Orang bilang
Cinta itu buta. Tak peduli seberapa jelek orang yang kita cintai, di mata kita selalu
tampak sempurna. Hidung pesek bukan jelek, tetapi unik. Mata belo kayak ikan
koki begitu indah dipandang. Bibir
manyun seperti pantat ayam kelihatan sexy dan menggairahkan. Semua kekurangan
si dia, tampak berbeda di mata orang
yang sedang jatuh cinta. Kalau sudah begitu, buat apa kita repot-repot belajar
hypnotis dari Romy Rafael . Toh si dia pasti bertekuk lutut di depan mata tanpa
harus diminta.
Tapi bagaimana mungkin orang lain
bisa jatuh cinta kalau kita tidak berusaha menebar aroma cinta itu pada mereka.
Makanya, cewek ramah biasanya menjadi perhatian cowok-cowok. Cowok tidak perlu lagi
diajarin apa itu inner beauty karena
itu adalah jawaban standard cowok
saat ditanya type cewek apa yang mereka sukai. Tentu saja setelah predikat
‘cantik’ lengkap dengan cirri-ciri
fisiknya mereka sebutkan di awal. Puihh.. ujung-ujungnya tetep aja ke
fisik. Wajah, body, model rambut, pakaian, cara jalan, cara ngomong, Cuma
ciri-ciri yang dimiliki cewek-cewek sekaliber model yang pasti menarik
perhatian cowok.
“Hai cantik….,” seorang cowok
melintas di depan mataku dengan seringai : ‘cewek kita dangdutan yuk’-nya.
Oekkk!!!
Kebanyakan cowok memang mengejar
cewek cantik sekaligus punya yang namanya inner
bauty tadi. Nah Kalau cewek punya inner
beauty, cowok punya apa ya? Inner
handsome gitu? Maksa banget kayaknya. Tapi whatever istilahya, aku gak peduli.
Sama seperti cowok-cowok yang mengejar cewek cantik luar dalam, aku juga
boleh dong mencari cowok dengan type yang tidak jauh berbeda dengan standard
cowok-cowok dalam memilih cewek : ganteng, macho, tapi punya inner handsome.
Wah, istilah inner handsome ini
terkesan mengada-ada. Tapi okelah : jujur, bertanggung jawab, baik dan
perhatian. Tidak pernah ingkar janji, penyayang sama keluarga, cepat mengambil
keputusan, wah banyak juga ya daftarnya. Apa ada cowok kayak gitu?
Sambil terus berfikir begitu, aku
menyisir rambutku yang sejak dua tahun terakhir ini aku biarkan panjang
terurai. Beruntung rambutku lurus selurus-lurusnya tanpa harus repot-repot
dicatok setiap hari. Teman-teman di kampusku sampai dengan hari ini masih saja
belum percaya kalau aku hanya shampoan biasa seperti yang ada di iklan-iklan
itu. Creambath dua minggu sekali sih iya, itu wajib aku lakukan supaya rambutku
tidak lepek. Tapi itu tidak harus
dilakukan di salon koq. Jadi kalau dibilang cewek tuh boros, tidak juga. Dari
tempatku duduk di bawah pohon tua ini, sesekali aku melihat dari sela-sela
pagar kawat di kejauhan cowok-cowok lagi main basket. Ada Ardy yang aku kenal
sejak SMA, Biyan anak terbaik Fekon dan Mario, rival mereka dalam three on three dari Fakultas Ilmu Sosial.
Ketiga cowok itu belakangan ini
menjadi sebagian dari cowok-cowok yang masuk dalam daftar pencarian pasangan
pendamping wisudaku nanti. Aku memang pernah punya cowok, tapi hubungi kami
baru saja putus. Tidak perlu aku ceritakan kenapa kami bubaran. Yang jelas aku
sudah bosan dengan sikapnya yang arogan dan sepertinya terlalu melecehkan
cewek. Aku kembali memperhatikan mereka. Keringat bercucuran di kening Biyan.
Ardy masih bisa melakukan shoot di
tengah nafasnya yang sudah ngos-ngosan. Sementara Mario masih kelihatan bugar. Tidak
tahu apa yang ia biasa ia makan sampai se-cool
itu. Seperti ia tahu aku membicarakannya dalam hati, ia melirik ke arahku dan
melambaikan tangannya sebelum kemudian berhasil merebut bola dari tangan pemain
lain yang sedang melakukan dribble.
Senyum puas menghias wajahnya yang putih.
“Hai cewek, “ sebuah suara
cempreng mengagetkan aku. Inge, sahabat dekatku, langsung duduk di samping aku sambil mengeluarkan
jajanan khas anak kost kehabisan bekel. Bakwan goreng sama pisang molen.
“Masih makan yang begituan,
Nge?” delikku, “ Nggak sehat tuh.” Aku memang pernah mengingatkan Inge untuk
mengurangi makan gorengan yang djual di jalan depan menuju kampus. Bukan
apa-apa, aku pernah melihat si abang tukang gorengan mencampurkan sesuatu ke
minyak dalam wajan penggorengannya. Sudah minyaknya seperti tidak diganti
berhari-hari, ditambah serbuk apa nggak jelas diaduk dengan minyak itu.
“Gue lagi bokek nih. Elo lagi
kayak yang nggak pernah makan aja,” kilah Inge.
“Gue juga suka kali, Nge. Tapi
buatan nyokap di rumah yang minyaknya tuh non kolesterol. Lagian tidak
banyak-banyak dan dijadiin hoby kayak Lo gitu.” Semburku. Emang gitu sih gaya
bicaraku sama Inge. Cewek tomboy ini sudah aku kenal sejak SMP kali. Kami
berdua pernah satu kelas dan lumayan akrab. Lepas SMP kami sekolah di SMU
berbeda. Nah di kampus ini kami dipertemukan kembali, dan menjadi jauh lebih
akrab dibanding dulu.
“Iya Miss Perfect. Perasaan Lo tuh calon sarjana ekonomi deh, bukan
calon dokter atau ahli gizi gitu,” tetep aja ia mendebat omonganku. “Eh Lo tahu
gak, May, kenapa si Gilang putus sama Neysa?”
Aku menggeleng kepala. Tidak
tahu, sekaligus heran, bisa dengan cepat Inge mengganti topik pembicaraan kami.
Atau jangan-jangan ia memang sengaja menghampiriku untuk menceritakan ini
semua.
“Tuh cowok memergoki si Neysa
selingkuh!” mata Inge sampai melotot untuk menegaskan atau mungkin memaksa aku
untuk kaget.
“Oh, ya?” balasku cuek. Sumpah.
Ini adalah bahan obrolan yang paling tidak aku
sukai, yang selalu Inge bawa di saat aku sama sekali tidak mau denger
gossip apapun. Cukup infotainment di televisi yang bikin otakku kurang gizi
saja, tidak perlu aku denger dalam kehidupan nyata di sekitarku. Tapi makhluk
ini paling bisa memaksa aku untuk tidak lepas dari berita yang ia bawa. Sekonyol
apapun itu.
Inge menbibir kecewa saat melihat
sikapku yang cuek. Tapi sedetik kemudian ia kembali mengganti chanel beritanya dengan berita lain yang
tidak kalah ngebeteinnya. “Pasti yang ini Lo belum tahu deh, Ayu lagi
ngedeketin Mario!. Iya! Ayu yang kemaren dapet beasiswa ke Canada itu.” Serunya
berapi-api.
“Maksud Loh?” aku tidak begitu
jelas kenapa berita tentang Ayu, harus masuk dalam daftar info yang harus aku
dengar, seolah tuh cewek adalah seseorang yang menjadi sainganku dalam sebuah
kompetisi.
“Gini deh, gue ganti subjeknya
ya, biar Lo connect, MARIO, gebetan
Lo, sekarang ini,lagi dideketin sama cewek lain. Ya si Ayu itu!” Inge
menghabiskan potongan terakhir pisang molennya. Ia melemparkan bungkus makanan
itu sembarangan, lalu memungutnya begitu melihat mataku mau copot.
“Wah,gue ada saingan dong,” aku
sengaja membuat nada suaraku seperti sedang ketakutan. Padahal masa bodoh juga
kali ya, mau dideketin si Ayu kek,
dikejar-kejar cewek sekampus juga aku sama sekali tidak perduli. Aku hanya
kagum doang sama Mario. Selain macho, cowok itu kelihatan tidak pernah
macam-macam di kampus. Jago basket, IPKnya juga di atas rata-rata. Khusus untuk
yang satu ini aku emang meminta bantuan jasa teman dekatnya Mario untuk ngasi
bocoran nilai-nilainya. Niat banget ya, hehe. Tapi kenapa begitu dengar ada
cewek lain yang berusaha mengejar Mario, koq perasaanku biasa-biasa aja ya.
“Emang Lo, nggak beneran suka
sama tuh cowok. Koq reaksi Lo biasa-biasa aja?” Inge pintar juga membaca
pikiran orang lain. Mungkin karena udah terlalu dekat dengan aku kali ya.
“Iya sih, gue lagi bingung nih
Nge. Gue emang suka sama beberapa cowok di kampus kita ini. Maksud gue, suka,
ya, bukan cinta. Lo bisa bedain kan? Dan gue emang lagi nyari pasangan bukan
cuma buat jadi pendamping wisudaan nanti. Tapi, Lo tau kan gue udah ngejomblo
sejak kapan. Jadi gue lagi cari cowok yang gue harepin bisa jadi pendamping gue
buat jangka panjang.” Jawabku membuat Inge melongo.
“Gila, baru kali gue denger
omongan Lo panjang. Bergizi, non kolesterol, kayak gini,” ledek Inge. Ia kali
ini berhasil melempar gulungan kertas bekas gorengan ke bak sampah yang
jaraknya sekitar 2 meter dari bangku kayu tempat kami duduk. Aku memberinya
tisu, dan ia mengelap mulutnya cepat-cepat. Dasar cewek tomboy!
“Gue serius Nge. Lo tahu kan di
Ardy. Gue kenal dia sejak SMU. Emang sih belum pernah sekelas. Tapi kami sering
lirik-lirikan secara tidak sengaja. Dan itu bikin jantung gue deg-degan. Kalau
aja gue tidak pernah jadian sama Erlangga, mungkin gue bisa deketin dia dan
mastiin apa arti pandangan dan senyuman dia itu.”
“Busyet, cewek jaman sekarang,
nggak ada malu-malunya ya nyatain perasaan suka sama cowok. Dengan berbagai
cara lagi, ada yang terang-terangan kayak si Ayu, ada juga yang malu-malu
kucing tapi melakukan agresi juga kayak Lo. Tau deh Bu Kartini bakalan senang
atau sedih ya kalo perempuan jaman sekarang tuh mengartikan emansipasi secara
berlebihan.”
“Pake bawa-bawa RA Kartini
segala. Emang Lo nggak pernah suka sama cowok?” semprotku. Pipi Inge mendadak
merah. “Gue tahu koq, siapa cowok yang lagi Lo deketin. Gue kan juga sering
denger gosip-gosip tentang Lo,” pancingku.
“Jangan bilang Lo pernah denger
juga kalau gue sedang deketin Pak Sam?” bisik Inge.
“Oow, jadi beneran Lo lagi
pedekate sama Pembantu Dekan Satu kita?” tembakku membuat Inge nyaris tidak berkutik. Padahal sumpah, tadi tuh aku asal
ngomong aja. “Terus, apa kata Ibu Kita
Kartini?” ledekku.
Inge mencubit pinggangku, lalu
kami tertawa terpingkal-pingkal bersama. Siang itu aku mencoba mengusir satu
persatu perasaan sukaku sama cowok-cowok setelah mendengar pengakuan Inge
tentang pedekatenya dengan Pak Sam. Dia bilang, Pak Sam itu type cowok yang
sangat bertanggung jawab.Baik dan pengertian. Penyayang, dan sangat menghormati
wanita. Salut aku sama Inge. Cewek tomboy sahabatku itu ternyata sedang jatuh
cinta beneran, sama cowok yang usianya beda jauh banget. Tapi, itulah, love is blind.
Malamnya aku merenung. Mengingat
pendapat Inge sahabatku tentang Ardy, yang tiada lain adalah sahabatnya
Erlangga, mantan cowokku. Apa yang Erlangga bakal pikirkan kalau aku memilih
Ardy menjadi pendamping wisudaku nanti. Mungkin Erlangga akan mengira kalau
hubunganku dengannya kemarin-kemarin hanya menjadi jembatan supaya aku bisa
ketemu dengan Ardy, yang saat itu sedang menjalin hubungan dengan Shinta,
temannya Erlangga juga. Dan aku tidak sepenuhnya mencintai Erlangga, tetapi
Ardy lah cowok yang singgah di hatiku.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya cowok itu melihat aku
jadian sama Ardy, terlepas hubunganku putus dengannya juga gara-gara dia
sendiri yang over protektif.
Aku tahu, nobody’s perfect, tetapi sakit rasanya mendengar dan melihat
sendiri secara langsung dari mulut Erlangga yang sedang membangga-banggakan
dirinya karena menjadi cowok seorang calon Putri Indonesia. Tapi kemudian
membeberkan kalo ternyata si calon putri terkenal itu juga punya sisi
kelemahannya sebagai cewek, yang kemudian menjadi bahan tawaan cowok-cowok yang
senang menanggap ocehan Erlangga sore itu.
Aku juga tahu kalau Erlangga bercanda menjadikan aku sebagai bahan
taruhan buat siapa aja yang bisa menjadi pengganti dirinya nanti kalau putus
dengan aku. Tapi tetap aja sakit banget rasanya diperlakukan seperti itu. Menjadi bulan-bulanan cowok-cowok
di kampus tidak masalah bagiku, tetapi perlakuan Erlangga seperti itu lebih
menyebalkan.
Akhirnya aku putus beneran
dengan Erlangga. Dengan ataupun tanpa persetujuan dia. Aku terus menghindar.
Dan Erlangga seperti juga saat pertama berusaha mendapatkan cintaku, terus
mengejar dan berkali-kali meminta maaf atas perlakuannya padaku. Sejujurnya aku
sudah memaafkannya. Tetapi aku tidak mau terjebak dalam kesalahan yang sama.
Bukan aku tidak mau memberikannya kesempatan kedua, tetapi buat apa, toh type
cowok seperti Erlangga akan terus bersikap seperti itu. Malah bisa menjadi-jadi
dia karena ternyata bisa menaklukkan hati sang putri dengan mudah.
Dan beginilah aku sekarang.
Orang bilang akulah si High Quality
Jomblo sejati. Dengan performance dan catatan prestasiku yang lumayan
banyak, cowok semakin enggan mendekatiku. ‘Hanya cowok-cowok ambisius aja yang
senang mengejar cewek-cewek super kayak Lo’ begitu kata Inge. Entah sedang
memberikan spirit atau malah menjatuhkan semangatku buat dapat cowok lagi.
“Lo, mesti pasang target, dan
kriteria yang sepadan dengan Lo,” Inge pernah memberiku ceramah. Perasaan tidak
ada deh teori relationship yang mengajarkan hal seperti itu.
Tapi, aku turuti saja saran
Inge. Aku pasang target cowok mana aja yang dalam sebulan ini bisa aku deketin,
tentu saja dengan cara yang tidak sepulgar Ayu, tentuin kriteria cowok yang
kata Inge ‘sepadan’ dengan aku, meskipun aku sendiri punya definisi berbeda
dengan kata yang sama yang Inge maksud. Beberapa cowok masuk dalam daftar yang
sedang aku seleksi. Dan tinggal tiga cowok yang aku lihat di lapangan basket
itulah seleksi terakhirku.
Tetapi kendala baru kemudian
muncul. Mahkluk genit yang bernama Ayu yang dengan pedenya mencoba menarik
simpati Mario, lalu Ardy yang belakangan ini baru aku ngeh, kurang sensitive
terhadap perasaan cewek, dan Byan digosipin gay gara-gara selalu nolak jalan
sama cewek. Duh padahal Cuma ketiga cowok itu harapan terakhirku. Untung ada
Inge dengan team suksenya yang bisa memburu berita paling akurat, tajam dan
terpercaya. Kalah deh infotainment atau liputan 6 yang ada di tv swasta itu.
Kalau sudah buntu begini aku gak tahu harus bagaimana lagi.
*
Siang ini, aku benar-benar malas
makan. Minum jus alpukat tanpa gula atau makan es krim buah-buahan menjadi
kebiasaanku kalau lagi tidak mood seperti ini. Dan aku memang sedang menikmati
es krim rasa strawberry coklat, saat
Inge tiba-tiba datang dengan katalog supermarket yang sudah ditandai di
sana sini dengan centangan spidol warna hitam.
“Anterin gue ke supermarket yuk,
Cin,” rajuk Inge. “Nyokap gue nyuruh belanja bulanan nih.”
“Lah, emang si bibi ke mana,
Non?” aku malah balik nanya, pertanda untuk urusan yang satu ini pun aku bad mood.
“Dia nganterin nyokap ke
arisannya Tante Widya. Ayo dong, entar gue traktir es kirim deh. Oh ya lagi ada
promo tuh, difoto bareng badut, Lo kan, suka meluk-meluk tuh badut es krim,”
lanjut Inge membuat mataku tiba-tiba cling-cling begitu mendengar es krim dan
nama badut disebut-sebut.
Aku emang suka banget dengan
badut, terutama badut es krim yang gendut, lucu dan kalo dipeluk tuh hangat
banget. Terakhir aku ketemu tuh badut perasaan sebulan yang lalu deh, di
supermarket dekat dengan kampusku. Waktu itu lagi ada promo produk baru, dan
aku beli beberapa potong es krim supaya bisa difoto bareng dengan tuh badut dan
dapet hadiah vcd pula. Waktu kecil,
setiap perayaan ulang tahunku, papa selalu mengundang badut untuk meramaikan
suasana pesta ultahku. Makanya kesan senang tuh selalu aku dapat kalau ketemu
dengan badut. Malah beranjak gede sedikit aku pengen punya pacar seorang badut.
Gila, ya..
Setelah mengantar Inge membeli
semua kebutuhan dapurnya, ia menepati janji dengan membelikan aku es krim.
Hemh.. yummy… Ini kali kedua aku ketemu badut yang sama dengan yang pernah aku
temuin di tempat lain. Dan aku pun bergaya sama hebohnya waktu difoto bareng
maskot es krim kesukaanku itu. Si badut tanpa mengenal lelah melayani pembeli
yang ingin difoto dengannya. Hebat tuh badut, dari dulu selalu kelihatan riang
gembira. Tapi apa orang di dalam boneka besar itu bisa merasakan kegembiraan
yang aku atau para penyuka es krim itu rasakan?
“Eh, Nge, tuh badut kasian juga
ya, setiap hari nggak ada cape-capenya say
hello, nyalamin pembeli, difoto, ditarik-tarik anak kecil? Kalo gue sih
udah bĂȘte setengah mati, kali. Udah gitu pasti panas kan pake kostum kayak
gitu,” ujarku sambil menikmati sisa es krimku. Seolah mendengar apa yang aku
bicarakan dengan Inge, tuh badut dari kejauhan dadah-dadah gitu ke arahku. Aku
membalasnya dengan senyuman dan dadah-dadahan juga. Hihi norak ya..
“Lo tanya aja sama Galih,” jawab
Inge cuek. “Anak Majalah Kampus itu, Lo kan pernah diwawancarai sama dia waktu
edisi Hari Lingkungan Hidup itu,” lanjutnya tanpa ekspresi.
“Kenapa gue mesti nanya sama
dia, emang dia pernah wawancara sama tuh badut juga, gitu?” tanyaku bingung.
“Emang Lo belum tahu?” selidik
Inge bikin aku tambah bingung. “ Tuh isi boneka gede itu siapa? Ya si Galih itu
lah di dalamnya,” lanjutnya.
“Hah? Si Galih, wartawan kampus
itu jadi badut? Serius Lo? Waduh gue udah gaya macem-macem lagi tadi,” aku jadi
malu sendiri dengan gaya-gaya norakku bareng badut es krim di depan kamera si
mas fotografer tadi.
“Kirain gue udah tahu, Lo, May.
Makanya Lo akrab-akraban gitu sama dia.”
“Ah, rese, Lo, Nge, nggak ngasi
tau gue dari kemaren-kemaren. Gue kan
jadi malu nih,” aku beneran jadi malu dan nggak enak hati, meluk-meluk si
Galih, sebagai badut tadi. Padahal waktu wawancara untuk majalah kampus itu aku
jaimnya setengah mati. Bukan apa-apa, rentetan pertanyaan Galih yang brilian
sebanding dengan pertanyaan-pertanyaan juri waktu aku ikut beberapa beauty competition. Dan aku nyaris
dibuat bego karena menjawab pertanyaan-pertanyaan sambil gelagapan. Dan tentu
saja bukan cuma itu, pesona wartawan kampus itu hilangnya lumayan lama dari
benakku.
“Ya udah, kepalang tanggung,
kita samperin aja yuk ke kos-kosannya ntar sore. Sekalian deh Lo bilang kalo Lo
baru tahu Galih jadi maskot es krim, gimana?”
Tidak ada pilihan lain, akhirnya
aku menyetujui saran Inge. Maka sore itu juga aku sama Inge datang ke kos-kosannya Galih.
Waktu aku sama Inge datang,
Galih kebetulan lagi keluar beli makanan atau apa. Dan temennya yang kebetulan
lagi nongkrong di halaman depan kamarnya, nyuruh aku sama Inge untuk nunggu di
dalam aja. Kamar ko Galih terdiri dari dua ruangan. Jadi sebelum masuk ke kamar
tidur ada sebuah ruangan yang bisa dipakai sebagai ruang tamu gitu. Aku dan
Inge pun masuk ke ruang bagian depan itu.
Begitu masuk, aku melihat di dinding-dinding ruangan tamu itu berjejer
foto-foto hasil jepretan Galih. Gila, keren-keren banget. Selain gambar-gambar
unik, juga ada foto foto wajah, orang, lingkungan, pemandangan alam, yang
semuanya itu kelihatan seperti sebuah karya seni professional dan bukan foto-foto
jepretan biasa. Di dinding lain aku juga
melihat foto Galih dengan kostum badut yang bagian kepalanya dilepas sehingga
aku yakin kalau isi badut itu adalah beneran Galih. Kepala Galih yang kecil
menyembul di atas kostum badut yang besar itu sambil tersenyum. Senyum yang
manis, bisikku dalam hati. Tampak tulus dan tidak ada mengada-ada.
Lalu aku melihat foto-foto lain
yang dipajang khusus di atas sebuah meja di bagian pojok ruangan. Foto-foto
yang dibingkai dengan berbagai ukuran itu ditata rapi menghadap kursi mungil
yang mengapit meja itu. Foto-foto yang
membuat jantungku berdetak tak menentu. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajah
Inge kalau melihat foto-foto itu.
“Lo, udah kenal lama ya sama,
dia?” bisik Inge sambil menyikut pinggangku. Matanya tidak lepas dari bingkai
foto-foto itu. Foto-foto yang tiada lain dan tiada bukan adalah foto-foto aku
dengan berbagai gaya dari beberapa angle berbeda. Tetapi herannya aku sendiri
tidak tahu di mana dan kapan gambar-gambar itu diambil. Kecuali foto aku dengan
seorang badut di depan mobil es krim yang dipajang di tengah-tengah meja.
Aku tidak menjawab. Kepalaku
menggeleng lemah, antara senang, kesal dan marah. Bagaimana mungkin ada
foto-foto aku yang dipajang di sembarang tempat secara pribadi. Aku yang bukan
artis, selebriti atau orang terkenal untuk
apa orang memajang foto-fotoku di tempat tinggalnya.
Aku mau mengajak Inge untuk
keluar dari kos-kosan Galih, saat tiba-tiba Galih sudah berdiri di ambang pintu
dengan wajah melongo seperti leihat hantu di siang bolong.
“Ow, ada tamu ya… sorry gue gak
tau kalo ada yang datang,” ucapnya agak gelagapan.
Aku tidak menjawab, dengan
spontan aku menarik tangan Inge dan keluar dari kos-kosan Galih tanpa
mengucapkan satu katapun. Aku bingung kenapa aku melakukan hal itu. Masuk ke
kos-kosan galin tanpa izin, lalu negoloyor pergi juga tanpa ngomong apa-apa.
Aku hanya tidak habis pikir kenapa foto-fotoku ada di tempat Galih. Apa Galih
sengaja mencuri-curi untuk memfoto aku lalu memamerkannya di situ, atau siapa
tahu dia juga menyebarkannya di tempat lain, tanpa sepengetahuan aku.
“May. May, tunggu, “ Galih
menyusul aku dan Inge. “Sorry, gue… gue…. “ Seperti nya dia sadar betul kenapa
aku tiba-tiba keluar dan menghindari dia setelah melihat apa yang ada di
ruangan koskosan barusan.
“Kenapa? Kenapa ada banyak foto
gue di kos-kosan Lo, dan gue gak tahu itu sama sekali?” aku langsung to the
point. Galih tampak tak siap dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. “ kapan Lo
curi-curi foto gue? Perasaan gue Cuma difoto sekali waktu wawancara majalah
kampus itu kan?”
“Iya, gue minta maaf, May. Gue
gak berani minta… gue takut.. gue malu…” jawab Galih tertunduk.
“Iya tapi kenapa?” tanyaku lagi.
“Ada Erlangga, dan cowok-cowok
lain yang membuat gue gak berani deketin Lo, May,” jawabnya lirih.
“Iya tapi kenapa?” ulangku.
“Karena.. karena gue suka sama
Lo, May, tapi gue gak tahu gimana caranya gue ngungkapin perasaan gue ini,”
bisiknya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Sama sekali speechless. Yang
terbayang berkelebat di kepalaku ialah saat-saat pertama aku mengenal Galih
waktu wawancara untuk edisi khusus majalah kampus beberapa bulan lalu. Galih
emang kelihatan nervous, tapi aku
pikir itu hal biasa. Lalu saat-saat aku berfoto dengan seorang badut lucu yang
selalu riang gembira. Lalu kenapa aku selalu merasa nyaman kalau dipeluk badut
es krim itu? Apa karena bahan kostumnya yang lembut, atau ada seeorang yang
memiliki perasaan khusus di dalamnya? Kenapa begitu aku tahu badut itu adalah
Galih aku malah langsung merasa tidak nyaman lalu kemudian bergegas menemuinya
sekedar untuk memastikan kebenaran itu.
Perlahan perasaan marah dan
benci karena foto-fotoku terpampang berjajar di meja kos-kosan Galih berangsur
sirna. Lambat laun perasaan hangat menjalar ke dalam tubuhku begitu mendengar
pengakuan Galih tadi.
“Karena apa, Galih?” aku ingin
dia mengulang perkataannya dengan jelas.
“Karena, karena gue sayang sama
Lo, May. Bukan karena Lo orang yang hebat dan terkenal, bukan karena Lo cantik
dan baik hati saja, May. Tapi karena Lo emang beda. Beda dengan cewek manapun
yang pernah gue kenal. Gue minta maaf kalau Lo gak suka cara gue yang kampungan
ini. Gue rela jadi badut demi melihat Lo happy. Gue nggak apa-apa kepanasan dan
sesak berada dalam boneka maskot es krim kesukaan Lo, asal bisa difoto bareng
Lo dan melihat Lo ketawa. Maafin gue, ya, May,” Galih meninggalkan aku dan Inge
yang masih belum percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
Aku terperangah dan membiarkan
Galih pergi. Karena aku pun butuh waktu untuk bisa mencerna semua yang Galih
ungkapkan dengan jujur barusan. Inge menarik tanganku dan meninggalkan tempat
itu tanpa berkata apa-apa. Aku baru tahu kalau Inge pun terperangah menyaksikan
reality show yang bener-bener reality tadi. Awalnya sempat terpikir
ini adalah akal-akalan Inge doang.
“Bisa direwind nggak ya adegan tadi? “ bisiknya nakal. “Coba tadi gue
rekam ya, gue masukin youtube, bisa
heboh tuh masyarakat sekampus,” lanjutnya jahil.
Aku hanya tersenyum. Bahkan
sampai di dalam kamarku pada malam harinya aku masih mencoba mengingat setiap
kata yang Galih ucapkan tadi. Rasanya aku tidak ingin tidur, takut senyum ini
hilang pas bangun nanti. Aku pun meraih handphone-ku
mencoba mencari-cari apa masih ada nomor Galih di phonebook-ku. Begitu ketemu nomornya, aku langsung mengetik sms : ‘Hai,
sorry ya tadi gue rada emosi, jadi nggak denger deh apa yang Lo omongin. Besok
bisa ulangi nggak yang tadi Lo omongin sama gue?’ dan send…
Aku berharap apa yang aku dengar
tadi bisa aku dengar lagi besok pagi, sehingga aku bisa terus tersenyum
sepanjang hari. Cape juga nyari cinta ke mana-mana. Padahal sebenarnya cinta itu
tak kasat mata, kalau kita jeli dan peka merasakannya. Thanks Galih, Badut
Cintaku.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar