PENCARIAN TAK BERUJUNG
Gemerincing gantungan angin yang terbuat dari berbagai macam jenis kerang memecah senyap malam. Debur ombak
menjadi irama syahdu, berpadu
dengan gemuruh jantungku dan detak jarum jam yang berputar ritmik. Hatiku bersenandung lirih.
Menikmati sepi. Gelisah dalam pencarian yang tak berujung.
Aku duduk di beranda
sebuah hotel yang menghadap lautan lepas. Asap mengabut dan gelas mungil
tergolek lemas. Angin berlarian nakal di sekitarku. Sejenak hatiku membeku dan
mata ini terpejam. Gelap menyaput semua pandangku. Tetapi, kau muncul dengan
binar yang mencerahkan jiwa, hingga tak kuperlukan lagi rembulan untuk
menerangi langit yang
muram.
Kau memakai gaun yang sama
saat terakhir kau bilang, ”Aku akan kembali.” Lengkung bibirmu menggores harap
yang sama saat kukecup jemarimu. Kaupun menghilang
dengan lambai terayun
perlahan. Lalu mataku
terbuka, dan hampa kembali menyeruak. Menyadarkanku, bahwa kau tidak ada di
sini. Entah di mana.
”Kenapa kau masih berharap
perempuan itu akan kembali?” Nathan menghembuskan asap rokoknya ke mukaku, berharap aku tersadar
dari penantian sia-siaku yang selalu membuatnya jemu setengah mati.
”Aku tidak tahu.” Hanya
jawaban itu yang selalu terurai. Aku memang tidak pernah tahu bagaimana
perasaan ini tumbuh dan menjadi candu, justru di saat kau memutuskan pergi. Atau, terlambatkah rasa ini hadir
hingga penantianmu yang begitu lama membuat harapanmu seolah pupus, tanpa harus menunggu satu kepastian dariku.
Aku tidak tahu. Yang aku tahu,
sepeninggal
dirimu tanpa kabar sama sekali,
aku seperti kehilangan sebuah dayung yang sedianya mengayuh sampanku hingga ke
tepi. Dan aku tenggelam seandainya riak besar atau makhluk ganas
menjungkirbalikkan perahuku. Aku seperti kehilangan sebelah alas kakiku yang
membuatku melompat-lompat, melintasi aspal panas dan kerikil tajam yang
berserakan. Aku merasa pincang.
”Kenapa selalu ’tidak
tahu’ yang menjadi jawabanmu sementara kau terus mencarinya, bahkan sampai ke
belahan bumi lain?” Nathan bersikukuh menuntut jawabku. Ia masih memagut kesal, menunggu jawaban besar yang memuaskan rasa penasarannya
: kenapa aku menyeretnya berbulan-bulan bahkan selama tiga tahun terakhir ini
ke dalam pusaran waktu yang mungkin bisa mempertemukan aku kembali denganmu,
Jessica?
Nathan melempar jauh pandangannya pada langit tak berbintang. Muram.
Aku melirik sahabatku
dengan sebuah senyum yang membuatnya terkecoh hingga matanya menungguku, berharap aku segera membunuh rasa ingin tahunya. ”Kau tahu, Than,
pertama kali aku bertemu dengan Jessica, saat aku sedang launching novel ketigaku di sebuah mal besar di daerah
Bogor. Jessica terus
memandangku saat aku menorehkan tanda tangan di
novel itu. Aku terkesiap menghadapi
tatapan aneh itu. Lalu seusai acara dan foto-foto dengan pembacaku, ia mengajakku
ngobrol di sebuah kafe. Bercerita tentang dirinya dan betapa takjubnya ia
padaku, juganovel-novel ciptaanku. Lalu tanpa terasa hubungan kami menjadi semakin dekat. Kami
sering menghabiskan weekend bersama,
meskipun itu hanya makan malam sederhana di apartemen kecilku. Jessica selalu
memberiku sebuah kejutan yang menyenangkan. Ia memasakkan spaghety kesukaanku dengan rasa yang belum pernah aku nikmati
di restoran manapun. Tetapi... hubungan yang kami jalani bukanlah hubungan
seperti layaknya sepasang kekasih. Aku belum pernah membuat komitmen apapun
dengannya.”
Nathan menahan napas
kesal. Selalu.
Sementara aku, melihat kau dengan rambut panjang yang
menebar aroma khas, tersibak angin senja yang lembut. Senyum tak lepas hingga
bibir tipismu mendaratkan kecupan hangat di pipi kiri dan kananku. Aku
menggeliat menahan sensasi rindu yang bertaut. Kau duduk dan memandangku dengan
tatapan rindu seolah sewindu sudah kita tidak bertemu. Kau biarkan gelas orange juice-mu semakin dingin sedangkan
hatimu memancarkan panas yang kutangkap lewat bola matamu yang lekat menikamku.
Malam itu kau kenakan gaun
biru langitmu yang menawan. Alunan musik kafe mungil di pojok kota hujan
menjadi saksi saat jemari kita saling bertaut.
”Aku tidak ingin kau jauh
dariku, sayang,” gerak bibir itu masih terlukis dalam benakku, menjadikan bunga
tidur yang selalu mekar setiap malam.
Aku hanya sanggup menatap
matamu yang membias remang. Kenapa, kenapa tak kaucampakkan aku disaat kau ragu
bahwa aku mencintaimu. Kenapa justru kau putuskan menjauh dariku saat di dada
ini tumbuh benih cinta. Jessica, kembalilah! Bisakah kautautkan jemari dan
bergandeng bersamaku menyusuri taman bougenville ungu yang kau suka itu? Tak
bisakah kau rebahkan lagi gelisahmu pada dadaku yang bergemuruh menahan gelora?
Aku merindukan semua: pesonamu dan ketidakberdayaanku menghadapi rasa ini.
”Gene...” desis Nathan
menyedotku kembali pada masa kini. Ia masih menungguku menepiskan keraguan atas
semua pencarianku. ”Kau sudah mengajakku ke
berbagai tempat untuk mencarinya. Melompati pulau satu ke pulau yang lain di
nusantara ini. Bahkan kita sudah terbang ke lima kota di negara berbeda. Kau
libatkan aku dalam semua pencarianmu, tapi aku tidak pernah tahu apa maumu.
Coba kau jawab satu saja pertanyaanku dengan jawaban jujur. Bukan dengan satu
kalimat ’aku tidak tahu’ yang bodoh itu!”
Aku membisu. Kulihat
riak muka Nathan, dingin memandang jauh ke tepi samudera.
Ombak besar bergulung, menyambut ombak-ombak kecil yang berlarian
ke arahnya seperti sang ibu menyambut anak-anaknya pulang
sekolah.
”Lama-lama aku seperti
orang bodoh karena
terus menerus mengikutimu.
Aku juga punya kehidupan, Gen. Tapi kau sudah menyeretku pada kehidupanmu, membuatku semakin terintimidasi saat kau bilang
’percayalah, ini pencarianku yang terakhir’. Kau sadar tidak, Gen, kau sangat bodoh dengan semua ini!” Napas Nathan
memburu. Ia menatap
tajam ke arahku, dan tidak sekalipun melepasnya setelah itu. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Dan ini menyadarkanku, kalau amarah yang sama mungkin juga menggumpal di
dadamu. Maafkan aku Jessica, kejujuran ini sangat mahal sehingga aku memperhitungkannya begitu lama,
sementara kau semakin lelah dalam ketidakpastian.
”Aku tidak tahu.”
”Bullshit!”
”Lalu aku harus berbuat
apa? Berteriak’Jessica, please balik lagi, aku sangat merindukanmu!’...”
”Kenapa tidak kau akui
saja, Gene! Aku tidak tahu apa yang kau rasakan. Aku tidak tahu bagaimana
perasaanmu terhadapnya...” Nathan siap membuka
mulutnya lagi,
tetapi aku segera
memotongnya.
”Untuk apa? Apa perlunya kau tahu?”
”Bukan untukku. Tapi Jessica! Ia perlu tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya. Tapi sekarang... ya, aku juga perlu tahu hal itu. Huh,
bodohnya aku!”
Kupejamkan mataku.
Menerawang,
ke tempat kau
berdiri dengan gaun biru cantikmu. Kau menuntunku mengucapkan satu kalimat yang sulit
keluar dari mulutku. Aku... aku cinta
padamu.
”Aku mencintaimu.” Desir
angin menggeliat di telingaku, mengulas bahagia atas pengakuanku. Sebuah kejujuran yang lama
kupendam, karena ragu yang menggelayut sulit sekali kutepis. Kau tersenyum dan ketika hendak kau tautkan bibirmu dengan bibirku,
aku terkesiap. Mata ini tersentak.
Nathan melongo menatapku.
Bodohnya aku mengucapkan kalimat itu di hadapannya. ”Apa kau bilang?” tanyanya
membuatku tak nyaman.
”Aku mencintainya,”
tegasku berharap Nathan tidak salah tangkap.
-o0o-
Aku memang tidak pernah siap menerima ungkapan perasaan tulusmu. Aku ragu.
Aku yakin kau bisa membaca perasaanku. Tetapi kau seolah tidak peduli, sehingga
berangsur aku menepis perasaan itu. Sejak kita bertemu, puluhan kali kau
ucapkan cinta dan sayang padaku. Puluhan kali pula kau khayalkan masa depan
kita yang entah tergambar seperti apa
dalam anganmu. Dan aku hanya bisa diam, meratapi rasa tak percaya, bagaimana
perempuan secantik kau bisa begitu mudah jatuh cinta dan tergila-gila padaku hanya dalam waktu singkat. Sesingkat perkenalan kita. Aku
diam, tanpa bisa menolak, lantaran khawatir melukai hatimu. Aku tak melihat sandiwara di matamu,
meski kuyakin, sekali lagi, kau tidak peduli bagaimana perasaanku padamu. Kau
terus saja mengunjungiku, menelpon dan janji ketemu di tempat-tempat yang kau
ingin hanya kita berdua saja di sana.
Malam itu, seperti biasa
aku gelisah menanti hadirmu. Sebuah bingkisan kecil sebagai hadiah khusus untukmu, kuletakkan di sebelah rangkaian bunga mawar
di atas meja yang telah kupesan
untuk kita. Segelas anggur tandas. Dua gelas kupaksakan demi mengusir dingin
yang mulai merayap. Tiga gelas menutup sisa hampa penantianku. Tak ada kabar.
Bahkan akhirnya kau tak bisa lagi kuhubungi.
Aku pun bertanya-tanya: Ada apa gerangan dengan perempuan
berbingkai rambut legam dan senyum merekah itu? Apakah kau bosan menanti saat
kuungkap semua rasa ini. Ataukah sudah tak ada lagi harapmu padaku? Atau...
mungkin semua yang terjadi selama ini hanya angan-angan rekaanku seperti halnya
aku mereka tokoh dan kisah cinta dalam novel-novelku? Jessica, di mana dirimu? Ribuan tanya menggelayut dalam dada, tapi
hanya ucapan maaf dalam smsmu saja
sebagai jawabnya. Maaf, aku mendadak
sakit. Lalu
kau menghilang ditelan bumi. Meninggalkan aku
mematung sendiri.
Berbulan-bulan aku
mencarimu, Jessica. Petunjukku hanya satu, tempat kostmu di daerah Bogor. Tapi
teman kuliahmu memberikanku alamat tantemu di Jakarta. Dan ternyata kau sudah tidak pernah menemui
kerabatmu lagi di sana. Aku mendapat alamat saudaramu di daerah Pemalang.
Bersama Nathan aku berusaha mencarimu ke sana. Lagi-lagi aku hanya mendapatkan
informasi alamat orangtuamu di Surabaya. Lalu Palembang, tempat kau tinggal bersama kakek dan nenekmu beberapa tahun terakhir. Mungkin ada di Singapura, tempat seorang
sahabatmu bermukim. Atau
Seoul, berharap kau sedang menikmati liburanmu di sana. Canada, menemui
orangtua angkatmu saat kau mengikuti program pertukaran mahasiswa di sana.
Mungkin Paris karena seringkali aku mendengar kau begitu memuja kota yang
menjadi pusat mode dunia itu. Dan aku bahkan sempat terdampar di Washington karena menurut orangtua angkatmu di Canada
kau pernah punya hubungan khusus dengan seseorang di kota itu. Semua sia-sia
karena kau tak pernah ada di mana-mana.
”Sudah siap, Gen?” Nathan
melempar tas kecilnya ke atas kursi penumpang bagian belakang, lalu merebahkan
tubuhnya di belakang kemudi.
Aku mengangguk dengan raut
lelah.
”Ini akan menjadi
pencarian kita yang terakhir. Kali ini aku yang janji,” ucap Nathan tanpa
memedulikan bagaimana rona wajahku berubah panas. Aku memang sudah terlalu jauh
melibatkan Nathan dalam hal ini. Pencarian yang menguras segala dayaku, dan membuat hidupnya praktis terganggu.
Setelah melaju lebih dari
3 jam, mobil yang dikemudikan Nathan berhenti di depan sebuah bangunan tua bergaya Belanda di daerah Bandung.
Untuk pencarian kali ini aku memang menyerahkan sepenuhnya kepada Nathan. Aku bahkan berjanji tidak akan terlalu banyak
bertanya
kenapa Nathan membawaku ke tempat yang akan ia tunjukkan, termasuk ke tempat ini. Tapi, akankah aku menemuimu di dalam sana?
”Ingat janjimu, Gen.”
Nathan menatapku tajam.
”Iya, tapi bisa kau
jelaskan sedikit saja, kenapa aku harus percaya kalau Jessica ada di dalam
rumah ini?”
”Ini bukan rumah, Gen,”
Nathan menghela napas sebelum kemudian melanjutkan, ”Ini sebuah rumah terapi
khusus untuk mereka yang terserang kanker ganas.”
Aku mengernyitkan kening,
”Kenapa Jessica bekerja di tempat seperti ini?”
tanyaku.
”Dia tidak bekerja di
sini, Gene! Jessica itu salah seorang pasien rumah terapi ini.” Nathan
mengalihkan pandangannya ke sekelompok remaja tak berambut yang sedang becanda
di sebuah taman. Ia juga melirik remaja lain, seorang perempuan berkepala
botak, dengan pakaian longgar sedang duduk di bawah pohon sambil asyik membaca
buku.
Aku berusaha mencerna apa
yang dikatakan Nathan, tapi entah kenapa otakku mendadak tak berfungsi dengan
baik. ”Maksudmu?”
Nathan kembali
memandangku. ”Gene, maafin aku ya.” Matanya memandang lurus ke arahku. ”Aku merahasiakan ini sejak
lama. Sebelum kenal dengan kita, Jessica sebenarnya sudah mengidap penyakit
kanker sumsum tulang belakang. Ia tinggal di Jakarta bersama dengan tantenya,
karena kedua orangtuanya sudah berpisah dan tinggal di kota yang berbeda.” Nathan menghela napas berat. Begitupun aku. Perih dan
sesak. Aku tidak tahu bagaimana Nathan bisa tahu hal ini, sedangkan aku, orang yang selama ini lebih dekat
denganmu malah tidak tahu sama
sekali.
”Jessica adalah penggemar
beratmu. Ia selalu menghubungiku hanya untuk menanyakan kabarmu, kapan kau akan
mengadakan promo tour lagi, ke mana
dan tinggal di mana, berapa lama, dan sederet pertanyaan lainnya. Ia
tergila-gila padamu. Dan sialnya, nomor teleponku yang ada di halaman terakhir
setiap novelmu. Mungkin ini resiko menjadi teman sekaligus managermu.
”Lalu Jessica memaksakan
diri mengikuti launching novelmu di
Bogor, meskipun
saat itu ia sedang sakit.
Ia datang untuk menemuimu, Gen. Hanya itu yang ia inginkan di akhir sisa
hidupnya. Setelah beberapa kali menjalani kemoterapi, ia menolak untuk melanjutkan
pengobatan secara medis, dan lebih memilih pengobatan secara tradisional,
meskipun ia belum yakin benar apakah ia akan sembuh atau berakhir di sini.”
”Kenapa kau merahasiakan
semua ini padaku, Than?” aku nyaris tak bisa mendengar suaraku yang parau. Rasa
kecewa menggunung di dadaku. Teganya Nathan melakukan ini semua padaku.
”Jessica yang memintanya,
Gen. Ia tidak ingin kau tahu kalau ia sakit, meskipun ia tidak yakin, kalau kau
ingin tahu.”
”Aku ingin tahu, Than. Kau
tahu sendiri, aku selalu ingin tahu di mana ia berada. Beribu-ribu kilometer
kulalui, hanya untuk mengetahui keberadaannya, Than.”
”Iya, tapi untuk apa? Aku
tidak diperbolehkan memberitahu di mana Jessica sampai aku bisa mendengar
sendiri pengakuanmu...”
”Kalau aku mencintainya?”
Nathan mengangguk. Aku
menarik tangannya untuk segera mempertemukanku dengan Jessica. Tetapi langkahku
terhenti saat sebuah kursi roda yang didorong perlahan oleh seseorang menuju ke
arahku.
Ya Tuhan, itukah kau, Jessica? Tubuhmu layu seperti
sekuntum bunga yang hendak gugur. Di mana rekah senyum yang selalu kau tebar
untukku. Di mana binar matamu yang selalu riang dan menghangatkan hatiku.
Aku tersungkur di
lahunanmu yang lemah. Getir. Kau tersenyum dengan sisa ulas yang lemah. Rinai
air mata perlahan menetes mengikuti lekuk tulang pipimu yang semakin tirus. Di
mana ceria yang selalu melukis bias rona merah di pipimu? Aku menggenggam
jemarimu seraya menciumnya penuh rindu.
”Gene..” ucapmu lemah,
”Apa benar....”
Aku mengangguk
berkali-kali sambil menahan benteng air mataku agar tak tumpah dan
melemahkanku. ”Iya Jessica, iya... aku mencintaimu...” Aku memeluk tubuh
kurusmu. Desah napas dan isak tertahan menyayat lirih di telingaku. Kubelai
rambutmu yang kian menipis, dan tak kuasa...
akhirnya benteng itu runtuh. Aku menangis hebat di pelukanmu. ”Sungguh
Jessica.. aku mencintaimu. Jangan pergi lagi ya... berjanjilah untukku..”
Bandung, penghujung Juli 2012
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar