KEBISUAN
CINTA IBU
Bebas! Ingin
sekali aku berteriak sekuat tenggorokanku mampu. Tetapi sipir berkumis
tebal itu masih saja menunjukkan taringnya. Meski kakiku sudah melewati
batas ‘waktu dan tempat’ yang selama lebih dari dua puluh tahun ini
mengurungku, mata tajam itu tetap saja
menghunus, menorehkan dendam yang tidak akan pernah mengikis di hatiku.
Dua
puluh tahun enam bulan aku dibuai rasa takut, marah, sepi, rindu dan putus asa.
Kenapa hukum ini begitu bodoh, hingga karena aku bisu, mereka bisa dengan mudah menjebloskanku ke
dalam penjara atas tuduhan yang tidak pernah aku lakukan. Atau aku yang memang
bodoh, hingga karena kebodohanku itu, aku tidak pandai bersilat lidah untuk
mengalahkan kecurangan yang sudah direkayasa. Uang mungkin lebih identik dengan
kepintaran, kecerdikan dan kepiawaian merangkai argumen. Hukum hanyalah sebuah
episode dalam skenario yang mudah diubah
dengan rupiah.
Hari
ini aku mencoba meniti kembali pematang hatiku yang hampir roboh tersapu waktu,
terinjak beban yang melebihi kapasitasnya. Dan hanya ada satu yang bisa
membangun semua itu menjadi utuh kembali, atau setidaknya membentuk pondasi
yang lebih kokoh. Ialah sebuah cinta dan kepercayaan dari seorang ibu.
Ya,
hanya ibu yang percaya kalau aku tidak sebejat itu. Merenggut nyawa manusia layaknya hewan untuk dimangsa,
memperkosa dan membuangnya begitu saja seolah menuntaskan hajat itu
hanyalah sebuah kebutuhan belaka. Sungguh, aku tidak ada daya untuk melakukan
itu. Menatap mata berair saja aku tidak sanggup, bagaimana bisa aku menyaksikan
darah menggenang di hadapanku. Dan hanya ibu yang percaya semua itu.
“Berdoalah, Anakku. Hanya kepada Tuhan kita
sanggup berserah. Bukan kepada manusia. Bukan kepada hukum, ataupun pada mereka
yang percaya kalau Kau pelakunya, “ Ibu menguatkan hatiku yang rontok seketika
itu.
“Kebenaran hanya milik Tuhan yang Maha
Melihat. Ini bukan saja cobaan dan ujian untuk kita, tetapi juga teguran atas
semua salah dan dosa yang mungkin tidak kita sadari.” Setitik air mata bergulir
menelusuri gurat lelah wajah Ibu. Mungkin lebih banyak tangis sudah ibu
tumpahkan di tengah malam dalam pengaduannya kepada Tuhan. Tapi bagiku
setetes air mata saja adalah
derita yang Ibu tanggung
karena semua kebodohanku. Lalu seulas senyum dan bening mata ibu yang
penuh cinta itu membuatku percaya kalau Ibu percaya.
Dengan
petuah Ibu aku semakin kuat.
Walaupun ayah tidak sanggup menanggung malu, dan lebih memilih berdiri di
antara lilitan tali yang ia percaya sanggup mengusir semua ketidakadilan ini,
aku tetap berusaha kuat. Karena Ibu pun selalu kuat.
Kebenaran
akan ditunjukkan pada waktunya kelak.
Aku
menatap kembali bangsal itu dari kejauhan. Bangunan yang terhalang dinding
tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Dunia tak terjamah dari pandanganku di
dalam sana. Hanya ada sekelompok manusia dengan beribu aturan yang
memisahkannya dari kehidupan normal, - atau justru begitulah definisi kehidupan normal
adanya di dalam sana. Bangsal tempat aku merenung saat malam menusuk perih,
saat kesendirian menarikku mundur pada masa ketika adrenalin remajaku menggila.
Masa, ketika aku selalu mengabaikan Ibu.
Tapi
hari ini aku bebas. Dan aku ingin pulang untuk memeluk Ibu dan
bersimpuh mencium kedua telapak kakinya. Ingin kurebahkan segala kepasrahan agar ia mau memaafkanku.
*
Langkahku terhenti saat seorang perempuan renta
mengibaskan tangan ke arahku, mencoba
menahanku supaya tetap berdiri di
pijakan terakhir. Itu bukan Ibu, karena Ibu pasti sedang menungguku dengan kerinduan yang
membuncah, lalu memelukku dengan cium dan air mata bahagia. Tapi itu memang
ibu. Hanya saja, kenapa gurat
wajahnya seolah tidak sedang mengharap aku kembali. Mengapa tatapnya mengiba
agar aku pergi jauh saja,
sejauh yang aku bisa.
Pasti
ada penjelasan yang masuk nalarku karenanya. Atau mungkin ini bukan waktu yang
tepat untuk aku kembali. Puluhan orang ternyata sudah menunggu kedatanganku.
Berita di televisi mungkin penyebab mereka ingin menyambutku. Tidak, mana mungkin mantan narapidana
seperti aku disambut bak pejuang menang
perang. Aku yakin, mereka hanya ingin menonton sekuel drama dengan berjudul ‘seorang pembunuh
pulang kampung’. Atau mereka hanya
ingin mencemooh, merajam, bahkan mungkin melampiaskan kebencian yang
selama ini terpendam dengan cara-cara yang aku tidak bisa menduganya.
Sebuah lemparan batu mendarat di kepalaku. Bentuk ketidak-terdugaanku, di hari pertama aku menghirup udara
bebas. Langkahku mendadak terhuyung karenanya. Darah segar mengalir
tanpa bisa aku bendung. Aku tersandung langkahku sendiri.
Ibu
menjerit seraya berhambur
memelukku. Tetapi ia pun tidak
kuasa berbuat apa. Matanya menumpahkan kesedihan yang dalam. Rasa takut, cinta,
dan iba. Aku tidak tahu hukuman jenis apa ini. Kalau hanya sebongkah batu bisa
membuatku jatuh, apa gunanya dua puluh tahun merenung dan mengumpulkan kekuatan
dalam penjara. Aku berdiri memapah Ibu yang juga ikut terluka. Berlindung dari
amukan orang-orang yang entah dari mana datangnya.
Kutatap
satu persatu mata orang-orang yang ada di sekelilingku dengan kebencian yang
tidak terukur dalamnya. Hingga mataku beradu dengan mata gelap itu. Mata gelap milik seorang lelaki
yang selama ini mengantarkanku keluar masuk jeruji dengan raut tanpa ekspresi. Lelaki yang
tidak pernah bicara selain hanya memanggil namaku dengan sentak
sengaunya. Mata itu yang
selalu menohokku dalam diam dan menjadi mimpi burukku setiap waktu.
Bahkan
di tengah kekacauan ini mestinya lelaki
yang hari ini tidak memakai seragam kebanggannya bertindak. Kecuali
kalau ia sendirilah justru yang
menciptakan ketidakberesan ini. Ya... seperti kebenaran yang terungkap dengan
sendirinya, melalui mulut
yang tidak pernah mengucapkan satu patah kata pun di depanku. Sedangkan aku
tidak tuli untuk mendengar apa yang pernah ia bicarakan dengan beberapa petugas penjaga penjara.
“Kita
bisa membereskannya.” Sebuah keputusan bulat sudah disepakati oleh pemilik mata
elang itu dengan sipir penjara berkumis lebat serta dua orang petugas lain yang
kemudian menyalaminya. Mereka
tersenyum seolah sebuah kemenangan telah diraihnya.
Aku
tidak bisu. Tapi aku selalu membisu karena untuk apa aku bersuara jika tidak
ada yang pernah mau mendengar. Aku tidak bisu, hanya saja menunggu waktu untuk
bicara. Dan demi Ibu aku tidak ingin selamanya tersingkirkan.
Aku
berdiri dan melepas pelukan Ibu meskipun ia tak menginginkannya. Kuseret sisa langkahku hingga mataku
beradu pandang dengan matanya. Aku tidak bisu, hingga mulut ini tidak berhenti
berteriak memaparkan kebenaran.
“Petugas sialan, untuk apa Kau beri makan anak
istrimu dari uang hasil sogokan? Kenapa kau tutupi kebenaran yang sudah lama
sekali kau tahu, sementara orang lain menderita begitu lama?”
Amarahku
melayang di mukanya. Tinjuku mendarat di setiap lekuk tubuhnya yang gempal.
Lelaki itu tersungkur dengan muka nanar. Aku tidak tahu kenapa ia tidak membalas serangan bertubi-tubiku.
“Lihat Ibu, lihat semua…. “ aku mengedarkan pandanganku pada orang-orang
yang beringsut mundur. “Lelaki ini menutupi kebenaran yang ia tahu sejak
lama. Ia melindungi anak seorang pejabat penting yang telah membunuh perempuan
itu, lalu dengan kejinya
membiarkan aku menanggung semua
perbuatan bangsat itu. Aku dijadikannya kambing hitam yang dungu.” Tinjuku kembali mendarat ke perutnya. Lalu aku tarik kerah kemeja lelaki itu
dan aku hadapkan pada Ibu, “Lihat… Ibuku menderita karena anaknya
dipenjara dan hampir dihukum mati. Kau
sudah merenggut pelukan Ibu dariku,” teriakku sambil melemparkan lelaki itu ke tanah. Dadaku sesak oleh
air mata yang tiada henti mengalir.
Ibu
merangkulku dan berbisik di sela tangisnya, “Ibu sudah tahu, Nak… sudahlah,
yang penting sekarang kamu pulang. Peluk Ibu, Nak… Ibu hanya ingin mendekapmu.
Sudahlah, relakan saja…” tangis Ibu
meledak di antara senyum bahagia yang mengembang di wajahnya.
Dadaku
bergemuruh karena amarah yang memuncak. Ibu ternyata sama bisunya dengan aku.
Ibu bahkan merelakan semua kebejatan dan ketidakdilan ini demi hidupku.
Aku yakin sebuah tekanan membuat Ibu memilih diam dan menerima semuanya.
Sebuah
kekuatan setan yang mendorongku
untuk menarik tubuh lelaki itu dan melawan
ketidakadilan ini. Aku menghujani tubuh itu dengan pukulan yang tiada henti.
Lelaki itu tersungkur, lalu bangkit
untuk menerima kembali hantaman emosiku, kemudian terjatuh dan aku tarik kembali dengan sebelah tanganku. Ia
sama sekali tidak menunjukkan perlawanan, padahal selama ini ialah yang paling berkuasa dalam hidupku.
Tiba-tiba dada ini terasa panas. Napasku berubah sesak dan
pandanganku mendadak jadi pudar. Sayup-sayup kudengar Ibu berteriak dan
menghambur ke arahku. Tubuhnya yang ringkih bahkan memaksaku tetap terjaga.
Lalu saat aku berusaha bangkit, sebuah letusan kembali terdengar, tetapi kali
ini aku tidak merasakan panas yang sama seperti beberapa detik yang lalu.
Ibu
terjatuh ke dalam pelukanku. Sepucuk senapan memuntahkan timah panas dan
menghujam jantungnya. Darah merembes
dari balik kebaya lusuhnya bersatu dengan darahku yang tak sanggup kutahan. Ibu melindungiku dari tembakan kedua
dan membiarkan dirinya menerima kekalahan yang selama ini ia pendam. Ibu lalu
membisu, dan aku melemas kaku.
*
Kutatap mata gelap yang kini
membiru. Ada rasa takut di sana. Galau, perih tidak terperi. Tapi itu belum
seberapa dibanding semua pengorbanan
Ibu. Dan aku tahu bagaimana
lelaki dengan sorot mata licik itu bisa menebusnya. Aku tahu, dan ia akan
segera membayarnya.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar