AJARKAN AKU MENIKMATI CINTAMU
Ini adalah hari pernikahanku
dengan Bayu. Hubungan kami sebenarnya masih bisa dibilang baru seumur jagung.
Selama pacaran itu aku berusaha lebih mengenal Mas Bayu, sekarang aku
memanggilnya begitu. Apa yang dia sukai dan apa yang tidak dia sukai seolah
merupakan pedoman untuk aku mengabdikan diri jika nanti sudah membina bahtera
rumah tangga dengannya.
Keputusanku menerima Mas Bayu menjadi pacarku waktu itu
memang agak tergesa-gesa. Mungkin karena aku sudah terlalu lama menjomblo.
Umurku sudah mau seperempat abad. Walaupun masih banyak wanita seusiaku yang
belum menikah karena lebih mementingkan karier atau mengejar hal-hal lain yang
tidak bisa dinikmati kalau sudah menikah, orangtuaku memiliki persepsi lain
tentang makna sebuah pernikahan.
“Dulu Ibu juga menikah dengan bapakmu waktu umur Ibu baru
mau dua puluh tahun. Ibu sudah merasa ketuaan karena teman-teman ibu semuanya
sudah punya anak,” kata Ibu waktu menceritakan putusnya hubunganku dengan
Darwin, teman sekantorku, cowok terakhir sebelum Mas Bayu. Ibu nampak kecewa.
“Kamu masih mau menunggu sampai berapa tahun lagi, Sekar.
Adikmu Lastri kelihatannya sudah mulai berpikir ke arah situ. Koq Kamu malah
tenang-tenang saja,” sindir Ibu.
Aku hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa. Baru
putus, masa harus buru-buru cari cowok baru hanya karena Lastri adikku
satu-satunya itu sudah kepikiran mau menikah. Itu pun baru dugaan Ibu, atau
sekedar menakut-nakuti saja, supaya aku tidak dilangkah Lastri dan menjadi sial
karenanya.
Tapi kemudian aku malah jadi getol mencari pengganti Darwin. Bukan lantaran termakan bujuk rayu
atau sindiran ibu, tapi entah kenapa aku jadi merasa sudah bosen hidup sendiri.
Perasaan, semua keindahan masa remaja sudah aku nikmati. Nonton setiap malam
minggu bareng teman atau pacar, jalan-jalan ke mall, makan di tempat
nongkrongnya anak-anak gaul, baju-baju baru, tas, sepatu yang selalu branded.
Apalagi? Alih-alih hidup senang, yang ada bisa-bisa aku terbawa arus pergaulan
teman-teman, clubbing, drug, free sex.. Iihh amit-amit deh.
Adalah Mas Bayu yang tiba-tiba hadir, atau lebih tepatnya
dihadirkan Tuhan di tengah-tengah pencarian pasangan hidupku. Ia adalah Ketua
sebuah organisasi sosial yang konsisten membantu rakyat kecil, terutama yang tertimpa bencana.
Pertemuanku dengan Mas Bayu terjadi secara tidak disengaja di sebuah seminar.
Waktu itu aku iseng-iseng mengikuti seminar tentang bahaya Aids, pada perayaan
Hari Aids sedunia. Undangannya pun aku dapatkan secara cuma-cuma dari seorang
teman lama yang kebetulan menjadi panitia.
Mas Bayu duduk di sebelahku. Ia tampil sederhana tapi
kelihatan sangat tampan menurutku. Memang kebanyakan yang hadir adalah
orang-orang dengan penampilan seperti layaknya executive. Mas Bayu tersenyum
dan memperkenalkan dirinya dengan ramah. Aku langsung kepincut melihat lesung
pipinya. Segaris tipis bulu rambut di atas bibirnya dan dagu licinnya yang baru
dicukur menambah satu point macho buat Mas Bayu.
Entah karena takdir atau aku yang sedang dikejar marriage dead line aku langsung merasa
akrab dengan Mas Bayu. Bukannya kegatelan atau sok cari perhatian, aku bisa
langsung tertawa mendengar beberapa joke
ringan yang dilontarkan Mas Bayu. Dibalik penampilannya yang kelihatan serius,
Mas Bayu tuh lucu juga orangnya. Ia memiliki selera humor yang bagus.
Banyolannya orsinil dan nggak norak.
“Saya sudah sering banget denger orang bicara di seminar
seperti ini. Tapi yang satu ini yang paling bosenin,” katanya serius. Kelopak
matanya menuntun saya melihat ke arah pembicara, seorang cowok dengan rambut
gondrong diikat yang sedang menjelaskan bahwa penggunaan jarum suntik secara
bergiliran oleh para pemakai narkoba adalah salah satu penyebab tersebarnya
visur HIV yang paling sering ditemui..
“Kenapa emang, Bay?” tanyaku. Menurutku sih cara
presentasi cowok itu masih lebih bagus dari aku.
“Naskah itu sudah puluhan kali ia baca. Dan yang menyusun
naskah itu adalah aku, jadi pantes dong kalo aku bosen,” nada bicaranya seperti
tidak sedang menyombongkan diri. Kharisma itu yang menyihir aku untuk terus
berbagi cerita dan pengalaman mengenai apa saja. Wawasannya luas. Orangnya enak
banget diajak diskusi. Sempurna buat dijadikan teman konselling.
Tapi aku tidak mau hanya menjadikannya sebagai teman
ngobrol saja. Aku pun menangkap sinyal serupa dari Mas Bayu. Pertemanan kami
menjadi lebih dekat. Kami lebih sering meluangkan waktu bersama, sampai
akhirnya dua bulan berikutnya kami jadian. Siapa yang memulai, aku pun lupa. Yang jelas perasaan saling mencintai sudah
terpancar dari bola mata kami masing-masing. Dan setiap genggaman tangan kami
itu adalah ungkapan perasaan cinta yang menggelora..
Aku pun memperkenalkan Mas Bayu kepada kedua orangtuaku. Mereka
semua setuju. Mas Bayu rupanya sang negosiator yang hebat.
Sejak pacaran dengan Mas Bayu, frekuensi aku jalan bareng
sama teman-teman kantor pun berkurang. Jelas, waktuku hanya kufokuskan pada
satu hal : Menikah. Dan itu sudah aku putuskan dengan Mas Bayu sejak pertama
jadian. Aku berusaha lebih mengenal dan mengimbangi sifat dan karakter Mas
Bayu. Aku bahkan seringkali terlibat dalam kegiatan sosial Mas Bayu.
Motivasi kami untuk segera menikah adalah sama, yaitu
karena sudah bosen melajang. Plus sudah saling cocok, tentunya. Tapi walaupun
begitu,Mas Bayu kelihatannya tidak seantusias aku dalam menghadapi pernikahan
ini. Ia terlihat lebih santai, bahkan cenderung cuek. Sikapnya menunjukkan
seolah aku hanya sesuatu dan menikah adalah sebuah formalitas sosialnya.
Akupun suatu waktu menanyakan hal itu pada Mas Bayu.
“Mas koq kayaknya nggak serius sih sama aku?”
“Nggak serius bagaimana?” Mas Bayu balik bertanya.
“Kita kan akan segera menikah, tapi saya tidak melihat
Mas sibuk mempersiapkan itu” jawabku.
“Jadi maunya kamu bagaimana. Kamu kan tahu sendiri aku
hanya bekerja di LSM. Penghasilanku berapa sih? Jadi apa yang bisa aku
persiapkan. Kita ke KUA saja sudah cukup, nggak perlu pake resepsi segala,
nanti keluarga Kamu malu undangan di pihakku hanya pencari dana semua,” Mas
Bayu tiba-tiba ketus. Itu kali pertama aku melihat Mas Bayu tersinggung dengan
perkataanku.
“Bukan begitu maksudku, Mas. Tapi dari pihak laki-laki
kan biasanya sudah punya persiapan tertentu. Atau Mas Bayu sengaja merahasiakannya supaya aku
surprise ya….?” candaku berusaha mencairkan suasana.
“Sekar, aku hanya punya cinta. Tak ada harta yang bisa
aku persembahkan. Tapi kalau Kamu ragu, kita bisa lupain rencana pernikahan
kita.” Mas Bayu melepaskan genggaman tanganku dari lengannya. Sepertinya ia
benar-benar marah atas ucapanku. Padahal mengenai rencana pernikahan ini dan
menjalani hidup berumah tangga nanti sudah sering kami bahas. Kadang kami
tertawa bersama saat berangan-angan kalau kami memiliki beberapa orang anak
yang pintar dan lucu-lucu. Usaha kecil-kecilan akan kami rintis bersama
mengingat pendapatan Mas Bayu sebagai pengurus LSM kemungkinan belum cukup
untuk hidup kami berdua. Sedangkan aku bisa jadi berhenti bekerja karena harus
mengurus rumah tangga.
Tak terasa air mata meleleh waktu itu. Keraguan hampir
saja muncul di benakku, tetapi aku sudah kadung
janji sama ibu dan bapak untuk menikah tahun ini. Ibu bahkan sudah menyusun
daftar undangan. Bapak ikut-ikutan sibuk nyarter penata rias kerabat bapak,
sekalian hiburan organ tunggal terkenal di daerahku. Adikku membantu mendesain
undangan dan beberapa diantaranya yang aku pilih aku tunjukkan pada Mas Bayu
untuk diseleksi. Anak Omku memaksa kami menerima tawaran gratisnya untuk
membuat fhoto pre wedding. Dan di kantorku, semua teman sudah tahu kalau aku
akan segera menikah. Jadi aku tidak akan sanggup membayangkan bagaimana jadinya
seandainya aku mengikuti egoku sendiri untuk membatalkan rencana besar ini.
Mas Bayu pun sebenarnya sengaja ingin membuat sendiri
souvenir pernikahan kami, yaitu berupa kendi kecil yang ia buat dari tanah liat
yang ia ambil dari gunung waktu ia dan teman-temannya berkunjung ke pegunungan
di daerah Cianjur. Ia sudah membuat lebih dari seratus buah. Di kendi kecil itu
ia ukirkan nama Bayu Perdana Kusumah
& Sekar Ayu Prasetyaningrum dan tulisan Today & Forever karena kami belum tahu persis kapan tanggal
pernikahan kami. Lagi pula kata-kata itu menyiratkan sebuah janji sehidup semati.
Sekarang dan selamanya.
“Maafkan aku ya, Mas. Aku mencintai mas apa adanya koq,”
kembali lengan Mas Bayu aku gandeng. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan
dia.
Dalam hitungan menit, ikrar itu akan segera diucapkan
oleh Mas Bayu, di depan penghulu, para saksi, keluarga dan undangan yang hadir.
Dunia menjadi saksi sahnya ikatan cinta kami di mata Tuhan dan Negara. Aku
menatap Mas Bayu yang tampak sangat tampan dengan balutan jas pengantinnya. Ia
pun mebalas tatapan ini dengan rona bahagia terpancar dari wajahnya.
-o0o-
Rupanya janji Tuhan dalam Al-Quran memang benar, siapa
yang menikah maka akan bertambah rezekinya. Setelah pernikahan kami berjalan
lebih dari bulan, Mas Bayu akhirnya mendapat pekerjaan. Walaupun hanya menjadi seorang
agen asuransi, tetapi penghasilan Mas Bayu jauh lebih besar dibanding ketika ia
masih mengurus organisasi sosial itu. Namun demikian Mas Bayu juga masih suka
ikut dalam kegiatan LSM dan ia sendiri masih menjabat ketua di sana.
Hal ini menyebabkan kegiatan Mas Bayu semakin padat
sehingga waktu untuk kami bersama semakin jarang. Mas Bayu berangkat kerja pagi
sekali, dan pulang sudah larut. Kebanyakan waktu pagi ia gunakan untuk prospek
dan mencari nasabah atau menyelesaikan pekerjaan asuransinya, sore sampai malam
seringkali Mas Bayu ngantor di LSMnya. Karena sering kelelahan Mas Bayu menjadi
sensitive, mudah tersinggung dan marah. Kalau aku ingatkan supaya jangan
terlalu capai, Mas Bayu malah membentakku dan mengataiku sebagai istri tidak
tahu diuntung karena suami mencari nafkah malah dihalangi.
Berulang kali aku mengelus dada karena Mas Bayu bukan
saja mudah marah, tetapi sering melarangku melakukan kegiatan-kegiatan yang
biasanya aku lakukan. Ia menjadi lebih protektif, malah kadang diktator. Aku
semakin frustasi dan mulai tidak percaya kalau Mas Bayu benar-benar sayang sama
aku.
Suatu waktu aku jatuh sakit, tetapi aku berusaha tidak
menunjukkannya sama Mas Bayu karena kebetulan waktu itu Mas Bayu akan ikut
training dari perusahaan asuransinya di luar kota. Aku tidak ingin menghambat
karier Mas Bayu ataupun membuatnya kepikiran dengan aku sehingga tidak
konsentrasi mengikuti kegiatan trainingnya. Aku pun melepas kepergian Mas Bayu
- untuk training selama 2 minggu - dengan perasaan berat.
Hari pertama jauh dengan Mas Bayu membuat sakitku semakin
parah. Panas dingin badanku ditambah pusing dan mual. Apalagi Mas Bayu tidak
juga memberikan kabar mengenai keadaannya di sana, apalagi menanyakan kabarku di sini. Hari kedua pun
berlalu. Apakah Mas Bayu tidak kangen dengan aku? Ketika hari ketiga Mas Bayu
telpon, aku menerimanya dengan perasaan sangat bahagia karena kerinduan yang
membuncah ini siap meledak. Aku bahkan mungkin merasa akan mati sengsara jika
sampai hari ketiga Mas Bayu tidak juga menghubungiku lewat handphone.
“Iya, Mas. Aku baik-baik saja,” aku sangat senang bisa
mendengar suara Mas Bayu. Itu sudah membuat sakitku berangsur pulih.
“Kamu bohong, suaramu menunjukkan Kamu tidak sedang
sehat,” rupanya Mas Bayu curiga mendengar suaraku.
“Aku agak kurang sehat saja, Mas, tapi aku baik-baik
saja,” kilahku.
“Aku tahu Kamu sakit sejak sebelum aku pergi. Kenapa Kamu
tidak bisa jujur kalau selama ini Kamu menahan kecewa telah menikah dengan aku,
Sekar?” tiba-tiba Mas Bayu bicara lebih banyak dibanding jika ia sedang berada
di rumah.
“Apa maksud, Mas?” aku menggigil, merasa takut harus
menjawab bagaimana.
“Aku sangat mencintai Kamu, Sekar. Apa Kamu tidak
menyadari hal itu? Hanya mungkin aku belum bisa menunjukkan itu.” Mas Bayu
diam, aku bisa mendengar desah napasnya yang berat dan tertahan. Apakah ia
sedang merasa bersalah atau justru kecewa dengan sikapku.
“Kalau Mas benar mencintaiku, aku perlu bukti, Mas,”
dengan sekuat tenaga aku berkata demikian karena aku memang benar-benar
mengharapkan jawaban itu.
Tiba-tiba hening. Hanya desah napasku saja yang tertahan,
dan mungkin desah napas berat Mas Bayu
di seberang sana.
“Apa ini belum cukup bukti, Sekarku?” Suara Mas Bayu
kembali memecah keheningan itu. Dan bukan hanya itu, sosok Mas Bayu tiba-tiba
muncul dan berdiri tepat di ambang pintu kamarku yang terbuka.
Hatiku menjerit bahagia. Seketika aku bisa bangun dari
tempat tidurku setelah dua hari ini hanya sanggup berbaring karena semua
sendiku serasa ngilu dan sakit.
Mas Bayu merangkul dan mencium keningku. Segera aku menciumi
pipi dan bibirnya seolah itu adalah obat yang dianjurkan dokter untuk
kesembuhan sakitku. Dan ajaibnya aku merasa jauh lebih baik. Dicintai sepenuh
hati oleh seseorang akan memberimu kekuatan, sedangkan mencintai seseorang
sepenuh hati akan memberimu keberanian, demikian kata Lao Tzu, seorang filsuf
Yunani.
Aku menyadari satu hal, bahwa aku belum bisa belajar
bagaimana memahami dan menikmati cinta Mas Bayu. Aku yakin Mas Bayu akan mampu
menuntunku untuk selalu mencintainya.
Dan aku pasti akan selalu menikmati cinta Mas Bayu karena
keesokan harinya, ketika Mas Bayu mengantarku memeriksa kesehatanku, dokter
menyatakan bahwa emosiku yang tidak stabil belakangan ini ditambah dengan
kesehatanku yg selalu tidak menentu, itu dikarenakan adanya perubahan hormon
yang terjadi dalam diriku. Aku, positif hamil! Aku pun menangis terisak
mendengar kabar yang sudah sekian lama aku tunggu itu. Bahagia, sangat bahagia
rasanya aku bisa hidup bersama Mas Bayu yang sebentar lagi akan menjadi ayah.
Dan aku akan segera menjadi seorang ibu. Perempuan mana yang tidak akan merasa
sempurna bisa melahirkan keturunan dari rahimku sendiri.
Kami
sekeluarga akhirnya bisa menikmati cinta kami yang selalu bersemi. Biarlah
cinta ini seperti hujan berkabut yang turun perlahan, namun mampu membanjiri
sungai hati kami jauh lebih lama.
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar