PULANG
Kamiluddin Azis
Aku
hanya sanggup melempar senyum kecut. Sebuah senyum terakhir yang masih bisa aku
bagi sebelum aku benar-benar pergi.
Miranti
menatapku dengan sejuta penyesalan yang sulit aku terima. Sebuah pengkhianatan
-setelah kesetiaan ini aku patri bertahun-tahun lamanya- meruntuhkan dinding
kepercayaanku padanya.
“Maafkan
aku Mas,” ia tertunduk menatap bumi tempatnya berpijak seolah ia takut bumi pun
tak akan menerima pengakuannya. Air mata sudah lebih dulu mengalir tanpa harus
kubuka keran lukaku.
“Sudahlah,
Ranti, aku mengerti kenapa kamu melakukan itu. Aku yang salah karena tidak
sanggup memberimu kebahagiaan.” Kendati sakit ini belum benar-benar sirna, aku
berusaha berpikir jernih bahwa mungkin saja semua kejadian ini berpangkal dari
kesalahanku sendiri. Sebagai seorang
tenaga kerja Indonesia di luar negeri aku memang tidak bisa terlalu sering
pulang ke tanah air. Perusahaan tempatku bekerja hanya memberikan dispensasi
cuti pulang sekali dalam dua tahun. Jika karyawannya menginginkan pulang setahun
sekali, itu masih diperbolehkan, dengan catatan biaya akomodasi dan sebagainya
ditanggung sendiri.
Dan
karena aku hanya bisa menemui Miranti sekali dalam setahun tentu saja aku tidak
bisa memberikan nafkah batin padanya. Sebagai seorang istri dan seorang
perempuan, kebutuhan biologis sudah pasti harus dipenuhi. Komunikasi melalui
telepon, yahoo messenger, bahkan video call, tidak bisa menggantikan apa
yang seharusnya aku penuhi sebagai seorang suami.
Ranti menggenggam erat jemariku, matanya sembab
menahan rasa takut dan penyesalan yang dalam. Sepertinya ia ingin sekali
memelukku dan menumpahkan kesedihannya di bahuku, tetapi aku berusaha
menghindar karena rasanya aku tidak sanggup lagi menerimanya sebagai bagian
dari tanggung jawabku. Aku resmi memberinya
talak tiga supaya Miranti bisa segera menebus dosa-dosanya dan menikah dengan
lelaki itu.
Lelaki
itu, -saat aku sengaja pulang ke tanah air tanpa memberitahukan Miranti,
istriku, karena ini akan menjadi bagian dari kejutan ulang tahunnya- tengah
berada di bawah selimut bersama seorang perempuan yang aku yakin dialah
Miranti, istriku yang aku nikahi empat tahun yang lalu. Tanpa mereka sadari
keberadaanku, kedua insan yang bukan muhrim itu sedang berpagut menikmati
kebersamaan mereka. Seketika juga aku tidak bisa merasakan pijakan kakiku. Apa
yang aku pegang dalam genggaman tanganku berjatuhan dan menyadarkan mereka akan
kehadiranku yang menyaksikan semua
pengkhianatan itu.
Sebagai
seorang lelaki dan suami aku merasa bodoh dan sangat terhina. Miranti yang merajut kasih
denganku belasan tahun lamanya tiba-tiba
menjadi seorang asing di mataku. Tiga tahun lamanya aku mengadu nasib di negeri
orang demi menjalankan rencana hidup kami untuk membuat sebuah keluarga bahagia.
Tapi sekarang sia-sia sudah. Dan aku tidak perlu menunggu dua atau tiga tahun
lagi untuk berhenti menjadi TKI dan menjalankan rencana kehidupan kami setelah
aku mapan; hari ini, biarlah menjadi hari terakhir kepulanganku ke Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar