Sabtu, 06 Oktober 2012

PENCARIAN TAK BERUJUNG

                                                PENCARIAN TAK BERUJUNG

Gemerincing gantungan angin yang terbuat dari berbagai macam jenis kerang memecah senyap malam. Debur ombak menjadi irama syahdu, berpadu dengan gemuruh jantungku dan detak jarum jam yang berputar ritmik. Hatiku bersenandung lirih. Menikmati sepi. Gelisah dalam pencarian yang tak berujung.
            Aku duduk di beranda sebuah hotel yang menghadap lautan lepas. Asap mengabut dan gelas mungil tergolek lemas. Angin berlarian nakal di sekitarku. Sejenak hatiku membeku dan mata ini terpejam. Gelap menyaput semua pandangku. Tetapi, kau muncul dengan binar yang mencerahkan jiwa, hingga tak kuperlukan lagi rembulan untuk menerangi langit yang muram.
            Kau memakai gaun yang sama saat terakhir kau bilang, ”Aku akan kembali.” Lengkung bibirmu menggores harap yang sama saat kukecup jemarimu. Kaupun menghilang dengan lambai terayun perlahan. Lalu mataku terbuka, dan hampa kembali menyeruak. Menyadarkanku, bahwa kau tidak ada di sini. Entah di mana.
            ”Kenapa kau masih berharap perempuan itu akan kembali?” Nathan menghembuskan asap  rokoknya ke mukaku, berharap aku tersadar dari penantian sia-siaku yang selalu membuatnya jemu setengah mati.
            ”Aku tidak tahu.” Hanya jawaban itu yang selalu terurai. Aku memang tidak pernah tahu bagaimana perasaan ini tumbuh dan menjadi candu, justru di saat kau memutuskan pergi. Atau, terlambatkah rasa ini hadir hingga penantianmu yang begitu lama membuat harapanmu seolah pupus, tanpa harus menunggu satu kepastian dariku. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, sepeninggal dirimu tanpa kabar sama sekali, aku seperti kehilangan sebuah dayung yang sedianya mengayuh sampanku hingga ke tepi. Dan aku tenggelam seandainya riak besar atau makhluk ganas menjungkirbalikkan perahuku. Aku seperti kehilangan sebelah alas kakiku yang membuatku melompat-lompat, melintasi aspal panas dan kerikil tajam yang berserakan. Aku merasa pincang.
            ”Kenapa selalu ’tidak tahu’ yang menjadi jawabanmu sementara kau terus mencarinya, bahkan sampai ke belahan bumi lain?” Nathan bersikukuh menuntut jawabku. Ia masih memagut kesal, menunggu jawaban besar yang memuaskan rasa penasarannya : kenapa aku menyeretnya berbulan-bulan bahkan selama tiga tahun terakhir ini ke dalam pusaran waktu yang mungkin bisa mempertemukan aku kembali denganmu, Jessica?
            Nathan melempar jauh pandangannya pada langit tak berbintang. Muram.
            Aku melirik sahabatku dengan sebuah senyum yang membuatnya terkecoh hingga matanya menungguku, berharap aku segera membunuh rasa ingin tahunya. ”Kau tahu, Than, pertama kali aku bertemu dengan Jessica, saat aku sedang launching novel ketigaku di sebuah mal besar di daerah Bogor. Jessica terus memandangku saat aku menorehkan tanda tangan di  novel itu. Aku terkesiap menghadapi tatapan aneh itu. Lalu seusai acara dan foto-foto dengan pembacaku, ia mengajakku ngobrol di sebuah kafe. Bercerita tentang dirinya dan betapa takjubnya ia padaku, juganovel-novel ciptaanku. Lalu tanpa terasa hubungan kami menjadi semakin dekat. Kami sering menghabiskan weekend bersama, meskipun itu hanya makan malam sederhana di apartemen kecilku. Jessica selalu memberiku sebuah kejutan yang menyenangkan. Ia memasakkan spaghety kesukaanku dengan rasa yang belum pernah aku nikmati di restoran manapun. Tetapi... hubungan yang kami jalani bukanlah hubungan seperti layaknya sepasang kekasih. Aku belum pernah membuat komitmen apapun dengannya.
            Nathan menahan napas kesal. Selalu.
Sementara aku, melihat kau dengan rambut panjang yang menebar aroma khas, tersibak angin senja yang lembut. Senyum tak lepas hingga bibir tipismu mendaratkan kecupan hangat di pipi kiri dan kananku. Aku menggeliat menahan sensasi rindu yang bertaut. Kau duduk dan memandangku dengan tatapan rindu seolah sewindu sudah kita tidak bertemu. Kau biarkan gelas orange juice-mu semakin dingin sedangkan hatimu memancarkan panas yang kutangkap lewat bola matamu yang lekat menikamku. Malam itu kau kenakan gaun biru langitmu yang menawan. Alunan musik kafe mungil di pojok kota hujan menjadi saksi saat jemari kita saling bertaut.
            ”Aku tidak ingin kau jauh dariku, sayang,” gerak bibir itu masih terlukis dalam benakku, menjadikan bunga tidur yang selalu mekar setiap malam.
            Aku hanya sanggup menatap matamu yang membias remang. Kenapa, kenapa tak kaucampakkan aku disaat kau ragu bahwa aku mencintaimu. Kenapa justru kau putuskan menjauh dariku saat di dada ini tumbuh benih cinta. Jessica, kembalilah! Bisakah kautautkan jemari dan bergandeng bersamaku menyusuri taman bougenville ungu yang kau suka itu? Tak bisakah kau rebahkan lagi gelisahmu pada dadaku yang bergemuruh menahan gelora? Aku merindukan semua: pesonamu dan ketidakberdayaanku menghadapi rasa ini.
            ”Gene...” desis Nathan menyedotku kembali pada masa kini. Ia masih menungguku menepiskan keraguan atas semua pencarianku. ”Kau sudah mengajakku ke berbagai tempat untuk mencarinya. Melompati pulau satu ke pulau yang lain di nusantara ini. Bahkan kita sudah terbang ke lima kota di negara berbeda. Kau libatkan aku dalam semua pencarianmu, tapi aku tidak pernah tahu apa maumu. Coba kau jawab satu saja pertanyaanku dengan jawaban jujur. Bukan dengan satu kalimat ’aku tidak tahu’ yang bodoh itu!”
            Aku membisu. Kulihat riak muka Nathan,  dingin memandang jauh ke tepi samudera. Ombak besar bergulung, menyambut ombak-ombak kecil yang berlarian ke arahnya seperti sang ibu menyambut anak-anaknya pulang sekolah.
            ”Lama-lama aku seperti orang bodoh karena terus menerus mengikutimu. Aku juga punya kehidupan, Gen. Tapi kau sudah menyeretku pada kehidupanmu, membuatku semakin terintimidasi saat kau bilang ’percayalah, ini pencarianku yang terakhir’. Kau sadar tidak, Gen, kau sangat bodoh dengan semua ini!” Napas Nathan memburu. Ia menatap tajam ke arahku, dan tidak sekalipun melepasnya setelah itu. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun.  Dan ini menyadarkanku, kalau amarah yang sama mungkin juga menggumpal di dadamu. Maafkan aku Jessica, kejujuran ini sangat mahal sehingga aku memperhitungkannya begitu lama, sementara kau semakin lelah dalam ketidakpastian.
            ”Aku tidak tahu.”
            Bullshit!”
            ”Lalu aku harus berbuat apa? Berteriak’Jessica, please balik lagi, aku sangat merindukanmu!’...”
            ”Kenapa tidak kau akui saja, Gene! Aku tidak tahu apa yang kau rasakan. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya...” Nathan siap membuka mulutnya lagi, tetapi aku segera memotongnya.
            ”Untuk apa? Apa perlunya kau tahu?”
            ”Bukan untukku. Tapi Jessica! Ia perlu tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya. Tapi sekarang... ya, aku juga perlu tahu hal itu. Huh, bodohnya aku!”
            Kupejamkan mataku. Menerawang, ke tempat kau berdiri dengan gaun biru cantikmu. Kau menuntunku mengucapkan satu kalimat yang sulit keluar dari mulutku. Aku... aku cinta padamu.
            ”Aku mencintaimu.” Desir angin menggeliat di telingaku, mengulas bahagia atas pengakuanku. Sebuah kejujuran yang lama kupendam, karena ragu yang menggelayut sulit sekali kutepis. Kau tersenyum dan ketika hendak kau tautkan bibirmu dengan bibirku, aku terkesiap. Mata ini tersentak.
            Nathan melongo menatapku. Bodohnya aku mengucapkan kalimat itu di hadapannya. ”Apa kau bilang?” tanyanya membuatku tak nyaman.
            ”Aku mencintainya,” tegasku berharap Nathan tidak salah tangkap.
-o0o-
Aku memang tidak pernah siap menerima ungkapan perasaan tulusmu. Aku ragu. Aku yakin kau bisa membaca perasaanku. Tetapi kau seolah tidak peduli, sehingga berangsur aku menepis perasaan itu. Sejak kita bertemu, puluhan kali kau ucapkan cinta dan sayang padaku. Puluhan kali pula kau khayalkan masa depan kita yang entah tergambar  seperti apa dalam anganmu. Dan aku hanya bisa diam, meratapi rasa tak percaya, bagaimana perempuan secantik kau bisa begitu mudah jatuh cinta dan tergila-gila padaku hanya dalam waktu singkat. Sesingkat perkenalan kita. Aku diam, tanpa bisa menolak, lantaran khawatir melukai hatimu. Aku tak melihat sandiwara di matamu, meski kuyakin, sekali lagi, kau tidak peduli bagaimana perasaanku padamu. Kau terus saja mengunjungiku, menelpon dan janji ketemu di tempat-tempat yang kau ingin hanya kita berdua saja di sana.
            Malam itu, seperti biasa aku gelisah menanti hadirmu. Sebuah bingkisan kecil sebagai hadiah khusus untukmu, kuletakkan di sebelah rangkaian bunga mawar di atas meja yang telah kupesan untuk kita. Segelas anggur tandas. Dua gelas kupaksakan demi mengusir dingin yang mulai merayap. Tiga gelas menutup sisa hampa penantianku. Tak ada kabar. Bahkan akhirnya kau tak bisa lagi kuhubungi.
Aku pun bertanya-tanya: Ada apa gerangan dengan perempuan berbingkai rambut legam dan senyum merekah itu? Apakah kau bosan menanti saat kuungkap semua rasa ini. Ataukah sudah tak ada lagi harapmu padaku? Atau... mungkin semua yang terjadi selama ini hanya angan-angan rekaanku seperti halnya aku mereka tokoh dan kisah cinta dalam novel-novelku? Jessica, di mana dirimu? Ribuan tanya menggelayut dalam dada, tapi hanya ucapan maaf dalam smsmu saja sebagai jawabnya. Maaf, aku mendadak sakit. Lalu kau menghilang ditelan bumi. Meninggalkan aku mematung sendiri.
            Berbulan-bulan aku mencarimu, Jessica. Petunjukku hanya satu, tempat kostmu di daerah Bogor. Tapi teman kuliahmu memberikanku alamat tantemu di Jakarta. Dan ternyata kau sudah tidak pernah menemui kerabatmu lagi di sana. Aku mendapat alamat saudaramu di daerah Pemalang. Bersama Nathan aku berusaha mencarimu ke sana. Lagi-lagi aku hanya mendapatkan informasi alamat orangtuamu di Surabaya. Lalu Palembang, tempat kau tinggal bersama kakek dan nenekmu beberapa tahun terakhir. Mungkin ada di Singapura, tempat seorang sahabatmu bermukim. Atau Seoul, berharap kau sedang menikmati liburanmu di sana. Canada, menemui orangtua angkatmu saat kau mengikuti program pertukaran mahasiswa di sana. Mungkin Paris karena seringkali aku mendengar kau begitu memuja kota yang menjadi pusat mode dunia itu. Dan aku bahkan sempat terdampar di Washington karena menurut orangtua angkatmu di Canada kau pernah punya hubungan khusus dengan seseorang di kota itu. Semua sia-sia karena kau tak pernah ada di mana-mana.
            ”Sudah siap, Gen?” Nathan melempar tas kecilnya ke atas kursi penumpang bagian belakang, lalu merebahkan tubuhnya di belakang kemudi.
            Aku mengangguk dengan raut lelah.
            ”Ini akan menjadi pencarian kita yang terakhir. Kali ini aku yang janji,” ucap Nathan tanpa memedulikan bagaimana rona wajahku berubah panas. Aku memang sudah terlalu jauh melibatkan Nathan dalam hal ini. Pencarian yang menguras segala dayaku, dan membuat hidupnya praktis terganggu.
            Setelah melaju lebih dari 3 jam, mobil yang dikemudikan Nathan berhenti di depan sebuah bangunan tua bergaya Belanda di daerah Bandung. Untuk pencarian kali ini aku memang menyerahkan sepenuhnya kepada Nathan. Aku bahkan berjanji tidak akan terlalu banyak bertanya kenapa Nathan membawaku ke tempat yang akan ia tunjukkan, termasuk ke tempat ini. Tapi, akankah aku menemuimu di dalam sana?
            ”Ingat janjimu, Gen.” Nathan menatapku tajam.
            ”Iya, tapi bisa kau jelaskan sedikit saja, kenapa aku harus percaya kalau Jessica ada di dalam rumah ini?”
            ”Ini bukan rumah, Gen,” Nathan menghela napas sebelum kemudian melanjutkan, ”Ini sebuah rumah terapi khusus untuk mereka yang terserang kanker ganas.”
            Aku mengernyitkan kening, ”Kenapa Jessica bekerja di tempat seperti ini?” tanyaku.
            ”Dia tidak bekerja di sini, Gene! Jessica itu salah seorang pasien rumah terapi ini.” Nathan mengalihkan pandangannya ke sekelompok remaja tak berambut yang sedang becanda di sebuah taman. Ia juga melirik remaja lain, seorang perempuan berkepala botak, dengan pakaian longgar sedang duduk di bawah pohon sambil asyik membaca buku.
            Aku berusaha mencerna apa yang dikatakan Nathan, tapi entah kenapa otakku mendadak tak berfungsi dengan baik. ”Maksudmu?”
            Nathan kembali memandangku. ”Gene, maafin aku ya.” Matanya memandang lurus ke arahku. ”Aku merahasiakan ini sejak lama. Sebelum kenal dengan kita, Jessica sebenarnya sudah mengidap penyakit kanker sumsum tulang belakang. Ia tinggal di Jakarta bersama dengan tantenya, karena kedua orangtuanya sudah berpisah dan tinggal di kota yang berbeda.” Nathan menghela napas berat. Begitupun aku. Perih dan sesak. Aku tidak tahu bagaimana Nathan bisa tahu hal ini, sedangkan aku, orang yang selama ini lebih dekat denganmu malah tidak tahu sama sekali.
            ”Jessica adalah penggemar beratmu. Ia selalu menghubungiku hanya untuk menanyakan kabarmu, kapan kau akan mengadakan promo tour lagi, ke mana dan tinggal di mana, berapa lama, dan sederet pertanyaan lainnya. Ia tergila-gila padamu. Dan sialnya, nomor teleponku yang ada di halaman terakhir setiap novelmu. Mungkin ini resiko menjadi teman sekaligus managermu.
            ”Lalu Jessica memaksakan diri mengikuti launching novelmu di Bogor, meskipun saat itu ia sedang sakit. Ia datang untuk menemuimu, Gen. Hanya itu yang ia inginkan di akhir sisa hidupnya. Setelah beberapa kali menjalani kemoterapi, ia menolak untuk melanjutkan pengobatan secara medis, dan lebih memilih pengobatan secara tradisional, meskipun ia belum yakin benar apakah ia akan sembuh atau berakhir di sini.”
            ”Kenapa kau merahasiakan semua ini padaku, Than?” aku nyaris tak bisa mendengar suaraku yang parau. Rasa kecewa menggunung di dadaku. Teganya Nathan melakukan ini semua padaku.
            ”Jessica yang memintanya, Gen. Ia tidak ingin kau tahu kalau ia sakit, meskipun ia tidak yakin, kalau kau ingin tahu.”
            ”Aku ingin tahu, Than. Kau tahu sendiri, aku selalu ingin tahu di mana ia berada. Beribu-ribu kilometer kulalui, hanya untuk mengetahui keberadaannya, Than.”
            ”Iya, tapi untuk apa? Aku tidak diperbolehkan memberitahu di mana Jessica sampai aku bisa mendengar sendiri pengakuanmu...”
            ”Kalau aku mencintainya?”
            Nathan mengangguk. Aku menarik tangannya untuk segera mempertemukanku dengan Jessica. Tetapi langkahku terhenti saat sebuah kursi roda yang didorong perlahan oleh seseorang menuju ke arahku.
            Ya Tuhan,  itukah kau, Jessica? Tubuhmu layu seperti sekuntum bunga yang hendak gugur. Di mana rekah senyum yang selalu kau tebar untukku. Di mana binar matamu yang selalu riang dan menghangatkan hatiku.
            Aku tersungkur di lahunanmu yang lemah. Getir. Kau tersenyum dengan sisa ulas yang lemah. Rinai air mata perlahan menetes mengikuti lekuk tulang pipimu yang semakin tirus. Di mana ceria yang selalu melukis bias rona merah di pipimu? Aku menggenggam jemarimu seraya menciumnya penuh rindu.
            ”Gene..” ucapmu lemah, ”Apa benar....”
            Aku mengangguk berkali-kali sambil menahan benteng air mataku agar tak tumpah dan melemahkanku. ”Iya Jessica, iya... aku mencintaimu...” Aku memeluk tubuh kurusmu. Desah napas dan isak tertahan menyayat lirih di telingaku. Kubelai rambutmu yang kian menipis, dan tak kuasa...  akhirnya benteng itu runtuh. Aku menangis hebat di pelukanmu. ”Sungguh Jessica.. aku mencintaimu. Jangan pergi lagi ya... berjanjilah untukku..”

Bandung, penghujung Juli 2012

-oOOo-           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar