GREY
Lelaki paruh baya itu terkulai tak berdaya di atas dipan
kayu, sebuah rumah petak yang ia sewa bersama anaknya. Kanker sumsum tulang
belakang sudah membuat tubuhnya lumpuh sejak dua tahun silam. Ia sama sekali tak bisa melakukan apapun
sendirian.
Senja itu, dipan tempat lelaki malang itu merebahkan
tubuh ringkihnya berderak. Sedikit saja tubuhnya bergerak, ranjang tua itu
selalu mengeluarkan suara bersamaan dengan rintih sakit yang tak lagi pernah
keluar dari mulutnya. Rintih pilu berupa desis tertahan karena lelah telah
menyedot semua energinya. Bahkan energi untuk sekedar mengeluh pun telah sirna.
-o0o-
Seorang gadis langsing dengan blouse biru bercorak bunga dan rok pendek hitam berlari kecil agar
ia bisa masuk ke dalam lift yang beberapa saat lalu terbuka. Seorang pria
sengaja menahan tombol open saat ia melihat
gadis tergopoh-gopoh menuju pintu lift. Sebuah anggukan kecil sebagai ucapan terima
kasih dan senyum secerah jingga di ufuk barat menebar dari bibir sensual gadis
itu.
Lalu waktu ditelan sunyi. Hanya denting suara pintu lift
yang terbuka di setiap lantai, dan sesekali dehaman orang yang keluar dari
dalam lift atau derap sepatu orang lain yang terburu-buru masuk.
Di lantai tujuh pintu lift kembali terbuka. Gadis berambut
dark brown sebahu itu keluar sambil
menjulurkan lehernya, seolah sedang mencari sesuatu atau seseorang yang
seharusnya sudah ada di lantai tempat ia bekerja di gedung megah ini. Gedung
bertingkat delapan dengan berbagai macam fasilitas umum yang tidak pernah sepi
pengunjung. Selain hotel, mall, salon, gym, juga ada spa yang selama ini
menjadi tempat gadis itu bekerja.
Tapi gadis itu tidak sedang menunggu atau mencari
siapapun. Ia hanya memastikan dirinya siap menjadi seseorang yang berbeda.
Tanpa ada orang lain yang mengenali dirinya.
-o0o-
Aku tak ingin
menjadi beban dan terus menerus merepotkan anakku, pikir lelaki itu sambil
mencengkeram kain sprei yang menutupi kasur kapuknya. Dengan sisa tenaga yang
ada ia berhasil meraih ujung ranjang kayu tempatnya terbaring, untuk mengambil
gelas yang berisi air putih di tepi meja. Gelas itu sengaja disimpan oleh
anaknya di tepi meja, supaya lelaki itu bisa menjangkaunya dengan mudah. Tetapi
mungkin ia lupa, bahwa setiap hari kekuatan sang ayah semakin berkurang
sehingga jangankan untuk meraih gelas itu, untuk menggeser posisi tidurnya
barang sesenti saja sudah sangat menyiksa.
Ujung jari kurus lelaki tua itu hanya mampu menggeser
gelas kaca itu semakin ke tepi. Dan berhasil membuatnya pecah dalam hitungan
detik. Desah lelah menguap penuh amarah. Amarah yang tidak bisa ia luapkan
dalam bentuk teriakan seperti kala ia gagah dan kuat dulu. Setitik air menetes
dari mata kelabunya, menyesali setiap kebodohan yang dulu pernah ia lakukan.
Rambut putih yang melintang di atas bibirnya bergetar, menahan sakit yang
teramat setiap kali ia berusaha menggeser tubuhnya. Bulir bening itu mengalir
deras melewati cekung pipi keringnya.
-o0o-
Gadis itu tersenyum. Senyum manja yang selalu ia sebar
agar para tamunya betah mendapat pelayanan terbaiknya.
“Setelah ini biasa ya, Grey,” pinta sang tamu genit.
Gadis yang dipanggil Grey itu kembali melengkungkan bibir
bergaris merah mawarnya.
Dan sang tamu, lelaki bertubuh tambun dengan kepala agak
botak itu menangkap isyarat menggembirakan. Arnold, biasa ia disapa adalah
pelanggan setia spa khusus pria yang selalu minta dilayani extra oleh Grey. Hanya oleh Grey.
Grey kembali menarikan jari-jari lentiknya ke sekujur
tubuh Arnold. Menyapukan nyanyian pilu dalam hati, dan melantunkannya berupa
tembang riang pembangkit syahwat setiap lelaki yang ia biarkan menjamah lekuk tubuh sintalnya. Pun
lelaki itu, yang meskipun terkadang Grey merasa risih melayani kehendaknya
-karena tampak lelaki itu seumur dengan ayahnya-, Grey tidak pernah sekalipun
mengecewakannya.
Arnold menggeliat. Pikirannya menembus ke alam khayalnya
yang paling absurd. Matanya mengerjap
seolah ia tengah menyelami lautan kapas yang lembut dengan aroma lavender yang
menyejukkan. Lelaki itu mendesah setelah semua resah lenyap tersapu jemari
Grey. Desah yang tidak pernah ia lenguhkan dalam hidupnya. Di kantor, di rumah,
di jalan, atau di manapun. Ia hanya ingin Grey. Dan demi sebuah desahan akhir,
ia rela menguras semua isi dompetnya.
Grey pun rela. Ia rela menggadaikan semua rasa malu dan
takut yang mendera setiap saat dalam hidupnya. Demi satu hal. Sebuah hidup yang
memang harus ditebus dengan menggadaikan semua yang dimiliki. Hidupnya dan
hidup ayahnya yang mungkin sedang berhitung mundur.
-o0o-
Darah mengucur kental dari rongga hidungnya. Tenaganya
sudah terkuras hanya untuk bertahan supaya tidak jatuh dari ranjang kayunya. Tetapi
usahanya sia-sia. Ia terjerembab dan menjerit kesakitan di lantai.
Grey, mungkin ini
waktu ayah. Tidak bisakah kau temani ayah pada detik-detik terakhir ini?
Batinnya merintih, memanggil anak gadisnya yang belum kembali. Jam dinding
berdentang tiga kali mengiris hati lelaki yang tengah menahan perihnya hidup
ini. Ia hanya berharap jam itu berhenti berputar sampai Grey kembali dan
menyaksikan raganya melayang dalam damai.
-o0o-
Pukul tiga lewat sepuluh
dini hari. Grey sedang membersihkan tubuhnya di bawah shower yang menggantung
di pucuk dinding di atas kepalanya. Air bening yang hangat, Grey harap bisa
menghanyutkan semua kotor dan nista yang melekat di tubuhnya. Air bening yang
hangat, juga menetes dari kelopak matanya yang putus asa.
Grey bahkan tidak bisa menahan isak yang menyesakkan
dadanya. Pergolakan batin akut sudah tak sanggup ia kendalikan. Ia tak ingin
mengecewakan ayahnya karena telah menukar masa depannya dengan semua yang ia
jalani saat ini. Tetapi ia juga tidak ingin merenggut hidup ayahnya yang
terlalu berharga untuknya dengan hanya diam dan tidak melakukan apapun. Grey butuh pekerjaan ini. Grey butuh bukan
hanya untuk hidupnya, tetapi juga untuk mengulur waktu ayahnya yang entah
sampai kapan mampu bertahan.
Grey mematikan shower
dan bergegas mengeringkan tubuhnya. Ia sudah harus berada di rumah sebelum
ayahnya terjaga. Ia harus segera mempersiapkan diri untuk mengantarkan ayahnya
menjalani kemoterapi yang sudah sebulan ini tidak dilakukan.
Setelah memastikan uang untuk biaya kemoterapi ayahnya
yang selama ini ia kumpulkan cukup, Grey meninggalkan gedung itu dan melenggang
menuju rumah petaknya dengan seulas senyum dan harapan besar.
-o0o-
Lelaki itu telah dimandikan. Dikafani. Disalatkan. Dan
akan segera dikebumikan.
Grey tidak berhenti mengusap hidungnya yang memerah.
Rinai tangis terus berjatuhan. Kesedihan bukan lagi miliknya. Tetapi rasa sesal
dan kehilangan yang teramat pedih tidak mampu Grey redam. Mestinya malam itu aku sudah kembali. Mestinya aku ada di samping ayah
dan menemaninya. Mestinya aku mampu
membawa ayah melakukan kemoterapi setiap minggu. Mestinya …..
“Tuhan telah membimbing hambanya untuk menjalani apa yang
seharusnya ia jalani. Tuhan telah menunjukkan jalan itu, dan manusia hanya bisa
melaluinya ketika Tuhan sendiri mengizinkannya,” kalimat itu ibarat doa yang
menyejukkan hati Grey.
Ayahnya telah
pulang kini. Ia kembali ke pangkuan Tuhannya. Mengapa Grey harus merasa
bersalah saat Tuhan menjemputnya?
Air mata terakhir menetes di pipi Grey saat liang lahat
ayahnya sempurna tertutup tanah. Ia menatap gundukan tanah merah bertabur bunga
itu sambil tersenyum. Senyum menghantar ayahnya yang kini tenang dan bahagia
dalam peluk Sang Pencipta.
Grey tertunduk dalam doa paling khusyu yang ia mampu
panjatkan kepada Tuhan.
-o0o-
Seorang lelaki berdiri
tidak jauh dari tempat Grey menaburkan bunga terakhir di pusara ayahnya. Lelaki
itu menatap Grey dengan kesedihan yang sama dalamnya. Tubuhnya yang bulat tersamarkan
oleh balutan jas hitam mahalnya.
“Saya turut berduka cita ya, Grey,” lelaki itu
mengulurkan tangan kanannya, mencoba memberi kekuatan pada anak gadis
sahabatnya yang baru saja dimakamkan.
“Arnold?” Grey setengah tidak yakin melihat lelaki itu
berdiri di hadapannya dengan kopiah yang menutupi kepala botaknya.
Arnold mengangguk dengan senyum yang dipaksakan.
21 Maret 2012
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar