Sabtu, 22 Desember 2012

KEBISUAN CINTA IBU



KEBISUAN CINTA IBU


Bebas! Ingin sekali  aku berteriak sekuat tenggorokanku mampu. Tetapi sipir berkumis tebal itu masih saja menunjukkan taringnya.  Meski kakiku sudah melewati batas  ‘waktu dan tempat’ yang selama lebih dari dua puluh tahun ini mengurungku, mata tajam itu tetap saja menghunus, menorehkan dendam yang tidak akan pernah mengikis di hatiku.
            Dua puluh tahun enam bulan aku dibuai rasa takut, marah, sepi, rindu dan putus asa. Kenapa hukum ini begitu bodoh, hingga karena aku bisu, mereka bisa dengan mudah menjebloskanku ke dalam penjara atas tuduhan yang tidak pernah aku lakukan. Atau aku yang memang bodoh, hingga karena kebodohanku itu, aku tidak pandai bersilat lidah untuk mengalahkan kecurangan yang sudah direkayasa. Uang mungkin lebih identik dengan kepintaran, kecerdikan dan kepiawaian merangkai argumen. Hukum hanyalah sebuah episode dalam skenario yang mudah diubah dengan rupiah.
            Hari ini aku mencoba meniti kembali pematang hatiku yang hampir roboh tersapu waktu, terinjak beban yang melebihi kapasitasnya. Dan hanya ada satu yang bisa membangun semua itu menjadi utuh kembali, atau setidaknya membentuk pondasi yang lebih kokoh. Ialah sebuah cinta dan kepercayaan dari seorang ibu.
            Ya, hanya ibu yang percaya kalau aku tidak sebejat itu. Merenggut nyawa manusia layaknya hewan untuk dimangsa, memperkosa dan membuangnya begitu saja seolah menuntaskan hajat itu  hanyalah sebuah kebutuhan belaka. Sungguh, aku tidak ada daya untuk melakukan itu. Menatap mata berair saja aku tidak sanggup, bagaimana bisa aku menyaksikan darah menggenang di hadapanku. Dan hanya ibu yang percaya semua itu.
             “Berdoalah, Anakku. Hanya kepada Tuhan kita sanggup berserah. Bukan kepada manusia. Bukan kepada hukum, ataupun pada mereka yang percaya kalau Kau pelakunya, “ Ibu menguatkan hatiku yang rontok seketika itu.     
             “Kebenaran hanya milik Tuhan yang Maha Melihat. Ini bukan saja cobaan dan ujian untuk kita, tetapi juga teguran atas semua salah dan dosa yang mungkin tidak kita sadari.” Setitik air mata bergulir menelusuri gurat lelah wajah Ibu. Mungkin lebih banyak tangis sudah ibu tumpahkan di tengah malam dalam pengaduannya kepada Tuhan.  Tapi bagiku  setetes air mata saja adalah derita yang Ibu tanggung karena semua kebodohanku.  Lalu seulas senyum dan bening mata ibu yang penuh cinta  itu membuatku percaya kalau Ibu percaya.
            Dengan petuah Ibu aku semakin kuat. Walaupun ayah tidak sanggup menanggung malu, dan lebih memilih berdiri di antara lilitan tali yang ia percaya sanggup mengusir semua ketidakadilan ini, aku tetap berusaha kuat. Karena Ibu pun selalu kuat.
            Kebenaran akan ditunjukkan pada waktunya kelak.
            Aku menatap kembali bangsal itu dari kejauhan. Bangunan yang terhalang dinding tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Dunia tak terjamah dari pandanganku di dalam sana. Hanya ada sekelompok manusia dengan beribu aturan yang memisahkannya dari kehidupan normal, - atau justru begitulah definisi kehidupan normal adanya di dalam sana. Bangsal tempat aku merenung saat malam menusuk perih, saat kesendirian menarikku mundur pada masa ketika adrenalin remajaku menggila. Masa, ketika aku selalu mengabaikan Ibu.
            Tapi hari ini aku bebas. Dan aku ingin pulang untuk memeluk Ibu dan bersimpuh mencium kedua telapak kakinya. Ingin kurebahkan segala kepasrahan agar ia mau memaafkanku.
*
            Langkahku terhenti saat seorang perempuan renta mengibaskan tangan ke arahku, mencoba menahanku supaya tetap berdiri di pijakan terakhir. Itu bukan Ibu, karena Ibu pasti sedang menungguku dengan kerinduan yang membuncah, lalu memelukku dengan cium dan air mata bahagia. Tapi itu memang ibu. Hanya saja, kenapa gurat wajahnya seolah tidak sedang mengharap aku kembali. Mengapa tatapnya mengiba agar aku pergi jauh saja, sejauh yang aku bisa.
            Pasti ada penjelasan yang masuk nalarku karenanya. Atau mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk aku kembali. Puluhan orang ternyata sudah menunggu kedatanganku. Berita di televisi mungkin penyebab mereka ingin menyambutku. Tidak, mana mungkin mantan narapidana seperti aku disambut bak pejuang menang perang. Aku yakin, mereka hanya ingin menonton sekuel drama dengan berjudul ‘seorang pembunuh pulang kampung’. Atau mereka hanya ingin mencemooh, merajam, bahkan mungkin melampiaskan kebencian yang selama ini terpendam dengan cara-cara yang aku tidak bisa menduganya.
             Sebuah lemparan batu mendarat di kepalaku. Bentuk ketidak-terdugaanku, di hari pertama aku menghirup udara bebas. Langkahku mendadak terhuyung karenanya. Darah segar mengalir tanpa bisa aku bendung. Aku tersandung langkahku sendiri.
            Ibu menjerit seraya berhambur memelukku. Tetapi ia pun tidak kuasa berbuat apa. Matanya menumpahkan kesedihan yang dalam. Rasa takut, cinta, dan iba. Aku tidak tahu hukuman jenis apa ini. Kalau hanya sebongkah batu bisa membuatku jatuh, apa gunanya dua puluh tahun merenung dan mengumpulkan kekuatan dalam penjara. Aku berdiri memapah Ibu yang juga ikut terluka. Berlindung dari amukan orang-orang yang entah dari mana datangnya.
            Kutatap satu persatu mata orang-orang yang ada di sekelilingku dengan kebencian yang tidak terukur dalamnya. Hingga mataku beradu dengan mata gelap itu. Mata gelap milik seorang lelaki yang selama ini mengantarkanku keluar masuk jeruji dengan raut tanpa ekspresi. Lelaki yang tidak pernah bicara  selain hanya memanggil namaku dengan sentak sengaunya. Mata itu yang selalu menohokku dalam diam dan menjadi mimpi burukku setiap waktu.
            Bahkan di tengah kekacauan ini mestinya lelaki yang hari ini tidak memakai seragam kebanggannya bertindak. Kecuali kalau ia sendirilah justru yang menciptakan ketidakberesan ini. Ya... seperti kebenaran yang terungkap dengan sendirinya, melalui mulut yang tidak pernah mengucapkan satu patah kata pun di depanku. Sedangkan aku tidak tuli untuk mendengar apa yang pernah ia bicarakan dengan beberapa petugas penjaga penjara.
            “Kita bisa membereskannya.” Sebuah keputusan bulat sudah disepakati oleh pemilik mata elang itu dengan sipir penjara berkumis lebat serta dua orang petugas lain yang kemudian menyalaminya. Mereka tersenyum seolah sebuah kemenangan telah diraihnya.
            Aku tidak bisu. Tapi aku selalu membisu karena untuk apa aku bersuara jika tidak ada yang pernah mau mendengar. Aku tidak bisu, hanya saja menunggu waktu untuk bicara. Dan demi Ibu aku tidak ingin selamanya tersingkirkan.
            Aku berdiri dan melepas pelukan Ibu meskipun ia tak menginginkannya. Kuseret sisa langkahku hingga mataku beradu pandang dengan matanya. Aku tidak bisu, hingga mulut ini tidak berhenti berteriak memaparkan kebenaran.
             “Petugas sialan, untuk apa Kau beri makan anak istrimu dari uang hasil sogokan? Kenapa kau tutupi kebenaran yang sudah lama sekali kau tahu, sementara orang lain menderita begitu lama?”
            Amarahku melayang di mukanya. Tinjuku mendarat di setiap lekuk tubuhnya yang gempal. Lelaki itu tersungkur dengan muka nanar. Aku tidak tahu kenapa ia tidak membalas serangan bertubi-tubiku.
             “Lihat Ibu, lihat semua…. “ aku mengedarkan pandanganku pada orang-orang yang beringsut mundur. “Lelaki ini menutupi kebenaran yang ia tahu sejak lama. Ia melindungi anak seorang pejabat penting yang telah membunuh perempuan itu, lalu dengan kejinya membiarkan aku menanggung semua perbuatan bangsat itu. Aku dijadikannya kambing hitam yang dungu.Tinjuku kembali mendarat ke perutnya. Lalu aku tarik kerah kemeja lelaki itu dan aku hadapkan pada Ibu, “Lihat… Ibuku menderita karena anaknya dipenjara dan hampir dihukum mati. Kau sudah merenggut pelukan Ibu dariku,” teriakku sambil melemparkan lelaki itu ke tanah. Dadaku sesak oleh air mata yang tiada henti mengalir.
            Ibu merangkulku dan berbisik di sela tangisnya, “Ibu sudah tahu, Nak… sudahlah, yang penting sekarang kamu pulang. Peluk Ibu, Nak… Ibu hanya ingin mendekapmu. Sudahlah, relakan saja…” tangis Ibu meledak di antara senyum bahagia yang mengembang di wajahnya.
            Dadaku bergemuruh karena amarah yang memuncak. Ibu ternyata sama bisunya dengan aku. Ibu bahkan merelakan semua kebejatan dan  ketidakdilan ini demi hidupku. Aku yakin sebuah tekanan membuat Ibu memilih diam dan menerima semuanya.
            Sebuah kekuatan setan yang mendorongku untuk menarik tubuh lelaki itu dan melawan ketidakadilan ini. Aku menghujani tubuh itu dengan pukulan yang tiada henti. Lelaki itu tersungkur, lalu bangkit untuk menerima kembali hantaman emosiku, kemudian terjatuh dan aku tarik kembali dengan sebelah tanganku. Ia sama sekali tidak menunjukkan perlawanan, padahal selama ini ialah yang paling berkuasa dalam hidupku.
               Tiba-tiba dada ini terasa panas. Napasku berubah sesak dan pandanganku mendadak jadi pudar. Sayup-sayup kudengar Ibu berteriak dan menghambur ke arahku. Tubuhnya yang ringkih bahkan memaksaku tetap terjaga. Lalu saat aku berusaha bangkit, sebuah letusan kembali terdengar, tetapi kali ini aku tidak merasakan panas yang sama seperti beberapa detik yang lalu.
            Ibu terjatuh ke dalam pelukanku. Sepucuk senapan memuntahkan timah panas dan menghujam jantungnya. Darah merembes dari balik kebaya lusuhnya bersatu dengan darahku yang tak sanggup kutahan. Ibu melindungiku dari tembakan kedua dan membiarkan dirinya menerima kekalahan yang selama ini ia pendam. Ibu lalu membisu, dan aku melemas kaku.
*
            Kutatap mata gelap yang kini membiru. Ada rasa takut di sana. Galau, perih tidak terperi. Tapi itu belum seberapa dibanding semua  pengorbanan Ibu. Dan aku tahu bagaimana lelaki dengan sorot mata licik itu bisa menebusnya. Aku tahu, dan ia akan segera membayarnya.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar