MY SWEET BLACKBERRY
Keysha memasukkan koin terakhirnya sambil memejamkan mata, “Tuhan,” bisiknya,
“semoga cukup.”
“Jiaaahhh… kalo cuma masukin seceng-seceng, sampe rambut
kamu ubanan juga, gak bakalan kebeli tuh BB,” ledek Vino sambil menaburkan
potongan kertas kecil-kecil ke kepala adiknya.
“Aduh Kak Vino,
jahil banget sih. Keysha bilangin Papa, loh!” ancam Keysha sambil mengibaskan
rambut sebahunya yang dipenuhi dengan kertas-kertas kecil aneka warna itu.
Vino memang
paling senang menjahili adiknya yang manja itu.
“Lagian Papa
pelit banget, aku minta dibeliin BB aja, susahnya minta ampun!” gerutu Keysha
menahan kesal yang sudah lama ditahannya. Sekilas ia membayangkan kalau dirinya
bisa BBM-an dengan Clarissa, Putri, dan… ah Chiko! Seru banget pastinya.
“Nilai kamu
anjlok semua sih,” balas Vino sambil kembali menggunting kertas menjadi
kecil-kecil dan siap ditaburkan ke mana aja dia suka. Kalau lagi tidak ada kerjaan,
beginilah kebiasaan Vino, nemenin adiknya dengan tangan yang tidak bisa diam. “Kakak dong, selalu
rangking, jadi banjir hadiah.”
“Kak Vino tuh
emang anak Mama sama Papa. Biar pun enggak rangking, tetep aja dibeliin ini itu
yang Kak Vino mau,” protes Keysha dengan
nada cemburu. Bagaimana tidak, hampir setiap tahun ajaran baru, Vino selalu
mendapatkan hadiah, kalau tidak mainan, pasti tas atau sepatu baru. Sedangkan
Keysha, kalau tasnya belum jebol atau risletingnya belum lepas, mana mau Papa
atau Mama membelikannya yang baru.
“Ya udah, kemaren
kan Kakak bilang, pake aja uang tabungan Kakak dulu, nanti kamu cicil pake uang
jajan kamu. Gimana?” Vino mencoba
menghibur adiknya yang sedang bête itu.
“Nggak usah deh,
Kak. Keysha mau usaha dengan cara Keysha sendiri. Makasih ya, Kak.” Keysha
kembali menolak penawaran kakaknya dengan halus. Ia tersenyum penuh semangat
membayangkan BB impiannya bisa dibawa ke sekolah dan memamerkannya kepada
teman-temannya yang sudah lebih dulu punya handphone canggih itu.
*
Siang itu sepulang sekolah, seperti biasa Keysha mampir ke toko
handphone yang memajang BlackBerry
warna ungu yang ia incar, sekedar untuk memastikan apakah BB itu masih ada atau
sudah laku. Si Mbak penjaga toko tersenyum ramah melihat Keysha memperhatikan
BB itu dari balik dinding kaca display. Entah sudah berapa kali Keysha
menanyakan berapa banyak saldo stock BB Curve 3G itu. Dan sesering itu pula si
Mbak dengan ramah menyebutkan jumlah stock yang masih tersisa. Tapi kali ini,
sebelum Keysha sempat bertanya, si Mbak
SPGnya malah mengacungkan telunjuknya begitu meilhat Keysha melintas.
Ya,
Tuhan..tinggal satu lagi? pekik Keysha dalam hati.
“Mbak bisa nggak
tahan yang satu ini, seminggu lagi aja, uang saya belum cukup,” ucap Keysha
sambil memberikan handphone lamanya
supaya ditaksir sama si Kokoh pemilik
toko itu, berapa kira-kira yang harus Keysha tambah kalau HP itu dijual.
“Palingan Adik
tambah dua jutaan lagi,” balas si Mbak dengan senyum melengkungnya yang ramah.
Dua jutaan lagi??
Dari mana Keysha bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat? Kalaupun ia memecahkan celengan ayam jago
itu, kurangnya mungkin masih tetap banyak. Dengan lunglai masai Keysha
meninggalkan toko celuller itu dan berharap Tuhan akan menunjukkan cara supaya
ia bisa mendapatkan BB itu.
BB itu adalah
perlambang pergaulan di sekolah Keysha. Meskipun masih duduk di bangku SMP,
tapi hampir semua teman Keysha sudah punya BB dan membawanya ke sekolah. Mereka
selalu heboh kalau sedang membahas topik yang lagi hangat dibicarakan, apalagi
kalau itu menyangkut masalah cowok. Dan siapapun yang tidak membawa BB ke
sekolah, dijamin bakalan minder karena merasa dikucilkan, meskipun sebenarnya
tidak begitu adanya. Ketinggalan informasi dan bahan obrolan yang tidak
nyambung, itulah pangkal minder yang paling menyakitkan. Dan itulah yang selama
ini Keysha rasakan.
Keysha masih
ingat betul, percakapan paling tidak disukainya pada suatu pagi.
“Halo, Girls…Lo baca statusnya Revan gak? Gila
tuh cowok, udah ganti cewek lagi, dasar playboy antik,” teriak Putri histeris.
“PP-nya itu, cool banget I Like it,” timpal Clarissa.
“Gue malam BBM-an
sama Revan, katanya sih cewek yang kemaren itu bukan siapa-siapanya gitoh….
Hahaha… eh Keysha…. Duh sorry ya kita belum bisa BBM-an, hix hix hix…” Putri
menarik Clarissa dan mengajaknya ngobrol di tempat lain.
Setitik air mata
bergulir di pipi Keysha. Kenapa pertemanan di duNadia nyata sekarang ini tidak
berharga lagi. Orang lebih suka berteman di duNadia maya, di facebook, twitter, atau melalui BlackBerry Messanger.
“Kakak, kenapa?”
seorang bocah lelaki kurus yang sedari tadi memperhatikan Keysha memberanikan
diri bertanya.
Keysha tidak
menyadari ada orang lain di sekitarnya. Ia segera menghapus air matanya dengan
tissue, lalu menggeleng lemah. “Nggak apa-apa koq, Dik. Adik jualan apa?”
jawabnya sekaligus bertanya begitu melihat anak itu membawa bungkusan seperti
hendak menawarkan sesuatu.
Anak itu malah
terdiam. Keysha melihat isi kotak yang dibawa anak itu. “Mau dikemanain sandal
ini, Dik?” ternyata isi dus bekas air mineral itu adalah beberapa pasang sandal
bekas.
“Mau saya jual,
Kak. Ke loakan sana,” jawabnya singkat.
“Kenapa dijual?
Emang ini sandal siapa?”
“Punya saya, adik
dan Ibu, Kak,” ia menggaruk kaki kirinya dengan kaki yang lain seolah
menunjukkan kalau kedua kakinya itu kini tidak lagi memakai alas. “Ibu sedang
sakit, Kak, kami perlu obat dan makan,” keluhnya dengan suara parau.
Keysha termangu.
Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun sampai anak kecil itu berlalu dari
hadapannya. Batinnya menjerit, kenapa ia begitu egois memaksakan diri untuk
membeli sesuatu yang tidak penting, sementara ada orang lain yang untuk makan
saja harus menjual barang berharga milik mereka.
-o-
“Halo cantik,”
Vino mengelus rambut Keysa lembut. Ia baru saja pulang kuliah dan langsung
menemui adiknya karena ada kabar penting yang harus ia sampaikan. “Koq cemberut
gitu sih?”
“Nggak apa-apa
kok, Kak,” jawab Keysha setengah malas.
“Masih semangat
berburu BB nggak? Nih ada Lomba menulis cerpen berhadiah BB Loh…. Emang bukan BB Curve Purple yang kamu mau sih, tapi
kan kalau menang bisa dituker di counter.
Kebetulan banget ya, Key…”
Keysha langsung
berbinar. Semangatnya kembali menggebu. “Mana, Kak?” ia menggeser duduknya
mendekati laptop Vino yang menampilkan info lomba menulis cerpen di facebook.
“Deadline-nya besok loh, Key, bisa nggak
kamu kejar?”
“Gampang… Keysha
kan punya beberapa stock cerpen yang belum Keysha kirim ke tabloid, kali ada
yang cocok, tinggal dimodif aja dikit,” ucapnya berapi-api. Keysha emang kerap
menulis cerpen untuk dikirim ke tabloid. Beberapa ada yang pernah dimuat, dan
honor dari tabloid itu biasanya ia tabung atau masukkan ke dalam celengan ayam
jagonya. Makanya begitu ada info lomba cerpen, Vino langsung memberitahu adiknya.
Malam itu juga
Keysha langsung ngebut menyelesaikan cerpen yang temanya sesuai dengan yang
diminta oleh panitia lomba, yaitu seputar duNadia remaja dengan segala
permasalahan yang dihadapinya. Setelah dibaca berulang-ulang, dan meminta
pendapat Vino, akhirnya cerpen itu pun dikirim ke alamat email panitia.
Keesokan harinya
seperti biasa Keysha lewat di depan toko handphone
itu. BB itu masih bertengger di dudukan hape seolah menunggu giliran Keysha
membawanya pulang. Keysha mengelus dada karena kini ia punya dua kesempatan
sekaligus untuk bisa mendapatkan BB, pertama melalui lomba menulis cerpen itu,
kedua dengan memecahkan celengan ayam dan menjual hape lamanya barangkali ia
bisa nego untuk bisa mendapatkan BB itu.
Keysha melewati
trotoar biasa. Di sana ia bertemu dengan anak yang kemarin itu. “Gimana kabar
Ibumu, Dik?” tanya Keysha teringat kalau kemarin anak itu bercerita ibunya
sedang sakit.
“Masih sakit,
Kak,” jawabnya lesu.
“Adik sudah
makan?” tanya Keysha lagi.
Anak itu
menggeleng.
Keysha lalu
mengeluarkan bekal roti isi yang belum sempat ia makan tadi siang, lalu
memberikannya pada anak itu.
“Makasih ya, Kak.
Ini buat Ibu dan Adik saya,” ia lalu berlari dengan wajah gembira.
-o-
Seminggu berlalu.
Keysha tidak tahu apakah BB Curve yang ia inginkan itu masih ada atau tidak di
toko handphone itu. Dua hari terakhir
ini Ia tidak lewat toko itu karena Vino menjemputnya dengan motor melalui jalur
lain. Tapi harapannya masih sama. Menang lomba menulis cerpen dan dapat hadiah BB Gemini White, atau menjual hape
lamanya dan membongkar celengan ayam untuk dibelikan BB Purple Curve, seandainya BB itu masih belum laku terjual.
Semua keputusan
itu tergantung pengumuman pemenang lomba menulis cerpen itu malam ini.
“Udah keluar
belum Kak pengumumannya?” tanya Keysha tidak sabar.
“Sebentar, Kakak
login dulu,” Vino memasukkan alamat email dan password di layar fb-nya. “Nah
ini dia nih pengumumannya…. Keysha baca sendiri deh, Kakak deg-degan nih,” goda
Vino sambil menyerahkan laptopnya ke pangkuan Keysha.
Keysha tersentak
membaca pengumuman pemenang lomba itu.
Vino
mengernyitkan dahinya, ”Kenapa Key? Masuk gak?”
Keysha menggeleng
sambil menyerahkan kembali laptop itu ke kakaknya.
Vino membaca satu
persatu daftar pemenang lomba menulis cerpen itu, mulai dari juara I, II,
sampai ke harapan, tidak ada nama Keysha di sana. Ia pun terdiam, bingung
bagaimana harus menghibur adiknya yang seperti sedang patah hati itu.
“Terkirim nggak
kemaren cerpennya, Key? Coba Kakak periksa emailnya, jangan-jangan nggak
kekirim lagi…”
“Udah deh, Kak,
Kekirim kok. Emang aja Cerpen Keysha jelek. Lihat aja judul-judul para pemenang
itu, bagus-bagus banget. Coba deh lihat Kak yang juara I-nya siapa, Keysha mau
ucapin selamat sama minta tips gimana cara bikin cerpen biar jadi juara.”
“Ya udah, next time aja ngucapin selamatnya, ya.
Sekarang mending Keysha pikirin gimana jalanin plan B. Udah dihitung belum kurangnya berapa? Kakak perlu nyumbang
nggak ya…” Vino berusaha merajuk supaya perasaan bête di hati adiknya berangsur
sirna.
Vino memang
paling bisa. Keysha dengan mudah melupakan kekalahannya dalam lomba menulis
cerpen itu. Dan ia memang harus mendapatkan BB itu dengan cara mecahin celengan
ayam jagonya itu.
Kprrakkk… ayam
jago yang sudah lama berdiri di pojok kamar tidur Keysha itu pun pecah. Ia
memuntahkan ratusan keeping koin berwarna putih dan emas, juga
gulungan-gulungan kertas yang dibungkus plastik kecil. Seperti mendapat durian
runtuh, kakak beradik itu berebut dulu-duluan menghitung isi celengan itu.
Vino membantu
mengelompokkan koin yang nominalnya sama setelah ia membereskan uang kertas
sepuluh ribuan dan lima ribuan. Sedangkan Keysha mulai sibuk membuat menara
koin yang dijejer rapi. Akhirnya total uang celengan ayam jago Keysha yang
terkumpul adalah ….
“Sembilan ratus
dua puluh enam ribu, Kak,” decak Keysha puas. Ini adalah tabungan Keysha selama
lebih dari satu tahun. Senangnya, Keysa bersorak dalam hati.
“Berarti
kurangnya berapa ya, Key?”
“Kalau hape
Keysha laku Sembilan ratus, berarti satu koma delapan kan ya, Kak. Kurangnya
sekitar tiga ratusan,” ucap Keysha sambil berfikir gimana kalau besok ia nego
harga lagi dengan si Koko pemilik toko hape itu.
“Kakak ada
tabungan tuh, Key,” tawar Vino.
“Nggak usah deh,
Kak. Nanti aja kalau Keysha perlu ya, Keysha pinjem ke Kakak, mudah-mudahan sih
masih bisa nego harga, hehe, ngarep..” celoteh Keysha dengan nada penuh harap.
Keysha lalu
membereskan uang hasil celengannya itu, sedangkan Vino kembali ke layar facebook-nya, banyak inbox yang tadi belum sempat dibukanya.
-o-
Dengan wajah
penuh bahagia, Keysha menyusuri trotoar
yang menghubungkan sekolahnya dengan toko handphone
itu. Sepanjang jalan dadanya bergemuruh tidak menentu. Bagaimana kalau hape itu
sudah ada yang beli? Bagaimana kalau si Kokoh nggak ngasi potongan harga lagi?
Ah sebaiknya Keysha mengerahkan semua bujuk rayunya supaya si Kokoh luluh
hatinya dan memberikan discount
tambahan, karena toko celullernya itu kan langganan anak-anak sekolah Keysha
beli pulsa di situ. Kali aja ngepek, hehe.
Keysha mengelus
dada lega begitu dilihatnya BB Curve ungu itu masih tersenyum menyambut
kehadirannya.
“Waduh nggak bisa
Neng, ini udah mentok harganya,” elak si Kokoh pemilik toko itu mendengar
penawaran Keysha yang menurutnya melebihi penawaran terendah yang bisa ia berikan.
“Dikit lagi dong,
Koh… Kita kan tetanggaan.. saya udah ngincer ni hape sejak lama, ya Koh, ya..
please….” rayu Keysa.
“Dua ratus lagi
aja ya tambahnya…” tawar si Koko lagi.
“Uangnya masih
kurang nih, Koh..” keluh Keysha dengan muka memelas.
“Sebentar ya…
Nda… itu di luar ada apa, maling atau apa, kok rame banget,” si Kokoh
malah mengalihkan pembicaraan. Ia
memanggil si Mbak SPG dan memintanya untuk memastikan ada keributan apa di
luar, tidak begitu jauh dari tokonya. Keysha ikut melongok melihat kerumunan
orang di luar sana.
Itu kan anak
lelaki yang kemarin pernah Keysha tolong, kenapa dia nangis di situ. “Koh, saya
keluar dulu sebentar ya…” Keysha berlari menghampiri anak itu yang ternyata
sedang menangisi seorang perempuan yang terkulai di trotoar.
“Ya Tuhan,
kenapa, Dik?” tanya Keysha panik. Orang-orang malah sibuk menonton dan tidak
ada seorang pun yang tergerak untuk menolongnya.
“Ibu, Kak…. Ibu
pingsan…. Sakitnya tambah parah, tapi Ibu malah pergi mungut….” isaknya makin
menjadi.
“Ya udah, kita
bawa Ibumu ke rumah sakit ya.. Pak tolong panggilin taxi,” Keysha langsung
ambil inisiatif sendiri.
Tidak begitu lama
taxi berhenti di depan trotoar jalan. Keysha dibantu beberapa anak muda yang
dari tadi nonton memasukkan ibunya anak itu ke dalam taxi. Keysha duduk di
belakang memegangi ibu itu, sedangkan anak lelaki yang masih nangis itu duduk
di kursi penumpang depan. Taxi pun melaju menuju rumah sakit terdekat.
“Ibu terkena TBC,
dan harus dirawat. Mbak silakan ke bagian administrasi untuk mengurus
biayanya,” ucap dokter yang tadi menangani ibu anak itu.
TBC? Biaya rumah
sakit? Sama sekali tidak terpikir di benak Keysha bahwa ia harus mempersiapkan
biaya untuk orang yang sudah ia bawa ke rumah sakit. Ia hanya menolong
membawanya ke sini, tetapi mengenai biaya, apakah ia juga yang harus
bertanggung jawab? Keysha merogoh isi tasnya. Ada uang satu juta lebih di sana.
Uang hasil menjual hape lamanya, dan uang hasil mecahin celengan ayam jagonya.
Uang yang sedianya ia pakai untuk membeli BB Curve ungu supaya ia tidak
ketinggalan gaul oleh teman-temannya. Kini uang itu harus ia relakan untuk
membantu biaya pengobatan ibu dua orang anak yang sekarang sedang pingsan
setelah berhari-hari menahan penderitaan karena TBC yang diidapnya.
“Berapa, Suster?”
tanya Keysha, bersiap mendengar kabar yang lebih mendebarkan.
“Satu juta tujuh
ratus untuk dp kamar dan obat selama lima hari, Mbak,” Suster bagian
administrasi itu menjelaskan.
Keysha
mengeluarkan semua uangnya dari dalam tas, termasuk uang koin yang belum sempat
ia tukarkan menjadi uang kertas. Ada rasa berat, sekaligus terpanggil untuk
merelakan uang itu. Tetapi perasaan itu kemudian berangsur menjadi pasrah
manakala ia ingat anak itu rela menjual alas kakinya yang mungkin tidak
seberapa harganya, bahkan belum tentu cukup untuk membeli sebungkus nasi,
apalagi obat-obatan.
“Makasih ya,
Kak,” anak lelaki itu menunduk, merasa bahwa kehadirannya sudah menjadi beban
buat Keysha.
Keysha
mengangguk. Dari pelupuk matanya menetes embun bening. Anak itu melihatnya sebagai
setitik cahaya terang , seorang peri penyelamat ibunya. Ia lalu menyerahkan
plastik-plastik yang berisi uang recehan dari dalam tasnya. Jumlahnya mungkin
ada sekitar seratus ribu, karena Keysha sudah mengelompokkannya berdasarkan
jenis koinnya. “Ini kamu pegang, buat makan kamu sama adikmu, ya.”
-o-
Keysha menatap pecahan celengan ayam jago yang masih berada dalam
tong sampah di kamarnya. Ia tersenyum karena tabungannya selama setahun tidak
sia-sia. Ia sudah bisa berbagi dengan orang lain tanpa merasa menyesal walaupun
awalnya uang celengan itu untuk apa. Tuhan mungkin sudah menuntunnya untuk
berbuat kebaikan dengan cara seperti itu.
“Ehm…melamun nih
ye……” Vino tiba-tiba muncul dengan senyum khas jahilnya. Ia mengelus rambut
Keysha dengan lembut.
“Kakak bangga
punya adik seperti kamu. Kamu lebih mementingkan kepentingan orang lain yang
membutuhkan pertolongan. Padahal Kakak tahu kamu pingin banget memiliki BB itu
kan ya,” lanjut Vino.
Keysha
mengangguk. Ia sudah tidak menangis lagi sejak Vino menjemputnya dari rumah
sakit sore tadi.
“Dan untuk orang
yang berhati mulia, adikku penolong yang cantik, terima lah hadiah dari Kakanda
tersayang… trelengg!” dengan gaya pesulap yang merubah kertas jadi uang, ia
menyerahkan sebuah bungkusan kecil berwarna ungu yang diikat dengan pita putih
di tengahnya.
Keysha mendongak
penasaran, “Apa nih, Kak? Ayam goreng ya?” tanyanya asal.
“Hadoh, masa ayam
goreng dipitain, kagak ada kerjaan banget sih! Buka deh, Key,” balas Vino nggak
sabar menunggu reaksi adiknya.
Keysha membuka
bungkusan itu pelan-pelan. Ia tetap saja penasaran walau kadang Kakaknya suka
usil menghadiahinya mainan bayi yang dibungkus unik begini. Tapi kali ini,
Keysha benar-benar dibuatnya tidak bisa berkata-kata, air mata meleleh di
pipipnya.
“Ini buat Keysha,
Kak?” ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dipegangnya, Sebuah BlackBerry Curve warna ungu yang ia
inginkan itu, kini ada di pangkuannya.
“Kakak mecahin
celengan juga?” tanya Keysha disela tangis harunya.
“Enggak dong, ini
kan hadiah lomba cerpen yang waktu itu, Key. Kakak juga ikutan. Dan ternyata
Kakak juga punya bakat ya ngebokis kayak kamu, hehehe…. Tapi cuma demi adikku
saja Kakak mau buat cerpen yang isinya khayalan doang, hehe,” jelas Vino
membuat Keysa melongo.
“Kakak menang
Lomba Cerpen itu? Serius? kok nggak ada nama Kakak di pengumuman kemaren?”
masih tidak percaya Keysha terus saja melontarkan banyak pertanyaan pada
Kakaknya.
“Lihat deh nih,”
Vino menunjukkan notes yang memuat
pengumuman pemenang lomba itu, “Juara I, judulnya ‘Sahabatku di DuNadia Nyata’
by Veebee,” Vino mengulum bibirnya menunggu reaksi Keysha selanjutnya.
“Veebee? Vino
Bachtiar, ya? Wah Kakak hebat! Tapi, bukannya hadiahnya BB gemini, Kak?”
“Iya, kan Kakak
bilang bisa ditukar di counter. Si Kokohnya nggak minta tambah loh, katanya sih
demi seorang dewi penyelamat… hehehe,” Vino mengacak-acak rambut Keysha.
“Iiih, apaan sih,
ah….” Keysha tersenyum sambil membayangkan senyum anak lelaki yang sama
bahagianya ketika ia menerima uang recehan itu dari tangan Keysha. Lalu
tangannya mengusap benda mungil berwarna ungu di tanganya, ”My Sweet BlackBerry,” bisiknya penuh
syukur.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar