5
TRAGEDI DI SIANG BOLONG
Siang
itu udara sangat cerah. Andrian
mengayuh sepedanya dengan cepat. Ia takut teman-temannya kelamaan menunggu di
lapangan. Tadi Andrian menyempatkan diri mengerjakan PR sepulang sekolah.
Soal-soal matematika itu memang sulitnya bukan main, Andrian sampai harus
membuka buku pelajaran kelas empat dan kelas lima untuk mengingat kembali
rumus-rumusnya.
Ketika
melewati rumah Bu Munir seekor anak anjing menggongong. Anak anjing itu memang
selalu menggonggong kalau ada orang yang lewat, terutama orang asing yang belum
pernah dilihatnya. Kalau ada Edo pasti anak
anjing itu bakalan kena sial. Atau jangan-jangan tadi teman-temannya sudah
lewat sini dan melempari anak anjing malang
itu. Lihat saja kepalanya yang nyaris pitak padahal luka di kakinya belum juga
sembuh. Andrian tidak menghiraukan anak anjing itu. Cukup sudah penderitaannya.
Ia tidak mau menambah kesengsaraannya.
Andrian
juga berpapasan dengan Ridwan yang sedang berjalan gontai entah mau ke mana.
Bahkan ia sempat menegur dan menanyakannya mau pergi ke mana. Ridwan hanya
tersenyum dan tidak berminat menjawab pertanyaan Andrian. Andrian pun tidak
mnghiraukannya dan ia segera memacu sepedanya menuju lapangan.
Dari
jauh sudah terdengar teriakan-teriakan orang yang sedang bermain bola.
Over..over… katanya, sepertinya sih suara Doni. Ya…out deh, keluh suara anak
perempuan. Andrian yakin itu Mayang. Kemudian dari jarak yang sudah semakin
dekat ia bisa melihat keempat temannya sedang melempar bola satu sama lain. Ada Doni dengan kaos merah kesukaannya
sedang berusaha menerima overan bola dari Anissa. Edo dengan sepatu bola
barunya sedang berjingkat karena berhasil menendang bola yang digawangi Mayang.
Mayang masih kelihatan seperti anak perempuan lain yang tidak
sedang
bermain bola. Dengan celana pendek ketat dan rambutnya yang dikuncir, ia
berusaha mempertahankan gawang supaya tidak bisa ditembus oleh tendangan
Edo, tetapi kemudian mengeluh lagi karena Edo berhasil membobol
pertahanannya.
Berbeda dengan ketiga temannya, Anissa
kelihatan tidak bersemangat seperti biasanya. Andrian bisa tahu begitu melihat
Anissa yang malas-malasan menangkap bola yang ditendang Doni dan membiarkannya
lolos dari kakinya. Apakah Anissa masih sakit?
“Hai...” teriak Andrian yang lalu disambut
teman-temannya dengan lambaian. Mereka lalu melanjutkan kembali permainan.
Kecuali Anissa yang begitu melihat Andrian datang langsung keluar lapangan dan
mengambil air minum dari dalam tasnya.
“Kamu masih sakit. Nis?” tanya Andrian.
Anissa menggeleng sambil menenggak
minumannya.
“Muka Kamu pucat. Mungkin Kamu kepanasan,”
lanjut Andrian
Anissa mengelap keringat yang menetes di
keningnya. Lalu ia duduk malas di bawah pohon alpukat. Hawa sejuk seketika
menerpa wajah dan tubuh Anissa yang kegerahan. Anissa menikmatinya seperti ia
sedang merasakan hawa yang keluar dari dalam lemari esnya yang baru dibuka.
Andrian berlalu meninggalkan Anissa dan
menggantikannya bermain dengan Doni. Dari tempatnya duduk, Anissa melihat Andrian
bercakap-caap sebentar dengan Doni. Dari gerak tubuhnya Andrian seolah
menanyakan hal yang sama dengan yang ia tanyakan ke Anissa tadi. Doni
mengangkat bahu. Mungkin ia menjawab tidak tahu. Lalu keduanya sudah asyik
bermain lemparan-lemparan bola sebagai pemanasan buat Andrian.
Sebenarnya Anissa masih kesal dengan
teman-temannya. Hal ini dikarenakan ketika kemarin Anissa berkeluh kesal
mengenai Ridwan kakaknya yang selalu membuatnya sebal, teman-temannya malah membela
kakaknya itu. Mereka bilang Ridwan itu kakak yang baik dan pengetrian. Ia
sangat sayang kepada adik-adiknya. Padahal Anissa merasa Ridwan sudah tidak
sayang lagi pada dirinya. Saking
marahnya, Anissa hampir saja tidak mau menemui teman-temannya lagi. Tetapi
karena ia juga tidak betah tinggal di rumah sepulang sekolah, ia pun kembali
menemui teman-temannya untuk bermain bersama.
Ketika
Anissa hendak melanjutkan permainan dan bergabung bersama teman-temannya, ia
melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya. Teryata dia adalah Ridwan, kakaknya.
Anissa urung berjalan menuju lapangan. Ia malah menghindari Ridwan pergi
meninggalkan lapangan dan teman-temannya yang sedang bermain.
“Nis, mau ke mana?” teriak
Doni begitu melihat Anissa tergesa-gesa.
Anissa
tidak menghiraukan Doni dan yang lainnya. Ia berlalri demi menjauh dari Ridwan.
Mau apa lagi kakaknya itu. Apakah ia belum puas memarahiku, makanya sekarang
Ridwan malah menyusul ke lapangan, pikir Anissa.
“Nis, tunggu,” panggil
Ridwan seraya mempercepat langkahnya. Anissa malah semakin cepat menjauh dari
Ridwan. Ia berlari menuju jalan
besar yang memisahkan lapangan sepak bola itu dengan pesawahan desa sebelah.
Anissa bahkan tidak menengok ke kiri dan
kanan jalan. Pandangannya lurus ingin menyeberangi jalan beraspal itu supaya
bisa lari di pematang sawah dan menghilang dari pandangan Ridwan. Ia tidak mau
menemui kakaknya itu. Ia benci dengan sikap kakaknya itu. Cukup sudah rasa
sakit yang ia alami tadi siang.
Melihat Anissa yang mulai berlari, Ridwan
menjadi panik. Bagaimana tidak, dari jarak jauh ia melihat sebuah sepeda
motor sedang melaju kencang di jalan desa itu, sedangkan Anissa tanpa
memperhatikan sepeda motor itu terus saja berlari menuju jalan yang dilalui
sepeda motor itu.
“Nissa,
awas….. “ dengan sekuat tenaga Ridwan berlari dan terpaksa mendorong tubuh
Anissa yang hampir saja ditabrak sepeda motor yang sedang ngebut itu. Anissa terpelanting ke sisi jalan dan
jatuh di tanah lembab, sedangkan Ridwan terserempet sepeda motor itu yang
kemudian oleng dan jatuh. Ridwan terlempar hampir tiga meter jauhnya dan jatuh
di jalan aspal dengan suara gedebug seperti suara ban pecah.
Doni, Edo, Andrian dan Mayang berlarian
menuju arah suara itu. Mereka khawatir dengan apa yang mungkin menimpa kedua
kakak beradik itu. Mayang menjerit melihat ternyata dugaannya benar. Ridwan
terkapar di bahu jalan dengan darah merembes dari keningnya. Anissa meringis
menahan sakit di sikut dan kakinya. Untung ia terjatuh di tanah yang lembab
sehingga terhindar dari benturan dengan batu ataupun aspal.
Mayang menghambur ke arah Anissa dan
membantunya berdiri. Sedangkan Edo, Doni dan Andrian segera memindahkan tubuh
Ridwan ke sisi jalan sambil berteriak minta tolong. Samar-samar Ridwan melihat
ketiga teman Anissa membantunya berdiri dan dari jarak beberapa meter pengendara
motor itu mulai berusaha menyalakan mesin motornya dan lalu pergi begitu saja.
Setelah itu pandangan Ridwan menjadi kabur dan ia tidak sadarkan diri.
Beruntung
sebuah mobil pick up melintas di depan mereka. Doni menyetop mobil itu dan
meminta tolong untuk mengantarkan Ridwan dan Anissa ke puskesmas. Pengemudi
mobil itu kebetulan mengenal Ridwan dan anak-anak itu. Pak Hamid namanya. Ia
adalah salah seorang pegawai kelurahan yang juga kenal baik dengan ayahnya
Ridwan. Pak Hamid segera membawa masuk Ridwan ke dalam mobil. Anissa juga
dituntun untuk naik dan duduk di kursi penumpang di samping sopir. Ia menangis
melihat kondisi Ridwan yang sangat mengkhawatirkan.
*
Puskesmas ternyata tidak sanggup menangani pasien korban kecelakaan. Apalagi
melihat kondisi Ridwan yang sudah mengeluarkan banyak darah, dan fasilitas di
puskesmas yang kurang memadai. Pihak puskesmas pun segera merujuk Ridwan untuk
dibawa ke rumah sakit. Sedangkan Anissa setelah mendapat pertolongan pertama
dan dinyatakan sebagai cedera ringan, diperbolehkan pulang atau mengantar
Ridwan ke rumah sakit.
Di
tengah perjalanan, tak henti-hentinya Anissa menangis. Ia sangat menyesal
dengan apa yang sudah ia lakukan tadi. Kecelakaan itu mungkin tidak akan pernah
terjadi kalau saja Anissa tidak lari dan menghindari kakaknya. Ya Allah,
selamatkanlah kakaku..... doa Anissa berulang-ulang disela isaknya.
Dalam
hati Anissa berjanji akan merawat kakaknya sampai sembuh dan meminta maaf atas
semua kesalahannya. Mungkin kakaknya, juga ayah dan ibunya akan sangat marah,
tapi Anissa akan berusaha menebus semua kesalahannya dengan menjadi anak yang
baik dan penurut. Anissa berjanji.
Setelah
menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kendaraan pick up Pak Hamid
tiba juga di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah. Ridwan dimasukkan ke
ruang ICU karena belum juga sadarkan diri. Dokter dan para perawat sibuk
membantu memasang alat bantu pernapasan, selang inpus dan sebagainya.
Anissa
hanya bisa memandang kakaknya melalui kaca pintu yang ukurannya sangat kecil.
Hatinya sangat sedih dan merasa bersalah atas kejadian ini. Ayah dan Ibu pasti
sangat marah dan merasa terpukul melihat anak sulungnya terbaring di rumah
sakit dalam keadaan koma. Mereka juga pasti sangat marah pada Anissa. Setetes
air mata bergulir melewati lekuk pipi Anissa, berhenti sejenak di celah bibir
atasnya, lalu jatuh ke dagu dan menetes ke baju Anissa yang berdarah. Tragedi
ini sangat di luar dugaan. Siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi nanti.
Itu semua rahasia Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha menghindari
hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Siapa yang lengah dan lalai bisa jadi
menanggung akibat buruk yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Kalau
saja waktu bisa diputar kembali Anissa tidak akan pernah pergi waktu Ridwan
menghampirinya siang tadi. Ia bahkan ingin sekali meminta maaf dan mengajak
kakaknya bermain bersama. Tapi itu tidak mungkin, nasi sudah menjadi bubur.
Allah mungkin sedang memberinya peringatan keras karena kelakuannya yang nakal.
Tapi ini terlalu berat rasanya. Anissa tidak sanggup menanggung beban seberat
ini.
Di
balik semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Anissa berusaha memetik hikmah dari
kejadian ini. Tapi kesedihan yang sangat dalam membuatnya tidak berpikir
jernih. Dalam ketakutan dan rasa malu ia tertidur di bangku panjang tempat para
keluarga pasien duduk menunggu sanak keluarga yang akan besuk.
Lihat Cerita sebelumnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar