Minggu, 30 Desember 2012

BADUT CINTAKU



Orang bilang Cinta itu buta. Tak peduli seberapa jelek orang yang kita cintai, di mata kita selalu tampak sempurna. Hidung pesek bukan jelek, tetapi unik. Mata belo kayak ikan koki  begitu indah dipandang. Bibir manyun seperti pantat ayam kelihatan sexy dan menggairahkan. Semua kekurangan si dia,  tampak berbeda di mata orang yang sedang jatuh cinta. Kalau sudah begitu, buat apa kita repot-repot belajar hypnotis dari Romy Rafael . Toh si dia pasti bertekuk lutut di depan mata tanpa harus diminta.          
                Tapi bagaimana mungkin orang lain bisa jatuh cinta kalau kita tidak berusaha menebar aroma cinta itu pada mereka. Makanya, cewek ramah biasanya menjadi perhatian cowok-cowok. Cowok tidak perlu lagi diajarin apa itu inner beauty karena itu adalah jawaban standard cowok saat ditanya type cewek apa yang mereka sukai. Tentu saja setelah predikat ‘cantik’ lengkap dengan cirri-ciri  fisiknya mereka sebutkan di awal. Puihh.. ujung-ujungnya tetep aja ke fisik. Wajah, body, model rambut, pakaian, cara jalan, cara ngomong, Cuma ciri-ciri yang dimiliki cewek-cewek sekaliber model yang pasti menarik perhatian cowok.
                “Hai cantik….,” seorang cowok melintas di depan mataku dengan seringai : ‘cewek kita dangdutan yuk’-nya. Oekkk!!!
                Kebanyakan cowok memang mengejar cewek cantik sekaligus punya yang namanya inner bauty tadi. Nah Kalau cewek punya inner beauty, cowok punya apa ya? Inner handsome gitu? Maksa banget kayaknya. Tapi whatever istilahya, aku gak peduli.  Sama seperti cowok-cowok yang mengejar cewek cantik luar dalam, aku juga boleh dong mencari cowok dengan type yang tidak jauh berbeda dengan standard cowok-cowok dalam memilih cewek : ganteng, macho, tapi punya inner handsome.
                Wah, istilah inner handsome ini terkesan mengada-ada. Tapi okelah : jujur, bertanggung jawab, baik dan perhatian. Tidak pernah ingkar janji, penyayang sama keluarga, cepat mengambil keputusan, wah banyak juga ya daftarnya. Apa ada cowok kayak gitu?
                Sambil terus berfikir begitu, aku menyisir rambutku yang sejak dua tahun terakhir ini aku biarkan panjang terurai. Beruntung rambutku lurus selurus-lurusnya tanpa harus repot-repot dicatok setiap hari. Teman-teman di kampusku sampai dengan hari ini masih saja belum percaya kalau aku hanya shampoan biasa seperti yang ada di iklan-iklan itu. Creambath dua minggu sekali sih iya, itu wajib aku lakukan supaya rambutku tidak  lepek. Tapi itu tidak harus dilakukan di salon koq. Jadi kalau dibilang cewek tuh boros, tidak juga. Dari tempatku duduk di bawah pohon tua ini, sesekali aku melihat dari sela-sela pagar kawat di kejauhan cowok-cowok lagi main basket. Ada Ardy yang aku kenal sejak SMA, Biyan anak terbaik Fekon dan Mario, rival mereka dalam three on three dari Fakultas Ilmu Sosial.
                Ketiga cowok itu belakangan ini menjadi sebagian dari cowok-cowok yang masuk dalam daftar pencarian pasangan pendamping wisudaku nanti. Aku memang pernah punya cowok, tapi hubungi kami baru saja putus. Tidak perlu aku ceritakan kenapa kami bubaran. Yang jelas aku sudah bosan dengan sikapnya yang arogan dan sepertinya terlalu melecehkan cewek. Aku kembali memperhatikan mereka. Keringat bercucuran di kening Biyan. Ardy masih bisa melakukan shoot di tengah nafasnya yang sudah ngos-ngosan. Sementara Mario masih kelihatan bugar. Tidak tahu apa yang ia biasa ia makan sampai se-cool itu. Seperti ia tahu aku membicarakannya dalam hati, ia melirik ke arahku dan melambaikan tangannya sebelum kemudian berhasil merebut bola dari tangan pemain lain yang sedang melakukan dribble. Senyum puas menghias wajahnya yang putih.
                “Hai cewek, “ sebuah suara cempreng mengagetkan aku. Inge, sahabat dekatku, langsung  duduk di samping aku sambil mengeluarkan jajanan khas anak kost kehabisan bekel. Bakwan goreng sama pisang molen.
                “Masih makan yang begituan, Nge?” delikku, “ Nggak sehat tuh.” Aku memang pernah mengingatkan Inge untuk mengurangi makan gorengan yang djual di jalan depan menuju kampus. Bukan apa-apa, aku pernah melihat si abang tukang gorengan mencampurkan sesuatu ke minyak dalam wajan penggorengannya. Sudah minyaknya seperti tidak diganti berhari-hari, ditambah serbuk apa nggak jelas diaduk dengan minyak itu.
                “Gue lagi bokek nih. Elo lagi kayak yang nggak pernah makan aja,” kilah Inge.
                “Gue juga suka kali, Nge. Tapi buatan nyokap di rumah yang minyaknya tuh non kolesterol. Lagian tidak banyak-banyak dan dijadiin hoby kayak Lo gitu.” Semburku. Emang gitu sih gaya bicaraku sama Inge. Cewek tomboy ini sudah aku kenal sejak SMP kali. Kami berdua pernah satu kelas dan lumayan akrab. Lepas SMP kami sekolah di SMU berbeda. Nah di kampus ini kami dipertemukan kembali, dan menjadi jauh lebih akrab dibanding dulu.
                “Iya Miss Perfect. Perasaan Lo tuh calon sarjana ekonomi deh, bukan calon dokter atau ahli gizi gitu,” tetep aja ia mendebat omonganku. “Eh Lo tahu gak, May, kenapa si Gilang putus sama Neysa?”
                Aku menggeleng kepala. Tidak tahu, sekaligus heran, bisa dengan cepat Inge mengganti topik pembicaraan kami. Atau jangan-jangan ia memang sengaja menghampiriku untuk menceritakan ini semua.
                “Tuh cowok memergoki si Neysa selingkuh!” mata Inge sampai melotot untuk menegaskan atau mungkin memaksa aku untuk kaget.
                “Oh, ya?” balasku cuek. Sumpah. Ini adalah bahan obrolan yang paling tidak aku  sukai, yang selalu Inge bawa di saat aku sama sekali tidak mau denger gossip apapun. Cukup infotainment di televisi yang bikin otakku kurang gizi saja, tidak perlu aku denger dalam kehidupan nyata di sekitarku. Tapi makhluk ini paling bisa memaksa aku untuk tidak lepas dari berita yang ia bawa. Sekonyol apapun itu.
                Inge menbibir kecewa saat melihat sikapku yang cuek. Tapi sedetik kemudian ia kembali mengganti chanel beritanya dengan berita lain yang tidak kalah ngebeteinnya. “Pasti yang ini Lo belum tahu deh, Ayu lagi ngedeketin Mario!. Iya! Ayu yang kemaren dapet beasiswa ke Canada itu.” Serunya berapi-api.
                “Maksud Loh?” aku tidak begitu jelas kenapa berita tentang Ayu, harus masuk dalam daftar info yang harus aku dengar, seolah tuh cewek adalah seseorang yang menjadi sainganku dalam sebuah kompetisi.
                “Gini deh, gue ganti subjeknya ya, biar Lo connect, MARIO, gebetan Lo, sekarang ini,lagi dideketin sama cewek lain. Ya si Ayu itu!” Inge menghabiskan potongan terakhir pisang molennya. Ia melemparkan bungkus makanan itu sembarangan, lalu memungutnya begitu melihat mataku mau copot.
                “Wah,gue ada saingan dong,” aku sengaja membuat nada suaraku seperti sedang ketakutan. Padahal masa bodoh juga kali ya, mau dideketin si Ayu  kek, dikejar-kejar cewek sekampus juga aku sama sekali tidak perduli. Aku hanya kagum doang sama Mario. Selain macho, cowok itu kelihatan tidak pernah macam-macam di kampus. Jago basket, IPKnya juga di atas rata-rata. Khusus untuk yang satu ini aku emang meminta bantuan jasa teman dekatnya Mario untuk ngasi bocoran nilai-nilainya. Niat banget ya, hehe. Tapi kenapa begitu dengar ada cewek lain yang berusaha mengejar Mario, koq perasaanku biasa-biasa aja ya.
                “Emang Lo, nggak beneran suka sama tuh cowok. Koq reaksi Lo biasa-biasa aja?” Inge pintar juga membaca pikiran orang lain. Mungkin karena udah terlalu dekat dengan aku kali ya.
                “Iya sih, gue lagi bingung nih Nge. Gue emang suka sama beberapa cowok di kampus kita ini. Maksud gue, suka, ya, bukan cinta. Lo bisa bedain kan? Dan gue emang lagi nyari pasangan bukan cuma buat jadi pendamping wisudaan nanti. Tapi, Lo tau kan gue udah ngejomblo sejak kapan. Jadi gue lagi cari cowok yang gue harepin bisa jadi pendamping gue buat jangka panjang.” Jawabku membuat Inge melongo.
                “Gila, baru kali gue denger omongan Lo panjang. Bergizi, non kolesterol, kayak gini,” ledek Inge. Ia kali ini berhasil melempar gulungan kertas bekas gorengan ke bak sampah yang jaraknya sekitar 2 meter dari bangku kayu tempat kami duduk. Aku memberinya tisu, dan ia mengelap mulutnya cepat-cepat. Dasar cewek tomboy!
                “Gue serius Nge. Lo tahu kan di Ardy. Gue kenal dia sejak SMU. Emang sih belum pernah sekelas. Tapi kami sering lirik-lirikan secara tidak sengaja. Dan itu bikin jantung gue deg-degan. Kalau aja gue tidak pernah jadian sama Erlangga, mungkin gue bisa deketin dia dan mastiin apa arti pandangan dan senyuman dia itu.”
                “Busyet, cewek jaman sekarang, nggak ada malu-malunya ya nyatain perasaan suka sama cowok. Dengan berbagai cara lagi, ada yang terang-terangan kayak si Ayu, ada juga yang malu-malu kucing tapi melakukan agresi juga kayak Lo. Tau deh Bu Kartini bakalan senang atau sedih ya kalo perempuan jaman sekarang tuh mengartikan emansipasi secara berlebihan.”
                “Pake bawa-bawa RA Kartini segala. Emang Lo nggak pernah suka sama cowok?” semprotku. Pipi Inge mendadak merah. “Gue tahu koq, siapa cowok yang lagi Lo deketin. Gue kan juga sering denger gosip-gosip tentang Lo,” pancingku.
                “Jangan bilang Lo pernah denger juga kalau gue sedang deketin Pak Sam?” bisik Inge.
                “Oow, jadi beneran Lo lagi pedekate sama Pembantu Dekan Satu kita?” tembakku membuat Inge nyaris tidak  berkutik. Padahal sumpah, tadi tuh aku asal ngomong aja.  “Terus, apa kata Ibu Kita Kartini?” ledekku.
                Inge mencubit pinggangku, lalu kami tertawa terpingkal-pingkal bersama. Siang itu aku mencoba mengusir satu persatu perasaan sukaku sama cowok-cowok setelah mendengar pengakuan Inge tentang pedekatenya dengan Pak Sam. Dia bilang, Pak Sam itu type cowok yang sangat bertanggung jawab.Baik dan pengertian. Penyayang, dan sangat menghormati wanita. Salut aku sama Inge. Cewek tomboy sahabatku itu ternyata sedang jatuh cinta beneran, sama cowok yang usianya beda jauh banget. Tapi, itulah, love is blind.
                Malamnya aku merenung. Mengingat pendapat Inge sahabatku tentang Ardy, yang tiada lain adalah sahabatnya Erlangga, mantan cowokku. Apa yang Erlangga bakal pikirkan kalau aku memilih Ardy menjadi pendamping wisudaku nanti. Mungkin Erlangga akan mengira kalau hubunganku dengannya kemarin-kemarin hanya menjadi jembatan supaya aku bisa ketemu dengan Ardy, yang saat itu sedang menjalin hubungan dengan Shinta, temannya Erlangga juga. Dan aku tidak sepenuhnya mencintai Erlangga, tetapi Ardy lah cowok yang singgah di hatiku.  Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya cowok itu melihat aku jadian sama Ardy, terlepas hubunganku putus dengannya juga gara-gara dia sendiri yang over protektif.
                Aku tahu, nobody’s perfect, tetapi sakit rasanya mendengar dan melihat sendiri secara langsung dari mulut Erlangga yang sedang membangga-banggakan dirinya karena menjadi cowok seorang calon Putri Indonesia. Tapi kemudian membeberkan kalo ternyata si calon putri terkenal itu juga punya sisi kelemahannya sebagai cewek, yang kemudian menjadi bahan tawaan cowok-cowok yang senang menanggap ocehan Erlangga sore itu.  Aku juga tahu kalau Erlangga bercanda menjadikan aku sebagai bahan taruhan buat siapa aja yang bisa menjadi pengganti dirinya nanti kalau putus dengan aku. Tapi tetap aja sakit banget rasanya diperlakukan seperti itu.              Menjadi bulan-bulanan cowok-cowok di kampus tidak masalah bagiku, tetapi perlakuan Erlangga seperti itu lebih menyebalkan.
                Akhirnya aku putus beneran dengan Erlangga. Dengan ataupun tanpa persetujuan dia. Aku terus menghindar. Dan Erlangga seperti juga saat pertama berusaha mendapatkan cintaku, terus mengejar dan berkali-kali meminta maaf atas perlakuannya padaku. Sejujurnya aku sudah memaafkannya. Tetapi aku tidak mau terjebak dalam kesalahan yang sama. Bukan aku tidak mau memberikannya kesempatan kedua, tetapi buat apa, toh type cowok seperti Erlangga akan terus bersikap seperti itu. Malah bisa menjadi-jadi dia karena ternyata bisa menaklukkan hati sang putri dengan mudah.
                Dan beginilah aku sekarang. Orang bilang akulah si High Quality Jomblo sejati. Dengan performance dan catatan prestasiku yang lumayan banyak, cowok semakin enggan mendekatiku. ‘Hanya cowok-cowok ambisius aja yang senang mengejar cewek-cewek super kayak Lo’ begitu kata Inge. Entah sedang memberikan spirit atau malah menjatuhkan semangatku buat dapat cowok lagi.
                “Lo, mesti pasang target, dan kriteria yang sepadan dengan Lo,” Inge pernah memberiku ceramah. Perasaan tidak ada deh teori relationship yang mengajarkan hal seperti itu.
                Tapi, aku turuti saja saran Inge. Aku pasang target cowok mana aja yang dalam sebulan ini bisa aku deketin, tentu saja dengan cara yang tidak sepulgar Ayu, tentuin kriteria cowok yang kata Inge ‘sepadan’ dengan aku, meskipun aku sendiri punya definisi berbeda dengan kata yang sama yang Inge maksud. Beberapa cowok masuk dalam daftar yang sedang aku seleksi. Dan tinggal tiga cowok yang aku lihat di lapangan basket itulah seleksi terakhirku.
                Tetapi kendala baru kemudian muncul. Mahkluk genit yang bernama Ayu yang dengan pedenya mencoba menarik simpati Mario, lalu Ardy yang belakangan ini baru aku ngeh, kurang sensitive terhadap perasaan cewek, dan Byan digosipin gay gara-gara selalu nolak jalan sama cewek. Duh padahal Cuma ketiga cowok itu harapan terakhirku. Untung ada Inge dengan team suksenya yang bisa memburu berita paling akurat, tajam dan terpercaya. Kalah deh infotainment atau liputan 6 yang ada di tv swasta itu. Kalau sudah buntu begini aku gak tahu harus bagaimana lagi.

*

                Siang ini, aku benar-benar malas makan. Minum jus alpukat tanpa gula atau makan es krim buah-buahan menjadi kebiasaanku kalau lagi tidak mood seperti ini. Dan aku memang sedang menikmati es krim rasa strawberry coklat, saat  Inge tiba-tiba datang dengan katalog supermarket yang sudah ditandai di sana sini dengan centangan spidol warna hitam.
                “Anterin gue ke supermarket yuk, Cin,” rajuk Inge. “Nyokap gue nyuruh belanja bulanan nih.”
                “Lah, emang si bibi ke mana, Non?” aku malah balik nanya, pertanda untuk urusan yang satu ini pun aku bad mood.
                “Dia nganterin nyokap ke arisannya Tante Widya. Ayo dong, entar gue traktir es kirim deh. Oh ya lagi ada promo tuh, difoto bareng badut, Lo kan, suka meluk-meluk tuh badut es krim,” lanjut Inge membuat mataku tiba-tiba cling-cling begitu mendengar es krim dan nama badut disebut-sebut.
                Aku emang suka banget dengan badut, terutama badut es krim yang gendut, lucu dan kalo dipeluk tuh hangat banget. Terakhir aku ketemu tuh badut perasaan sebulan yang lalu deh, di supermarket dekat dengan kampusku. Waktu itu lagi ada promo produk baru, dan aku beli beberapa potong es krim supaya bisa difoto bareng dengan tuh badut dan dapet hadiah vcd pula. Waktu kecil, setiap perayaan ulang tahunku, papa selalu mengundang badut untuk meramaikan suasana pesta ultahku. Makanya kesan senang tuh selalu aku dapat kalau ketemu dengan badut. Malah beranjak gede sedikit aku pengen punya pacar seorang badut. Gila, ya..
                Setelah mengantar Inge membeli semua kebutuhan dapurnya, ia menepati janji dengan membelikan aku es krim. Hemh.. yummy… Ini kali kedua aku ketemu badut yang sama dengan yang pernah aku temuin di tempat lain. Dan aku pun bergaya sama hebohnya waktu difoto bareng maskot es krim kesukaanku itu. Si badut tanpa mengenal lelah melayani pembeli yang ingin difoto dengannya. Hebat tuh badut, dari dulu selalu kelihatan riang gembira. Tapi apa orang di dalam boneka besar itu bisa merasakan kegembiraan yang aku atau para penyuka es krim itu rasakan?
                “Eh, Nge, tuh badut kasian juga ya, setiap hari nggak ada cape-capenya say hello, nyalamin pembeli, difoto, ditarik-tarik anak kecil? Kalo gue sih udah bĂȘte setengah mati, kali. Udah gitu pasti panas kan pake kostum kayak gitu,” ujarku sambil menikmati sisa es krimku. Seolah mendengar apa yang aku bicarakan dengan Inge, tuh badut dari kejauhan dadah-dadah gitu ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman dan dadah-dadahan juga. Hihi norak ya..
                “Lo tanya aja sama Galih,” jawab Inge cuek. “Anak Majalah Kampus itu, Lo kan pernah diwawancarai sama dia waktu edisi Hari Lingkungan Hidup itu,” lanjutnya tanpa ekspresi.
                “Kenapa gue mesti nanya sama dia, emang dia pernah wawancara sama tuh badut juga, gitu?” tanyaku bingung.
                “Emang Lo belum tahu?” selidik Inge bikin aku tambah bingung. “ Tuh isi boneka gede itu siapa? Ya si Galih itu lah di dalamnya,” lanjutnya.
                “Hah? Si Galih, wartawan kampus itu jadi badut? Serius Lo? Waduh gue udah gaya macem-macem lagi tadi,” aku jadi malu sendiri dengan gaya-gaya norakku bareng badut es krim di depan kamera si mas fotografer tadi.
                “Kirain gue udah tahu, Lo, May. Makanya Lo akrab-akraban gitu sama dia.”
                “Ah, rese, Lo, Nge, nggak ngasi tau gue dari kemaren-kemaren.  Gue kan jadi malu nih,” aku beneran jadi malu dan nggak enak hati, meluk-meluk si Galih, sebagai badut tadi. Padahal waktu wawancara untuk majalah kampus itu aku jaimnya setengah mati. Bukan apa-apa, rentetan pertanyaan Galih yang brilian sebanding dengan pertanyaan-pertanyaan juri waktu aku ikut beberapa beauty competition. Dan aku nyaris dibuat bego karena menjawab pertanyaan-pertanyaan sambil gelagapan. Dan tentu saja bukan cuma itu, pesona wartawan kampus itu hilangnya lumayan lama dari benakku.
                “Ya udah, kepalang tanggung, kita samperin aja yuk ke kos-kosannya ntar sore. Sekalian deh Lo bilang kalo Lo baru tahu Galih jadi maskot es krim, gimana?”
                Tidak ada pilihan lain, akhirnya aku menyetujui saran Inge. Maka sore itu juga aku sama Inge datang ke kos-kosannya Galih.
                Waktu aku sama Inge datang, Galih kebetulan lagi keluar beli makanan atau apa. Dan temennya yang kebetulan lagi nongkrong di halaman depan kamarnya, nyuruh aku sama Inge untuk nunggu di dalam aja. Kamar ko Galih terdiri dari dua ruangan. Jadi sebelum masuk ke kamar tidur ada sebuah ruangan yang bisa dipakai sebagai ruang tamu gitu. Aku dan Inge pun masuk ke ruang bagian depan itu.
Begitu masuk, aku melihat di dinding-dinding ruangan tamu itu berjejer foto-foto hasil jepretan Galih. Gila, keren-keren banget. Selain gambar-gambar unik, juga ada foto foto wajah, orang, lingkungan, pemandangan alam, yang semuanya itu kelihatan seperti sebuah karya seni professional dan bukan foto-foto jepretan biasa.  Di dinding lain aku juga melihat foto Galih dengan kostum badut yang bagian kepalanya dilepas sehingga aku yakin kalau isi badut itu adalah beneran Galih. Kepala Galih yang kecil menyembul di atas kostum badut yang besar itu sambil tersenyum. Senyum yang manis, bisikku dalam hati. Tampak tulus dan tidak ada mengada-ada.
                Lalu aku melihat foto-foto lain yang dipajang khusus di atas sebuah meja di bagian pojok ruangan. Foto-foto yang dibingkai dengan berbagai ukuran itu ditata rapi menghadap kursi mungil yang mengapit meja itu.  Foto-foto yang membuat jantungku berdetak tak menentu. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Inge kalau melihat foto-foto itu.
                “Lo, udah kenal lama ya sama, dia?” bisik Inge sambil menyikut pinggangku. Matanya tidak lepas dari bingkai foto-foto itu. Foto-foto yang tiada lain dan tiada bukan adalah foto-foto aku dengan berbagai gaya dari beberapa angle berbeda. Tetapi herannya aku sendiri tidak tahu di mana dan kapan gambar-gambar itu diambil. Kecuali foto aku dengan seorang badut di depan mobil es krim yang dipajang di tengah-tengah meja.
                Aku tidak menjawab. Kepalaku menggeleng lemah, antara senang, kesal dan marah. Bagaimana mungkin ada foto-foto aku yang dipajang di sembarang tempat secara pribadi. Aku yang bukan artis, selebriti  atau orang terkenal untuk apa orang memajang foto-fotoku di tempat tinggalnya.
                Aku mau mengajak Inge untuk keluar dari kos-kosan Galih, saat tiba-tiba Galih sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah melongo seperti leihat hantu di siang bolong.
                “Ow, ada tamu ya… sorry gue gak tau kalo ada yang datang,” ucapnya agak gelagapan.
                Aku tidak menjawab, dengan spontan aku menarik tangan Inge dan keluar dari kos-kosan Galih tanpa mengucapkan satu katapun. Aku bingung kenapa aku melakukan hal itu. Masuk ke kos-kosan galin tanpa izin, lalu negoloyor pergi juga tanpa ngomong apa-apa. Aku hanya tidak habis pikir kenapa foto-fotoku ada di tempat Galih. Apa Galih sengaja mencuri-curi untuk memfoto aku lalu memamerkannya di situ, atau siapa tahu dia juga menyebarkannya di tempat lain, tanpa sepengetahuan aku.
                “May. May, tunggu, “ Galih menyusul aku dan Inge. “Sorry, gue… gue…. “ Seperti nya dia sadar betul kenapa aku tiba-tiba keluar dan menghindari dia setelah melihat apa yang ada di ruangan koskosan barusan.
                “Kenapa? Kenapa ada banyak foto gue di kos-kosan Lo, dan gue gak tahu itu sama sekali?” aku langsung to the point. Galih tampak tak siap dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. “ kapan Lo curi-curi foto gue? Perasaan gue Cuma difoto sekali waktu wawancara majalah kampus itu kan?”
                “Iya, gue minta maaf, May. Gue gak berani minta… gue takut.. gue malu…” jawab Galih tertunduk.
                “Iya tapi kenapa?” tanyaku lagi.
                “Ada Erlangga, dan cowok-cowok lain yang membuat gue gak berani deketin Lo, May,” jawabnya lirih.
                “Iya tapi kenapa?” ulangku.
                “Karena.. karena gue suka sama Lo, May, tapi gue gak tahu gimana caranya gue ngungkapin perasaan gue ini,” bisiknya.
                Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sama sekali speechless. Yang terbayang berkelebat di kepalaku ialah saat-saat pertama aku mengenal Galih waktu wawancara untuk edisi khusus majalah kampus beberapa bulan lalu. Galih emang kelihatan nervous, tapi aku pikir itu hal biasa. Lalu saat-saat aku berfoto dengan seorang badut lucu yang selalu riang gembira. Lalu kenapa aku selalu merasa nyaman kalau dipeluk badut es krim itu? Apa karena bahan kostumnya yang lembut, atau ada seeorang yang memiliki perasaan khusus di dalamnya? Kenapa begitu aku tahu badut itu adalah Galih aku malah langsung merasa tidak nyaman lalu kemudian bergegas menemuinya sekedar untuk memastikan kebenaran itu.
                Perlahan perasaan marah dan benci karena foto-fotoku terpampang berjajar di meja kos-kosan Galih berangsur sirna. Lambat laun perasaan hangat menjalar ke dalam tubuhku begitu mendengar pengakuan Galih tadi.           
                “Karena apa, Galih?” aku ingin dia mengulang perkataannya dengan jelas.
                “Karena, karena gue sayang sama Lo, May. Bukan karena Lo orang yang hebat dan terkenal, bukan karena Lo cantik dan baik hati saja, May. Tapi karena Lo emang beda. Beda dengan cewek manapun yang pernah gue kenal. Gue minta maaf kalau Lo gak suka cara gue yang kampungan ini. Gue rela jadi badut demi melihat Lo happy. Gue nggak apa-apa kepanasan dan sesak berada dalam boneka maskot es krim kesukaan Lo, asal bisa difoto bareng Lo dan melihat Lo ketawa. Maafin gue, ya, May,” Galih meninggalkan aku dan Inge yang masih belum percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
                Aku terperangah dan membiarkan Galih pergi. Karena aku pun butuh waktu untuk bisa mencerna semua yang Galih ungkapkan dengan jujur barusan. Inge menarik tanganku dan meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa. Aku baru tahu kalau Inge pun terperangah menyaksikan reality show yang bener-bener reality tadi. Awalnya sempat terpikir ini adalah akal-akalan Inge doang.
                “Bisa direwind nggak ya adegan tadi? “ bisiknya nakal. “Coba tadi gue rekam ya, gue masukin youtube, bisa heboh tuh masyarakat sekampus,” lanjutnya jahil.
                Aku hanya tersenyum. Bahkan sampai di dalam kamarku pada malam harinya aku masih mencoba mengingat setiap kata yang Galih ucapkan tadi. Rasanya aku tidak ingin tidur, takut senyum ini hilang pas bangun nanti. Aku pun meraih handphone-ku mencoba mencari-cari apa masih ada nomor Galih di phonebook-ku. Begitu ketemu nomornya, aku langsung mengetik sms : ‘Hai, sorry ya tadi gue rada emosi, jadi nggak denger deh apa yang Lo omongin. Besok bisa ulangi nggak yang tadi Lo omongin sama gue?’ dan send…
                Aku berharap apa yang aku dengar tadi bisa aku dengar lagi besok pagi, sehingga aku bisa terus tersenyum sepanjang hari. Cape juga nyari cinta ke mana-mana. Padahal sebenarnya cinta itu tak kasat mata, kalau kita jeli dan peka merasakannya. Thanks Galih, Badut Cintaku.


*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar