6
JANJI ANISSA
Anissa
duduk di sebuah bangku yang dibuat khusus untuk para penunggu pasien. Di sana
duduk juga beberapa orang yang juga sedang menunggu giliran besuk. Ada anak
kecil kira-kira berumur lima tahun yang dijaga seorang nenek, duduk sambil
memainkan mobil-mobilannya. Anak itu pasti tidak diperbolehkan masuk ke dalam
rumah sakit meskipun yang sakit itu ibunya. Peraturan di rumah sakit
memang biasanya begitu. Anak di bawah umur 10 tahun dilarang masuk.
Anak itu mulai merengek. Mungkin ia bosan duduk dan bermain
sendiri. Mungkin ia kangen dengan ibunya dan ingin bermain bersama seperti
biasa mereka lakukan di rumah. Tanpa disadari Anissa tiba-tiba kangen kepada
ibu dan keluarganya. Ia juga jadi sangat kangen dengan Nafissa, adik kecilnya
yang jarang sekali diajaknya bermain. Setetes air bergulir di mata Anissa.
Rumah
sakit itu memang cukup besar. Di sore menjelang malam ini banyak dokter
danpetugas rumah sakit yang berjalan tergesa-gesa, menimbulkan perasaan cemas
setiap orang yang memperhatikannya. Ada apa gerangan, selalu pertanyaan itu yang terlintas di benak para
penunggu pasien yang berada di luar kamar. Tidak jarang roda dan ranjang
berdecit didorong oleh petugas medis dan membawa pasien kritis ke ruang gawat
darurat. Anissa miris sekali melihat darah mengucur dari kening, kaki atau
tangan pasien yang baru datang. Mungkin mereka adalah korban kecelakaan seperti
Ridwan kakaknya.
Jantung
Anissa berdegup kencang setiap kali mengingat kejadian yang bisa saja merenggut
nyawanya dan mungkin kakakkya juga. Ya Allah, tolong selamatkan kak Ridwan.
Tolong ya Allah, hamba mohon. Ini semua salah hamba ya Allah, tapi
selamatkanlah Kak Ridwan. Hati Anissa terus berdoa dan menyesali semua
perbuatannya.
Dari
jauh terdengar suara langkah kaki setengah berlari. Ketak-ketuk membuat
jantung Anissa kembalu bergetar. Ada
apa lagi nih?
“Nissa….” Suara berat itu muncul
dari balik kelokan koridor rumah sakit.
“Ayah…” Seketika Anissa berdiri dan
menghambur memeluk seorang lelaki setengah baya dengan raut muka yang sangat
cemas.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ayah Anissa.
Anissa
menggeleng, isak tangisnya meledak. “Kak Ridwan, Ayah…” seguk Anissa.
“Kamu sih nggak bisa diatur,” tanpa
tedeng aling-aling suara mama membuat dunia serasa runtuh di mata Anissa.
Anissa menatap ibunya dengan perasaan tersudut.
“Sudahlah,
Ma.. ini semua kan kecelakaan, siapa sih yang mau mengalami kejadian seperti
ini?” tanya ayah retoris.
“Ibu
benar, Ayah. Ini semua salah Anissa. Anissa menyesal. Sangat menyesal. Anissa
minta maaf Ayah, Ibu.”
“Iya,
Nak. Sekarang gimana kabar kakak Kamu?” balas ayah tidak mau memperpanjang
permasalahan.
Ibu
meninggalkan ayah dan Anissa untuk mencari tahu di mana Ridwan dirawat. Seorang
petugas medis memberitahu ibu dan ibu segera mengajak ayah dan Anissa untuk
melihat kondisi Ridwan.
Dalam
ruangan ICU Ridwan tampak masih dalam keadaan koma. Detak jantungnya
yang terlihat di monitor stabil. Melihat selang inpus dan oksigen yang membelit
tubuh Ridwan ibu tidak kuasa menagan tangisnya. Ia menangis sejadinya-jadinya
di pelukan ayah. Anissa memberi kedua
orang tuanya waktu untuk bersama. Ia
meninggalkan mereka mencari tempat untuk melampiaskan rasa sedih dan rasa
bersalahnya yang sangat dalam.
*
“Kalau
sudah begini siapa yang akan disalahkan?” di sela tangisnya ibu bertanya dengan
galau.
Ayah
menggenggam tangan ibu. “Tidak ada yang bisa disalahkan. Semua ini kehendak
Allah.”
“Tapi
Anissa itu selalu membuat masalah, Yah. Harusnya kita kirim dia ke pesantren
saja. Ibu sudah tidak tahan dengan kelakuan Anissa.”
Anissa
mendengar percakapan itu dengan perasaan tidak menentu. Apakah ibunya sudah
tidak menyayangi dirinya lagi dan lebih mengkhawatrikan kakaknya yang sedang
berbaring sakit dan Anissa yang sedang merasa bersedih dan menyesal kemudian
tidak menjadi berarti. Keinginan ibu untuk mengirim Anissa ke pesantren bukan
saja mengagetkan Anissa, tetapi Anissa merasa ibunya sudah sangat putus asa
dalam mendidik Anissa. Anissa berpikir mungkin saatnya bagi dia untuk berubah.
Ya,
berubah. Tapi bagaimana caranya. Anissa sudah sangat menyesal dan Anissa juga
sudah minta maaf. Tapi penyesalan dan rasa maaf itu tidak akan mengembalikan
Ridwan menjadi sedia kala. Ia masih saja berbaring dan mungkin besok lusa ia
akan memiliki bekas luka tabrak lari. Mungkin kakinya bengkok atau ia tidak
bisa berjalan lagi. Anissa semakin sedih membayangkan semua itu.
Perlahan
Anissa menghampiri ibu dan ayahnya. Ia mencoba mencari perhatian dengan duduk
di samping ayahnya dan memegang ujung baju ayahnya.
Ayah
mengangkat Anissa dan mendudukkannya di paha ayah. Wajahnya yang sudah tidak
tegang lagi, tampak sangat berwibawa. Anissa sudah lama tidak melihat wajah
ayahnya dari dekat. Ayah tampak semakin tua, tetapi semakin kelihatan tampan
dan bijak.
“Anissa
minta maaf Ayah,” Anissa mendahului ayahnya untuk bicara. Ia ingin segera
mengungkapkan perasaannya sebelum ayah dan ibunya memarahi dan menghukum
dirinya. Bukan ia takut dengan hukuman yang akan diberikan, tapi ia ingin
merasa lega dengan melepas beban yang
sedari tadi ia pikul. “Anissa janji akan merawat Kak Ridwan sampai
sembuh. Dan Anissa juga berjanji akan menurut apa kata ayah sama ibu.”
“Dari
dulu juga Nissa selalu janji, tapi tidak pernah Nissa tepati. Ibu udah capek,
Nissa.” keluh ibu. Di balik wajah marahnya sebenarnya tersimpan perasaan sayang
yang sangat dalam terhadap Anissa. Ia juga tidak ingin Anissa mengalami
kejadian yang tidak diinginkan. Ibu tidak dapat membayangkan kalau Anissa juga
mengalami kecelakaan yang sama dengan Ridwan.
Anissa
menangis di pelukan ayahnya. Ia merasa ibu belum siap menerima permintaan
maafnya. Anissa sedih karena ibunya sudah tidak sayang lagi pada dirinya.
Malam
semakin larut. Ayah menyuruh ibu dan Anissa untuk pulang saja. Biar ayah yang
menunggu Ridwan di rumah sakit. Akhirnya ibu dan Anissa pun pulang ke rumah.
Ketika
sampai di rumah Ibu masih saja memperlihatkan kemarahannya. Ia tidak
menegur Anissa sampai mereka berpisah untuk tidur di kamar masing-masing.
Sepanjang malam Anissa menangis dan memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa
membuat ibu memaafkan dirinya. Ia tidak mungkin menunggui Ridwan di rumah sakit
seperti tekadnya itu karena peraturan rumah sakit tidak memperbolehkannya dan
ayah juga tidak mungkin mengizinkan hal itu. Tapi ia juga tidak tahu kapan Ridwan akan pulang sehingga ia bisa membantu
merawat kakaknya di rumah. Ia tidak tahan melihat sikap ibu seperti itu. Dan mungkin akan tetap seperti itu karena
ibu sangat marah pada Anissa.
Anissa
tidak dapat membayangkan apakah ia bisa hidup dengan ibu yang masih marah dan
belum bisa memaafkan dirinya karena semua kejadian ini. Anissa akan sangat
sedih jika besok dan lusa atau malah mungkin setelah Kak ridwan pulang pun ibu masih
saja seperti ini.
Sementara
itu di dalam kamar ibu, ibu sedang menunaikan sholat malam. Ia menangis
dalam doanya. Ya Allah sembuhkanlah anak
hamba, jangan sampai rasa sakit membuat ia menderita. Kalau saja bisa ditukar,
biarlah hamba saja yang mengalami semua ini. Ya Allah jadikan anak-anak
hamba, anak-anak yang sholeh, sholehah. Jadikan Anissa anak yang menurut kepada
kami orang tuanya. Jauhkan ia dari marabahaya yang mengancamnya. Ampuni
kesalahannya, Ya Allah. Ampuni kesalahan hamba dan keluarga hamba… Amin….
Ibu baru melepas mukena setelah
membaca dzikir dan doa-doanya sambil menangis. Matanya sembab, suaranya parau
dan napasnya menjadi berat. Ia
teringat akan Anissa, apakah ia sudah makan tadi sore. Ibu tidak sempat
menanyakan hal itu. Ia masih sangat shock denagn kejadian yang menimpa Ridwan.
Ibu memang kecewa dengan Anissa. Ia juga marah karena Anissa sulit sekali
diatur. Tapi setelah hati ibu tenang, ibu merasa menyesal telah berlaku seperti
itu pada Anissa.
Ibu berjalan perlahan menuju kamar Anissa.
Tampak Anissa sudah tertidur pulas. Matanya juga sembab seperti mata Ibu.
Bahkan Anissa masih menyimpan segukan di sela tidurnya. Ibu mengusap kepala
Anissa dan membisikkan doa untuk anaknya. Lalu ibu mengecup kening Anissa dan
meninggalkannya sendirian.
*
BERSAMBUNG KE #7
Lihat Cerita sebelumnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar