Special
Gift
“Nadiaaaa….
“ pekikku tak percaya begitu
melihat makhluk cantik berambut sebahu tiba-tiba muncul di hadapanku. Bagaimana
tidak, sudah lebih dari tiga tahun aku tidak pernah melihat bagaimana rupa
sahabat lamaku itu. Hanya foto-foto yang kerap ia publish di situs jejaring sosialnya
saja yang pernah kulihat kalau kebetulan aku senggang online. Itupun kadang membuatku masih tak percaya kalau
Nadia kini bisa secantik itu. Lebih cantik dibanding terakhir kali kami
ketemu.
“Halo Azis gagap… kangen ya sama aku?” canda Nadia sambil
meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan
sebuah notebook yang baru saja
kunyalakan.
Aku menghampiri Nadia dan dengan canggung menyalaminya. Nadia
membalas senyumku dan tanpa memedulikan perasaan anehku, ia menjitak kepalaku,
seperti kebiasaannya dulu. Lalu derai tawa pun meledak, melumerkan batu es di
dadaku.
Nadia, cewek
berkulit coklat, yang selalu menebar senyum ramahnya pada siapapun yang
ditemuinya, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di kelas V SD. Waktu
itu Nadia adalah anak baru pindahan dari Jakarta. Orangnya rapi dan
pembawaannya selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Aku lupa bagaimana
kedekatan kami bermula. Yang jelas sejak pertama kali aku menyadari perhatian
Nadia padaku, saat itulah aku menobatkan dia bukan saja sebagai teman biasa,
melainkan juga sebagai sahabat sejati. Apalagi setelah kami masuk SMP yang
sama, bahkan kelas yang selalu sama selama tiga tahun berturut-turut.
Lepas SMP, aku
dan Nadia memilih sekolah yang berbeda. Nadia masuk SMU terkemuka di Jawa,
sedangkan aku memilih sekolah kejuruan otomotif dengan harapan setelah lulus
nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan sejak saat itu
komunikasi aku dengan Nadia hanya sebatas sms, email, atau chating-an. Belum pernah sekalipun selama tiga tahun perpisahan itu kami
bertemu langsung seperti dulu. Tapi melalui video
chat kami bisa saling berbagi cerita dan tawa. Saling berbagi support dan semangat saat salah satu
diantara kami sedang down. Semua
berjalan sampai Nadia masuk kuliah dan aku membuka usaha kecil-kecilan ini.
Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain
jarak yang terbentang cukup jauh. Nadia masih memberiku spirit untuk terus
maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan tetap berjuang
di saat cobaan tak henti mendera.
“Tambah maju
sekarang kamu, Zis. Keren!” celoteh Nadia sambil memperhatikan ruangan kecil
tempatku bekerja. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai
belepotan oli. Aku tersenyum menanggapi komentar pertama Nadia saat melihat
kondisiku. Dalam beberapa chating
kami, aku sudah banyak bercerita tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka
sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari temannya Bapak sangat membantuku. Tapi
karena tidak memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai
usaha ini. Nadia yang saat itu baru masuk kuliah jurusan Manajemen di Jakarta
memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku mulai bangkit.
Dan dibukalah bengkel kecil di salah satu sudut pinggiran kota Bandung ini.
Sejak dulu Nadia memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma
Nadia yang tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar ongkos berangkat
sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan aku bakalan nebeng truk
pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi, boro-boro jajan apalagi traktir
teman, aku saja lebih sering puasa dan pura-pura sibuk di perpus supaya tidak
ketahuan kalau aku super bokek. Cowok kutu buku yang tongpes alias kantong kempes, cupu
dan kurang gaul. Dan, cuma Nadia yang
tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan
teman-teman sekelas. Cuma Nadia yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi
separuh sandwich makan siangnya
padaku. Dan sampai sekarang Nadia tidak
pernah berubah. Itulah yang membuatku semakin kagum padanya. Aku tak pernah
berhenti menyayanginya. Sebagai seorang sahabat, tentunya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana, lebih cool,” balasku sambil memperhatikan raut
Nadia yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa, Nad? Kayaknya ada masalah ya? Di
sini sumpek ya? Kita makan bakso, yuk!” Aku mencoba mencairkan suasana. Dan itu
cukup membuat Nadia tahu kalau aku memang bisa melihat perubahan dari roman
wajahnya.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Nadia menuju
sebuah kedai bakso tidak jauh dari bengkelku.
“Berapa lama liburannya, Nad?” tanyaku sambil memasukkan potongan
bakso urat ke mulutku.
“Aku tidak sedang liburan, Zis. Aku lagi cuti.” Nadia memainkan
sendok dan garfunya tanpa minat.
“Cuti, kenapa cuti? Bukannya kamu pengen lulus lebih cepet, Nad?”
aku heran melihat sikap Nadia yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak
biasanya dia malas-malasan. Libur semester kemarin saja dia malah mengambil
kuliah semester pendek, kenapa sekarang malah cuti?
“Ayahku terkena masalah.” Ucap Nadia sambil membuang pandangannya
ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah dituduh terlibat korupsi oleh pihak
manajemen perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima bulan ini dinonaktifkan.
Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum
terbukti sama sekali. Aku bahkan yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina
seperti itu.” Suara Nadia berubah parau.
Aku meletakkan sendokku dan mengalihkan semua perhatianku pada
Nadia. Cewek itu tampak sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya.
Senyumnya meredup. Mungkin ini yang menyebabkan kecanggungan yang sempat
tertangkap olehku pada awal pertemuan tadi. Di kelopak matanya menggenang
cairan bening yang siap tumpah setiap saat ia mengedipkan matanya. Kupegang
erat tangan Nadia. Kristal itupun berguguran. Kurebahkan kepala Nadia ke
pundakku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis
hebat, tak peduli orang lain di sekitar situ bertanya-tanya kenapa.
Ayah Nadia adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan
besar yang bergerak di bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief
Executive Officer) dan memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya
secara financial Nadia tampak sangat
mapan dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir suatu waktu kehidupannya
akan berubah seperti ini.
“Kamu tahu, Zis, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja.
Meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar
mandiri. Maafkan aku ya, Zis karena tak pernah bisa jujur sama Kamu. Aku malu,
sebenarnya aku menyemangati Kamu sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan
itu cukup berhasil untuk membuatku tidak down.”
Aku salut sama Nadia. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi
dia tak pernah sombong dan merendahkan orang lain. Gadis seperti Nadia sudah
selayaknya mendapatkan banyak keuntungan dan kemudahan dalam hidupnya.
“Terus rencanamu apa, Nad?” tanyaku saat kulihat Nadia sudah lebih
bisa menguasai diri.
“Aku akan mencari pekerjaan di sini, Zis. Mudah-mudahan di Bandung
aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku,
Zis. Rumah orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami
selama Ayah tidak bekerja.”
“Kalau kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak,
kamu bisa bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Nad?” tiba-tiba sebuah ide
segar mampir di kepalaku.
“Serius, Zis?” Nadia nyaris berteriak kalau saja tidak keburu
sadar kami berada di tempat umum.
Aku mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan
keringatku sama anak-anak bengkel lain,” godaku membuat bibir Nadia melengkung
indah.
“Itu sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat
yang jauh lebih bau. Pokoknya kalau kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkel
kamu, aku akan buat bengkel kamu jadi tambah rame. Aku mau buatkan situs atau
blog dan promo di facebook supaya
Bengkel Azis semakin terkenal.” Nadia terus saja bicara dengan penuh semangat.
Begitulah Nadia, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam
hidupnya, karena gadis ini memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan
yang Tuhan ciptakan. Aku baru ingat kalau ini adalah bulan Desember. Nadia akan berulang tahun di pertengahan bulan ini. Semoga
apa yang aku lakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja ini sebagai kado
ulang tahun yang belum pernah aku berikan padanya. Semacam Special
Gift dari seorang secret admirer.
Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau mungkin aku ingin
terus bisa membuatnya tersenyum dan bahagia.
“Hey, kenapa, Kamu?” Nadia mencubit lenganku membuat lamunanku
buyar seketika.
“Eng… enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Nadia.
Setelah membayar makanan dan minuman kami, aku menggenggam tangan Nadia dan
selama perjalanan menuju bengkel tak kulepaskan pegangan tanganku meski hanya
sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami. Kepalaku sibuk memikirkan
hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa yang ada dalam benak Nadia.
Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami semakin erat.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar