Kamis, 31 Mei 2012

TEMBAKAU TERAKHIR



TEMBAKAU TERAKHIR

Dialah lelaki yang tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Tidak kata ‘iya’ ataupun kata ‘tidak’. Hanya anggukan kecil atau tatap kosong yang menjawab setiap pertanyaan ku. Kadang sebening embun menggenang di pelupuk matanya, menjadi cermin setiap ekspresi wajah orang-orang yang terpaku menatapnya. Begitupun dengan aku. Tidak sedetik pun aku lepas dari gerak mata yang seolah bicara dan menungguku bertanya kembali.
            Dalam diam, akhirnya tetesan embun itu bergulir menelusuri lekuk hidungnya yang bengkok. Jatuh dan berhenti sejenak di sudut bibirnya yang mengering sebelum akhirnya merembes diantara retakan bibir biru yang terluka. Tidak ada isak ataupun rintihan. Hening menyelimuti hati dan jiwanya. Aku pun hanyut dalam momentum yang sulit diartikan. Seperti saat kita terpaku diantara benda-benda yang berseliweran dan bergerak sangat cepat. Atau Mendadak tuli diantara aneka suara bising di pusat keramaian yang penuh orang.
            Lelaki itu tertunduk, menumpahkan resah dan marah. Hanya gerakan tangan ritmisnya yang bisa membelah hati yang beku menjadi kepingan-kepingan es yang akan mencair dengan mudah. Dengan sigap tangan-tanagn itu melinting tembakau berserat kasar di dalam kertas rokok yang ujung-ujungnya sudah basah oleh liur sebagai pengganti lem. Waktu kecil dulu, aku pernah sekali menjilat ujung kertas tipis yang biasa disebut pahpir itu. Rasanya manis dan mengundangku untuk mencoba menjilat kertas-kertas pahpir lainnya. Apakah rasanya akan selalu sama, itu pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab sebelum semua kertas pahpir basah dan Bapak menjadi marah karena ia tidak bisa melinting tembakau untuk dijadikan rokok.
            Tetapi lelaki itu tidak akan pernah marah. Dan aku sudah tidak berminat dengan pahpir pembungkus tembakau itu. Satu lintingan berhasil ia buat. Kini ia siap menyulut rokok buatan tangan itu dan menikmati rasa tembakau paling alami. Lalu asap tebal akan keluar dari mulutnya. Membuat bibir keringnya seperti terbakar perih.
            Aku menatapnya. Dan ia balas menatapku. Hampa. Aku akan segera pulang setelah semua orang meninggalkan lelaki itu di dalam kamarnya yang sempit. Dan tentu saja dengan bau asap tembakau menyeruak di manapun orang berusaha menghirup udara untuk bernapas.
            “Saya pulang ya, Mas,” sudah waktunya aku pamit. Sepertinya lelaki ini tidak akan nekat lagi seperti tadi. Setidaknya setelah ia mendapatkan sebungkus tembakau dariku.
            Kembali tatapan kosong itu sebagai jawabannya. Aku berusaha tersenyum, membuang kalut dan khawatir dengan apa yang akan terjadi pada lelaki itu.
            Lelaki itu bernama Satrio. Tubuhnya memang sudah tidak seperkasa namanya. Aku pernah melihat foto Mas Satrio waktu masih gagah dulu. Badannya tegap dengan bahu lebar dan dada bidang. Sorot matanya tajam dan senyum selalu mengembang di berbagai kesempatan yang berhasil diabadikannya dalam Polaroid.  Aku pernah melihat Mas Satrio berdiri di atas batu sambil bergaya penuh percaya diri. Ada juga foto Mas Satrio bersama teman-temannya. Rambut keritingnya masih gondrong waktu itu. Dan ini yang membuat Mas Satrio mudah ditemukan saat aku mencarinya dalam keruman orang-orang yang berfoto dengannya.
            Tumpukan foto-foto masa lalu Mas Satrio itu aku temukan dalam kotak usang yang hampir diangkut pemulung. Suatu waktu -aku lupa kapan tepatnya- aku melihat Mas Satrio mengamuk dan melempar semua barang yang ada di kamarnya. Tapi beberapa saat kemudian tiba-tiba aku melihat ia dengan tenangnya memindah-mindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat lain. Lalu membawa tumpukan kotak dan menaruhnya di bak sampah. Aku menyaksikan semua itu di dalam loteng kamarku yang tepat lurus dengan kamar Mas Satrio di loteng seberang rumah. Dan karena begitu penasaran, aku mengendap-endap untuk memungut barang-barang yang ia buang tadi.
            Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kotak-kotak yang aku pungut itu adalah barang-barang berharga -jika itu adalah milikku: Ijazah sekolah mulai dari sekolah dasar, SMP sampai SMU, ada juga beberapa transkrip nilai dari sebuah perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Tapi aku tidak menemukan ijazah perguruan tinggi itu. Mungkin Mas Satrio belum menyelesaikan kuliahnya, atau ia menyimpannya di tempat lain.
            Dalam kotak lain aku menemukan foto-foto itu. Foto-foto yang dicetak dalam bentuk polaroid di beberapa tempat wisata, dan foto-foto lain yang dicetak di kertas foto biasa. Aku bahkan mencuci film negatifnya hanya karena rasa penasaranku yang besar. Dan aku mendapatkan petunjuk baru tentang siapa Mas Satrio sebenarnya. Aku seperti sedang melakukan riset atau mempersiapkan pembelaan jika suatu waktu warga marah karena ulah Mas Satrio yang kurang menyenangkan, lalu mengusirnya keluar dari perkampungan warga sini.
            Beberapa waktu lalu masyarakat memang kerap geram dengan apa yang dilakukan Mas Satrio akhir-akhir ini. Mengamuk tanpa sebab seperti orang kesurupan makhluk halus. Marah-marah dan Menendang apapun yang ia temukan di jalan. Anak-anak menangis ketakutan kalau melihat ia mendekat, sehingga ibu-ibu berfikir lelaki itu akan melakukan hal-hal yang tidak wajar. Tetapi di lain kesempatan Mas Satrio tampak seperti orang biasa : berperilaku wajar dan bertindak santun. Ia tidak banyak bicara, dan orang yang jarang melihatnya akan berfikir lelaki ini adalah pemuda pendiam yang ramah.
            Tetapi tanpa sebab yang jelas ia bisa tiba-tiba saja  menjerit dan melempar barang-barang yang ada di kamarnya. Warga sekitar tentu saja kaget dan merasa sangat terganggu. Lalu tidak begitu lama kemudian suasana kamarnya mendadak sepi, sampai-sampai orang-orang berubah menjadi khawatir sekaligus takut, jangan-jangan lelaki aneh itu sudah mati bunuh diri. Tapi aku tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan yang mendadak sunyi itu, ia pasti sedang melinting pahpir dan tembakau, lalu menghisapnya dalam-dalam. Kalau sudah begini tampaknya permasalahan yang ia hadapi sebelumnya seperti terbang bersama kepulan asap tembakaunya. Aku melihatnya dengan jelas seperti sedang menyaksikan film di depan televisi.
            Mas Satrio adalah lelaki muda berusia dua puluh enam tahun. Tiga tahun lebih tua daripada aku. Dengan postur tubuhnya yang tinggi besar orang kadang salah menduga kalau ia sudah berusia di atas tiga puluh dan sudah berkeluarga. Ia baru pindah sekitar dua bulan yang lalu dan mengisi kamar kontrakan tetanggaku di lantai dua. Hanya ada tiga kamar di lantai dua. Dan kebetulan dua kamar lainnya tidak berpenghuni.
            Waktu pertama datang, akulah yang membantu Mas Satrio  membawa koper-kopernya. Waktu itu kebetulan aku baru pulang kuliah dan melihat ia kerepotan membawa barang bawaannya yang lumayan banyak. Aku tidak banyak bertanya waktu itu. Yang aku tahu Mas Satrio berasal dari Jombang. Ia meninggalkan perkebunan tembakau milik keluarganya. Seiring berjalannya waktu, aku jadi sering bertemu dan punya banyak kesempatan untuk ngobrol dengan Mas Satrio.
            Ternyata Mas Satrio datang ke Jakarta bukan untuk mencari pekerjaan. Setidaknya itulah kesimpulanku karena aku tidak  pernah melihat ia keluar kamarnya dengan mengenakan pakaian yang umumnya dipakai orang untuk melamar pekerjaan, menjalani test atau interview kerja. Tapi aku tidak begitu ambil pusing, yang penting aku bisa berteman dengan Mas Satrio. Aku sering bertukar  pikiran, apalagi kalau aku lagi sumpek dengan permasalahan di kampus  dan hubungan dengan teman-teman atau dosenku. Mas Satrio sering memberikan aku wejangan dan nasehat. Ngobrol dengan Mas Satrio, aku seperti memiliki kakak lelaki sendiri. Maklum aku anak tunggal, jadi mendapat teman seperti Mas Satrio membuat aku merasa punya tempat untuk mengadu.
            Tetapi belakangan ini sejak aku sibuk menyusun skripsi dan sering pulang malam,  aku jadi jarang main ke kostan Mas Satrio. Hanya saja, dari awal perkenalan dengan Mas Satrio aku memang sering memperhatikan kegiatan Mas Satrio selama di kamar kostnya. Dari seberang kamarnya, tepatnya di kamarku sendiri, aku bisa melihat sekilas apa yang Mas Satrio lakukan. Apalagi jendela dan pintu kamarnya jarang ditutup. Jadi setidaknya aku tahu kalau ada hal janggal yang sering ia lakukan.
            Aku tidak tahu pasti apa yang menimpa lelaki itu. Mas Satrio tiba-tiba saja menjelma menjadi seseorang yang tidak aku kenal. Atau mungkin aku memang belum mengenal dia lebih jauh. Aku hanya tahu bahwa sejak kecil Mas Satrio hidup dan tinggal di perkebunan tembakau di Jombang, tempat bapaknya dipercaya oleh pemilik tanah perkebunan itu. Sebagai anak kecil yang selalu terlibat dengan kegiatan orangtua mereka yang sibuk bekerja di perkebunan, Mas Satrio tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki cukup waktu untuk bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya. Ia pernah bercerita ingin sekali memiliki mobil mainan seperti yang dimiliki anak majikannya. Tetapi bapaknya tidak mungkin bisa membelikan mainan serupa yang harganya pasti sangat mahal.
            Meskipun nasib baik kemudian berpihak ke keluarga Mas Satrio sejak bapaknya dipercaya mengelola sendiri salah satu perkebunan yang baru dibuka di daerah lain, tetap saja kehidupan Mas Satrio tidak berubah banyak. Keadaan ekonomi memang sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu, tetapi Mas Satrio tidak berusaha menebus apapun yang dulu sempat ia inginkan. Ia terlanjur menjadi anak penakut yang tidak pernah yakin bisa memiliki sesuatu yang ia inginkan.
            Karenanya Mas Satrio keluar dari zona yang membuat mentalnya semakin lemah itu. Ia sedang berusaha mengejar sesuatu yang aku sendiri belum tahu apa itu. Dan ia meninggalkan Jombang untuk mendapatkan itu di Jakarta.
            ‘Sebuah perjalanan’, itu adalah judul blog yang tanpa sengaja  aku baca karena kebetulan laptop Mas Satria masih terbuka waktu aku hendak pamit pulang tadi. Aku menanyakan apakah harus aku matikan laptop Mas Satrio atau tidak. Tetapi Mas Satrio kelihatan sudah tertidur. Hanya dalam hitungan menit sejak ia menyalakan tembakaunya, ia  sudah berubah menjadi bayi yang lelap tertidur. Aku pun mengurungkan niat untuk meninggalkan Mas Satrio dalam keadaan seperti ini. Setidaknya aku bisa menemani Mas Satrio sambil membaca isi blog yang masih online itu.
            Ternyata ini adalah blog pribadi Mas Satrio. Banyak foto dalam postingan blog itu yang aku kenal. Kebanyakan postingan berisi tulisan biasa dan bukan artikel yang membahas tentang materi tertentu. Malah, kelihatannya ini blog yang berisi curahan hati pemiliknya. Ya, Mas Satrio mengisi blog ini setiap hari dengan berbagai keluh kesah dan beragam cerita. Tapi yang menarik perhatianku tentu saja postingan yang sudah lama, beberapa bulan yang lalu misalnya. Dengan membaca tulisan-tulisan lamanya, aku akan bisa mengenal Mas Satrio lebih jauh lagi.
            Dalam diary maya-nya Mas Satrio menulis kisah masa lalunya. Masa kecil yang diisi dengan kegiatan membantu orangtuanya mengiris tembakau, menjemur, sampai mengangkut hasil panen ke pabrik. Kebanyakan anak-anak di Jombang melakukan kegiatan yang sama, yaitu membantu para orangtua menjadi buruh di pabrik tembakau di daerah mereka. Begitupun dengan Mas Satrio. Sepulang sekolah ia langsung sibuk mengerjakan tugas-tugas yang sama dengan yang dilakukan ayahnya.
            Kehidupan keluarga Mas Satrio termasuk agak sulit. Dengan tiga orang anak, kedua orang tua Mas Satrio berusaha membesarkan anak-anak mereka dengan bekal pendidikan yang cukup. Mas Satrio sendiri lulus dari sekolah menengah atas di kecamatan. Tetapi namanya juga anak-anak, banyak keinginan yang menjadi impian Mas Satrio. Membeli mainan baru, bermain bersama teman-temannya tanpa harus memikirkan beban pekerjaan yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Sampai menginjak remaja ia juga ingin menikmati masa remaja seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
            Tetapi nasib selalu berbeda. Ia yang hanya anak buruh biasa, tidak mungkin bisa mengalami nasib yang sama dengan anak majikannya. Adalah Danang, anak majikannya yang selalu menjadi patokan cita-cita Satrio kecil. Saat Danang memperlihatkan mainan barunya berupa mobil-mobilan yang pintu-pintunya bisa dibuka dengan remote control dari jarak jauh, malam harinya Satria bermimpi bisa memiliki mainan serupa. Waktu Danang memamerkan sepatu roda barunya, Satrio bertekad untuk bisa memiliki sepatu roda entah dengan cara bagaimanapun. Tetapi cita-cita dan keingin Satrio tidak lantas bisa cepat terwujud. Atau mungkin malah terjebak dalam kantong angan-angannya saja.
            Beruntung Danang selalu mau berteman dengan Satrio, dan kerapkali meminjamkan mainannya. Meski kadang-kadang anak-anak kecil tiba-tiba saja berubah menjadi saling bermusuhan, tetapi keduanya kemudian tertawa bersama-sama lagi seolah tidak pernah ada yang menyakiti ataupun tersakiti. Tetapi lain ceritanya ketika kedua anak berbeda kasta ini beranjak remaja, perbedaan tidak kemudian menyatukan mereka menjadi dua sahabat yang saling melengkapi. Tidak untuk urusan yang satu ini.
            Seorang gadis, seolah merupakan  permainan baru yang memunculkan kompetisi diantara kedua anak baru gede berbeda nasib itu. Tetapi sang gadis tidak bisa memilih keduanya sekaligus. Mungkin tidak juga salah satunya. Danang berusaha sekuat tenaga dengan berbagai maneuver yang menunjukkan statusnya sebagai anak orang kaya untuk mendapatkan hati sang gadis. Begitupun dengan Satrio yang dengan kesederhanaannya berusaha membeli hati sang gadis dengan menjual sikap manis dan penuh perhatiannya. Mungkin dengan puisi dan kata-kata romantis yang biasanya meluluhkan para gadis..
            Lara, sang gadis pun jatuh cinta pada Mas Satrio. Tetapi kisah cinta mereka tidak semulus jalan tol yang baru dibangun waktu itu. Ayah Danang yang sangat jeli dalam berbagai urusan bisnis, membuka kembali jalan cinta Danang yang sempat tersendat. Ia meminta ayah Lara yang juga salah satu staf kepercayaannya untuk menjodohkan anak mereka. Dan untuk menutupi semua itu –setidaknya yang menjadi perkiraan Mas Satrio, ayah Mas Satrio dipindahtugaskan untuk mengelola satu perkebunan baru yang kurang produktif. Konon ayah Mas Satrio menyanggupi ini sebagai sebuah tantangan dalam karier hidupnya.
            Waktu berjalan cepat, Danang dan Lara pun menikah. Entah dengan dasar cinta yang kemudian tumbuh, ataukah hanya karena sebuah  keterpaksaan, Lara tidak bisa menolak nasib yang sudah digoreskan. Ia melupakan cinta yang pernah tumbuh di hatinya untuk Mas Satrio, dan bahkan membiarkan cinta Mas Satrio mengering untuk kemudian mati merana.
            Dalam postingan beberapa bulan kemudian, Mas Satrio menceritakan keresahan dan sakit hati atas perlakuan nasib terhadap dirinya. Aku tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya sampai-sampai ia menulis begitu banyak puisi tentang kesedihan dan dendam. Ia ingin melupakan semuanya, tetapi ia tidak bisa melepaskan masa lalunya yang terikat kuat dengan dunia tembakau. Dunia yang sudah membesarkan sekaligus menghancurkan hidupnya.
            Karenanya Mas Satrio meninggalkan kota tempat kelahirannya. Ke mana saja, asalkan ia jauh dari Jombang, Lara dan Danang, juga tembakau. Mungkin ia pernah tinggal di beberapa kota sebelum akhirnya menetap di sini. Tetapi di manapun ia tinggal, ternyata ia tidak pernah bisa melupakan semuanya. Terutama tembakau. Setiap hari ia menghisap puluhan linting tembakau untuk mengenang sekaligus membangkitkan kembali dendam di hatinya. Kalau sedang kalut dan marah, ia tidak akan menghisap tembakau itu, tetapi ia akan membakar bertumpuk-tumpuk tembakau dan membiarkan asap memenuhi kamarnya, menyesakkan dadanya, dan membuat matanya berair sampai pagi. Lalu ampas tembakau yang tidak terbakar akan ia seduh bersama kopi kentalnya, dan dihirup hingga tandas. Setelah itu akan merasa sangat puas karena dengan begitu  ia bisa melupakan cintanya yang kandas.
            Seperti apa  yang sudah ia lakukan beberapa hari yang lalu rupanya. Dan saat ini aku masih bisa merasakan aroma tembakau terbakar di mana-mana, seperti bau pembakaran jerami atau sampah kering. Tetapi ada bau khas yang memabukkan dan lebih menyesakkan dibanding asap knalpot bajaj ataupun bis tua. Bau yang kemudian bisa saja membunuh saraf-saraf siapapun yang berlama-lama menghirupnya.
            Aku memeriksa denyut nadi Mas Satrio. Lemah. Dalam keadaan panik aku segera menelpon rumah sakit dan meminta ambulan menjemput Mas Satrio. Untungnya tidak lama berselang ambulan yang ditunggu datang. Bersama-sama dengan beberapa teman, pemuda warga sini dan petugas medis rumah sakit, aku mengangkat tubuh Mas Satrio yang lemah dan membawanya ke dalam ambulan. Jerit ambulan menarik perhatian warga sehingga mereka berkerumun dan kasak kusuk setelah melihat apa yang terjadi.
            Aku mengantarkan Mas Satrio sampai rumah sakit, mengurus administrasi dan berbagai keperluan lainnya.  Dan di sinilah aku sekarang, menjaga Mas Satrio, orang yang belum lama aku kenal tetapi sudah memberikan cukup banyak pelajaran berharga dari pengalaman hidup  yang dilaluinya.
            Menurut diagnosa dokter, Mas Satrio mengalami keracunan tembakau. Bukan tembakaunya yang mengandung racun, tetapi dosis yang ia konsumsi melebihi kapasitas tubuh manusia dalam menerima asupan zat nikotin dan karbondioksida dari hasil pembakaran tembakau. Kalau saja Mas Satrio terlambat dibawa ke rumah sakit, aku tidak akan pernah tahu bagaimana nasibnya.
            Beberapa hari kemudian Mas Satrio sudah mulai pulih. Meski selang infus masih bergelantungan di kiri kanan tangannya, tetapi Mas Satrio sudah diperbolehkan duduk tegak. Tabung oksigen yang sebelumnya menjadi gantungan hidup Mas Satrio, kini hanya dipasang sesekali saja. Dan dokter tidak melarang ia menggunakan laptopnya kembali.
            “Makasih ya, Gilang, kalau tidak ada kamu, saya mungkin sudah lewat,” Mas Satrio menepuk punggung tanganku. Tatapan matanya mulai bersinar, tidak kuyu seperti sebelum dirawat.
            “Sama-sama, Mas. Saya minta maaf karena sudah lancang membuka laptop Mas Satrio malam itu,” balasku, mengingat kelancanganku yang sudah membaca catatan pribadi Mas Satrio.
            “Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak buka laptopku, mungkin kamu sudah pulang, dan besoknya mendengar kabar kalau Aku sudah mati,” Mas Satrio menyeringai. “Aku tidak tahu, kenapa aku begitu bodoh. Bagaimana cinta yang tidak berujung ini bisa membutakan hati dan pikiranku pada dunia yang sebenarnya masih menyebarkan banyak cinta. Heran, aku kok bisa ya kerasukan tembakau, hahaha”
“Iya, Mas. Tapi semua ini pasti ada hikmahnya. Yang penting sekarang, Mas Satrio harus nurut apa kata dokter.” Mungkin ini yang lebih baik aku katakan sekarang ini.
“Iya, aku berjanji, tidak akan mengkonsumsi tembakau lagi. Apalagi membakar dan memakannya, haha bodohnya aku…” kembali Mas Satrio menyeringai seolah rasa sakit sudah benar-benar lenyap dari tubuhnya.
            Mungkin tembakau terakhir malam itu yang menyadarkan Mas Satrio bahwa terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu itu sama sekali tidak ada gunanya. Lebih baik menatap masa depan dan melangkah untuk menggapai impian dan harapan.
            Beberapa bulan sejak kejadian itu Mas Satrio meninggalkan kontrakannya. Aku tidak tahu persisnya ke mana ia akan pergi. Tetapi setahun setelah itu, tepat sehari setelah hari wisudaku, ia datang menemuiku. Penampilannya sangat jauh berbeda. Dengan potongan rambut pendeknya ia sangat tampan dan berwibawa. Kemeja dan dasinya licin sekali. Laiknya seorang executive muda, ia turun dari sebuah mobil mewah. Aku sangat pangling dibuatnya.
            “Mas Satrio?” aku tercengang. Dan yang lebih mencengangkan, ia sengaja datang menemuiku untuk mengajakku bekerja di perusahaan yang baru dibukanya. Tidak tanggung-tanggung aku ditawari menjadi seorang manager marketing, sangat relevan dengan gelar yang sekarang aku sandang, sarjana ekonomi.
            “Kalau ada gadis yang perlu kamu kasi kabar, segera kabari, karena tugas kamu lumayan berat. Mungkin baru sebulan sekali kamu bisa nengok pacar kamu itu.” Ucapnya. Perusahaan yang Mas Satrio kelola bergerak di bidang industri rokok. Meskipun masih ada kaitannya dengan tembakau rupanya, tetapi Mas Satrio bilang, malam itu adalah tembakau terakhirnya, ia benar-benar sudah tidak merokok lagi, kecuali untuk urusan test rasa.
            “Saya tidak punya cewek, Mas,” kataku malu-malu.
            “Kebetulan kalau begitu, istriku punya adik perempuan yang ayu. Siapa tahu kalian berjodoh,” derai tawa kami melengkapi kebahagiaanku mendapatkan rezeki nomplok pekerjaan ini. Alhamdulillah. Teman-temanku yang fresh graduate mungkin tidak akan semudah ini mendapatkan posisi jabatan sebagai manager. Tetapi aku.. Tuhan memang Maha Bijaksana. Terima kasih Tuhan.
-oOOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar