Selasa, 08 April 2014

BATAS FATAMORGANA

Alan hendak merogoh kunci kamar kos dari saku jins-nya saat ia menangkap tawa pelan disertai gemerisik ritmik dari kamar sebelah. Diliriknya sekilas sepasang sepatu kulit mengkilat tergolek di samping keset pintu, sebelum ia bergegas masuk. Dari balik gordeng, tampak sebuah sedan mewah terparkir mentereng diantara mobil-mobil lain milik para penghuni kosan, termasuk mobil sport tua miliknya. Wajah Alan semakin muram, kini.
Kemarin Nata bercerita bahwa ia resmi menjalin hubungan dengan seorang pengacara muda yang raut tampannya sering nongol di televisi dan belakangan jadi pembicaraan publik di mana-mana. Tak sedikit artis yang sengaja mencari-cari masalah agar kasus yang mereka hadapi bisa ditangani oleh pengacara kondang itu.
Alan pun tak bisa memungkiri bahwa si pengacara memiliki pesona luar biasa yang sanggup menghipnotis ribuan wanita dalam sekali tatap. Hanya saja, Alan belum siap menghadapi kekecewaan luar biasa yang pasti menghinggapi dirinya jika Nata juga menjadi korban keramahan palsu laki-laki perlente dan penuh kamuflase  itu. Korban yang secara sukarela menyerahkan dirinya demi kepuasan sesaat dan kebanggan semu. Atau justru sebaliknya? Laki-laki itu yang terpedaya oleh kecantikan dan rayu Nata?
Alan begidik membayangkan Nata berada dalam pelukan laki-laki itu. Entah apa yang menjadi obsesi gadis yang tak pernah sedetik pun lengah dalam ingatan Alan itu. Perempuan asal Manado yang mencari peruntungan di Jakarta dengan modal nekat, tanpa bekal keterampilan khusus itu lebih suka menjalin cinta dengan pria berduit daripada bekerja, demi menjamin kelangsungan hidupnya. Ia berani melakukan apapun asal bisa tetap bertahan.
            “Kalo sampai kamu yang kalah taruhan, kamu mesti menuruti semua keinginanku!” Kesepakatan sepihak itu meluncur dari bibir Nata saat Alan menyatakan tak percaya jika Nata bisa menggaet Fariel, pengacara fenomenal itu. Dalam hati, Alan sebenarnya tak meragukan sedikitpun kemampuan Nata. Ia tahu persis perempuan berambut ombak itu bisa meruntuhkan hati banyak laki-laki, menggoda, dan menjebaknya ke dalam perangkap penuh hasrat. Meskipun merebut Fariel dan membuat perhatiannya teralih dari sekian banyak perempuan yang bergelayut manja di bahunya, bukanlah perkara mudah, namun Alan yakin Nata pasti bisa melakukannya. Hanya saja, Alan tak mungkin menunjukkan hal itu pada Nata.
            Sialan! Aku nggak mau jadi budak Nata untuk kesekian kalinya! Rutuk Alan. Sambil membuka lemari pendingin mungil di bawah nakas, pikirannya melayang dalam ilusi yang terjadi di kamar Nata. Dikeluarkannya kaleng minuman bersoda, diteguk sedikit, lalu beranjak untuk menyalakan televisi. Sekedar mengalihkan perhatian. Acara gosip masih merajai waktu. Ia pindahkan ke saluran lain yang memutar acara olahraga. Lalu berganti acara parodi. Pindah ke sinetron. Ganti ke berita kriminal. Ah, isi kepalanya hanya Nata dan laki-laki yang sedang menindih tubuhnya hingga menimbulkan suara gemerisik penuh desir dan tawa-tawa ringan yang menggoda.
Argghhh, menggoda? Menyiksa, tepatnya!
            Harusnya Alan tidak terlalu peduli dengan apa yang Nata dan laki-laki itu, atau laki-laki manapun --seperti yang sering Nata ceritakan dengan penuh gairah--, lakukan. Harusnya Alan cukup mendengar dan tak perlu memikirkan bagaimana rasanya menjadi laki-laki yang selalu mengelilingi hidup Nata. Ah, perempuan itu memang pandai menyiksa jiwa kelelakian Alan dan membuatnya merana sepanjang malam, sejak pertama ia mengenalnya di sebuah klab malam tiga bulan silam.
            Malam itu, Alan sedang dirundung amarah. Buncah dadanya oleh kebencian pada bos angkuh yang mempekerjakannya ibarat budak jaman Jepang. Tak ada waktu libur, bahkan saat-saat santainya di kafe pun terusik oleh dering telpon atau deretan perintah dalam BBM-nya. Bos, sialan! Senja di bawah temaram lampu kafe khusus pengunjung dewasa itu sama sekali tak bisa Alan nikmati hingga ia bertemu dengan Nata.
            Perempuan itu berjalan meliuk ke arah Alan, seumpama ular betina yang sedang menggoda sang pejantan. Bibirnya merekah. Bulu matanya berkedip secepat sayap kumbang koksi di udara. Dan dalam jarak yang tak lebih dari satu inchi, bahu keduanya nyaris bersentuhan, menimbulkan riak rasa yang tak wajar bagi Alan. Tapi mungkin, biasa saja bagi Nata.
            “Sendirian?” pertanyaan pertama Nata menjadi pembuka meluncurnya tanya-tanya lain, celoteh manja hingga akhirnya berbuntut kemesraan sesaat. Malam pun ditutup dengan pelukan hangat di atas sofa apartemen Alan.
            Hari-hari berikutnya Alan mencari Nata di tempat yang sama, namun entah kenapa gadis itu seolah menghilang. Dari seorang lelaki yang Alan yakini sering mangkal dan membunuh waktu di kafe itu, didapatlah tempat tinggal Nata. Sebuah kos tertutup di kawasan perumahan elit. Alan berpura-pura mencari tempat singgah selama ia bertugas sementara di Jakarta. Dan dengan sejumlah uang yang cukup untuk membayar rumah kontrakan selama satu tahun, Alan menyewa sebuah kamar kos kosong tepat di samping kamar Nata sampai dua bulan ke depan. Ia masih harus mengeluarkan uang tambahan pula untuk meminta penghuni kos sebelumnya pindah ke kamar lain yang kebetulan kosong.
Alan biarkan apartemen mewahnya kesepian seperti dirinya yang selama ini terpenjara di sana. Berharap kehangatan, di dalam sebuah kamar kos sederhana di samping kamar Nata. Gadis itu memekik tatkala mengetahui laki-laki tampan berdagu belah dengan senyum setulus orang yang tak pernah mengobral cinta itu menjelma di hadapannya. Ia tak percaya, seorang pendengar setia keluh kesahnya semalam suntuk kala itu, kini berada semakin dekat dengan dirinya. Nata akui, ia membutuhkan laki-laki seperti Alan.
Setiap hari, Nata menunggu Alan pulang dari kantor, di depan teras kamar kosnya. Lalu ia akan memberondong Alan dengan kisah-kisah yang dilaluinya hari itu. Tentang laki-laki yang merayunya, yang memberinya hadiah barang-barang mewah atau memaksanya berkencan. Mulanya Alan menikmati perjalanan hidup Nata dan membiarkan dirinya larut dalam rasa takjub betapa Natasya Pramestiana yang datang jauh dari pulau seberang mampu survive tanpa menggantungkan diri pada orang lain, di megapolitan yang tak ramah ini. Alan merasa malu dengan keluh kesah akan beratnya persaingan dan tekanan hidup di Jakarta, yang selama ini membebani langkahnya. Dan diam-diam rasa suka Alan terhadap Nata semakin kuat.
Nata adalah perempuan yang pandai membaca isyarat yang tersembunyi di kedalaman mata laki-laki. Dari desah suara dan gestur tubuhnya saja, Nata paham apa yang Alan harapkan dari dirinya. Pelan-pelan ia membiarkan Alan meluapkan rasa, agar laki-laki itu sadar, perempuan seperti apa Nata. Mungkin yang dibutuhkan Alan hanyalah sebuah pengakuan, bahwa ia layak mendapatkan tidak sekedar cerita hidup Nata, tetapi juga cinta dan seluruh yang ada dalam diri perempuan itu.
Semuanya kemudian berubah menjadi lebih indah bagi Alan. Penantian Nata di ambang pintu menjadi pelepas penat setelah seharian Alan berkutat dengan dunia angka. Dan malam-malam menjadi semakin hangat. Terkadang panas, bahkan.
“Bagaimana kalau kita tinggal di apartemenku saja. Sepertinya tempat tinggalku butuh sentuhan tangan wanita,” ucap Alan pada suatu malam yang gaduh oleh angin dan deras hujan. Di dadanya  tercium wangi olive dari pucuk kepala Nata.
“Aku belum siap. Aku lebih menikmati kebersamaan kita di sini saja. Mencuri-curi kesempatan dari pandangan orang-orang yang seolah membatasi, tetapi sebenarnya tak peduli,” balas Nata acuh.
“Tapi aku membutuhkanmu, Nat.”
“Seberapa butuh? Apa hanya sebatas untuk melewatkan malam-malam sepimu saja? Atau kamu akan jadikan aku bagian dari hidupmu?”  pertanyaan itu mengambang di udara. Nata tak pernah berharap laki-laki manapun membutuhkan dirinya lebih dari sekedar pemuas dahaga yang mencekik akibat hormon testoteron mereka bekerja over aktif. Bukankah selama ini tak pernah ada pula yang membutuhkan dirinya lebih daripada itu?
“Tentu saja kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, Nat,” kening Alan berkerut.
“Ya, aku pernah jadi bagian dari hidupmu,” ucap Nata retoris. “Juga bagian dari banyak lelaki lain yang mengakui hal yang sama.”
“Maksud kamu?”
“Kamu nggak usah berpura-pura menaruh rasa suka, atau lebih ekstrim lagi, ‘cinta’ padaku, Lan. Perasaan itu tak pernah ada dalam kamus hidupku. Bahkan aku tak percaya rasa cinta itu ada di dunia.” Desis Nata skeptis. Ia melepas dekapan Alan.
Dan sejak malam itu Nata mulai menarik diri dari Alan. Ia tak ingin laki-laki itu berharap terlalu jauh seperti juga dirinya yang tak mampu memberi lebih. Alan terlalu baik untuknya.
Dalam kegamangan yang sangat, Alan mencoba memahami kenyataan bahwa ia bukanlah laki-laki yang layak menjadi kekasih untuk Nata. Alan tak bisa memberikan kemewahan apapun untuk membuktikan cintanya. Alan merasa ia kalah bersaing dengan laki-laki urban lain yang bergelimang harta dan punya kehidupan yang jauh lebih mapan. Meski sakit, ia mundur secara perlahan dan lebih memilih untuk berpura-pura tak pernah memiliki rasa cinta untuk Nata.
Namun ajaibnya, waktu seperti menyedot mereka pada masa sebelum malam-malam penuh gairah terjadi diantara mereka. Hubungan tanpa ikatan, menjadi pilihan paling sempurna untuk keduanya. Seperti pilihan kebanyakan pasangan muda kota Jakarta lainnya. Bagi Alan, cinta Nata ibarat sebuah fatamorgana.
“Jadi, sekarang selebritis dadakan itu jadi pacar kamu?” simpul Alan datar, setelah Nata berkoar tentang betapa baik Fariel padanya, sehari sebelum laki-laki itu terkunci di kamar kos Nata.
“Kok nadanya sentimen gitu sih? Fariel itu baik banget, tahu!” canda Nata, sambil memasang wajah pura-pura marah.
“Iya, dan aku sama sekali nggak pernah berbuat sedikitpun kebaikan sama kamu,” sindir Alan lagi. Tangannya yang semula sibuk membersihkan handycam, sontak berhenti.
“Cemburu, ya?” ledek Nata seraya menjawil dagu Alan.
“Cemburu? Nggak pernah ada kata itu dalam kamus hidupku.”
“Kalau begitu kita taruhan saja…”
Dan nyatanya, Alan kalah. Nata berhasil menjadikan Fariel kekasihnya.
*
            Jakarta semakin panas. Semrawut. Meski pemimpinnya selalu blusukan dan menjanjikan keamanan  dan kenyamanan bagi penghuninya, namun ia tak pernah bisa menjamin ada kebahagiaan dibalik megahnya jantung ibu kota negara itu. Modernisasi hanya menyentuh sisi fisik kehidupannya saja. Mentalnya tetap bobrok dan takkan ada yang mampu mengendalikan. Kecuali jika jiwa-jiwa merana itu menemukan muara yang sama, yaitu kedamaian hati.
            Bagi kaum pendatang, megapolitan bukanlah siapa-siapanya. Mereka takkan peduli seandainya Jakarta dikendalikan oleh robot berkekuatan super --yang mampu memindahkan manusia dari satu titik ke titik lain dalam sekali kedip-- sekalipun. Mereka tak pernah mencintai Jakarta sebagaimana penduduk asli yang kini semakin tergusur entah bersebaran ke mana saja. Yang mereka tahu dan mau, Jakarta mampu menaikkan citra hidup sehingga orang-orang di kampung asal mereka merasa takjub dan iri. Mereka bangga dicap sebagai kaum urban yang berhasil!
            Alan datang dari sebuah kampung kecil di Jawa Timur, membawa mimpi yang kemudian ia gantung tinggi-tinggi di langit Jakarta yang kelam. Lalu dipertemukan dengan kemewahan dan gaya hidup metrosexual yang pelan tetapi pasti melesap dan mendarah daging dalam tubuhnya. Cinta dan kepedulian terhadap sesama dengan mudah menyublim, menguar menjadi pelengkap polutan di angkasa yang muram. Kecuali satu: hasrat untuk memiliki hidup Natasya masih menggelora, seperti kobaran api yang meletup-letup di atas bahan bakar cair.
            Namun, kekalahan terasa akrab di hidupnya. Setelah diperbudak oleh waktu, oleh bos yang tak berperikemanusiaan, oleh jalanan macet dengan asap mencekik, kini cinta mengoyak sisa hidupnya. Cinta pada Nata yang tak pernah berbalas rasa.
            “Nanti malam jadi ya, Lan!” terdengar tidak seperti sebuah pertanyaan, melainkan perintah atau sesuatu yang sudah seharusnya Alan lakukan.
            “Oke.” Alan menutup teleponnya. Laki-laki itu selalu tunduk pada kebodohan dan rasa takut kehilangan.
            Bukan lantaran Alan kalah taruhan dengan Nata lalu ia bersedia melakukan semua yang perempuan itu inginkan. Bukan! Alan masih menyimpan rasa sayang, suka, dan cinta pada Nata. Karenanya ia rela memperbudak diri sendiri dengan menjadi kambing congek setiap kali Nata dan Fariel menjalin kasih. Alan bungkam seribu bahasa tanpa Nata ataupun Fariel minta. Popularitas Fariel sama sekali tak tercemar oleh kelakuannya yang gemar mempermainkan wanita, sementara di rumahnya yang nyaman dengan setia istri dan anak-anaknya menanti.
            Hanya sesekali pengacara play boy itu bercengkrama di kosan Nata, karena khawatir penghuni kos lainnya menaruh curiga dan berkoar seperti nyamuk. Selebihnya mereka sering menghabiskan waktu di hotel atau sebuah apartemen pribadi yang Fariel persembahkan untuk Nata. Alan mengetahui semuanya. Semua yang terjadi diantara Nata dan Fariel!
            Saat purnama sempurna menggantung di langit Jakarta yang tidak biasanya ramah, Alan duduk di balik kemudi, menunggu kehadiran Nata yang sedang bergegas mengunci pintu kamarnya. Dari balik spion tampak ibu kos menghampiri Nata dan berbincang beberapa saat sebelum akhirnya berlalu sambil melambaikan tangan.
            Tak lama, Nata membuka pintu dan mengempaskan punggungnya di kursi penumpang di samping Alan. “Ibu nitip dibelikan blackforest untuk ulang tahun suaminya. Katanya mau ngasi kejutan,” ucap Nata sambil mengenakan safety belt. “Jadi ketahuan deh kita jalan bareng,” lanjut Nata sambil menggigit bibir seolah gagal untuk sembunyi-sembunyi pergi dengan Alan.
            “Bagus dong,” komentar Alan seraya menyalakan mesin. Mobil keluar pekarangan kos, kemudian melaju lebih cepat di jalan beraspal, membelah malam bersama mobil-mobil lain yang saling berkejaran entah mau ke mana.
            Mereka berhenti di sebuah hotel mewah di kawasan Jakarta Pusat. Menaiki lift menuju lantai delapan, dan mengetuk pintu salah satu kamar dengan sebuah kode khusus.
            “Lama banget!” gerutu seorang laki-laki sambil melemparkan remote TV ke sofa.
            Alan dan Nata saling berpandangan. Selalu maklum dengan tingkah laki-laki itu.
            “Maaf Fariel… tadi tuh macet banget,” Nata bergelayut di pundak laki-laki itu dan dengan lembut melepas kancing kemejanya satu persatu.
            Fariel menahan jemari Nata, lalu beralih ke arah Alan. “Bisa sambil…” tangannya menunjuk benda berat yang melingkar di bahu Alan. Sebuah perekam video berukuran mungil yang bisa diset di atas tripod pendek dengan kualitas hasil terbaik. Lalu dengan cekatan ia melingkarkan lengannya ke pinggang Nata dan menggendongnya menuju kamar. Nata berpura-pura meronta agar terasa lebih romantis.
Alan mengikutinya dengan dada berloncatan. Ia buru-buru melepas alat perekam itu, meletakkannya di atas meja yang mengarah langsung ke tempat tidur. Setelah mengesetnya dengan benar, ia lalu menekan tombol ON. Kemudian Alan membuka tas hitam dan mengeluarkan handycam untuk merekam sisi-sisi lainnya.
            Semula Alan ragu saat Nata memintanya untuk merekam adegan mesra drinya dengan Fariel. Untuk apa? Hanya akan menyakiti dirinya sendiri, jika ia menyaksikan kemesraan orang yang dicintainya, dengan lelaki lain. Namun Nata terus mendesak dan mengatakan bahwa ini adalah permintaan terakhirnya.
            “Setelah ini, perjanjian kita selesai. Hutang kalah taruhanmu itu lunas,” rayu Nata.
            Meski jiwanya berontak, Alan menyanggupi permintaan gila Nata. Baginya, ini adalah satu-staunya cara  terbaik untuk menyudahi rasa cinta tak terbalasnya pada Nata. Setelah ini semuanya selesai. Tamat. Dan Alan akan terbebas dari belenggu cinta menyakitkan yang telah meracuni hidupnya.
            Detik terasa lambat. Kisah percintaan itu terekam jelas bukan saja dari balik kamera yang Alan pegang, melainkan juga dalam benak dan hati Alan yang teriris. Gemuruh di dada Alan seolah mampu membelah jantung dan memecahkan tempurung kepalanya. Bara membakar raganya. Namun ia berusaha bertahan karena ini akan menjadi malam terakhirnya dengan Nata. Dengan hidup dan harapan palsu akan cintanya.
            Fariel terhempas dengan wajah terpuaskan. Pun Nata. Namun hati Alan hancur berkeping seperti serpihan pesawat yang lumat menabrak lautan.
            Keesokan harinya Fariel sudah terbang ke Eropa bersama keluarganya. Ia tak tahu bahwa di televisi nasional santer diberitakan tentang ditemukannya mayat seorang perempuan di pinggir tol pada dini hari tadi. Lehernya nyaris putus dijerat tiga lintang kawat oleh pembunuhnya. Berdasarkan data diri dan saksi yang menguatkan, tuduhan mengarah pada seseorang yang terakhir kali berjalan bersamanya.
*
            Malam itu, selepas Nata dan Fariel meluapkan cumbuan terakhirnya, Alan pun memutuskan, pertemuan itu sebagai malam terakhir baginya bersama Nata. Biarlah rekaman video itu saja yang akan dilihatnya, jika kelak ia merindukan Nata. Rencana itu bahkan sudah ia mantapkan sejak Nata memintanya untuk merekam kenangan abadinya dengan Fariel, seminggu sebelumnya. Karenanya di tengah hujan yang tiba-tiba turun deras, Alan menghentikan mobilnya di pinggir jalan tol. Nata yang saat itu tengah terlelap. sempat terbangun sesaat sebelum menyadari jeratan kawat melilit leher dan mengakhiri hidupnya.
            Alan membuang jasad Nata di pinggir tol begitu saja. Ia melaju tanpa merasakan beban apapun. Menguar sudah semua rasa cinta, benci dan dendam bersama riak air yang membungkus tubuh kaku perempuan yang telah membunuh hatinya. Alan tak pernah takut, karena kini ia memiliki Fariel. Hidup lelaki itu dalam genggamannya.
            Fariel terpaksa menyudahi masa liburan bersama keluarga, sebab polisi menghubunginya, atas permintaan tersangka pembunuhan Nata yang menunjuk Fariel sebagai pengacara pribadinya. Laki-laki itu tersentak saat melihat Alan berdiri di balik jeruji dengan senyum dan binar mata penuh kepuasan.
            “Terima kasih sudah mau menjadi pengacaraku,” desis Alan. “Aku yakin, kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan!”
            Fariel tersudut. Ia hanya mampu menelan ludah dan berpikir keras bagaimana membebaskan laki-laki yang pasti akan mengancam kebahagiaan hidup dan membunuh popularitas yang telah dibangunnya sekian lama. Namun akal liciknya lebih cepat bekerja dibanding nuraninya yang buta dan bisu.
            Hanya dalam waktu sebulan saja, Alan bebas dari segala tuntutan. Nata dinyatakan mati dibunuh oleh teman kencannya yang menjemputnya di sebuah toko kue. Dini hari itu, usai menghabisi nyawa Nata, Alan kembali ke kosan dan menyerahkan sebuah kue ulang tahun kepada Ibu kos. Katanya itu titipan dari Nata sebelum ia pergi bersama laki-laki yang tak dikenalnya itu.
            “Saya meminta Nata membeli black forest, dan Nata pasti akan membelikan kue sesuai pesanan saya karena ia tahu, itu adalah kue kesukaan suami saya yang berulang tahun esok hari itu,” sanggah Ibu kos pada sebuah kesaksiannya di depan majelis.
            Namun Fariel dengan mudah mematahkan teori bahwa Nata selalu menempati janji itu, karena menurutnya malam itu Nata yang rencananya hendak nonton bersama Alan, tiba-tiba saja berubah pikiran dan malah pergi dengan laki-laki lain. Belum lagi kesaksian penghuni kos lain yang sering melihat Nata menerima tamu lelaki yang berbeda-beda, menguatkan bahwa Nata bisa saja dibunuh oleh siapapun yang menjadi teman kencannya malam itu.
            Setelah itu, sebuah skenario apik lain yang Alan ciptakan, membuat penyelidikan kasus tewasnya Natasya Pramestiana buntu, dan nyaris dipeti-eskan. Alan melenggang dengan senyum penuh kebebasan. Meskipun hatinya tetap merasa perih, namun setidaknya semua penyebab rasa sakit itu sirna, ditelan keangkuhannya sendiri.
            Dan Fariel, pengacara licik itu pun merasa bebas dari ancaman Alan yang tak pernah terucap itu. Usai penutupan sidang kasus yang membebaskan terdakwa yang ia bela, matanya melirik seorang gadis cantik yang sejak hari pertama sidang selalu setia duduk di pojok ruang sidang.
Sadar bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian sang pembela, gadis itu berjalan perlahan ke arah Fariel.
            “Selamat ya, saya kagum dengan kelihaian Anda membela klien,” ucapnya seraya menyodorkan jemarinya.
            Fariel menyentuhnya dengan ragu. “Terima kasih. Emh, apakah kita pernah bertemu sebelum ini? Rasanya…” Semula Fariel hanya berbasa-basi seperti yang sering ia lakukan saat bertemu dengan seorang perempuan yang menarik hatinya, namun pada detik berikutnya dahi Fariel berkerut. Ia mencoba mengingat sebuah momen yang mungkin menghubungkannya dengan gadis berambut pendek yang ada di hadapannya itu.
            “Tentu saja,” bisik gadis itu. “Saya pernah melihat Anda di kosan Natasya. Dan malam itu kita berpapasan di lobi hotel saat Anda bersama terdakwa dan gadis itu berpisah di sana.”
            “Maksud Anda?” Fariel tersentak. Ia menarik perempuan itu keluar dari ruang sidang dengan sikap yang wajar.
            “Bagaimana kalau Anda menjemput saya malam ini? Kita rayakan kemenangan Anda dengan dinner khusus. Ini alamat saya.”
            Sebuah kartu nama berpindah ke tangan Fariel. Bibir merah gadis itu mengembang. Tak perlu menunggu jawaban dari sang pengacara, ia melenggang, meninggalkan Fariel yang mematung di tempatnya. Laki-laki itu terpaku membaca ukiran nama indah dan jabatannya sebagai redaktur sebuah tabloid terkenal di Jakarta.
            Fariel buru-buru menyelipkan kartu nama itu ke dalam saku jasnya, dan bergegas menemui Alan yang sedang sibuk menjawab pertanyaan para kuli tinta di luar ruang sidang. Laki-laki yang baru bebas dari tuntutan pembunuhan itu menyambut Fariel dengan senyum dan pelukan hangat. Mata keduanya melepas bayang seorang perempuan melintas anggun dari kejauhan.
*


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar