AROMA CINTA DI UJUNG SENJA
Kamiluddin Azis
Rumah itu masih seperti lima tahun yang lalu saat aku pergi. Wangi
jamu menyeruak di hampir setiap sudut ruangan.
Aku sudah terbiasa mencium bau aneh itu sejak kecil. Dan tidak pernah
sekalipun celoteh protesku mengubah itu.
Sampai ketika aku harus berangkat menginggalkan tanah air, wangi-wangian
itu ikut dan menempel kuat dalam
ingatanku. Hidupku seperti sudah terikat mati, tidak akan pernah lepas dengan
baunya. Dan aku tidak lagi bisa menolaknya.
Tentu
saja selain Ayah,Iibu dan Mamaku, rasa rindu terhadap rumah dan- kembali- wangi
jamu itu yang menggiringku pulang. Harmoni
itu : Wangi jamu yang selaras dengan gerak lambat kehidupan di rumah ini. Lima
tahun di negeri orang, dan kini aku pulang dengan masih membawa tanya yang belum
terjawab.
Akankah hari ini
tiba semua jawaban itu.
“Apa
bedanya kalau kamu tahu siapa diantara kami ini yang melahirkanmu?” Itu bukan
jawaban. Tetapi kenapa selalu pertanyaan balik itu yang terucap setiap kali aku
bertanya.
Aku
lahir dari rahim seorang perempuan. Itu pasti. Tapi aku dirawat dan dibesarkan
oleh dua orang perempuan yang sama-sama mencintaiku : Ibu dan Mama. Salah seorang
dari mereka adalah ibu biologisku, yang di dalam rahimnya aku tumbuh selama
lebih dari tiga puluh enam minggu. Tapi keduanya menolak memberi tahuku di
rahim siapa aku dikandung.
Tidak
juga dengan Ayah. Dialah lelaki satu-satunya yang ada diantara 3 perempuan di
rumah ini. Dialah yang menebar cinta dan menanamnya begitu dalam hingga tumbuh
dan merekah setiap hari di hati kami. Dia yang tidak pernah mengeluh kenapa aku terus mempertanyakan hal serupa
setiap waktu. Dia yang tidak pernah sekalipun berbuat kasar di depan mataku
atau di belakangku. Dia yang menjaga dan melindungi kami, ketiga perempuan yang
disebutnya sebagai three angles. Dialah
lelaki yang pandai menyimpan rapat rahasia besar yang mungkin belum saatnya
dibagi denganku.
Tapi
kini aku sudah besar. Dua puluh dua tahun usiaku. Dan gelar dokter sudah menempel cantik di depan namaku.
Kendati sudah tidak penting lagi mengajukan pertanyaan itu, aku tetap saja
terusik. Mendapat jawaban yang pasti
tidak akan mengubah apapun, selain menciptakan perasaan tenang di hatiku.
Kenapa
harus menunggu begitu lama untuk mengetahui kebenaran itu? Atau jangan-jangan
aku bukan anak dari Ibu atau Mama? Bukan pula anak Ayah?
“Please, Ayah. Ayah kan sudah janji,” aku
mengingatkan ayah dengan nada mengiba.
Lalu
kebenaran pun terungkap.
Mama
adalah perempuan pertama yang dinikahi Ayah selama empat tahun sebelum ia
memutuskan untuk menikahi Ibu karena Mama
tidak kunjung memberikan keturunan. Pernikahan ayah dan Ibu diatur sedemikian
rupa oleh Mama. Ibu adalah perempuan terbaik pilihan Mama untuk mendampingi Ayah.
“Mama
ingin memiliki seorang anak. Darah daging dari lelaki yang mama cintai.
Walaupun itu tidak lahir dari rahim mama, tapi mama ingin anak itu lahir dari
sebuah rasa cinta,” Mama membuka lembaran kisah yang sudah lama ia simpan.
“Mama
meminta ayahmu menikahi ibumu, dan mencintainya seperti ia juga mencintai mama.
Mama rela, asalkan ia mau berbagi cinta dengan mama. Berbagi kasih sayang untuk
anaknya dengan mama. Dan mama mendapatkan rasa cinta kamu sebagaimana seorang
ibu merasakan cinta dari anaknya.”
Aku
melepas lipatan tanganku dan menggenggam tangan Mama. Memberinya kekuatan yang
aku sendiri tidak tahu apakah ada gunanya. Sementara aku masih haus akan
jawaban.
Ibu
berdiri di belakangku dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menyentuh pundakku.
Ia hendak berbicara kalau saja Mama tidak segera kembali bicara.
“Pada
mulanya ayahmu menolak. Mama tahu ia adalah lelaki setia . Ia rela menghabiskan
hari dengan mama walaupun tanpa kehadiran buah hati. Begitupun dengan ibumu.
Meskipun mama tahu masih ada perasaan cinta di hati ibumu yang sebelumnya
sempat terenggut oleh kehadiran mama, tapi ibumu menolak untuk dinikahi ayahmu.”
Aku
beralih menatap mata Ibu seolah menunggu apa yang akan ia sampaikan.
“Mamamu
adalah sahabat terbaik yang pernah ibu miliki. Ia rela mengorbankan perasaannya
sendiri demi kebahagiaan orang lain. Begitu tahu betapa besarnya harapan mama
untuk memiliki anak sementara ia tidak mampu, ibu tidak keberatan berbagi
dengannya.” Lembut jemari Ibu mengusap kepalaku. Ketenangan menyelimuti hatiku.
Puzzle-puzzle itu sepertinya akan segera membentuk sesuatu. Sebuah gambaran
yang utuh tentang siapa ibuku ini sebenarnya.
“Lalu
kami bertiga sepakat untuk tidak memberitahumu semuanya. Walaupun kamu
mendapatkan asi dari ibumu, tetapi mamamu turut merawatmu, sama repotnya
seperti ibumu. Kadang ayah merasa lucu melihat tingkah kedua istri ayah ini,” timpal
ayah sembari mengumbar seulas senyum, dan berharap dengan senyum itu ia bisa
menyembunyikan gundah di hatinya.
Sekarang
Mama terkulai tak berdaya. Mama divonis tidak bisa memiliki anak setelah
berkali-kali keguguran. Dan semua itu terjadi karena di rahim Mama bersarang
kanker yang setiap waktu tumbuh tanpa bisa dikendalikan. Aku baru sadar, wangi
itu bukan sekedar jamu kesehatan seperti selalu ibuku bilang, bukan pula
pengharum ruangan atau pengusir bau-bauan lainnya yang tidak disukai binatang
pengganggu seperti yang selalu ayah utarakan. Tetapi adalah ramuan obat untuk
mencegah kanker Mama tumbuh semakin ganas. Bahkan setelah rahim Mama diangkat
beberapa tahun silam, Mama masih harus terus menjalani berbagai terapi, termasuk
terapi secara tradisional, agar kesehatannya kembali pulih.
Kini cinta ketiga orang tuaku
satu sama lain sudah terjalin puluhan tahun. Di ujung senja usia mereka cinta
itu masih terikat erat. Aku sangat bangga dan bahagia bisa memiliki orang tua
yang tiada henti mengalirkan cinta dan memberikan kehangatan dalam hidupku.
Betul kata Mama, tidak akan ada bedanya jika kemudian aku tahu siapa ibu
kandungku sebenarnya. Tetapi tentu saja mengetahui sebuah kenyataan pasti akan
jauh lebih baik daripada menerka-nerka sesuatu secara tidak pasti.
Harmoni cinta kami begitu indah. Irama
hati dan jiwa kami menyatu selamanya. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar