Rabu, 16 April 2014

Senja Terindah di bulan April

            Senja.
            Senja kapan yang tak pernah sekalipun singgah di benakku? Senja berarak jingga yang payungi langit tempat kita berpelukan kala itu? Senja merah saga dengan semilir angin di akhir musim  kemarau saat kita bergandengan tangan dan bertaut janji sehidup semati? Juga senja dengan semburat lembayung yang terpantul dari kristal yang berguguran di kelopak matamu?
            Semua senja sama. Selalu membuatku tersenyum. Juga menangis. Selalu mengingatkanku tentang kamu. Tentang janji-janji  yang tak tertepati. Tentang masa-masa yang takkan pernah terlewati kembali.
            Aku duduk diantara ilalang yang menari bersama sepoi angin. Sendiri. Menikmati senja terakhir di bulan Maret. Bulan terakhir pertemuan kita, April.
            Masih hangat terasa, saat kau rebahkan kepalamu di bahuku, setahun yang lalu. Di sini, di tempat ini, kita saksikan tenggelamnya mentari di cakrawala barat. Perlahan sinarnya meredup, membaur bersama jingga dan kelabu. Lalu kau bisikkan, “Cintaku takkan pernah redup dan tenggelam padamu, Julian,” padaku.
            “Aku berjanji, kau akan terus menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi jiwaku, sepanjang hayat, sampai maut yang akan menggugat,” kataku kala itu.
            Lalu bibirmu melengkung. Indah. Seindah pelangi saat bias air mengaburkan pandangan.
            Kita pun pulang, meninggalkan padang ilalang tempat kita melepas senja. Senja terakhir di bulan Maret.
            “Bulan depan usiaku akan bertambah, sekaligus berkurang satu tahun,” ucapmu. Ada nada sendu yang tertangkap gendang telingaku.
            “Wah, iya, tidak terasa ya… hubungan kita juga sudah berjalan hampir dua tahun. Kamu ingat kan, kamu menerima cintaku saat perayaan ulang tahunmu itu?”
            Kembali kau tersenyum. Bahagia terpancar dari bola matamu. Lentik bulu yang membingkai pesonamu begitu indah, meneduhkan hatiku. Kamu gadis paling sempurna yang Tuhan ciptakan untukku, April. Ribuan kali puji itu kubisikkan di telingamu. Dan Ribuan cahaya akan menari-nari setiap kali matamu berkedip senang saat mendengarnya.
            Tapi kali itu senyummu memudar. Aku tak tahu apakah puji rayuku tak lagi bermakna.  Sepanjang pulang dari padang ilalang kau tidak begitu banyak bicara. Dan diammu membuatku gundah. Ada apakah gerangan, April-ku?
            Malam merangkak dalam gelap. Jubah pekatnya menutup seluruh angkasa. Tiba-tiba petir bergemuruh hebat. Hujan pun luruh dengan lebat. Berkali-kali aku berusaha menajamkan penglihatanku karena kaca mobil yang kukendarai terhalang derasnya air yang turun dari langit. Gerakan wiper yang cepat, sama sekali tidak membantu. Dan aku tersentak saat sekilat cahaya yang teramat terang tiba-tiba menguasai jarak pandangku. Putih dan amat menyilaukan.
            Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang kutahu, seminggu kemudian aku sudah duduk di atas kursi roda  dengan kaki yang tak lagi mampu kugerakkan. Sedangkan kau, masih saja terlelap di atas brankar putih dengan balutan selang yang terhubung dengan berbagai peralatan medis. Air mataku menderas. Betapa menderitanya dirimu karena ulahku.
            Seminggu, dua minggu, sebulan. Kau masih saja terlelap. Bahkan saat kuletakkan kue ulang tahun dengan nyala lilin berangka dua puluh satu, kau sama sekali tak peduli. April, ini hari yang kau tunggu. Kau bilang, di usia dua puluh satu kau akan merasa semakin dewasa. Semakin mencintai hidupmu dan hidup orang-orang yang kau sayangi. Kau bilang akan merayakan pesta ulang tahunmu bersama anak-anak yatim piatu lain yang selalu kau jadikan teman disaat sepi. Tapi maafkan aku, April, kau hanya bisa merayakan ulang tahunmu bersamaku. Dalam sepi, tanpa nyanyian dan lagu-lagu gembira. Tapi aku janji, April, aku akan merayakan ulang tahunmu bersama mereka. Dan aku berjanji akan menjadi pelipurmu sepanjang siang dan malam. Aku takkan pernah sekalipun meninggalkanmu di sini.
            Bangunlah, tiup lilinmu, dan ucapkan harapanmu…
            Dua bulan, lima bulan, sepuluh bulan, kau tetap saja terlelap. Tak rindukah kau padaku, April? Bangunlah kasihku, belai wajahku seperti selalu kau lakukan saat melihat aku tampak semakin gemuk. Dan kau bilang, “Sayang… sepertinya aku berhasil membuatmu bahagia.” Bangun, April, sentuh bibirku agar aku bisa kembali tersenyum seperti dulu. Tertawa bersama saat kau gelitik kupingku dengan batang ilalang yang bunganya telah kau tiup hingga berhamburan di kepalaku. April…
            Setahun… setahun kembali berlalu. Aku yang tak pernah sekalipun jemu menemanimu lewati detik demi detik yang menyiksa dalam tidurmu, hanya bisa menahan rindu. Air mata ini telah kering sejak kulihat ribuan tetes air menganak sungai di pipimu. Dan kau tak pernah bangun untuk menceritakan mimpi-mimpimu. Berbagi sedihmu, juga rasa takutmu. April, ini aku, kekasihmu, yang telah ratusan kali mengucap janji untuk selalu setia. Atau, apakah kau marah padaku? Kau marah sebab aku tak bisa mewujudkan keinginanmu untuk merayakan ulang tahun bersama anak-anak itu? Kau marah karena aku telah merenggut kebahagiaan hidupmu karena kecelakaan itu?
            April… maafkan atas semua kebodohanku.
*
            Malam ini, dingin mengoyak luka di hatiku. Perih. Dadaku bergetar hebat saat kudekap sebuah kue berhias bunga-bunga berwarna jingga. Warna senja kesukaanmu. Lalu lilin dengan dua buah angka dua bertengger di atasnya, menyala lembut. Menanti kau meniupnya.
            Kuarahkan kursi rodaku menuju tempatmu berbaring. Sejenak kutangkap alat deteksi jantungmu bergerak lebih cepat. Napasmu memburu saat jemarimu kusentuh. Tapi kau tetap bergeming.
            “Selamat ulang tahun, April,” bisikku lirih. Tak terasa bergulir cairan hangat dari kelopak mataku.
            Kuletakan kue ulang tahun dengan hiasan bunga-bunga kesukaanmu di atas nakas, lalu kutatap dirimu.
            “Aku tahu kamu marah padaku. Maafkan aku, April. Semua ini salahku. Aku janji akan menemanimu sampai kapanpun. Sampai kamu terjaga dan kita kembali seperti dulu.”
            Setetes air menggenang di kedua sudut matamu, lalu perlahan luruh. Kau mendengarku , April? Setelah sekian bulan aku menunggumu, hari ini kau bisa merespon ucapanku.
            “Lihat, April, aku bawakan hadiah ulang tahun untukmu. Anak-anak itu…”
            Aku membuka pintu kamar dan mempersilakan masuk belasan anak panti asuhan. Mereka akan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untukmu.

            Panjang umurnya… panjang umurnya… panjang umurnya serta mulia
            Serta mulia … serta mulia …

            Air matamu menderas. Tubuhmu terguncang hebat karena isakmu. Tapi matamu tetap terpejam.

            Potong kuenya… potong kuenya... potong kuenya sekarang juga
            Sekarang juga…

            Lanjutku dengan derai yang jauh lebih hebat. Lalu kukecup keningmu, dan kau kudekap dengan erat.
            Petir tiba-tiba bergemuruh di luar sana. Hujan kembali luruh. Pelukku semakin erat karena tiba-tiba saja kau menggigil. Kilatan cahaya yang sangat terang, disusul suara petir yang sangat dahsyat membuat tubuhmu terlonjak.
            “A… aku takut, Julian…” bisikmu terbata dengan mata tetap terpejam.
            Aku tersentak tak percaya.
            “Ju… Julian… jangan ting… galkan aku lagi…” rinai meluruh dengan deras. Gegas kuhapus dengan perasaan tak tentu.
            Apakah aku sedang berhalusinasi?
            Perlahan-lahan kelopak matamu terbuka. Redup, tetapi memancarkan kerinduan yang membuncah.
            “April…” pekikku tertahan. Benarkah …
            Kepalamu mengangguk lemah. “Te… terima kasih, Julian…” kau mencoba menggerakkan tanganmu untuk menyentuhku. Aku yang lalu meraih jemarimu dengan haru. Bahagia sebab kau telah kembali.
            “April,” hanya namamu saja yang terus kuulang.
            “Julian, apa kau baik-baik saja?” tanyamu. Tak kusangka dalam keadaan seperti ini kau masih saja mengkhawatirkanku. Mungkin kau pikir baru terjaga setelah terjatuh dari motor beberapa saat lalu. Bukan dua tahun lampau.
            “Jangan pergi, Julian,” desismu.
            Kucium jemarimu yang menghangat, dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
            “Aku janji, April, aku janji,” balasku.
            Perlahan matamu mengedar.
            Anak-anak dari panti asuhan itu serentak tersenyum menyambutmu. Mereka lalu bergantian menyalamimu. Kau tampak sangat bahagia. Dan itu membuatku jauh lebih bahagia.
*
            Di atas tripod lukis yang menghadap langit berwarna kuning kemerahan, tergantung sebuah kain kanvas dengan gambar yang baru saja selesai kau lukis. Rambutmu tergerai indah, tertiup angin yang sekian lama merindukanmu. Senyum indah merekah saat bola matamu tertumpu padaku.
            “Beres!” teriakmu, membuatku tak sabar untuk segera melihat hasilnya.
            Kugerakkan kursi rodaku, tetapi segera kau menghambur ke arahku karena kau lihat aku kesulitan memutarnya. Kerikil-kerikil kecil itu menggoda dengan menghalangi  jalanku.
            “Makasih ya,” ucapku tulus.
            Lalu kau dorong aku menuju tripod lukismu. Dan kau biarkan aku mematung lama dengan mata berderai.
            Sebuah lukisan langit  kala senja, dengan semburat jingga di tepi atas, dan warna hijau di bagian bawahnya. Warna rumput ilalang dengan bunga-bunga putih halus yang siap terbang saat angin menggelitiknya. Seorang lelaki yang tengah duduk di atas kursi roda menatap cahaya matahari yang meredup di cakrawala, di balik awan berwarna merah saga. Itulah aku. Laki-laki yang telah membuatmu kembali tersenyum meski separuh kakinya tak lagi bisa digerakkan.
            “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Julian,” kau raih jemariku, lalu perlahan kaukecup. Matamu terpejam seolah tengah meresapi cinta yang menjalar lewat nadi-nadiku.
            “Kalau kamu tak setia menemaniku tertidur selama dua tahun ini, mungkin aku tak akan pernah bangun lagi. Tak akan bisa menikmati senja seperti dulu. Tak akan bisa memelukmu. Aku bahagia karenamu, Julian.” Tanganmu merentang dan memeluk pundakku dari belakang kursi roda. Bibirmu mendarat halus di ubun-ubun kepalaku.
            Aku juga bahagia, April. Sangat bahagia. Kita bisa menikmati senja terindah di bulan April. Bulan kelahiranmu.

*
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar