13
Hujan kembali
turun. Butir-butir yang berjatuhan menimpa tanah menimbulkan irama yang selalu
sama. Irama kesedihan dan kehampaan. Mengapa setiap kali aku berusaha menemui
Tere, hujan selalu menyambutku, seolah ia tidak rela membiarkan Tere bersatu denganku
untuk menikmati kesedihan dan kehampaanku ini. Menikmati rindu dan ragu dalam
waktu yang bersamaan.
Aku melewati lorong itu. Cahaya temaran
menggelitik mataku untuk tetap terjaga. Aku tidak ingin lelaki itu menghadangku
lagi, dan mencegahku menemui Tere. Meskipun free
pass card sudah aku kantungi, tetapi benda kecil itu sama sekali tidak ada
gunanya. Setidaknya setelah kejadian malam itu. Dan aku cukup beruntung bisa
melewati pintu utama menuju pub terpencil tempat Tere bekerja tanpa harus
melewati dua orang lelaki berotot yang selalu siaga di depan pintu. Entah sedang
ke mana kedua lelaki sangar yang lebih sering memancing keributan itu.
“Tere!” Tanpa bisa kutahan, aku
meneriakkan namanya diantara hingarnya alunan musik dan kerlip lampu disko
aneka warna. Tentu saja tidak akan ada yang mendengar, sekalipun Tere, yang aku
sendiri belum yakin berada di sudut mana dan sedang melakukan apa.
Aku terus mencari Tere dengan
menyelinapkan tubuhku diantara tubuh orang-orang yang menggeliat mengikuti gerak
musik. Dan sejurus kemudian, mataku tak mampu berkedip begitu menyaksikan apa
yang ada di hadapanku. Tere. Dan Phaton!
Aku beringsut mundur dan membiarkan
mata ini melihat sendiri bagaimana wanita yang selama ini selalu mengganggu
malamku dengan desah suara dan kedip menggodanya itu sebenarnya tidak
memperlakukanku secara istimewa seperti yang selama ini kuduga. Dari kejauhan
aku hanya bisa menyaksikan derai tawa Tere saat Phaton membisikkan sesuatu di
telinganya. Aku sama sekali tidak bisa mengingkari kalau ternyata Tere lebih memilih Phaton daripada
aku. Hanya saja aku tidak habis pikir mengapa Tere seolah selalu memberiku sebuah
harapan. Seolah ia tidak peduli kalau Phaton itu sahabat dekat aku dari dulu.
Dari meja lain persis di seberang
meja yang Tere dan Phaton tempati, aku masih bisa melihat betapa Tere tampak bahagia
saat bersama Phaton. Berbeda sekali kalau ia sedang berdua denganku. Meskipun
senyumnya mengembang dan tawa renyah selalu terurai menanggapi kelakarku,
tetapi aku tidak pernah melihat tatapan yang sama yang ia lemparkan kepada
Phaton. Tatapan penuh cinta yang menjadikan itu sebuah jawaban dari penantianku
selama ini.
“Sendirian?” Lamunanku buyar seketika,
saat seorang perempuan menyapaku sambil tanpa sungkan duduk di sebuah kursi kosong
di sebelahku.
Aku mengangguk dan tidak terlalu
menghiraukannya. Bukan saat yang tepat kalau perempuan itu berniat mengajakku
mengobrol atau melantai. Atau hal lain apapun.
“Aku tahu, kamu masih menaruh
harapan kan sama Tere,” ucapnya seolah sedang berbicara pada segelas minuman
berwarna biru di hadapannya. Tapi aku tergoda untuk mendongak saat ia menyebut
nama Tere.
“Hemh, kasihan sekali,” gumamnya
dengan seteguk minuman yang belum ditelan di dalam mulutnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku memutar
kursi tempatku duduk sehingga kini aku berhadapan dengan perempuan yang
sepertinya mengenal Tere dengan baik.
“Kamu lelaki yang waktu itu membuat
kekacauan itu kan?” ia malah balik bertanya.
“Aku tidak membuat kekacauan. Aku
justru korban karena penjaga keamanan di sini menganggapku sebagai pengganggu,”
elakku, sambil menyentuh luka lebam di wajahku yang masih belum sembuh benar.
Dan ini membuatku teringat kembali kejadian malam itu. Kejadian terbodoh yang
pernah aku alami setelah malam ini aku menyadari satu hal: Tere tidak benar-benar
menyukaiku.
Perempuan di sampingku menghembuskan
asap rokok yang sedari tadi dihisapnya. “Tere menyukaimu, sama seperti ia
menyukai lelaki lainnya. Termasuk Lelaki yang sekarang sedang bersamanya itu.”
Tidak sulit untuk memercayai omongan
setengah ngelantur perempuan ini, mengingat apa yang aku lihat malam ini dan
apa yang pernah aku saksikan
sebelum-sebelumnya.
“Tapi sepertinya mereka saling
menyukai,” kilahku pada diri sendiri.
“Apa arti sebuah cinta di mata
seorang Tere. Ia hanya butuh uang dan semua yang ia kejar untuk memenuhi
obsesinya. Ia tidak butuh laki-laki, terlebih cinta.”
Ingin aku menarik ucapan perempuan
itu. Tapi untuk apa.
Aku melirik ke arah Tere. Dan aku masih
belum bisa melihat sifat itu dalam dirinya. Aku sudah mengenalnya
bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum Phaton kembali dari luar negeri. Aku
yang membukakan pintu gerbang kos-kosan saat dulu kami masih kuliah, kalau Tere
pulang sangat larut. Aku yang membelanya saat Ibu Kost hendak mengusirnya
karena kelakuan Tere yang dinilai kurang pantas. Sampai kami lulus dan
menjalani dunia masing-masing, aku dan Tere selalu berbagi banyak hal: sedih, gembira,
lapar dan dingin. Tapi malam ini aku baru sadar, kalau Tere tidak pernah
berbagi satu hal denganku. Cinta.
Kembali kualihkan pandanganku pada
perempuan yang duduk di sampingku ini, tetapi ia malah berlalu dan menghampiri
Tere. Tere melemparkan pandangannya ke arahku sesaat setelah perempuan itu
berbicara dengannya. Ia pun bangkit dan berjalan ke arahku.
“Hai, Kris,” Tere mencium pipiku
seperti biasa dan mengajakku bergabung dengan Phaton.
Phaton tampak gelisah mendapati
diriku berada di tengah-tengah mereka. Sesekali ia melempar senyum kaku dan guyonan
lama kami yang seharusnya memancingku tertawa. Tapi Tere segera mengambil alih pembicaraan
dan mencairkan suasana asing yang tidak pernah aku, ataupun Phaton alami sebelumnya.
“Sepertinya kalian baru jadian. Selamat,
ya,” ucapku berharap tidak salah bicara.
Tere malah tersenyum ringan. “Siapa
yang jadian? Nih, teman kamu, sepertinya ngebet
minta kawin, ha ha ha..” lalu berderai tawanya. Tawa yang sama, seperti yang tadi
kulihat. Kalau saja lampu di ruangan ini benderang, aku yakin bisa
melihat muka Phaton memerah.
Mungkin benar apa yang dikatakan
perempuan itu : Tere tidak membutuhkan siapapun. Terlebih cinta.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar