Mata Ketiga
S
|
unyi terasa sangat
menyiksa. Usai pengajian bapak-bapak sekampung di rumahku, suasana rumah yang
tadinya ramai dengan bacaan Al-quran dan doa-doa, seketika senyap. Aroma makanan bercampur
wangi-wangi pembakaran dupa membuat kepalaku pening. Semakin pening. Aku
mencoba merebahkan tubuhku di atas dipan, sambil memegang sebuah benda, yang Baping tunjukkan
sebagai benda pusaka berkekuatan gaib. Benda itu tersimpan di dalam kotak hitam, yang Bapak serahkan
kemarin sore. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Aku takut kalau aku
akan mengalami kejadian serupa seperti malam kemarin. Tersedot ke dalam cahaya
yang menyilaukan, lalu terdampar pada masa silam.
Aku mencoba memejamkan mata, tetapi berkali-kali gagal. Kepalaku masih
terasa berat. Kumainkan benda kecil berbentuk batu berwarna hijau ini, dengan ujung jemariku.
Aku berhitung mundur dari seratus, berharap otakku kan lelah, sehingga kantung mataku
memberat. Tetapi pandanganku malah semakin tak menentu. Tiba-tiba ujung
langit-langit kamar seperti menggulung ke arahku, lalu menindih dan membuatku sesak. Dinding
kamar serempak menghimpitku dari semua arah. Napasku seolah hendak direnggut
dari tubuhku. Aku berusaha mati-matian mempertahankan ragaku, dengan menutup
mulut dan menahan
napasku. Pikiranku berkecamuk hebat. Apakah ini saatnya manusia hendak dicabut
nyawa oleh malaikat. Tapi mana malaikat itu? Aku tidak melihat bayangan putih
ataupun hitam di sekelilingku. Aku mencoba menjerit, berharap akan ada orang
lain yang mendengar. Mungkin Bapak atau adik-adikku akan datang menolong. Tapi
suaraku tercekat, tidak sepatah katapun terucap, apalagi sebuah jeritan. Aku
bahkan lupa harus memanggil nama siapa, supaya seseorang bisa datang menolongku.
“Delia….” Akhirnya sebuah nama terucap dengan jelas. Tiba-tiba semua
kekacauan itu hilang. Langit-langit tampak kembali menggantung dengan rapi pada
tempatnya. Dinding kamar tidak lagi menjepitku. Aku bernapas lega, sambil menyandarkan
punggungku ke tembok kamar. Keringat bercucuran dengan derasnya.
Aku tidak tahu kenapa nama Delia yang terucap di saat-saat seperti itu.
Apakah ini menandakan kalau gadis porselen itu dewi penolongku? Entah kenapa, aku
kembali teringat pada Laila yang memiliki rupa cantik seperti Delia. Kenapa
Baping tidak memperjuangkan cintanya, hingga mereka bisa menikah. Apakah aku dan
Delia juga memiliki perasaan cinta yang sama seperti mereka. Apakah aku harus
menjadikan Delia sebagai pasangan hidupku, agar aku bisa melepas hal-hal mistis yang
selama ini melekat dalam tubuhku? Aku ingin bersatu dengan Delia, tapi tidak sekadar agar aku
bisa lepas dari kutukan ilmu warisan itu. Delia terlalu baik untuk kujadikan
satu-satunya alasan agar aku bisa terbebas dari ilmu-ilmu pesugihan atau apapun
namanya itu. Aku hanya ingin menikahinya karena cinta. Atau kalaupun harus
meninggalkannya, juga karena cinta.

Delia duduk
di hadapanku,
dengan lengkung senyum yang mampu meluluhkan hati setiap lelaki yang
melihatnya. Tak terkecuali aku. Binar mata dengan kelopak bundar dibingkai bulu
mata yang lentik, selalu membuat aku tak berdaya untuk menatapnya lebih lama. Ada desir
aneh setiap kali mata kami beradu. Delia, begitupun aku, akan langsung membuang muka jika kedapatan
secara tidak sengaja saling melempar pandang.
Daun-daun pohon cemara saling berbisik, seperti menertawakan kecanggungan yang tiba-tiba
membelenggu kami. Taman luas ini membisu. Apapun yang ada di sana, dengan
hidmat menunggu apa yang akan terjadi: jika dua manusia berlainan jenis duduk
berhadap-hadapan di sebuah bangku tua di tengah-tengah mereka.
“So, apa yang mau kamu ceritakan
tentang nenekmu itu, Del?” tanyaku memecah kesunyian yang tercipta di antara kami. Delia dan aku janji ketemu di
taman ini,
untuk membahas pembicaraan kami yang belum tuntas malam itu.
Delia menghela napas dan siap bercerita. “Setelah merelakan pernikahan
kakekmu, nenekku hidup membujang cukup lama. Suatu waktu, ia bertemu dengan seorang laki-laki keturunan
Belanda dan menikah dengannya. Lalu Nenek pindah ke daerah Jawa, dan bersama
suaminya mengurus perkebunan teh warisan keluarga. Tapi pernikahan mereka tidak
berlangsung lama karena setahun setelah papiku lahir, Kakek meninggal dunia.
Nenekku membesarkan Papi seorang diri, hingga akhirnya seluruh perkebunan itu menjadi
warisan papiku. Papi pernah bercerita; kalau ia menemukan foto seorang laki-laki yang
beberapa waktu kemudian ia ketahui sebagai Baping, mantan kekasih Nenek.
Menurut cerita Papi: Nenek bilang, Baping itu orang hebat yang tidak ada
tandingannya. Tapi Nenek tidak pernah menceritakan kemungkinan yang terjadi
kalau mereka menjadi pasangan suami istri. Hanya saja adik sepupu Nenek yang
masih hidup,
pernah bercerita kalau Nenek masih menyimpan perasaan cinta terhadap Baping dan
ingin terus melindunginya dari pengaruh buruk yang bisa mencelakakannya. Sepupu
Nenek bahkan bilang kalau….”
“Kalau apa, Del?” tanyaku saat kalimat Delia menggantung cukup lama.
“Kalau…,
ada keturunan Nenek yang berjodoh dengan keturunan Baping, maka kejadian yang
sama akan terulang. Salah seorang titisan terpilih Baping akan menjadi penerus
ilmunya. Dan kemungkinan keturunannya itu akan mengalami kesulitan hidup yang
cukup besar,
karena ia menghadapi permasalahan dunia yang jauh lebih berat. Ia tidak akan
sanggup melewatinya sendirian, kecuali dia menikah dengan….”
“Cucunya Laila?”
Wajah Delia memerah. Semburat berwarna pink muncul di pipinya. Bola
matanya meredup dan ia menggigit bibir bawahnya seperti yang biasa dilakukan
seorang gadis,
saat diliputi perasaan cemas, malu, atau merasa ada sesuatu
yang salah dengan ucapannya.
“Iya kan, Del?” ulangku.
Delia mengangguk. “Ndra… aku rasa, kita sudah sama-sama dewasa dan
memahami apa arti semua ini.”
Sunyi kembali menjadi satu-satunya irama yang menyatukan kedekatan kami.
Aku, bahkan tidak tahu apa lagi yang hendak kutanyakan mengenai kehidupan Laila
dan keturunannya. Apakah benar kedekatanku dengan Delia merupakan sebuah
pertanda kalau kami memang berjodoh. Dia satu-satunya keturunan perempuan Laila
yang usianya sebaya denganku. Dan aku, adalah cucu Baping yang mewarisi ilmu
kedigjayaan itu. Apakah Delia memang tercipta untuk menjadi pendamping hidupku.
“Aku… Delia, kamu tahu kita sahabatan sejak kecil. Kita sudah sama-sama
mengenal sifat dan watak satu sama lain. Apakah kamu merasa kalau dirimu
menyimpan sebuah perasaan khusus padaku? Maksudku, apakah akan sama jadinya jika
kita menjalani hubungan ini, selain sebagai sahabat?”
Aku bisa mendengar Delia menghela napas, sesaat sebelum jari-jemari
lembutnya meraih jemariku. Perasaan hangat menjalar melalui sentuhan kulit,
juga lewat tatap matanya yang menyejukkan.
“Aku memiliki perasaan khusus itu, Ndra. Apakah kamu tidak
merasakannya?” bisik Delia, nyaris tak bisa kudengar. Suaranya berubah parau. Genggaman jemarinya
semakin kuat, seolah itu membuktikan kesungguhan ucapanya.
Aku sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan Delia yang begitu
tiba-tiba. Atau apakah aku tidak memiliki perasaan yang sama dengan Delia.
Mencintainya bukan hanya sebagai seorang sahabat? Desir-desir aneh merasuki
jiwaku. Nadiku bergejolak seirama detak jantungku yang berlompatan.
“Aku…,”
berkelebat kembali kenangan-kenangan masa kecil kami. Sepulang sekolah selalu
bersama. Sesekali mengerjalan PR sambil menikmati coklat hangat di gazebo rumah Delia.
Menikmati hujan dan banjir yang kadang menutupi sebagian taman pinggir sungai,
bermain ayunan,
dan saling dorong bergantian. Lalu pertemuan yang sedikit jarang, komunikasi
lewat telepon seluler dan jaringan internet. Beberapa tahun terakhir ini memang
agak lebih intens bertemu. Kami bisa berdiskusi kembali tentang isu-isu sosial
yang marak dibicarakan: tentang politik, tentang kecelakaan pesawat, tentang novel-novel yang
sedang Delia tulis. Tentang apa saja. Tetapi belum pernah sekalipun kami
membahas masalah cinta, rindu, atau perasaan-perasaan khusus satu sama lain.
Bertahun-tahun perasaan aneh itu kami jaga, supaya tidak ada seorang pun yang tersakiti
karenanya.
Tapi sekarang apa yang terjadi? Masing-masing dari jiwa kami bergejolak,
hingga meletup juga perasaan yang tersimpan rapi sekian lama. Apakah ini sebuah
awal yang baik bagi hubungan kami selanjutnya? Atau justru titik nol, yang akan menyebabkan aku terjebak dalam kungkungan tradisi yang
diwariskan oleh kakekku? Yang karena aku terus bersama Delia, maka aku akan tetap
memeliharanya?
“Aku, tidak ingin hidup bersamamu
dengan alasan aneh seperti itu.”
“Raindra, apa kamu tidak pernah bisa mengerti perasaanku, seperti selalu aku berusaha
menjinakkan perasaanku sendiri saat jauh darimu? Aku mencintaimu tanpa sebab.
Tanpa alasan, dan tanpa perlu penjelasan apapun. Aku ingin hidup bersamamu,
dengan atau tanpa embel-embel ilmu apapun yang kamu punya.” Delia menarik
tanganku,
hingga kedua jari kami saling bertaut lebih erat.
Genggaman itu, seolah memberikan
separuh kekuatan dalam dirinya, agar aku mampu membaca dan memahami situasi
yang tengah kami hadapi.
“Del… aku hanya takut. Seandainya kita bersama, bukankah itu sama
artinya dengan aku menerima semua ilmu warisan dari kakekku? Kamu tahu kan kalau aku
menolak semua atribut itu sejak dulu. Kamu tahu betapa sangat tersiksanya aku
dengan kekuatan six sense yang kumiliki.
Lalu kenapa kamu mau membiarkan hidupku semakin berat dengan membiarkan
kekuatan itu tetap bercokol dalam diriku?”
“Tidak, Ndra! Aku tidak akan membiarkanmu melewati semuanya seorang
diri. Aku juga memiliki apa yang biasa kamu sebut sebagai third eye, mata ketiga itu.” Delia tertunduk, seolah baru saja membuka sebuah rahasia besar
yang selama ini disembunyikannya. Selain, perasaan cintanya padaku.
“Jadi, kamu…?” aku tidak pernah sekalipun berpikir kalau Delia memiliki
sebuah compass eye, yang bisa melihat dengan sudut berbeda dari mata
manusia biasa. Manusia dengan kelebihan ini, bisa membuka pintu ke dimensi lain yang
jumlahnya mendapai tujuh dimensi dalam hidup ini. Tapi mengingat Delia adalah
turunan dari Laila yang juga memiliki banyak talenta khusus dalam dirinya, itu
membuatku tidak terlalu merasa heran.
“Aku pernah bertemu dengan kakekmu, saat ia seusia dengamu. Ia bercerita banyak
tentang kelebihan-kelebihan yang ia miliki; yang membuatnya sangat menderita. Sama seperti
dirimu sekarang. Tapi kakekmu memiliki sebuah keunikan yang berbeda, dibanding orang-orang
yang bisa menerawang masa depan lainnya. Ia bisa berada dalam dua tempat dan
dua masa sekaligus. Bahkan Baping bisa
berada di antara dua dunia yang
berbeda. Berkelana di alam lain, yang baginya terbuka luas dan bisa dengan
mudah ia lalui. Tanpa harus melewati berbagai macam ritual yang aneh-aneh. Tapi semua
yang ia miliki tidak lantas membuatnya merasa senang dan hebat. Justru
sebaliknya, ia merasa tersiksa dan tidak normal. Itu karena, dia terlalu sering menyaksikan berbagai macam
kejadian yang membahayakan hidupnya dan hidup orang banyak. Sebelum meninggal,
Baping pernah memintaku untuk selalu menjagamu, Ndra.”
“Del, please…. Aku…, aku tidak bisa…”
Kepala Delia tertunduk. Sebutir kristal menetes dari kelopak mata Delia, saat ia berusaha menahan
kedipnya. Satu persatu permata bening itu berguguran.
“Aku tidak bisa memaksamu, Ndra. Hidup adalah sebuah pilihan. Dan
manusia hanya bisa memilih mana yang menurutnya baik. Sedangkan Tuhan tidak
pernah salah menetapkan mana yang terbaik untuk kita. Mungkin aku bukanlah yang
terbaik untukmu.” Delia berdiri dengan derai air mata yang menganak sungai di
wajahnya. Lalu ia meninggalkanku tanpa bisa kucegah. Berulang kali kupanggil
namanya, tapi Delia tak pernah menoleh barang sedetikpun. Aku mematung di
tempatku berdiri. Kakiku terasa begitu berat. Delia sudah berlalu sangat jauh, hingga aku tak mampu
lagi mengejarnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar