1
Waduh, gimana
nih? Aku ketahuan lagi sedang melirik ke arah Shin Je Hoo. Sialnya, laki-laki itu balas menatapku sambil tersenyum.
Senyum dengan lesung pipi panjang yang membuat mata sipitnya
semakin bercahaya. Dan cahaya menyilaukan itu lagi-lagi memicu
detak jantungku, membuatnya berlompatan tak menentu. Huaaaah… bagaimana mungkin
aku tidak tergoda untuk terus menatapnya lebih lama. Tampangnya yang seimut Gong Yoo pemeran drama
korea terkenal yang pernah kutonton dari koleksi dvd temanku, beberapa hari ini praktis mengacaukan jadwal
tidurku. Membuat insomniaku semakin parah. Parah dan akut.
“Ngeceng terus!” Wishe menyikut
lenganku. Nyaris mie yang sedang kusumpit berjatuhan ke mangkuk.
“Sialan....” gerutuku. “Eh, kakak
Manajer itu, ganteng banget,ya,” bisikku. Dan mataku
tergoda untuk kembali meliriknya. Makin sering dipandang, semakin
memancar saja aura ketampanannya.
“Langkahi dulu mayat gue,” canda
Wishe. Ia mendelik sekilas ke arah Manajer Hoo dan menggoda dengan senyum
genitnya. Aku tahu dia tidak serius dengan ucapannya. Suatu waktu Wishe pernah
bilang kalau Manajer Shin Je Hoo itu sulit sekali ditaklukkan. Biarpun banyak
cewek cantik yang nyalon dan menggodanya dengan berbagai cara, tetap saja ia tak bergeming. Aku
tidak tahu kenapa. Apakah karena cewek-cewek sexy dan cantik langganan salon Asian
Beauty ini terlalu lebay, atau ada
alasan lain. Isu ini menjadi trend topic
diantara sesama pegawai salon. Terutama Wishe yang memang
paling doyan kalau
sudah membahas masalah Shin Je Hoo bersamaku. Sangat misterius memang. Aku bahkan sempat mengira
kalau Manager Hoo itu gay. Laki-laki setampan dia mana mau coba mengurus bisnis salon
keluarga yang para pegawainya banci semua. Meskipun hanya sebulan-dua bulan saja untuk
menggantikan tantenya, Song Yong
Sun, yang biasa
banci-banci di sini panggil Aunt Sun.
“Sialan, lo, banci!
Ntar gue langkahi mayat lo, lo bangun jadi kuntilanak, berabe gue,” balasku
sekenanya.
“Rempong, mana ada
kuntilanak di Seoul. Yey, tau gak sih, zombie aja gak ada yang berani masuk
salon sini. Bisa dikemplang Aunt Sun, kali!”
Aunt Sun, perempuan paruh
baya yang masih singset dan sintal itu sedang berlibur ke Taiwan. Sambil liburan
sudah pasti ia memanfaatkan waktu luangnya sekalian untuk mencari peluang
bisnis baru di sana. Wishe yang bercerita dengan takjub tentang perempuan
energik itu. Katanya, Aunt Sun memang sudah membuka banyak cabang salon di Seoul. Bahkan sampai ke
daerah Suwon, sebelah Selatan
Seoul dan di beberapa tempat wisata termasuk yang baru-baru ini diresmikan di
Pulau Gwanghado. Salon yang ada di jantung kota Seoul ini
adalah induknya. Tapi dari semua salon yang ia buka, tidak ada satupun
pegawainya yang perempuan asli
atau laki-laki tulen. Semuanya waria, alias banci. Aku
tidak tahu kenapa Aunt Sun menerapkan sistem kepegawaian seperti ini. Mungkin di mata Aunt Sun para wanita-pria itu lebih
gesit dan kreatif, cenderung tidak banyak menuntut, dan mudah mengikuti perintah-perintahnya. Atau… jangan-jangan Aunt Sun sendiri adalah
waria yang menjalani operasi kelamin dan
punya misi mulia mengangkat derajat para waria dengan cara mempekerjakan
mereka di salon-salonnya. Ah, kenapa juga aku mikirin hal-hal itu. Bukannya lebih
baik aku bekerja saja sebaik-baiknya, mengumpulkan won sebanyak-banyaknya
supaya aku bisa cepat pulang ke Indonesia. Dan yang lebih penting aku bisa
menjaga sikap agar rahasia tentang jati diriku ini tidak terbongkar. Apalagi di
depan Wishe yang rempong itu. Kalau sampai ia atau pegawai-pegawai lainnya tahu
bahwa aku ... ah... tidak bisa dibayangkan apa jadinya.
“Yey,
kenapese?” suara cempreng Wishe mengagetkanku.
“Enggak!” Buru-buru kulap
mulutku dengan tissue untuk mengalihkan perhatiannya. Aku tidak berani membuang
pandanganku ke arah lain, terutama ke arah Manajer Ho yang pasti –geer juga ya aku- sedang memperhatikan
tingkah konyolku : makan jajangmyeong
sambil bengong
hingga mulutku belepotan saus hitam.
“Dari
tadi eke perhatiin kerjaan yey ngelamuunn ajjah.. plis deh.. “ Wishe menyeruput
jus dalam kemasan yang ia beli bersamaan dengan menu makan siang kami di sebuah
supermarket kecil tidak jauh dari Asian
Beauty. Wishe tampak menikmati obrolannya denganku. Sebagai
orang Indonesia yang sudah belasan tahun merantau di Korea, ia bilang senang
sekali bisa kembali ngobrol dalam bahasa Indonesia, apalagi memakai bahasa
planet para banci yang sudah pasti jarang dipakai selama ia kerja di sini. Ya,
iyalah, siapa juga yang mengerti bahasa salon orang-orang Indonesia. Aku saja
pusing menerjemahkannya. Lebih pusing dibanding membuka kamus hangeul.
Aku tidak habis pikir, bagaimana aku bisa
memutuskan untuk bekerja di tempat ini. Gajinya memang lumayan, tapi bertemu dengan
orang-orang aneh dengan gaya dan cara bicara yang kadang-kadang bikin ilfil
membuatku menjadi merasa bodoh sendiri. Apalagi, di tengah-tengah kerumunan
makhluk-makhluk over look itu, ada
seorang pangeran yang selalu menganggu konsentrasiku. Membuat misiku nyaris
berantakan sebelum waktunya. Dan sialnya dia itu manajerku.
“Ini… “ laki-laki itu, oh-my-godness… tiba-tiba
si lesung pipi panjang sudah berdiri di depanku sambil menjulurkan selembar tissue
ke arahku.
Tisue? What
the tissue for?
Dengan bodohnya kuraih kertas putih beraroma cerry
yang disodorkan Manajer Hoo, lalu dengan sporadis kulap mulutku yang pastinya
sudah belepotan saus hitam sejak tadi yang membuat laki-laki itu menghampiriku
dan dengan sopannya memberiku selembar tissue. Tapi… What now?
Derai tawa membahana. Muka Manajer Ho bergerak
ritmik menyembunyikan garis matanya yang tenggelam saat ia menertawakanku.
Wishe lebih parah lagi. Ia terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang
tipis seperti penggilasan cucian. Aku yang tak tahu bagaimana rupa wajahku yang
bermasker saus hitam, hanya bisa melongo sambil menyumpahi Wishe menjadi banci
sampai tua. Sekalian kusumpahi juga supaya kempot Shin Je Hoo semakin panjang
dan laki-laki itu semakin tergila-gila padaku.
*
ceritanya menarik nih,, slam kenal
BalasHapusikut menyimak gan
BalasHapusBerbagi Kata Kata Motivasi
BalasHapusJangan Pernah Menghitung Kerugian Karena Akan Membuat Kita Malas Untuk Membangun Kembali Usaha Yang Rugi Tersebut. Kerugian Cukup Sebagai Bahan Instropeksi Diri Agar Kita Tidak Jatuh Pada Lubang Yang Sama.moga bermanfaat salam kenal.