JANG KARTA ANTER KOPER
Kamiluddin Azis
Langit
biru cerah perlahan berubah warna menjadi kuning keemasan dengan bingkai merah
mengelilingi bulatan matahari terbenam.
Hiruk pikuk di sebuah pasar menjelang
Maghrib mulai terasa. Puluhan pedagang sudah siap dengan lapak dan serbuan
ratusan pembeli setia mereka. Ibu-ibu, tukang sayur keliling, pemilik warteg
dan pengusaha rumah makan akan segera memadati pasar yang lebih hidup pada
malam hari itu. Belum lagi tengkulak, kuli angkut barang dan tukang becak, yang menjadikan pasar itu
sebagai lahan basah mereka setiap hari.
Jang Karta, seorang tukang becak, yang lebih terkenal dengan
julukan ‘Si
Pengayuh Tangguh’ juga sudah siap
dengan becak merah andalannya. Si Redi, becak yang selalu menjadi juara lomba
atraksi becak setiap Agustusan itu tampak mengkilap dan wangi sabun cuci
bersoftener. Dengan seragam kayuhnya : kemeja flanel hijau pupus dan korduray hitam lecek plus
topi pelukis lepet, penampilan Jang Karta
sama kerennya dengan Si Redi.
Ia
pun mulai menebar senyum sambil menawarkan jasa becaknya.
“Belum
beres dong, Jang, masih banyak nih,” balas seorang perempuan empat puluh lima
tahunan yang kerepotan membawa belanjaan, ketika Jang Karta menawarkan angkutan
becaknya.
“Tumben nggak bawa asisten, Bu.
Emang si Eneng ke mana?” tanya Jang Karta menyelidik. Si Eneng yang dimaksud
adalah anak gadis Si Ibu yang biasanya diajak belanja.
“Kapok
dia diajak ke sini, habis kamu godain terus sih!”
jawab Si Ibu ketus. Jang Karta
hanya nyengir kuda.
Jang Karta memang terkenal playboy
cap ban gujer di kalangan sesama tukang becak seantero Bandung. Tapi karena
keunikannya inilah, Jang Karta makin terkenal dan banyak pelanggannya.
Tapi tumben, sore ini belum ada pesewa yang
mau memakai jasanya. Si
Pengayuh Tangguh akhirnya memilih ngisi TTS yang sengaja ia selipkan di jok
penumpang. Bosan ngisi TTS karena banyak pertanyaan yang nggak nyampe di
otaknya, ia lalu meraih hape China-nya sekedar untuk status di FB dan
twitternya.
“Ke Stasiun, Bang!” tiba-tiba seorang
lelaki bule berbadan tinggi kekar memasukkan sebuah koper besar ke dalam
becaknya.
Jang karta tersentak karena becaknya
nyaris terdorong, dan hampir saja ia jatuh dari tempatnya duduk di bagian
kemudi. Tapi lelaki itu tidak peduli. Dengan tubuh raksasanya ia pun masuk, berdesak-desakan
dengan koper yang ia bawa.
“Ke stasiun, Om?” ulang Jang Karta
memastikan ia tidak salah dengar.
“Iya, bawel!” gerutu bule itu dengan
logat Indonesianya yang aneh.
Jang Karta menggaruk kepala
belakangnya, perasaan baru nanya sekali, udah dibilang bawel. Gimana kalau
nanya yang lainnya, seperti : where do
you come from –halah estede banget, ya!
atau Where are You going, Mister?,
hihi, pertanyaan sederhana yang ia pelajari dari buku SMP bekas yang ia pungut dari bak
sampah. Ah tapi percuma nanya pakai bahasa Inggris juga, toh bule ini
sepertinya sudah fasih berbahasa Indonesia. Jang Karta pun mulai mengayuh
becaknya perlahan, melawan arus kendaraan yang lewat di jalan padat itu.
“Stop.. stop.. stop..” tiba-tiba si bule berteriak
sambil menepuk-nepuk sandaran duduknya. Jang Karta seketika menghentikan
becaknya.
“Kenapa, Sir?” tanyanya panik.
“Saya lupa. Ada yang ketinggalan. Putar
balik, Bang,” perintahnya.
Jang Karta dengan sekuat tenaga
memutar balik Si Redi. Gila, berat badan nih bule berapa kwintal, ya? Untung
Jang Karta sudah makan soto ayam dan minum
jamu
madura sebelum tempur tadi.
Si Pengayuh Tangguh pun membawa becaknya kembali ke
arah semula. Tidak lama kemudian, ia berhenti di depan sebuah hotel murah
tempat si bule menginap. Si Bule pun
berlari menuju lobi hotel tanpa
membawa koper besarnya, sementara Jang
Karta memarkirkan becaknya di luar hotel.
Twit.. twit.. twitt... suara klakson
menjerit dari mobil di belakang Si Redi
yang hendak masuk hotel. Seorang petugas keamanan dengan
sigap memarkir mobil itu dan meniup pluit dengan kencang. “Awas Ouy...” teriaknya mengusir Jang Karta supaya memindahkan posisi
parkirnya yang menghalangi
jalan masuk.
Jang
Karta pun memindahkan becaknya menuju
tempat yang lebih aman.
Sepuluh
menit berlalu. Tapi Si Bule kok tidak muncul juga. Memang apa sih yang
ketinggalan, sampai-sampai ia lama sekali mencarinya.
Lima
belas menit. Dua puluh menit. “Ke mana Si
Bule, ya? Kalau aku susul ke dalam, bisa-bisa tuh koper ada yang embat, lagi. Jang Karta terus
berpikir sambil celingukan memantau setiap orang yang keluar dari hotel itu.
Jangan-jangan tuh bule sebenarnya sudah keluar, tapi kebingungan nyari Si Redi
karena sudah pindah tempat parkir. Waduh gawat!
Kebetulan
satpam yang tadi jutek berjalan menuju kios rokok tidak jauh dari tempat Jang
Karta parkir.
“Maaf,
Pak, tadi Bapak lihat bule keluar hotel ini?” tanya Jang Karta.
“Bule
mah banyak atuh, kang, tamu hotel ini kan kebanyakan memang bule,” jawab Pak
Satpam dengan bangga sambil menyalakan rokok kreteknya.
“Maksud
saya, yang badannya gede, pake kemeja putih, yang tadi turun dari becak saya?”
jelas Jang Karta mencoba mengingatkan Pak Satpam.
“Oh
yang itu. Mister Adam, namanya. Dia dari
Belanda, langganan tetap hotel sini, Kang. Orangnya baik banget, saya aja
sering ditraktir rokok dan mie lomi, apalagi kalau....”
“Stop....
stop, eup.... sekarang dia di mana, Pak?” potong Jang Karta kesal.
“Tadi
naik becak merah, katanya sih mau ke stasiun. Mau ke Jakarta dia,” jawab Pak
Satpam dengan mata mendelik karena cerita serunya dipotong.
“Hah?”
Jang Karta mulai panik. Terus gimana nih koper, wah bule pikun! Pekiknya dalam
hati.
Dengan
gesit Jang Karta menarik Si Redi dan mengayuh nya dengan kecepatan penuh, tidak peduli
suara klakson bersahutan protes karena Si Redi melawan arah dan hampir
bertabrakan dengan mobil yang melintas.
Di
depan stasiun Bandung, Jang Karta harus berjuang lagi berdesak-desakan dengan
orang-orang yang keluar masuk stasiun dengan tergesa-gesa. Sambil menenteng
koper yang beratnya audzubillah itu,
Ia terus berusaha mencari Mister Adam. Tapi sayang, dari tempatnya berdiri ia
melihat kereta api jurusan Jakarta sudah meninggalkan stasiun.
Mesti
dikemanain nih koper? Dalam keadaan lelah dan putus asa Jang Karta kembali ke
Si Redi yang dengan setia menunggunya di tempat parkir.
“Kunaon,
Jang? (kenapa, Jang?)” tanya seorang tukang becak tua begitu melihat Jang Karta
ngos-ngosan. Ia juga memperhatikan bawaan Jang Karta. “Nu saha? (punya siapa?)”
tanyanya lagi.
“Si
Bule. Ketinggalan, Kang,” dengan sisa napasnya yang memburu, Jang Karta berusaha
menjawab dengan jelas.
“Naon
eusina? (Apa isinya?)” lanjut Pak Tua
penasaran.
“Nggak
tahu, Kang.”
“Buka
aja, tapi kade bom! (Buka saja, tapi awas Bom!)”
Jang
Karta tersentak, tidak pernah terbersit dalam ingatannya sama sekali kalau isi
koper itu bom. Tidak ada yang mencurigakan. Apalagi Mister Adam keluar dari
hotel murahan yang tamunya mungkin bule-bule kere juga. Kenapa ia membawa bom
ke hotel sekelas itu. Biasanya kan bom dibawa ke hotel-hotel gede yang tamunya
dari manca negara.
“Palingan baju, buka aja, bagi-bagi,
Jang,” usul seorang tukang becak lain yang sedari tadi memperhatikan
perbincangan Jang Karta dengan Pak Tua.
Jang
Karta melirik tukang becak muda yang provokatif itu. “Enak aja!”
“Kade
ah, boa-boa bangke! (Awas, jangan-jangan bangkai!)” celetuk tukang becak lain
yang baru datang.
Deg,
jantung Jang Karta berdetak hebat. Ia jadi ingat beberapa kasus mutilasi yang
mayatnya dimasukan ke dalam koper dan dibuang begitu saja. Atau bawa aja kali ya ke kantor
polisi supaya diperiksa. Tapi gimana kalau koper itu malah
dihancurkan tim Gegana, padahal isinya belum tentu bom atau mayat. Dan kalau si Bule sialan itu ngeh
kopernya ini ketinggalan di dalam becak, terus balik lagi dan mencari-cari Jang
Karta. Bisa repot nih urusan.
Akhirnya
Jang Karta memutuskan untuk membawa koper itu ke rumah kontrakannya.
*
Sesampainya
di rumah, lelah luar biasa menghantarkan Jang Karta tidur lebih awal. Ia bahkan
melewatkan pertandingan semi final Persib melawan Persija saking capainya.
Dalam tidurnya Jang Karta bermimpi dikejar-kejar Mister Adam dan diminta mengganti
tiket kereta pulang pergi Jakarta-Bandung. Dasar bule pelit. Salah sendiri kenapa
pikun dipiara. Koper segini gedenya kok bisa-bisanya sih ketinggalan. Padahal
Jang Karta sendiri sudah
mencari Mister Adam kemana-mana, bahkan ia balik lagi ke hotel itu, tapi pihak hotel tidak
mau menerima titipan koper dari Jang Karta karena curiga koper itu berisi bom
rakitan, atau mayat yang sudah dimutilasi.
Jang
Karta mengayuh becaknya dengan kecepatan the
flash. Tapi si Bule raksasa masih bisa mengejarnya dengan kekuatan super
yang ia miliki. Bahkan aksi kejar-kejaran itu menyebabkan jalanan macet karena
beberapa kendaraan bertabrakan menghindari super becak dan super bule itu. Pak
Polisi dibantu satpam hotel berusaha mengatur kendaraan yang terlanjur
berseliweran tak tentu arah. Suara pluit berbalasan dengan jerit klakson
kendaraan.
Crowded city,
pokoknya.
Lalu
koper yang ada di dalam Si Redi terpelanting sampai puluhan meter jauhnya.
Sebuah truk menabrak koper itu sehingga koper itu kembali melayang. Isi koper
berhamburan. Ribuan lembar uang berterbangan. “Hujan duit......” teriak
orang-orang serentak sambil berlarian menuju jalan raya tempat uang itu
berjatuhan.
“Dolar...
dolar... dolar.... “ pekik mereka kegirangan. Suasana menjadi semakin riuh
karena hampir semua pengemudi mobil keluar dan
bergabung
berebut uang kertas yang dikiranya datang dari langit itu. Tiba-tiba sebuah
benda menimpa tubuh The
Bule Flash,
dan membuat bule berbobot banteng itu juntai. Ternyata benda itu adalah koper
yang terpelanting berbalik arah gara-gara tertabrak truk tadi.
Si
Bule nahas itu pingsan. Tapi lebih nahas lagi, sama sekali tidak ada orang yang
mau menolongnya. Semuanya sibuk berburu uang yang berhamburan. Ratusan ribu
dolar melayang ke segala penjuru. Bahkan pedagang kaki lima saja mendapatkan
rezeki nomplok itu. Beberapa diantaranya bahkan
tidak
puas dan meninggalkan roda dagangan mereka untuk mengais rezeki yang lebih
besar ke tengah jalan raya yang sudah padat dipenuhi para pemburu dolar
dadakan.
Si
Redi berhenti. Jang
Karta sama sekali tidak tega melihat tubuh gempal Mister Adam tergolek tak
berdaya di pinggir jalan raya. Ia pun menghampirinya dan mencoba membangunkan
Mister Adam dengan menepuk-nepuk pipinya. Tapi kok
aneh ya, begitu ia memukul pipi Mister Adam, malah pipinya
sendiri yang berasa sakit. Ia lalu menepuk pipi Mister Adam lebih keras, dan
pipinya sendiri berasa lebih perih. Lalu
dengan
sekali tampar, ia terbangun.
“Jang....
ada tamu tuh!” teriak seorang tetangga yang entah dari mana datangnya tiba-tiba
sudah ada di kamar Jang Karta.
“Euh...
ngigau segala, bikin warga panik aja!”
protesnya, membuat Jang Karta sadar kalau mimpinya tadi begitu heboh.
“Kenapa,
Kang?” tanya Jang Karta belum loading
sepenuhnya.
“Tamu!”
bentaknya sengau. Ia terpaksa masuk ke rumah Jang Karta yang tidak dikunci, karena ada tamu yang
sedari tadi mengetuk pintu kontrakan Jang Karta tetapi yang punya rumah malah
teriak-teriak kayak kerasukan setan.
Di
sela kantuknya Jang Karta berjalan
menuju pintu. Jangan-jangan
tamunya itu Si
Bule Adam yang nyari koper itu?
Atau gimana kalau polisi yang menyangka ia telah mencuri koper itu. Waduh,
tambah berabe nih urusan. “Siapa tamunya, Kang?” bisik Jang Karta dengan muka
parno.
“Teuing.
Awewe, geulis! (tauk! Cewek. Cantik!)”
Jang
Karta menghela napas lega. Apalagi begitu ia membuka pintu, teryata yang muncul
adalah Saripah, pramuniaga yang kerja di toko klontong Babah Akiong, yang
pernah dipacarinya tahun lalu.
“Eh,
Neng Ipah, ada apa ya?” tanya Jang Karta gelagapan.
Saripah
tersipu. “Neng, mau ambil koper, Kang,”” jawabnya.
“Koper?”
tanya Jang Karta heran.
“Iya,
Kang, koper Neng ketuker sama koper bule yang tadi sore belanja di toko Babah
Akiong,” jelasnya lagi.
“Kok
bisa?” Jang Karta tambah bingung.
“Jadi
gini ceritanya, Kang. Tadi sore ada bule belanja di Babah Akiong. Ia bawa koper
yang kebetulan sama dengan yang Neng bawa. Rencananya
Neng mau pulang kampung dulu. Waktu Neng pamitan, koper
itu Neng disimpan di luar
dekat pintu. Pas
Neng balik lagi, ternyata kopernya
sudah ketuker.”
“Terus
koper tuh bule di mana sekarang?”
“Sudah
dibawa lagi sama bule tadi. Katanya,
ia tadi naik becak yang
ciri-cirinya seperti Si Redi, begitu ngeh kopernya tertukar, ia buru-buru balik
lagi ke hotel mengira kalau kopernya tertukar dengan tamu lain. Setelah
diingat-ingat ia baru sadar kalau kopernya tertukar waktu belanja di toko Babah
Akiong. Tapi karena buru-buru koper Neng yang tertukar itu
ia
tinggalin dalam becak Akang,
dan nyuruh Neng untuk mengambilnya sendiri.” Saripah
menjelaskan kronologis kejadian tertukarnya koper itu dengan gambling.
“Haduh,
Neng, hampir saya mati lemes gara-gara koper ini” Jang Karta menggaruk bagian
belakang kepalanya. Lega rasanya mendengar penjelasan Saripah. “Terus isinya
apa nih, Neng?” ia iseng menyelidik.
“Baju bekas, Kang. Sisa import.
Neng beli banyak buat dibagi-bagikan di kampung, lumayan,” jawab Saripah
tersipu lagi.
Glek.
Jang Karta menelan ludah, antara kecewa, sekaligus lega. Sebenarnya Ia berharap koper ini
adalah koper Mister Adam yang berisi dolar.
Akhirnya
Jang Karta anter koper itu ke terminal bis antar kota bersama Saripah dan sisa
cinta yang tidak kesampaian. Beu... apa coba?! ****
bahsa sundanya saya gag gt mengerti,, kasi transletnya kk >_<
BalasHapushihi itu dalam kurung itu translatenya dik..
BalasHapusSalam...
BalasHapus