorku, semua teman sudah tahu kalau aku akan segera menikah. Jadi aku tidak akan sanggup membayangkan bagaimana jadinya seandainya aku mengikuti egoku sendiri untuk membatalkan rencana besar ini.
            Mas Bayu pun sebenarnya sengaja ingin membuat sendiri souvenir pernikahan kami, yaitu berupa kendi kecil yang ia buat dari tanah liat yang ia ambil dari gunung waktu ia dan teman-temannya berkunjung ke pegunungan di daerah Cianjur. Ia sudah membuat lebih dari seratus buah. Di kendi kecil itu ia ukirkan nama Bayu Perdana Kusumah & Sekar Ayu Prasetyaningrum dan tulisan Today & Forever karena kami belum tahu persis kapan tanggal pernikahan kami. Lagi pula kata-kata itu menyiratkan sebuah janji sehidup semati. Sekarang dan selamanya.
            “Maafkan aku ya, Mas. Aku mencintai mas apa adanya koq,” kembali lengan Mas Bayu aku gandeng. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia.
            Dalam hitungan menit, ikrar itu akan segera diucapkan oleh Mas Bayu, di depan penghulu, para saksi, keluarga dan undangan yang hadir. Dunia menjadi saksi sahnya ikatan cinta kami di mata Tuhan dan Negara. Aku menatap Mas Bayu yang tampak sangat tampan dengan balutan jas pengantinnya. Ia pun mebalas tatapan ini dengan rona bahagia terpancar dari wajahnya.
-o0o-

            Rupanya janji Tuhan dalam Al-Quran memang benar, siapa yang menikah maka akan bertambah rezekinya. Setelah pernikahan kami berjalan lebih dari bulan, Mas Bayu akhirnya mendapat pekerjaan. Walaupun hanya menjadi seorang agen asuransi, tetapi penghasilan Mas Bayu jauh lebih besar dibanding ketika ia masih mengurus organisasi sosial itu. Namun demikian Mas Bayu juga masih suka ikut dalam kegiatan LSM dan ia sendiri masih menjabat ketua di sana.
            Hal ini menyebabkan kegiatan Mas Bayu semakin padat sehingga waktu untuk kami bersama semakin jarang. Mas Bayu berangkat kerja pagi sekali, dan pulang sudah larut. Kebanyakan waktu pagi ia gunakan untuk prospek dan mencari nasabah atau menyelesaikan pekerjaan asuransinya, sore sampai malam seringkali Mas Bayu ngantor di LSMnya. Karena sering kelelahan Mas Bayu menjadi sensitive, mudah tersinggung dan marah. Kalau aku ingatkan supaya jangan terlalu capai, Mas Bayu malah membentakku dan mengataiku sebagai istri tidak tahu diuntung karena suami mencari nafkah malah dihalangi.
            Berulang kali aku mengelus dada karena Mas Bayu bukan saja mudah marah, tetapi sering melarangku melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya aku lakukan. Ia menjadi lebih protektif, malah kadang diktator. Aku semakin frustasi dan mulai tidak percaya kalau Mas Bayu benar-benar sayang sama aku.
            Suatu waktu aku jatuh sakit, tetapi aku berusaha tidak menunjukkannya sama Mas Bayu karena kebetulan waktu itu Mas Bayu akan ikut training dari perusahaan asuransinya di luar kota. Aku tidak ingin menghambat karier Mas Bayu ataupun membuatnya kepikiran dengan aku sehingga tidak konsentrasi mengikuti kegiatan trainingnya. Aku pun melepas kepergian Mas Bayu - untuk training selama 2 minggu - dengan perasaan berat.
            Hari pertama jauh dengan Mas Bayu membuat sakitku semakin parah. Panas dingin badanku ditambah pusing dan mual. Apalagi Mas Bayu tidak juga memberikan kabar mengenai keadaannya di sana, apalagi  menanyakan kabarku di sini. Hari kedua pun berlalu. Apakah Mas Bayu tidak kangen dengan aku? Ketika hari ketiga Mas Bayu telpon, aku menerimanya dengan perasaan sangat bahagia karena kerinduan yang membuncah ini siap meledak. Aku bahkan mungkin merasa akan mati sengsara jika sampai hari ketiga Mas Bayu tidak juga menghubungiku lewat handphone.
            “Iya, Mas. Aku baik-baik saja,” aku sangat senang bisa mendengar suara Mas Bayu. Itu sudah membuat sakitku berangsur pulih.
            “Kamu bohong, suaramu menunjukkan Kamu tidak sedang sehat,” rupanya Mas Bayu curiga mendengar suaraku.
            “Aku agak kurang sehat saja, Mas, tapi aku baik-baik saja,” kilahku.
            “Aku tahu Kamu sakit sejak sebelum aku pergi. Kenapa Kamu tidak bisa jujur kalau selama ini Kamu menahan kecewa telah menikah dengan aku, Sekar?” tiba-tiba Mas Bayu bicara lebih banyak dibanding jika ia sedang berada di rumah.
            “Apa maksud, Mas?” aku menggigil, merasa takut harus menjawab bagaimana.
            “Aku sangat mencintai Kamu, Sekar. Apa Kamu tidak menyadari hal itu? Hanya mungkin aku belum bisa menunjukkan itu.” Mas Bayu diam, aku bisa mendengar desah napasnya yang berat dan tertahan. Apakah ia sedang merasa bersalah atau justru kecewa dengan sikapku.
            “Kalau Mas benar mencintaiku, aku perlu bukti, Mas,” dengan sekuat tenaga aku berkata demikian karena aku memang benar-benar mengharapkan jawaban itu.
            Tiba-tiba hening. Hanya desah napasku saja yang tertahan, dan mungkin desah napas  berat Mas Bayu di seberang sana.
            “Apa ini belum cukup bukti, Sekarku?” Suara Mas Bayu kembali memecah keheningan itu. Dan bukan hanya itu, sosok Mas Bayu tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di ambang pintu kamarku yang terbuka.
            Hatiku menjerit bahagia. Seketika aku bisa bangun dari tempat tidurku setelah dua hari ini hanya sanggup berbaring karena semua sendiku serasa ngilu dan sakit.
            Mas Bayu merangkul dan mencium keningku. Segera aku menciumi pipi dan bibirnya seolah itu adalah obat yang dianjurkan dokter untuk kesembuhan sakitku. Dan ajaibnya aku merasa jauh lebih baik. Dicintai sepenuh hati oleh seseorang akan memberimu kekuatan, sedangkan mencintai seseorang sepenuh hati akan memberimu keberanian, demikian kata Lao Tzu, seorang filsuf Yunani.
            Aku menyadari satu hal, bahwa aku belum bisa belajar bagaimana memahami dan menikmati cinta Mas Bayu. Aku yakin Mas Bayu akan mampu menuntunku untuk selalu mencintainya.
            Dan aku pasti akan selalu menikmati cinta Mas Bayu karena keesokan harinya, ketika Mas Bayu mengantarku memeriksa kesehatanku, dokter menyatakan bahwa emosiku yang tidak stabil belakangan ini ditambah dengan kesehatanku yg selalu tidak menentu, itu dikarenakan adanya perubahan hormon yang terjadi dalam diriku. Aku, positif hamil! Aku pun menangis terisak mendengar kabar yang sudah sekian lama aku tunggu itu. Bahagia, sangat bahagia rasanya aku bisa hidup bersama Mas Bayu yang sebentar lagi akan menjadi ayah. Dan aku akan segera menjadi seorang ibu. Perempuan mana yang tidak akan merasa sempurna bisa melahirkan keturunan dari rahimku sendiri.
Kami sekeluarga akhirnya bisa menikmati cinta kami yang selalu bersemi. Biarlah cinta ini seperti hujan berkabut yang turun perlahan, namun mampu membanjiri sungai hati kami jauh lebih lama.
            -oOOo-           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar