Sabtu, 07 Juni 2014

HAPE JADUL


“Sialan!” rutuk Andika, sesaat setelah keluar dari ruang BP.
Nando, Diwan dan Ruby yang sejak setengah jam lalu menunggu di luar ruangan langsung mengerubutinya.
“Hape lo ditahan Dik?” Diwan melotot tak percaya.
“Emang lo gak bisa nego? Lo kan paling jago negosiasi?” timpal Nando.
“Terus, enaknya diapain tuh si cupu?” Ruby mengepalkan tangannya, geram.
Wajah Andika memerah. Jelas tak mampu menahan amarah yang menggelegak di kepalanya. Berondongan pertanyaan dari teman-teman satu gengnya, mendorong Andika untuk segera menemui cowok culun itu. Ketiga temannya mengekor dari belakang.
*
Yanu masih memandangi brosur android Samsung Galaxy yang sudah dilipat entah berapa kali. Kertas itu sudah kumal dan nyaris robek. Namun semangat Yanu untuk memiliki gadget yang diidamkannya itu tak pernah surut.
Setiap hari, sepulang sekolah, Yanu pergi ke pasar. Ia membantu berjualan pizza di depan sebuah toko elektronik, di salah satu sudut keramaian Pasar Rebo. Jam kerjanya cukup fleksibel. Ia hanya perlu membantu Pak Syam, pemilik kedai pizza itu, mulai jam dua siang sampai dengan jam delapan malam.  Upahnya lumayan besar untuk menambah uang saku dan bisa disimpan untuk membeli sesuatu yang selama ini ia impikan. Sebuah hape android bermerk, seperti yang Andika dan CS-nya pakai. Ia sudah bosan dan malu memakai hape jadul yang ia beli sejak masih di bangku SMP.
“Heh, Cupu!” bentak Ruby, membuat Yanu tersentak.
Mengetahui siapa yang tiba-tiba muncul di hadapannya, Yanu beringsut mundur. Menghadapi kelompok perusuh sekolah seorang diri bukanlah pilihan bijak. Apalagi selama ini, Yanu selalu jadi objek bully mereka dan tak pernah ada seorang pun yang berani menolongnya. Siapa juga yang mau berurusan dengan Andika and the gang kalau buntutnya bonyok dan kena skors.
            “Mau ke mana, lo!” Nando dan Diwan menghalangi tubuh Yanu.
            Andika muncul dengan seringai penuh kebencian. Di tangannya sebuah kayu tumpul diayun-ayunkan ke udara.
            “Ada apa ini?” Yanu semakin panik.
            “Jangan pura-pura bego, lo! Gara-gara lo, hape si Andika ditahan guru BP. Lo harus tanggung jawab!”  timpal Diwan.
            “Salah gue apa?” Yanu mulai bergetar. Bagaimana tidak, satu lawan tiga sudah pasti tidak akan seimbang. Terlebih, tidak ada siapapun di taman sekolah setelah jam pulang usai selain dirinya dan keempat teman sekelasnya itu.
            “Dasar cupu!!” Andika maju dan tanpa tedeng aling-aling mengarahkan kayu yang dipegangnya ke tubuh Yanu. Yanu berhasil mengelak. Namun pada pukulan kedua, lengan kiri Yanu terkena sabetan kayu yang dihantamkan Andika. Yanu pun terjungkal ke tanah. Diwan dan kedua teman lainnya beramai-ramai menendangi tubuh Yanu. Tak peduli cowok kurus itu merintih, menahan sakit.
            “Hey….” Sebuah teriakan disusul derap kaki mendekat, menghentikan aksi brutal geng Andika.
Seorang cewek berlari ke arah Yanu sambil merutuk kelakuan gangster sekolah yang paling ditakuti itu.
“Lo semua beraninya main keroyokan!” pekik cewek itu. “Gue laporin ke kepala sekolah atau lo pergi dari sini sekarang juga?!” ancamnya dengan bibir dimonyongkan.
Andika memberi isyarat kepada ketiga temannya untuk mundur. “Cabut, guys!” sambil melemparkan kayu di tangannya ke arah Yanu.
“Dasar, cat women kesiangan!” umpat Ruby, sambil mendongakkan wajahnya ke cewek itu.
Keempat cowok bullier itu pun berlalu dengan wajah setengah puas, setengah dongkol.
“Lo nggak apa-apa, Nu?” cewek itu membantu Yanu bangkit.
“Makasih ya, Nad. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah remuk.” Yanu mengusap seragamnya yang terkena lumpur. Sambil meringis ia menarik tas cangklong yang terlempar ke tanah.
“Sakit ya, Nu? Lagian lo juga sih, ngapain coba cari perkara dengan mereka?” Nadea masih menyimpan rasa kesal melihat kelakuan Andika dan teman-temannya tadi.
“Memangnya salah gue apa, Nad? Gue nggak ngerti,” kembali Yanu mempertanyakan di mana letak kesalahan dirinya sehingga ia harus menerima bogem mentah dari Andika dan teman-temannya.
“Lo itu polos apa beneran cupu sih, Nu? Hape si Andika itu ditahan oleh guru BP karena ketahuan dipake pas pelajaran sekolah,” jelas Nadea.
Sejenak Yanu mengingat-ingat kejadian kemarin.
Pada saat pelajaran Matematika, Yanu melihat sebuah handphone tergeletak di lantai, tepat di depan bangkunya, tidak jauh dari tempat duduk Andika. Tanpa pikir panjang, Yanu meraih hape itu dan menilik-nilik, siapa kira-kira pemiliknya.
“Itu punya Andika, “ bisik Rama, teman sebangku Yanu.
Yanu pun memanggil  Andika dengan nada pelan agar tidak ketahuan Pak Fadly, guru killer itu.
Andika menoleh dan kaget mendapati hapenya berada di tangan Yanu.
“Kok hape gue ada di lo?” bisiknya dengan nada marah seraya merebut handphone miliknya.
“Gue nemu di bawah,” jawab Yanu jujur.
“Bilang aja lo pengen hape dan mau ngembat dari gue ya?”
Sebelum Yanu membela diri, Pak Fadly sudah mematung di hadapan Andika. Dan dalam hitungan sepersekian detik, hape terbaru Andika berpindah tangan ke Pak Fadly.
“Pulang sekolah, menghadap ke guru BP!” ucap Pak Fadly tegas.
Andika pun mendapatkan hukuman. Sesuai dengan peraturan sekolah, selama jam pelajaran berlangsung, siswa yang membawa telepon genggam wajib menyimpannya di loker. Siapapun yang kedapatan menggunakan hape di kelas selama proses belajar mengajar berlangsung akan dikenakan sanksi. Telepon genggam siswa yang tidak mentaati peraturan akan disita selama 3 bulan. 
Kalau sudah begini, bagaimana mungkin Andika bisa memamerkan foto-foto cewek hasil bidikan kamera handphone-nya ke teman-teman segengnya. Tanpa gadget cowok seperti Andika akan mati gaya. Ia tidak mau terkesan cupu seperti Yanu, satu-satunya siswa yang sampai saat ini masih belum memiliki telepon genggam pribadi.
Yanu tahu peraturan sekolah selalu ditegakkan. Hanya saja ia berpikir kalau Andika akan membela diri kenapa hapenya tidak disimpan di loker itu karena hilang, dan baru ditemukan saat pelajaran matematika berlangsung. Tapi itu ternyata tidak menjadi bahan pertimbangan yang meringankan hukuman. Barulah Yanu merasa bersalah. Benar kata Andika, semua ini salah gue, aku Yanu dalam hati.
*
            Suasana sekolah pada jam istirahat sedang ramai-ramainya. Tapi Yanu tidak beranjak dari ruang kelasnya. Ia hanya membolak-balik buku tulis dengan pikiran kosong.
            “Ke kantin yuk, Nu!” ajak Rama sambil berdiri, siap-siap untuk keluar kelas.
            “Males,” jawab Yanu singkat.
            “Lo kenapa sih, Nu? Dari tadi gue perhatiin, galauuu melulu. Lo masih mikirin hapenya si Andika?”
            Yanu mengiyakan dengan anggukan.
            “Ya elah, biarin aja, napa! Itu pelajaran bagus buat anak belagu seperti dia,” cibir Rama.
            “Tapi semua ini kan salah gue.”
            “Bujug… terus mau lo apa, Nu? Lo mau ganti hape si Andika? Mahal tau! Hape jadul lo dijual aja palingan laku berapa? Lo duit dari mana? Kalo gue sih ogah!” Rama kembali duduk, berusaha berempati pada Yanu.
            “Iya, tadinya gue mau tuker tambah hape jadul gue dengan Android ini. Tapi sekarang, kayaknya gue malah harus kerja lebih keras buat nambahin tabungan supaya cukup buat ganti hape Andika yang ditahan di BP. Atau gue ganti aja kali ya dengan ini?” Yanu menyerahkan brosur android idamannyaitu kepada Rama.
            “Ini sih tipe lama, Nu. Punya si Andika udah lebih canggih daripada ini. Lagian kenapa mesti diganti sih, toh nanti tiga bulan ke depan juga bisa diambil lagi kan hapenya?”
            “Tapi kan, Ram…”
            “Udah deh, Nu, untuk orang seperti Andika, beli hape baru lagi juga pasti mampu. Mending kalau memang udah ada uangnya lo beliin android buat lo aja. Atau, lo beli aja hape lain yang lebih murah, sisa uangnya bisa lo tabung buat keperluan lain,” saran Rama. Rama tahu betul kondisi keuangan Yanu. Untuk membeli barang semahal android, Yanu pasti banting tulang bekerja. Upah jadi pegawai pizza kaki lima berapa sih? Perlu menabung berbulan-bulan untuk bisa membeli sebuah android. Tipe lama sekalipun. Saat uang sudah terkumpul, mungkin model hape yang diinginkan beberapa bulan lalu sudah tidak ada, karena lahir lagi model baru dengan harga yang lebih mahal.
            “Tapi, gue juga kan ingin gaul seperti kalian. Membahas trending topic di internet, atau status- BB teman-teman yang selalu jadi bahan candaan seru di sekolah. Bisa facebook-an dan main games. Rasanya semua yang kalian anggap biasa itu, terasa mewah buat gue. Hape jadul gue nama bisa begitu…”
            “Yanu… Yanu… handphone itu yang penting fungsinya buat komunikasi. Selebihnya sih cuma buang-buang waktu doang, Nggak penting. Lo lihat hape gue? Mana, nggak ada keren-kerennya sama sekali, kan? Yang penting pas bokap nyokap telpon, gue bisa dihubungi. Terus buat ngabarin ke ortu kalau gue pulang telat karena ada tugas kelompok atau pelajaran tambahan. Atau seenggaknya pas ada kejadian di jalan, misal harus ganti ban dalam sedangkan isi dompet sudah ludes buat jajan, gue bisa telepon kakak gue buat jemput. Mau gaya-gayaan juga kapan kali, Nu. Selama sekolah, tuh hape juga dikurung di loker. Hahaha.” Rama menderai tawa.
            Yanu mengangguk setuju. Tapi diam-diam, keinginannya untuk memiliki sebuah android tetap belum terusik. Kali ini ia hanya ingin membuktikan diri bahwa dirinya sanggup membeli sesuatu dari hasil keringatnya sendiri. Ia tidak akan minta kepada orangtua dan menyusahkan mereka. Dalam kondisi keuangan keluarga yang tak menentu, Yanu sadar, ia tak mungkin meminta yang macam-macam kepada Bapak dan Ibunya. Sebagai anak tertua, Yanu harus mandiri. Makanya ia membantu keuangan keluarga dengan menjadi pegawai paruh waktu di kedai pizza roda Pak Syam.
            Mungkin seminggu lagi uang Yanu baru cukup untuk membeli android itu. Dan setelah dipikir-pikir, ia urung menjual hape jadulnya sampai waktunya hape Andika dikembalikan pihak sekolah. Android yang ia beli akan dipinjamkannya ke Andika.
*
            Harga android yang ada di brosur itu sekitar satu juta delapan ratus ribuan. Namun dari Nadea dan Rama, Yanu mendapat info bahwa harganya sudah turun. Lumayan, batin Yanu. Sisanya bisa ia berikan untuk ibu atau adik-adiknya.
            Sore itu, saat awan teduh memayungi Jakarta, Yanu dengan riang pulang dari kedai pizza Pak Syam. Ia sengaja meminta izin untuk kerja sampai dengan jam lima saja. Ditemani Rama, Yanu akan membeli android di Roxy. Ia ingin segera meminjamkannya pada Andika supaya hatinya lebih tenang, dan tak merasa bersalah lagi.
Di tengah perjalanan, motor Rama tersendat kemacetan. Rupanya ada sekelompok anak sekolah yang terlibat perkelahian. Rama menepikan motor untuk menghindari aksi lempar batu.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, sepertinya Yanu dan Rama mengenali seragam salah satu kelompok tawuran itu.
“Itu Andika!” pekik Rama, yakin dengan seragam sekolahnya.
Yanu mendongak. “Iya benar, kita harus bantu mereka!”
Tanpa dikomando, Yanu berlari menuju Andika yang tengah dikeroyok oleh lebih dari tiga orang siswa sekolah lain. Sedangkan Diwan, Ruby, Nando  dan siswa satu sekolah lainnya sudah lebih dulu mundur karena jumlah mereka lebih sedikit dibanding lawan.
 “Yanu jangan!!!” teriak Rama, putus asa. Ia meringis melihat Yanu terkena pukulan besi yang dijadikan senjata musuh. “Tolong, Pak, tolong, Pak,” Rama hanya bisa berteriak-teriak, tapi tak ada seorang pun warga yang peduli.
Tak lama kemudian terdengar sirine polisi meraung-raung. Siswa-siswa yang terlibat tawuran pun lari tunggang langgang.
Yanu menarik tubuh Andika yang sudah babak belur dan kabur menuju tempat yang lebih aman. Rama melihat tindakan Yanu dan dengan sigap ia membawa motor mengejar mereka.
“Cepat naik….!!!”
Yanu menyeret tubuh Andika dan menaikkannya ke motor Rama, yang berhenti tepat di depan mereka. Motor ngebut menghindari tangkapan petugas.
“Kita harus ke rumah sakit!” Yanu memegangi tubuh Andika yang lunglai. Darah mengucur di kening dan bibir cowok itu. Seragamnya koyak dan penuh noda merah. Yanu sendiri tak peduli dengan luka-luka tubuhnya. 
Sesampainya di rumah sakit, Andika dan Danu mendapat perawatan di UGD.
“Pakai uang ini.” Yanu yang tergolek di brankar, menyerahkan plastik berisi uang lembaran kepada Rama.
“Tapi, ini kan buat beli android lo, Nu,” cegah Rama.
“Nggak apa-apa. Ini lebih penting,” balas Yanu.
Akhirnya, Rama pergi ke bagian administrasi untuk mengurus biaya rumah sakit..
*
            Penulis yang lahir di Cianjur pada 23 Juli ini ialah seorang akunting sebuah perusahaan swasta di Bandung. Sudah menerbitkan 5 buah novel remaja dan dewasa sejak tahun 2013. . Beberapa cerpennya pernah dimuat di majalah remaja, juga sudah dibukukan dalam lebih dari 25 antologi bersama penulis lain. Penulis juga pernah menjadi Top5 dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja ICMI Se-Jawa Barat tahun 1993.
Penulis bisa dihubungi melalui email : kamiluddinazis@gmail.com dan telpon di 083829021076

Tidak ada komentar:

Posting Komentar