Selasa, 21 Mei 2013

Gunung Kasur


Orang-orang menyebut bukit kecil itu Gunung Kasur.  Di tengah-tengah bukit hijau itu tergeletak sehamparan batu berbentuk kasur, lengkap dengan sepasang bantal dan sebuah guling di tengahnya.  Dulu, aku sering  menggali tanah liat atau mencari rotan di Gunung Kasur untuk tugas sekolah. Menelusuri jalan setapak dengan belukar ilalang setinggi kepala sambil berlomba mencapai puncak gunung itu, menjadi kegiatan rutinku bersama teman-teman SD setiap Minggu pagi.  Tak peduli panas, atau rinai memayungi langkah kami. Memaku kincir sambil menatap Istana Presiden yang berdiri megah dari kejauhan.
Langkahku terhenti di depan sebuah rumah kayu yang nyaris lapuk termakan usia. Satu-satunya rumah yang selalu kusinggahi jika hendak naik ke Gunung Kasur. Pemilik rumah ini, Pak Mur. Laki-laki setengah baya, berkulit belang putih susu dan coklat, menyerupai kulit yang baru sembuh dari luka tersiram air panas. Namun, setelah lebih dari dua puluh tahun terlewati, apakah Pak Mur masih ada?
Punten[i]” Kuketuk daun pintu yang tak tertutup sempurna itu. Tak ada sahutan. Hening. Yang terdengar hanya suara tonggeret dan desau angin gunung yang menggelitik telinga.
Sambil menunggu seseorang membukakan pintu, kuedarkan pandangan. Tidak banyak yang berubah. Dari tempatku berdiri, ada jalan setapak yang menurun, menuju sebuah tambak ikan berair dangkal. Pepohonan buah-buahan menjadi pagar pembatas sungai jernih yang mengalir di sampingnya. Ada saung kecil beratap jerami di pinggir balong[ii]. Dulu aku dan teman-teman diperbolehkan tidur siang di sana setelah lelah bermain di atas bukit.  Aku tersenyum mengingat masa-masa menyenangkan itu.
Milari saha, nyak?”[iii] sebuah suara berat  mengagetkanku. Seorang lelaki berdiri tepat di depanku. Garis wajahnya yang tegas dengan rahang kokoh tanpa senyum menyita ingatan masa kecilku.
Kuamati mata kelereng laki-laki itu. Tak salah lagi, “Dulah?” pekikku. Kuukir sebuah senyum yang sedari tadi tertahan. Ini pasti anak Pak Mur, yang juga kakak kelasku di SD.
            Sanes,” [iv]timpalnya, sambil menyidikku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kang Kamal?” ia balik memekik. Lalu terkekeh, yakin akan dugaannya.
            Aku mengangguk heran. Aku kenal betul tawa jahil itu.
            “Arif, Kang. Ini Arif,” terangnya.
Mataku membulat. Baru ingat, Dulah punya adik yang mirip sekali dengannya. Beda umurnya sekitar dua tahun.
“Arif? Kamu sudah segede ini?”
            “Iya atuh[v], Kang, kan dikasi makan sama Emak…”
            Tawa kami pecah. 
            “Bapak sudah meninggal lima tahun lalu. Kang Dulah bekerja jadi supir di Saudi. Saya sendiri tidak bisa ke mana-mana, sebab Emak sudah mulai sakit-sakitan,” papar Arif setelah mempersilakan aku masuk dan duduk di ruang tamunya yang sederhana.
            “Oh begitu,” balasku, sedih karena baru tahu Pak Mur sudah tiada. Kesibukanku kerja di Jakarta hanya menyisakan pulang sehari dalam dua atau tiga bulan saja. Aku tidak pernah sempat mengunjungi orang-orang yang dulu berjasa dalam hidupku. Termasuk Pak Mur.
            Laki-laki kuat itu yang mengajariku bagaimana menebang rotan dan mengubahnya menjadi sebuah bingkai foto, atau anyaman keranjang. Bilah rotan yang tak terpakai, diubahnya menjadi sebuah lukisan. Pak Mur juga mengajari aku dan teman-teman membuat sebuah kendi dan benda-benda lain dari tanah liat. Karyaku dan teman-teman sekelompokku menjadi juara saat diikutsertakan dalam lomba Kreasi Bumi antar sekolah. Bukan cuma itu, Pak Mur dengan sabar selalu menyelipkan petuah agar kami taat beribadah, menghormati orang tua dan guru-guru, juga sayang terhadap sesama, terutama kawan karib, dan alam semesta.
            Karena dedikasinya, Pak Mur diangkat warga sebagai kuncen Gunung Kasur.
            “Tapi, Bapak selalu ada kok untuk menjaga Gunung Kasur,” bisik Arif sambil memicingkan mata bulatnya. Berkilatan bening diantara remang cahaya lampu rumah yang seadanya.
            “Maksudmu?”
            “Iya, orang-orang yang berusaha merusak Gunung Kasur dibuatnya lari tunggang langgang,” kekehnya pelan.
            “Memang ada ya orang-orang yang ingin merusak?” keningku berkerut.
            “Banyak. Pengembang itu. Mereka mendirikan vila-vila di kaki bukit dan menghalangi jalan menuju  gunung. Menggali dinding bukit, bahkan menebangi hutan. Banyak yang celaka.” Gigi Arif bergemeletuk. Geram.
            Arif lalu bercerita tentang kematian para pekerja yang membangun vila-vila mewah di bibir bukit. Juga para pengebor,  dan mandor yang selalu berteriak jika melihat anak buahnya berleha-leha kelelahan. Menurutnya, Pak Mur tak suka mereka melukai bukit yang sejak laki-laki itu muda, setia dijaganya. Pak Mur tak ingin orang-orang yang hendak melihat batu kasur dari dekat urung pergi lantaran pintu masuknya tertutupi benteng beton setinggi kepala orang dewasa. Sedangkan jalan setapak lain, harus melewati sungai yang belakangan santer dikabarkan dihuni buaya jadi-jadian. Petani-petani  di perkampungan di balik bukit yang selama ini melewati jalan utama juga mengeluh karena kesulitan jika harus melewati sungai tanpa jembatan saat ia membawa hasil panen untuk dijual ke pasar Cipanas.
            Aku mengakhiri obrolan panjangku dengan tengkuk meremang. Niat untuk menyusuri jalan setapak menuju batu kasur dan menyentuhnya dari dekat, urung. Bagaimana kabar guling kesayanganku? Mungkin pada kunjungan berikutnya, aku akan ke sana, memasang tiang tinggi yang telah dipasangi kincir angin, lalu setelah lelah berlarian, aku akan berpura-pura tidur di atas kasur batu itu, sambil berharap impianku akan terwujud kembali. Seperti dulu. Tanpa saar aku tersenyum sendiri.
            “Akang kenapa?”
            “Tidak, Rif. Oh iya, kamu mau kan kalau menemani saya naik? Saya ingin foto-foto dengan Gunung Kasur.”
            “Siap, Kang.”.
            Pada kunjungan kali berikutnya, Arif menemaniku jalan menuju puncak Gunung Kasur. Hanya menapaki jalan setapak yang dipenuhi ilalang dan belukar rotan, serta aneka pohon rambat berduri.  Tidak banyak yang berubah. Jalanan terjal licin karena mengandung tanah liat yang diguyur hujan semalam, membuat sol sepatuku menebal. Langkahku semakin berat. Arif sesekali berlari dan menantangku balapan. Aku hanya mengeluh sambil meletakkan kedua lenganku di pinggang. Perjalanan menanjak tiga kilometer kali ini sangat berbeda dengan yang pernah kulakukan semasa kecil dulu. Keringat mulai membanjiri kemejaku. Aku semakin payah.
            Desau angin menyambut saat kaki ini pertama kali menginjak puncak gunung. Dua puluh tahun, cukup lama untuk setia menyimpan semua yang pernah Gunung Kasur berikan padaku. Kenangan indah, rangkaian puisi yang kutulis di dahan pohon pinus dengan pisau lipat, aneka bingkai foto berotan yang menghiasi poster Presiden-Wakil Presiden dan burung Garuda di dinding ruang kelas, serta macam-macam keramik buatan tangan sendiri. Dan kini, ide-ide brilian pembangunan rumah modern di tepi bukit menari-nari di benakku.
            “Bapak sakit apa, Rif?” tanyaku sambil bersandar pada dahan pohon pinus. Kuluruskan kaki sambil menarik sebatang ranting di tanah. Kutilik serat kambiumnya. Wangi kuhirup. Dulu aku suka membuat gantungan kunci dari dahan pohon pinus yang digergaji miring, atau diukir berbentuk siluet tumpahan air. Lalu dipernis setelah ditempeli nama orang atau zodiac dari rugos. Lalu kami jual pada pelancong yang tak pernah sepi memburu sayuran segar di daerah Simpang.
            “Orang-orang menyebutnya sebagai kutukan,” suara Arif berubah berat.
            Aku menopang kaki dengan dagu, siap mendengarkan cerita Arif.
            “Sekitar enam tahun lalu, orang-orang kota datang ke mari. Menikmati pemandangan di atas bukit, foto sana foto sini, berceloteh tentang kekaguman mereka terhadap batu kasur. Bapak yang menemani mereka hingga puncak.” Arif menghela napas. Kedipnya sayu, seolah di pelupuk matanya berkilasan fragmen kehidupan Pak Mur.
            “Lalu mereka menjadi sering berkunjung. Dan entah mendapat izin dari mana, orang-orang itu mulai membangun rumah. Mula-mula satu, lalu dua, tiga, hingga akhirnya berjejer rumah-rumah bagus di kaki bukit, sampai ke badan gunung. Saat Bapak bertanya, mereka bilang sedang ada proyek pemerintah, dan itu semua adalah rumah dinas. Entahlah. Bapak tidak banyak bertanya setelah itu. Yang jelas sejak saat itu, Bapak sering mengalami mimpi buruk. Dalam mimpinya, Bapak didatangi harimau besar yang turun dari bukit. Lalu sekawanan burung terbang mengelilingi rumah. Bapak juga mimpi dikejar-kejar sekelompok monyet bertaring. Semua itu Bapak ceritakan kepada kami, seminggu sebelum beliau wafat.”
            “Jadi Bapak tidak sakit dulu?”
            Arif menggeleng. “Bapak jatuh ke sungai. Jasadnya ditemukan sore hari.  Kami pikir seharian itu Bapak sedang pergi ke balai desa. Bapak bilang akan membicarakan hal penting pada Pak Kades.”
            Aku tersentak mendengar cerita Arif. Kasihan Pak Mur. Aku tahu apa yang sedang Pak Mur perjuangkan: bukit berkasur batu yang menjadi tanah kelahiran dan tempat sakral dalam hidupnya. Ia tak ingin ada seorang pun yang menjamah dan merusak kelestarian bukit bersejarah dalam hidupnya itu. Bahkan hingga kini pun, kata Arif, Bapak tidak akan membiarkan siapa pun merusak cagar alam tercintanya. Orang yang melawannya, tak akan pernah selamat.
            Aku bangkit. Dadaku bergolak. Tak kusangka, hidup Pak Mur berakhir. Darahku mendidih. Meletup-letup seperti lahar gunung merapi yang siap dimuntahkan ke angkasa. Tak terasa setitik air hangat mengembun di kelopak mataku. Kubuang pandangan menjauh dari hadapan Arif. Aku tak ingin ia membaca perasaanku lewat mata dan gurat wajahku. Aku tak ingin Arif tahu betapa aku menyesal dan merasa sangat bersalah.
Kuedarkan bola mataku ke arah batu cadas yang menggantung di dinding tebing. Batu yang tak pernah sekali pun aku dan teman-teman berani mendekatinya. Bahkan Dulah dan Arif sekalipun. Tak boleh ada seorang pun yang menyentuh batu itu. Tidak jauh dari kaki batu gantung itu, terhampar batu berbentuk persegi, menyerupai sebuah kasur, lengkap dengan bantal dan guling yang tidak pernah bisa dipindahkan ke manapun. Samar-samar kulihat seseorang tengah duduk di sana dengan kedua telapak tangan membungkus wajahnya yang tertunduk. Kulit lengannya putih dengan loreng-loreng coklat seperti belum lama tertumpahi cat kayu atau lumpur yang baru mengering. Perlahan-lahan laki-laki itu melepaskan tangannya. Lalu wajahnya menengadah dan menatap lurus ke arahku. Deg, jantungku terasa mau lepas. Pak Mur?! Desisku.
*
Sebagian dalam cerpen ini merupakan buah imajinasi penulis. Setting adalah daerah tempat semasa kecil penulis bermain yang kini dijadikan sebagai Situs Budaya Gunung Kasur yang  terletak di daerah Gadog Cipanas, Cianjur.









[i] Punten = Permisi (bahasa Sunda)
[ii] Balong = Kolam Ikan
[iii] Milari saha, nyak? = Cari siapa, ya?
[iv] Sanes = Bukan
[v] Atuh = Dong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar