Rabu, 23 Juli 2014

BATAM, Move On City


Kiren memperbaiki ikatan rambut panjangnya sambil mengawasi orang-orang yang berada di pintu keluar Bandara Hang Nadim. Tangan kirinya memegang trolley bag Louise Vitton, sedangkan yang kanan menenteng tas mungil dengan merk yang sama. Gadis itu mendesah. Membuang lelah. Batam sangat berbeda dengan kota kelahirannya, Bandung. Prakiraan cuaca dunia menyebutkan, dengan suhu 24-30 derajat celcius, hari ini akan turun hujan di Batam. Tapi tak ada tanda-tanda mendung di langit. Panas membekap udara sekitar Kiren berdiri. Tubuh gadis berkulit langsat itu bermandikan keringat. Lengket. Berkali-kali ia mengibasi leher dengan keempat jemarinya yang disatukan membentuk kipas.
"Ah, lama banget," keluh Kiren. Bola mata bundar dengan bagian hitamnya yang besar mengedar sekeliling. Tak ada orang yang mengacung-acungkan kertas besar bertuliskan nama Kiren Muthia di depan pintu keluar bandara. Yang ia lihat hanya hiruk pikuk orang-orang yang tengah membawa bagasi mereka menuju taxi atau mobil jemputan pribadi. Sambutan yang menyebalkan, desahnya dalam hati. Lalu ia mengeluarkan blackberry dari tas tangannya, menekan beberapa tombol, kemudian melekatkan ke kupingnya. Nada tunggu sebuah lagu Korea yang asing di telinganya mengalun.  
Kiren menghela napas. Sudah tiga kali panggilan teleponnya tak dijawab. Ke mana sih orang yang akan menjemputnya? Seharusnya ia sudah stand by sebelum Kiren turun dari pesawat. Kiren melangkahkan tungkainya dengan cepat, membelah kerumunan orang yang terburu-buru.
"Di mana, Mas?" pekik Kiren begitu telepon tersambung. Hembus angin mengibaskan sejumput rambutnya yang tak terikat.
"Saya sudah di sini, Mbak," balas seorang pria dengan suara bas yang tenang.
"Iya, di sini di mana?" balas Kiren dengan mulai tak sabar. Ia bertambah kesal karena sopir perusahaan yang diminta menjemputnya, kini entah berada di mana. Dan herannya, orang itu malah terdengar tenang-tenang saja. Kiren mendongakkan lehernya ke kiri dan kanan. Lalu ia berhenti saat melihat seseorang, juga tengah melakukan hal yang sama.
Seorang pria bertubuh jangkung dengan kemeja putih dan jins biru muda menghampiri Kiren sambil melepas headset dari kupingnya. "Maaf, sudah menunggu lama, ya?" sapanya dengan senyum tipis. Matanya yang agak sipit membentuk lengkungan yang mengarah ke bawah, seolah ingin menunjukkan sebuah penyesalan. Sejenak laki-laki itu terdiam. Benar kata Ronald, perempuan pasundan yang akan dijemputnya ini memiliki kecantikan yang alami. Rambut hitam panjang yang diikat satu hingga bagian tengah kepalanya itu membingkai wajah oval yang manis. Tidak menyesal ia menggantikan sopir perusahaan untuk menjemput HRD Manager baru ini.
"Malah bengong!" Kiren masih belum bisa menahan rasa kesalnya. Ia yakin laki-laki ini yang akan mengantarnya ke hotel sekaligus kantor tempat kerja barunya. Tapi, masa iya sopirnya keren begini? Wajahnya yang bersih, dipermanis dengan sedikit brewok yang menyambung hingga dagu. Potongan rambut hitam kecolkatannya kaku, seperti model-model penyanyi korea yang sedang digandrungi ABG. Senyumnya terlihat… bukan ramah, tapi … agak terkesan menggoda. Ah!
"I... Iya, Mbak. Maaf. Mari saya bawa bagasinya," laki-laki itu terperangah. Heran, cantik, tapi juteknya minta ampun, gerutunya dalam hati.
"Nggak usah," ketus Kiren sambil melewati bahu laki-laki itu.
Laki-laki itu membiarkan Kiren melengos. "Mbak... Mbak..."
"Ada apa lagi sih?"
"Jalannya ke sini, Mbak," ucap laki-laki itu sambil menahan tawa melihat Kiren mengambil jalan yang salah.
Kiren membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah yang ditunjukkan laki-laki itu.
Si sopir keren mengikuti langkah Kiren dengan cepatnya. Mereka lalu tiba di depan sebuah Honda Jazz model terbaru yang berjejer rapi dengan kendaraan mewah lain di lapangan parkir.
"Batam ini kotanya kecil, Mbak, tapi ramenya luar biasa. Banyak wisatawan asing dan domestik singgah ke Batam. Mereka suka dengan wisata pulau di sini," laki-laki itu membuka percakapan setelah ia dan Kiren berada di dalam mobil. Ia menoleh Kiren yang memilih duduk di belakang dari spion di atas dasbor.
Kiren tak menghiraukan ucapan laki-laki itu. Pandangannya malah dilempar jauh rimbunnya pepohonan di kiri dan kanan jalan. Matanya tak lepas dari Tugu Burung Garuda sebagai simbol selamat datang di Batam. Tapi Niken masih saja mendengar sopir tampan itu terus menerus berceloteh tentang apapun yang berkaitan dengan Batam meskipun Kiren sama sekali tidak menggubrisnya.
 "Kamu ini driver atau tour guide sih sebenarnya?" celetuk Kiren setengah menyindir.
"Hehe dua-duanya, Mbak," balas laki-laki itu dengan seringai lima jarinya.
"Pantesan!"
"Pantesan pinter Ÿåªą, Mbak?"
"Bawel!"
By the way, saya Bayu,” kembali laki-laki itu menyeringai dengan sorot mata jenaka. “Emh, Mbak mau saya anter ke apartemen dulu atau langsung ke Beautiful Hotel… Maksud saya, kantor kita? Atau… barangkali  mau shopping window dulu ke Nagoya Hill?”
“Ke mana saja, asal di tempat itu saya nggak ketemu dengan orang-orang yang banyak bicara,” jawab Kiren telak.
Bayu menggaruk kepalanya meski sama sekali tak berasa gatal. Ia paham betul apa yang dimaksud wanita ini. Kesan pertama yang dibangunnya runtuh sudah.
*
Kiren melenggang dengan penuh percaya diri. Ia terbiasa berjalan dengan leher tegak dan kepala mendongak, seolah orang lain yang ada di sekitarnya itu memiliki kedudukan di bawah dirinya. Saat masih di Bandung, gadis dua puluh tujuh tahun ini juga menjabat posisi Manager HRD, hanya saja perusahaan tempatnya bekerja itu hotel bintang dua. Karenanya ketika ada penawaran kerja di Batam, yang nota bene hotel bintang empat, ia langsung menyanggupi. Apalagi gaji yang ia dapat bisa tiga kali lipat dari sebelumnya. Dan yang lebih penting, ia bisa dengan mudah melupakan masa lalunya. Menguburnya dalam-dalam, dan memulai kehidupan baru dengan lebih tenang.
Setelah berkenalan dengan karyawan-karyawan hotel, mulai dari front office hingga bagian staf di dalam, Kiren diantar Bayu menuju ruang kerjanya. Sebuah kantor berukuran enam kali enam meter dengan interior mewah dan modern. Seperti kebanyakan kantor-kantor eksekutif yang ada di Batam.
Welcome… Ini ruang kerja Mbak Kiren,” seringai Bayu ramah. Ia meletakkan trolley bag Kiren di belakang pintu, lalu menunjukkan letak toilet, ruang tamu, dan apa saja fasilitas yang ada di ruang kerja Kiren.
“Tas saya jangan disimpen di situ dong, Mas! Kalau saya kesandung gimana?” delik Kiren dengan ekor matanya ke arah pintu.
Bayu mendengus pelan sambil menggeser tas besar itu ke tempat lain yang lebih tersembunyi. Whatever, batinnya.
Kiren acuh melihat sikap laki-laki itu. Ia lalu mendekati jendela kaca setebal satu sentimeter yang menghadap ke tengah-tengah kota Batam. Matanya tak berkedip melihat pemandangan yang menakjubkan di depannya. Lalu lintas kendaraan mewah di sana-sini dan bangunan-bangunan raksasa yang megah memenuhi hampir seluruh isi kota.  
“Di sebelah utara, itu Panorama Regency Hotel yang sangat terkenal, di timur sana itu banyak hotel lain yang baru berdiri. Kebanyakan hotel-hotel baru itu selalu full vacancy. Terutama saat week end. Dan saingan terberat kita ada di deretan paling depan hotel bintang empat itu. Turis-turis asing lebih senang memilih hotel-hotel  itu dibanding Beautiful.” Bayu berdiri di samping Kiren, dan memberikan banyak informasi tanpa gadis itu minta.
 “Saya sudah tahu. Riset saya sudah cukup lengkap sebelum saya memutuskan kerja di sini,” balas Kiren sambil menggeser posisi berdirinya. Kemudian dalam sekian detik berikutnya, ia berlalu dari samping Bayu. Ia lebih senang memilih menghempaskan tubuhnya di sofa tamu, daripada berdekatan dengan lelaki yang di matanya terkesan sok akrab itu.
 “Ok… I see… kalau begitu saya pamit. Selamat bekerja. Jika ada yang Mbak Kiren butuhkan, saya ada di ruang sebelah. Atau mau langsung bicara dengan big bos, juga monggo.” Bayu mendengus pelan. Ternyata beramah tamah dengan perempuan ini hanya buang-buang waktu saja. Sambil menghela napas Bayu berlalu dari hadapan Kiren.        
Ruang sebelah? batin Kiren. Sopir juga punya ruang kerja? “Tunggu!”
Tapi Bayu sudah menghilang di balik pintu.
*
 “Sudah siap, Yu?” Ronald membuka Lenovo, dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia menekan tombol ON dan menunggu beberapa saat dengan gelisah.
 “Sudah,” balas Bayu datar. Ia mengecek proyektor yang akan dipakai untuk meeting siang ini. Sebentar lagi, para Manager dan Assisten Manager dari berbagai divisi akan memenuhi ruang pertemuan ini.
 “Gimana dengan Kiren?”  lanjut Ronald dengan mata tak lepas dari layar monitor. Ia sedang membaca surat-surat yang masuk ke alamat email pribadinya. Merasa Bayu tak menggubris pertanyaannya, Ronald berhenti sejenak, seolah menunggu jawaban dari Bayu.
Bayu malah mengendikkan bahu. “Aku baru tahu, ternyata tidak semua mojang Bandung itu ramah,” balasnya. Setelah proyektor siap, Bayu duduk di kursi yang berhadapan dengan Ronald, General Manager Be Hotel, yang juga teman sekampusnya saat masih kuliah di Australia. Ia meletakkan kedua sikutnya di atas meja lebar dan mendengus ke arah Ronald.
Ronald terkekeh, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, hasil perawatan rutin di spesialis dentist  terkenal di Singapura. “Gadis itu bukannya tidak ramah, Bro, tapi tegas dan penuh wibawa,” sanggahnya. Diperbaikinya posisi dasi Armani biru bergaris yang menggantung di lehernya, seolah sebentar lagi, ia akan segera bertemu dengan seseorang yang sangat khusus. Setidaknya ia ingin membuat kesan positif saat bertemu dengannya.
 “Aku kurang suka caranya memperlakukan orang yang sudah membantunya.” Bayu masih tampak tak enak hati mengingat bagaimana sikap Kiren di awal perkenalan dengannya siang tadi. Bayu sama sekali tidak tersinggung seandainya Kiren menganggap ia sebagai sopir perusahaan. Tapi apakah sikap seorang manager pada seorang sopir harus seperti itu juga? “Kamu dapat dari mana?”
Linked. Dia yang paling cocok dari semua perempuan yang entry aplikasi lamaran. Aku juga udah wawancara online dengan dia beberapa kali. Dan hasilnya tetap sama. She is the best.” Laki-laki keturunan Singapura itu sebenarnya sangat excited menunggu saat-saat dirinya bertemu dengan Kiren. Ronald memang baru tiba dari Singapura, sehingga ia belum sempat bertemu dengan Kiren. Selama ini ia hanya melakukan interview melalui chat room. Kesan cerdas masih melekat kuat saat Ronald mengutarakan beberapa pertanyaan berat pada Kiren, dan gadis itu mampu menjawabnya dengan sistematis, logis, cukup teoritis dan menunjukkan bahwa ia sangat berpengalaman di bidangnya. Dan yang lebih mengesankan bagi Ronald, ialah suaranya yang tiba-tiba membuat malam-malamnya menjadi berbeda. Gelisah. Seandainya bisa, ia ingin melakukan wawancara kerja pada gadis itu, setiap hari. Tapi untuk apa ia melakukan hal itu, kalau pada akhirnya Kiren-lah yang akan ia rekrut untuk mengisi kekosongan HRD.
 “Selamat sore,” Kiren datang dengan langkah cepat. Matanya tampak kikuk begitu melihat Ronald, laki-laki yang selama ini hanya ia kenal lewat chat room sudah berada di ruang meeting.
Ronald mendongak. Bayu ikut melirik Kiren yang berada tepat di sampingnya. Wajahnya tampak merasa bersalah. Ini adalah meeting pertamanya, Kiren tak ingin memberikan kesan kurang baik  di mata bos dan rekan-rekan kerja lainnya. Apalagi ruang pertemuan sudah hamper terisi penuh.
“Maaf, Pak, tadi saya keasyikan me-review report beberapa bulan  ke belakang, jadi…” Kiren terbata-bata.
It’s ok… silakan duduk,,” balas Ronald, berusaha tenang. Padahal, andai Kiren tahu, dadanya tiba-tiba bergemuruh begitu mendengar suara itu. Suara yang terakhir kali ia dengar lewat telpon, saat dirinya menyatakan kelulusan Kiren dan mengundangnya untuk menandatangai kontrak kerja. Ternyata, gadis ini lebih cantik dibanding foto profil yang ia kirimkan kemarin, batin Ronald. Jiwanya yang masih sendiri merasa seolah mendapat sebuah angin segar yang memberinya harapan baru. Setidaknya ia membutuhkan seorang perempuan. Ia tak ingin hidupnya selalu kering, dan hampa.
Setelah mempersilakan Kiren duduk, Ronald memulai meeting sore itu dengan memperkenalkan Kiren sebagai Head Dept HRD yang baru. Lalu General Manager Beautiful Hotel & Resort itu mempresentasikan hasil kinerja bulan lalu dan menjabarkan agenda kerja bulan mendatang. Di sela-sela presentasinya, mata Ronald tak henti-hentinya mengarah pada Kiren. Bukan karena gadis itu adalah orang baru yang memerlukan pengetahuan banyak tentang company profile, melainkan karena ada sesuatu yang terpancar dari mata gadis itu yang membuat Ronald seolah terhipnotis untuk terus menatapnya.
Sebaliknya, Kiren lebih banyak menunduk. Apalagi pada momen, ketika matanya bertabrakan dengan pandangan Ronald. Kiren pun terhipnotis. Suara dan penampilan Ronald sangat memukaunya. Gadis itu tak menyangka bahwa laki-laki yang memiliki kedudukan paling tinggi di kantor ini, yang mewawancarai dan menerima dirinya bergabung, masih sangat muda.  Suaranya yang berwibawa dan performanya yang tenang membuat hati Kiren merasa menemukan sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sesuatu yang mungkin pernah dicarinya, tetapi sejauh ini tak pernah ia temukan.
Pada saat yang sama, Kiren terhenyak sebab baru menyadari bahwa Bayu juga berada di ruang meeting, bersama dengan para Head Dept dan Assisten Head Dept. Ternyata laki-laki ini bukan sopir pribadi seperti yang ia duga, melainkan Manager F&B. Kiren mencoba melirik ke arah  Bayu, tapi pandangan laki-laki itu sama sekali tak bergeser sedikitpun dari layar dinding yang menampilkan slide-slide presentasikan Ronald. Kiren tiba-tiba merasa tak nyaman berada di sampingnya.
*
            “Harusnya kamu kuat menghadapi semuanya, Ren,” Liana membiarkan kepala Kiren lunglai di bahunya. Air matanya ruah tak terbendung.
            “Aku nggak bisa, Na… aku nggak bisa. Terlalu menyakitkan buatku.” Suara Kiren semakin parau. Ia tak tahu lagi harus pergi ke mana. Ke manapun ia pergi, bayang-bayang menyakitkan itu selalu menghantui. Di setiap kota yang ia singgahi,  kenangan pahit itu selalu dating, tanpa pernah mampu Kiren hindari.
            “Kiren, kamu harus move on! Masih banyak laki-laki selain Rezqy di luar sana, yang tampan, tajir, jauh lebih baik dibanding dia.” Liana mengguncang-guncang bahu sahabatnya.
            “Semua laki-laki sama saja, Na. Setiap aku pindah ke kota lain yang kupikir takkan pernah bertemu dengan Rezqy, selalu saja ada duplikat laki-laki itu. Senyumnya yang penuh tipu daya, kelakuannya, fisiknya, apapun! Aku nggak suka dikelilingi oleh laki-laki manapun yang selalu pamrih dalam berbuat kebaikan.”
            “Kiren, dengar aku… Tidak semua laki-laki itu sama, sori… brengseknya dengan mantan pacar kamu itu. Kamu tidak bisa seperti ini terus!”
            Kiren masih ingat apa yang selalu Liana, katakan setiap kali dirinya menangis di bahu sahabatnya itu, atau tersedu di belakang telepon genggam  saat terpisah ratusan kilometer jauhnya sekalipun. Pada Liana, Kiren selalu menumpahkan kesedihan dan kepedihan hidupnya.
Sejak Kiren batal menikah tepat pada hari yang telah ditentukan, kepercayaan dirinya hancur. Ia tak berani bertemu dengan orang-orang yang ia kenal. Kiren memilih pindah dari satu kota ke kota lain. Dari Jakarta, ia pindah ke Surabaya. Tetapi ketika ia bertemu dengan salah seorang teman lamanya di sana, yang lalu menanyakan kabar pernikahan Kiren dengan Rezqy, hati Kiren kembali terpukul. Ia lalu pindah ke Medan. Di sana Kiren malah bertemu dengan laki-laki yang sangat mirip dengan Rezqy. Setiap hari Kiren bertemu dengan ia karena tinggal di sebuah apartemen yang sama. Entah Kiren yang masih terobsesi rasa benci pada laki-laki itu, atau memang hanya kebetulan mirip belaka. Yang jelas hanya sebulan tinggal di Medan, Kiren rela melepaskan pekerjaannya di sana.
Kiren juga pernah tinggal di Semarang, Manado, dan Denpasar. Di tempat-tempat itu bayangan Rezqy seakan tak pernah bisa hilang dari ingatannya. Ia juga pernah tinggal selama beberapa bulan di Belanda. Tapi ia tak betah berlama-lama di negeri orang. Selain tidak ada pekerjaan yang sesuai, dunianya ternyata sama saja.
“Tak ada yang akan berubah selama kamu belum bisa memaafkan Rezqy.” Liana sudah kehabisan akal menasehati Kiren. Ia juga sempat marah dan benci pada Rezqy yang juga teman baiknya semasa SMA dulu. Kenapa laki-laki itu menyia-nyiakan cinta Kiren. Tanpa alasan yang jelas, Rezqy tidak hadir pada acara pernikahannya dengan Kiren. Laki-laki itu seolah menghilang ditelan bumi. Setelah berbulan-bulan, baru Liana mendapat kabar dari teman-teman lamanya bahwa Rezqy menikah dengan seorang anak pejabat. Pestanya sangat meriah, bahkan mereka menikmati bulan madu di Eropa. Tapi kali ini Liana bertekad untuk merubah hidup Kiren. Ia harus bisa membuat Kiren bangkit, dan menemukan seseorang yang bisa membuat hidupnya kembali bergairah.
            Sebelum pulang dan memutuskan untuk bekerja di kota kelahirannya, Bandung, Kiren sempat tinggal dan mengajar di sebuah sekolah pariwisata di Banjarmasin. Lagi-lagi Kiren dipertemukan dengan seorang laki-laki yang menurutnya juga mirip dengan Rezqy. Meskipun secara fisik mereka berbeda, tetapi laki-laki pemilik sekolah pariwisata itu begitu baik, sampai-sampai Kiren mengira itu hanya modus belaka untuk bisa mendekatinya. Dan kenyataan mungkin menyerupai apa yang pernah Kiren alami saat bersama Rezqy. Laki-laki itu buaya. Ia hanya menginginkan sesuatu dari Kiren. Perhatian yang ia berikan, berujung tuntutan untuk menjadi kekasih gelapnya.
Berada di Bandung, di tengah-tengah orang yang tahu betul bagaimana sejarah percintaan Kiren, membuat ia justru semakin merasa terjebak dalam kenangan pahit. Makanya dengan bulat hati, Kiren memutuskan untuk pindah dari Bandung. Dan, kali ini ia membidik Batam. Kepulauan kecil, tetapi modern. Ia berharap, Batam bisa menjadi pelabuhan terakhirnya. Mungkin Liana benar, hidupnya tidak akan pernah jauh lebih baik jika Kiren tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Anggap saja Rezqy sudah mati, begitu kata-kata pamungkas Liana yang selalu Kiren ingat. Meskipun Kiren pernah sangat mencintai Rezqy, tapi pada kenyataanya, laki-laki itu bukanlah yang terbaik. Tuhan telah menunjukkan bahwa Rezqy bukan jodohnya.
Lalu siapa dan di mana jodoh Kiren? Entahlah! Yang jelas bukan mereka yang bermuka dua yang pernah Kiren temui di kota-kota sebelum Batam. Mungkin justru di kota kecil yang ia harapkan jadi pelabuhan terakhir dalam hidupnya ini, Kiren menemukan seseorang yang berbeda. Seseorang yang bisa mencintainya dengan setulus hati tanpa pernah ada niatan untuk mengkhianati dan meninggalkannya begitu saja saat semua harapan akan masa depan telah dibangun sempurna.
Tiba-tiba saja, ingatan Kiren tertumpu pada kejadian siang tadi, saat  seorang laki-laki yang ia kira sopir perusahaan menjemputnya di Hang Nadim. Bayu. Laki-laki yang ternyata seorang Manager Food & Beverage di Beautiful Hotel, atau yang lebih terkenal dengan nama Be Hotel itu. Laki-laki yang bukan saja tampan, pintar tetapi juga punya berkepribadian ceria. Seolah orang lain juga memiliki pembawaan yang sama dengan dirinya.
 Tapi Kiren merasa, ada yang berbeda saat ia dan Bayu bertemu di ruang meeting. Bayu sepertinya berubah seratus delapan puluh derajat. Sikapnya acuh dan dingin. Bahkan selepas meeting, laki-laki itu langsung meninggalkan ruangan dan beralasan tak jelas saat Ronald mengajaknya untuk dinner bertiga di Bukit Senyum sebagai bentuk sambutan untuk rekan kerja yang baru. Kiren beranggapan bahwa semua ini ada hubungannya dengan kejadian di bandara, dan sikapnya yang kurang ramah setibanya di kantor. Seandainya Kiren tahu lebih awal bahwa Bayu bukanlah sopir hotel, mungkin Kiren tidak akan sejutek itu. Apakah Bayu tersinggung dengan sikapku? Hati kecil Kiren merasa tak nyaman.
“Mungkin hanya perasaan kamu aja,” komentar Ronald, saat Kiren mengungkapkan kejanggalan hatinya akan sikap Bayu. “Lagi sariawan kali tuh orang,” canda Ronald sambil mengulas senyum dan memamerkan lesung pipit di kedua pipinya.
“Bapak bisa aja….” Kiren tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar keluar dari hatinya sejak ia menginjakkan kaki di kota wisata belanja ini. Laki-laki yang akan menjadi atasannya ini, ternyata tidak sekaku yang ia bayangkan. Selain masih muda, tampan, smart, juga tidak ada tanda-tanda tipe pimpinan yang arogan.
“Jangan panggil bapak. Berasa udah tua jadinya, hehe… panggil aja Ronald. Apalagi ini kan bukan jam kantor.” Ronald meyakinkan Kiren dengan kembali tersenyum. Kali ini dengan sedikit bibir terbuka, sehingga garis wajah indonya yang tertarik oleh lengkung bibir itu semakin nyata. Matanya sebiru laut di pantai Sekilak. Teduh dan menyejukkan.
“Oke, oke…,” Kiren terpaksa menurut. Mau bagaimana lagi, Ronald masih muda dan sangat casual, memang akan lebih nyaman jika ia memanggil dengan sebutan namanya saja.
Malam merangkak sangat pelan seolah memberi ruang bagi Ronald dan Kiren untuk saling kenal, lebih dari sekedar apa yang mereka bicarakan lewat dunia maya selama ini. Namun basa-basi yang pernah mereka obrolkan di-chatting-an kembali diulang karena satu sama lain masih merasa canggung. Hebatnya, Ronald berhasil melempar candaan-candaan ringan yang membuat Kiren tertawa, hingga terpingkal-pingkal. Kiren tak menyangka jika hari pertamanya di Batam akan semenyenangkan ini.
“Lihat deh, Ren. Di tempat ini pemandangan kota Singapura bisa dilihat dengan jelas. Indah banget, kan?” Ronald menunjuk kerlip lampu serupa sekawanan kunang-kunang yang sedang menari gembira.
Kiren tak melewatkan pemandangan eksotis di pelupuk matanya. Lampu-lampu dari gedung-gedung mewah di kota Singapura dan kapal feri yang lalu lalang di atas air tenang, sangat memukau. Semilir angin mengibas anak rambut Kiren. Membelai pasangan muda-mudi yang dengan santainya duduk di atas rumput, dan bangku-bangku panjang di taman yang disediakan penjaja makanan dan pujasera sekitar. Ronald dan Kiren memilih sebuah kafe mungil yang memiliki tempat paling memungkinkan mereka melihat indahnya ocean view di malam hari.
Kiren menghela napas, Lama sekali rasanya ia tidak pernah menikmati malam bertabur bahagia. Dengan atau tanpa seorang laki-laki di sisinya. Di sini, malam ini, Kiren kembali bisa tersenyum, tertawa dan termanjakan oleh indahnya dunia yang selama ini tersaput kabut kesedihan di matanya. Terpesonakan oleh sosok lelaki tampan dan penuh kharisma di hadapannya. Juga seseorang yang seharusnya juga berada di sini. Manager cheerful yang tiba-tiba menghindarinya.
Coba tadi Bayu ikut… bisik hati Kiren. Mungkin malam ini akan jauh lebih sempurna. Tapi lalu gadis itu menepis kelebat bayangan laki-laki itu dari pikirannya, Kenapa tiba-tiba aku teringat dia? Apa karena Bayu-lah orang pertama --dan setelah Kiren pikir-pikir memberikan kesan berbeda— yang menyambut kehadiran Kiren di Batam? Atau…
“Kenapa, Ren?” Ronald melihat ada sesuatu yang Kiren sembunyikan darinya. Tapi itu tentu saja bukan urusannya. Meskipun terbersit rasa khawatir dalam diri Ronald, tetapi laki-laki itu memilih untuk tidak mendesak saat Kiren menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Ia melepas jaket jins-nya lalu menyelimuti pundak Kiren, berharap dugaannya bahwa gadis itu kedingingan tidak salah. Dan sikapnya ini tidaklah berlebihan mengingat hanya ia satu-satunya laki-laki yang Kiren kenal di tempat itu, yang harus memberinya perlindungan dari cuaca malam yang mulai dingin.
“Terima kasih.” Kiren tak sengaja menangkap cahaya mata Ronald yang lurus menembus retinanya. Tapi buru-buru gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Di matanya kini tergambar pemandangan, warung-warung yang berjejer di sepanjang Bukit Senyum. Aneka makanan ada di sana. Mulai dari yang bercita rasa internasional, sampai makanan tradisional khas Indonesia, seperti warung nasi padang, dan tahu Sumedang. Kiren tersenyum tipis mengingat makananan kesukaannya dijual juga di Batam. Mungkin karena daerah ini sering juga disinggahi wisatawan asing, sehingga warga juga ingin memperkenalkan khasanah kuliner nusantara.
“Kalau tidak keberatan, dalam seminggu ini mungkin aku akan antar jemput kamu dari apartemen ke hotel dan sebaliknya,” ucap Ronald kikuk. “Emh… aku cuma tidak mau kamu nyasar. Tempat ini kan cukup asing buatmu,” paparnya memberi penjelasan logis kenapa ia harus melakukan hal itu, selain sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai atasan pada anak buah yang baru direkrutnya.
 “Nggak usah, Nald. Aku bisa google search. Lagian Batam ini kan kecil, di tabletku semua bisa kebaca,” tanggap Kiren. Ekor matanya menangkap segaris kecewa di bibir Ronald.
“Oke….” Ronald yakin Kiren bukan anak kecil yang akan kesasar di rimba mall gemerlap ini. Tapi…  jika Kiren menyetujui ajakannya, tentu itu akan sangat menyenangkan. “Atau… bagaimana kalau aku minta Bayu yang mengantar jemput kamu, Ren?” dan sekali-dua kali aku akan menggantikan tugas Bayu itu… lanjut Ronald dalam hati. “Aku suruh Bayu invite PIN kamu ya, jadi dia bisa ngasi tahu kamu kalau dia mau jemput.”
“Nggak usah… nggak usah… aku aja yang invite… Maksudku kalau aku berubah pikiran atau kesasar di suatu tempat, aku tahu harus minta tolong sama siapa. Kan nggak mungkin aku minta tolong atasanku untuk menjemput,” buru-buru Kiren mencegah Ronald yang sudah membuka blackberry-nya.
Dengan alis bertaut, Ronald lalu mengirimkan no PIN Bayu ke BB Kiren. “Tapi, aku harap kamu tidak sesungkan itu sama aku.”
Sepulang dari Bukit Senyum,  tak henti bibir Kiren melengkung ke atas. Ternyata Ronald juga memberikan PIN Kiren ke Bayu, dengan alasan biarlah Bayu yang invite lebih dulu. Harusnya memang seperti itu, katanya, laki-laki yang mengajak dan menawarkan diri, dan bukan perempuan yang meminta sesuatu meski sebenarnya ia membutuhkannya. Sikap laki-laki yang sangat gentleman. Kiren berharap BB-nya segera berbunyi dan menampilkan inviting dari Bayu. Kiren tak akan menunggu lama untuk meng-accept-nya. Ia ingin segera menghubungi Bayu, meminta maaf dan menebus kesalahannya dengan mengajaknya makan di suatu tempat. Tempat yang sangat special. Di mana ya… Mungkin di pulau-pulau kecil yang tersebar di sekeliling Batam sambil menikmati gonggong dan semilir angin pantai.
*
Kamiluddin Azis, lahir dan besar di Cianjur. Kini pria yang sudah berumah tangga ini tinggal di Bandung. Selain bekerja sebagai karyawan kantoran, ia juga menulis novel dan mengurus perpustakaan umum untuk warga sekitar. Novel yang sudah terbit antara lain Kau Bisa Mencintaiku (Zettu, 2013), My Lovely Beetle (PlotPoint, 2013), dan Di Dekatmu (PING!, 2014) serta 2 novel lagi dalam proses terbit. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Majalah Aneka dan Majalah Cerpen Magz.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar