Rabu, 24 Oktober 2012

Special Gift



Special Gift

“Nadiaaaa…. “ pekikku tak percaya begitu melihat makhluk cantik berambut sebahu tiba-tiba muncul di hadapanku. Bagaimana tidak, sudah lebih dari tiga tahun aku tidak pernah melihat bagaimana rupa sahabat lamaku itu. Hanya foto-foto yang kerap ia publish di situs jejaring sosialnya  saja yang pernah kulihat kalau kebetulan aku senggang online. Itupun  kadang membuatku masih tak percaya kalau Nadia kini bisa secantik itu. Lebih cantik dibanding terakhir kali kami ketemu.
“Halo Azis gagap… kangen ya sama aku?” canda Nadia sambil meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan sebuah notebook yang baru saja kunyalakan.
Aku menghampiri Nadia dan dengan canggung menyalaminya. Nadia membalas senyumku dan tanpa memedulikan perasaan anehku, ia menjitak kepalaku, seperti kebiasaannya dulu. Lalu derai tawa pun meledak, melumerkan batu es di dadaku.
            Nadia, cewek berkulit coklat, yang selalu menebar senyum ramahnya pada siapapun yang ditemuinya, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di kelas V SD. Waktu itu Nadia adalah anak baru pindahan dari Jakarta. Orangnya rapi dan pembawaannya selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Aku lupa bagaimana kedekatan kami bermula. Yang jelas sejak pertama kali aku menyadari perhatian Nadia padaku, saat itulah aku menobatkan dia bukan saja sebagai teman biasa, melainkan juga sebagai sahabat sejati. Apalagi setelah kami masuk SMP yang sama, bahkan kelas yang selalu sama selama tiga tahun berturut-turut.
            Lepas SMP, aku dan Nadia memilih sekolah yang berbeda. Nadia masuk SMU terkemuka di Jawa, sedangkan aku memilih sekolah kejuruan otomotif dengan harapan setelah lulus nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan sejak saat itu komunikasi aku dengan Nadia hanya sebatas sms, email, atau chating-an. Belum pernah sekalipun selama tiga tahun perpisahan itu kami bertemu langsung seperti dulu. Tapi melalui video chat kami bisa saling berbagi cerita dan tawa. Saling berbagi support dan semangat saat salah satu diantara kami sedang down. Semua berjalan sampai Nadia masuk kuliah dan aku membuka usaha kecil-kecilan ini. Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain jarak yang terbentang cukup jauh. Nadia masih memberiku spirit untuk terus maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan tetap berjuang di saat cobaan tak henti mendera.
            “Tambah maju sekarang kamu, Zis. Keren!” celoteh Nadia sambil memperhatikan ruangan kecil tempatku bekerja. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai belepotan oli. Aku tersenyum menanggapi komentar pertama Nadia saat melihat kondisiku. Dalam beberapa chating kami, aku sudah banyak bercerita tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari temannya Bapak sangat membantuku. Tapi karena tidak memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai usaha ini. Nadia yang saat itu baru masuk kuliah jurusan Manajemen di Jakarta memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku mulai bangkit. Dan dibukalah bengkel kecil di salah satu sudut pinggiran kota Bandung ini.
Sejak dulu Nadia memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma Nadia yang tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar ongkos berangkat sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan aku bakalan nebeng truk pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi, boro-boro jajan apalagi traktir teman, aku saja lebih sering puasa dan pura-pura sibuk di perpus supaya tidak ketahuan kalau aku super bokek. Cowok kutu buku yang tongpes alias kantong kempes, cupu dan kurang gaul. Dan, cuma Nadia yang tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan teman-teman sekelas. Cuma Nadia yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi separuh sandwich makan siangnya padaku.  Dan sampai sekarang Nadia tidak pernah berubah. Itulah yang membuatku semakin kagum padanya. Aku tak pernah berhenti menyayanginya. Sebagai seorang sahabat, tentunya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana, lebih cool,” balasku sambil memperhatikan raut Nadia yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa, Nad? Kayaknya ada masalah ya? Di sini sumpek ya? Kita makan bakso, yuk!” Aku mencoba mencairkan suasana. Dan itu cukup membuat Nadia tahu kalau aku memang bisa melihat perubahan dari roman wajahnya.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Nadia menuju sebuah kedai bakso tidak jauh dari bengkelku.
“Berapa lama liburannya, Nad?” tanyaku sambil memasukkan potongan bakso urat ke mulutku.
“Aku tidak sedang liburan, Zis. Aku lagi cuti.” Nadia memainkan sendok dan garfunya tanpa minat.
“Cuti, kenapa cuti? Bukannya kamu pengen lulus lebih cepet, Nad?” aku heran melihat sikap Nadia yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak biasanya dia malas-malasan. Libur semester kemarin saja dia malah mengambil kuliah semester pendek, kenapa sekarang malah cuti?
“Ayahku terkena masalah.” Ucap Nadia sambil membuang pandangannya ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah dituduh terlibat korupsi oleh pihak manajemen perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima bulan ini dinonaktifkan. Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum terbukti sama sekali. Aku bahkan yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.” Suara Nadia berubah parau.
Aku meletakkan sendokku dan mengalihkan semua perhatianku pada Nadia. Cewek itu tampak sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya. Senyumnya meredup. Mungkin ini yang menyebabkan kecanggungan yang sempat tertangkap olehku pada awal pertemuan tadi. Di kelopak matanya menggenang cairan bening yang siap tumpah setiap saat ia mengedipkan matanya. Kupegang erat tangan Nadia. Kristal itupun berguguran. Kurebahkan kepala Nadia ke pundakku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis hebat, tak peduli orang lain di sekitar situ bertanya-tanya kenapa.
Ayah Nadia adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief Executive Officer) dan memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya secara financial Nadia tampak sangat mapan dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir suatu waktu kehidupannya akan berubah seperti ini.
“Kamu tahu, Zis, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar mandiri. Maafkan aku ya, Zis karena tak pernah bisa jujur sama Kamu. Aku malu, sebenarnya aku menyemangati Kamu sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan itu cukup berhasil untuk membuatku tidak down.”
Aku salut sama Nadia. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi dia tak pernah sombong dan merendahkan orang lain. Gadis seperti Nadia sudah selayaknya mendapatkan banyak keuntungan dan kemudahan dalam hidupnya.
“Terus rencanamu apa, Nad?” tanyaku saat kulihat Nadia sudah lebih bisa menguasai diri.
“Aku akan mencari pekerjaan di sini, Zis. Mudah-mudahan di Bandung aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku, Zis. Rumah orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami selama Ayah tidak bekerja.”
“Kalau kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak, kamu bisa bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Nad?” tiba-tiba sebuah ide segar mampir di kepalaku.
“Serius, Zis?” Nadia nyaris berteriak kalau saja tidak keburu sadar kami berada di tempat umum.
Aku mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan keringatku sama anak-anak bengkel lain,” godaku membuat bibir Nadia melengkung indah.
“Itu sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat yang jauh lebih bau. Pokoknya kalau kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkel kamu, aku akan buat bengkel kamu jadi tambah rame. Aku mau buatkan situs atau blog dan promo di facebook supaya Bengkel Azis semakin terkenal.” Nadia terus saja bicara dengan penuh semangat.
Begitulah Nadia, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam hidupnya, karena gadis ini memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan yang Tuhan ciptakan. Aku baru ingat kalau ini adalah bulan Desember. Nadia akan berulang tahun di pertengahan bulan ini. Semoga apa yang aku lakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja ini sebagai kado ulang tahun yang belum pernah aku berikan padanya.  Semacam Special Gift dari seorang secret admirer. Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau mungkin aku ingin terus bisa membuatnya tersenyum dan bahagia.
“Hey, kenapa, Kamu?” Nadia mencubit lenganku membuat lamunanku buyar seketika.
“Eng… enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Nadia. Setelah membayar makanan dan minuman kami, aku menggenggam tangan Nadia dan selama perjalanan menuju bengkel tak kulepaskan pegangan tanganku meski hanya sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami. Kepalaku sibuk memikirkan hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa yang ada dalam benak Nadia. Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami semakin erat.
-o0o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar