Sabtu, 03 November 2012

Chapter 1 ~



1


Waduh, gimana nih? Aku ketahuan lagi sedang melirik ke arah Shin Je Hoo. Sialnya, laki-laki itu balas menatapku sambil tersenyum. Senyum dengan lesung pipi panjang yang membuat mata sipitnya semakin bercahaya. Dan cahaya menyilaukan itu lagi-lagi memicu detak jantungku, membuatnya berlompatan tak menentu. Huaaaah… bagaimana mungkin aku tidak tergoda untuk terus menatapnya lebih lama. Tampangnya yang seimut Gong Yoo pemeran drama korea terkenal yang pernah kutonton dari koleksi dvd temanku, beberapa hari ini praktis mengacaukan jadwal tidurku. Membuat insomniaku semakin parah. Parah dan akut.
                “Ngeceng terus!” Wishe menyikut lenganku. Nyaris mie yang sedang kusumpit berjatuhan ke mangkuk.
                “Sialan....” gerutuku. “Eh, kakak Manajer itu, ganteng banget,ya,” bisikku. Dan mataku tergoda untuk kembali meliriknya. Makin sering dipandang, semakin memancar saja aura ketampanannya.
                “Langkahi dulu mayat gue,” canda Wishe. Ia mendelik sekilas ke arah Manajer Hoo dan menggoda dengan senyum genitnya. Aku tahu dia tidak serius dengan ucapannya. Suatu waktu Wishe pernah bilang kalau Manajer Shin Je Hoo itu sulit sekali ditaklukkan. Biarpun banyak cewek cantik yang nyalon dan menggodanya dengan berbagai cara, tetap saja ia tak bergeming. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena cewek-cewek sexy dan cantik langganan salon Asian Beauty ini terlalu lebay, atau ada alasan lain. Isu ini menjadi trend topic diantara sesama pegawai salon. Terutama Wishe yang memang paling doyan kalau sudah membahas masalah Shin Je Hoo bersamaku. Sangat misterius memang. Aku bahkan sempat mengira kalau Manager Hoo itu gay. Laki-laki setampan dia mana mau coba mengurus bisnis salon keluarga yang para pegawainya banci semua. Meskipun hanya sebulan-dua bulan saja untuk menggantikan tantenya, Song Yong Sun, yang biasa banci-banci di sini panggil Aunt Sun.
                “Sialan, lo, banci! Ntar gue langkahi mayat lo, lo bangun jadi kuntilanak, berabe gue,” balasku sekenanya.
                “Rempong, mana ada kuntilanak di Seoul. Yey, tau gak sih, zombie aja gak ada yang berani masuk salon sini. Bisa dikemplang Aunt Sun, kali!”
Aunt Sun, perempuan paruh baya yang masih singset dan sintal itu sedang berlibur ke Taiwan. Sambil liburan sudah pasti ia memanfaatkan waktu luangnya sekalian untuk mencari peluang bisnis baru di sana. Wishe yang bercerita dengan takjub tentang perempuan energik itu. Katanya, Aunt Sun memang sudah membuka banyak cabang salon di Seoul. Bahkan sampai ke daerah Suwon, sebelah Selatan Seoul dan di beberapa tempat wisata termasuk yang baru-baru ini diresmikan di Pulau Gwanghado. Salon yang ada di jantung kota Seoul ini adalah induknya. Tapi dari semua salon yang ia buka, tidak ada satupun pegawainya yang perempuan asli atau laki-laki tulen. Semuanya waria, alias banci. Aku tidak tahu kenapa Aunt Sun menerapkan sistem kepegawaian seperti ini. Mungkin di mata Aunt Sun para wanita-pria itu lebih gesit dan kreatif, cenderung tidak banyak menuntut, dan mudah mengikuti perintah-perintahnya. Atau jangan-jangan Aunt Sun sendiri adalah waria yang menjalani operasi kelamin dan  punya misi mulia mengangkat derajat para waria dengan cara mempekerjakan mereka di salon-salonnya. Ah, kenapa juga aku mikirin hal-hal itu. Bukannya lebih baik aku bekerja saja sebaik-baiknya, mengumpulkan won sebanyak-banyaknya supaya aku bisa cepat pulang ke Indonesia. Dan yang lebih penting aku bisa menjaga sikap agar rahasia tentang jati diriku ini tidak terbongkar. Apalagi di depan Wishe yang rempong itu. Kalau sampai ia atau pegawai-pegawai lainnya tahu bahwa aku ... ah... tidak bisa dibayangkan apa jadinya.
“Yey, kenapese?” suara cempreng Wishe mengagetkanku.
“Enggak!” Buru-buru kulap mulutku dengan tissue untuk mengalihkan perhatiannya. Aku tidak berani membuang pandanganku ke arah lain, terutama ke arah Manajer Ho yang pasti –geer juga ya aku- sedang memperhatikan tingkah konyolku : makan jajangmyeong  sambil bengong hingga mulutku belepotan saus hitam.
“Dari tadi eke perhatiin kerjaan yey ngelamuunn ajjah.. plis deh.. “ Wishe menyeruput jus dalam kemasan yang ia beli bersamaan dengan menu makan siang kami di sebuah supermarket kecil tidak jauh dari Asian Beauty. Wishe tampak menikmati obrolannya denganku. Sebagai orang Indonesia yang sudah belasan tahun merantau di Korea, ia bilang senang sekali bisa kembali ngobrol dalam bahasa Indonesia, apalagi memakai bahasa planet para banci yang sudah pasti jarang dipakai selama ia kerja di sini. Ya, iyalah, siapa juga yang mengerti bahasa salon orang-orang Indonesia. Aku saja pusing menerjemahkannya. Lebih pusing dibanding membuka kamus hangeul.
Aku tidak habis pikir, bagaimana aku bisa memutuskan untuk bekerja di tempat ini. Gajinya memang lumayan, tapi bertemu dengan orang-orang aneh dengan gaya dan cara bicara yang kadang-kadang bikin ilfil membuatku menjadi merasa bodoh sendiri. Apalagi, di tengah-tengah kerumunan makhluk-makhluk over look itu, ada seorang pangeran yang selalu menganggu konsentrasiku. Membuat misiku nyaris berantakan sebelum waktunya. Dan sialnya dia itu manajerku.
“Ini… “ laki-laki itu, oh-my-godness… tiba-tiba si lesung pipi panjang sudah berdiri di depanku sambil menjulurkan selembar tissue ke arahku.
Tisue? What the tissue for?
Dengan bodohnya kuraih kertas putih beraroma cerry yang disodorkan Manajer Hoo, lalu dengan sporadis kulap mulutku yang pastinya sudah belepotan saus hitam sejak tadi yang membuat laki-laki itu menghampiriku dan dengan sopannya memberiku selembar tissue. Tapi… What now?
Derai tawa membahana. Muka Manajer Ho bergerak ritmik menyembunyikan garis matanya yang tenggelam saat ia menertawakanku. Wishe lebih parah lagi. Ia terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang tipis seperti penggilasan cucian. Aku yang tak tahu bagaimana rupa wajahku yang bermasker saus hitam, hanya bisa melongo sambil menyumpahi Wishe menjadi banci sampai tua. Sekalian kusumpahi juga supaya kempot Shin Je Hoo semakin panjang dan laki-laki itu semakin tergila-gila padaku.
*

3 komentar:

  1. Berbagi Kata Kata Motivasi
    Jangan Pernah Menghitung Kerugian Karena Akan Membuat Kita Malas Untuk Membangun Kembali Usaha Yang Rugi Tersebut. Kerugian Cukup Sebagai Bahan Instropeksi Diri Agar Kita Tidak Jatuh Pada Lubang Yang Sama.moga bermanfaat salam kenal.

    BalasHapus