Dialog diambil dari Novel Miss Pikun-susah inget gampang lupa! (Jumanta) halaman 84-85
KEMATIAN MR. CARLOS
Zastan menarik lengan Kun, menjauh dari kerumunan
orang-orang yang mengelilingi mayat Mr. Carlos, pengganti Hamada san, yang
mengajar ilmu darkness speed jump.
Lelaki tua itu akhirnya meninggal setelah bertarung dengan lima orang pria yang
menyerangnya bertubi-tubi. Christoper mengikuti mereka dengan tetap waspada.
“Bu
Eisye itu siapa?” tanya Zastan setelah mendengar desas-desus keterlibatan
perempuan yang biasa dipanggil Bu Eisye itu.
“Dia
sekretaris pribadi almarhum papi. Menurut testament
papi, gue harus nurut sama dia. Padahal ngelihat dia aja gue sudah ngeri.
Apalagi mesti diajarin kerjaan sama dia.” Kun melenguh, membuang ribuan
partikel kesal yang mengganjal di dadanya.
“Emangnya
dia kenapa?” timpal Christoper.
“Orangnya
aneh. Jutek lagi. Dari dulu, gue emang udah males gitu sama dia. Tapi gue gak bisa nolak.”
Kun
membayangkan kalau Bu Eisye akan mengajarinya berbagai ilmu terlarang sekaligus
sebuah pekerjaan yang ditugaskan pihak sekolah, ia akan menjadi seorang remaja
terbelakang yang akan menghabiskan waktu liburan di laboratorium yang penuh
dengan bahan-bahan kimia berbahaya.
Zastan,
Kun dan Christoper akhirnya menemukan sebuah tempat persembunyian. Sebuah
lorong gelap di bawah gedung katedral tua tidak jauh dari lapangan sekolah. Mereka
yakin kelima pria itu akan mencari siapa saja murid-murid hebat andalan sekolah
ini. Murid-murid yang menerima warisan ilmu-ilmu sihir yang tidak diajarkan di
sekolah sihir lainnya. Zastan Fauzi, Kuncoro, Arimana Notonegoro, Hans Christoper
juga Yamato Origawa. Kelima siswa dari berbeda negara ini adalah kekuatan
sekolah yang memiliki bakat alami sejak lahir. Mereka mampu menerima ilmu yang
diberikan hanya dalam beberapa menit, dan bisa menciptakan ilmu baru dari
penggabungan kekuatan sihir mereka.
“Terus
nanti caranya gimana?” bisik Zastan penasaran. Dari kejauhan Ia menatap ke arah
lapangan tempat jenasah Mr. Carlos sedang dibawa melalui sebuah ambulance. Siswa-siswa mulai menyingkir dan ketakutan.
“Kayaknya
sih gue bakalan ngantor gitu selepas jam sekolah. Dari jam dua sampai jam lima.
Bu Eisye yang ngajarin gue pekerjaan-pekerjaan seperti kebiasaan papi.
Sedangkan untuk kebijakan manajemen bakal dihandle
sementara sama Om Ferry dan Om Indra.” Kun berdiri dan memastikan kalau mereka
sudah aman. Sejenak ia berpikir apa yang dialami oleh Yamamoto dan Arimana. Siswa
asal Kyoto dan Selangor itu mungkin juga sedang melakukan hal yang sama,
bersembunyi dari intaian musuh. Atas kesepakatan mereka berlima, mereka
terpaksa berpencar dan berjanji akan saling menolong jika kemudian ada yang
tertangkap.
“Itu semua
harusnya gak terjadi! Gak kebayang deh elo yang ngurusin kantor dan nasib
sekian orang, Kun…, ngurusin diri elo aja yang sering lupa susahnya setengah
mati,” Christoper mendongak, ia ragu
karena seringkali Kuncoro melakukan kesalahan yang berakibat fatal pada
lingkungan di sekitar. Pernah suatu waktu Kun memadukan ilmu pembeku darah
dengan ilmu pemantik api dan mempraktekkannya pada hewan ternak sekolah, yang
terjadi adalah hewan ternak sekolah gosong hanya dalam waktu dua atau tiga menit.
Pihak sekolah pun menghukumnya dengan skorsing selama seminggu. Sekarang kalau
saja Kun harus mengurusi banyak hal, seperti manajemen sekolah dan
keamanan murid-murid junior yang tinggal
di asrama, bisa saja semuanya berantakan. Sedangkan almarhum papinya yang mengelola
sekolah puluhan tahun sudah menitipkan Kuncoro pada Bu Eisya untuk mendapatkan ilmu
yang layak untuk menjaga sekolah ini tetap berdiri.
“Mending
gini aja deh say. Lo buang ketakutan lo sama Bu Eisye, jadi lo bisa belajar
lebih konsen, kayaknya lo masih mungkin bisa deh. Lo gak tolol-tolol amat kok …”
Kun
melotot ke arah Christoper yang kerap
kali memanggilnya dengan sebutan ‘say’, kependekan dari ‘sayonara’ yang sering
diucapkan Yamamoto sebagai sindiran buat Kun yang selalu salah menyebut istilah sayonara menjadi sayonggara
yang membuat ia menjadi terkenal dengan sebutan lain Sayonggara san. “Jadi
maksud lo gue tolol?”
“Ups!
Hehehe.., sorry salah… Lo gak tolol tapi.. pikun ya.. OK deh .. itu beda. Tapi
lo tau kalau dua-duanya sama-sama bahaya.”
“Iya
dia pikun. Dan sekali lagi.. itu semua harusnya gak terjadi!” Zastan
mengepalkan tinjunya berusaha berpikir dengan keras langkah apa yang harus
mereka lakukan untuk menghindari hal itu.
“Tapi
untungnya masih ada kedua Om elo itu. Jadi mereka pastinya akan nolongin, kan?
Nah… kalo elo belajarnya cepat, tentunya elo gak perlu lama-lama sama Bu Eisye
itu.” Christoper berjalan hilir mudik dengan perasaan kacau. Kalau saja Kuncoro
jadi diangkat menjadi pekerja kampus dan menjalankan misi yang diajarkan Bu
Eisye, ia yakin keadaan akan semakin kacau. Siswa-siswa dari sekolah sihir lain
akan mendatangi sekolahnya dan menuntut atas kematian beberapa siswa mereka akibat
pertarungan antar sekolah sihir sebulan yang lalu. Mereka akan menyerang dan
menghancurkan laboratorium sihir mereka dan mengacak-acak perpustakaan sekolah
yang megah dan koleksi buku sihir dari berbagai negara selama berabad-abad
dengan kekuatan ilmu mereka yang sulit dijangkau.
“Mudah-mudahan Tuhan menunjukkan elo jalan…”
Christoper kembali melepas desah resahnya yang tertahan sekian lama. Tetapi tiba-tiba ia melompat karena teringat sesuatu yang penting.
“Say,
jangan lupa loh, bulan depan kita ujian akhir. Elo juga harus konsen ke sana,
jangan sampai gak.”
Zastan
melirik Christoper yang dengan cueknya memikirkan hal sepele itu ketimbang
keselamatan diri mereka berlima. “”Tenang deh say… elo lakukan satu-satu …
pelan-pelan. Take your time. Gue sama
Reyna pasti bantu elo. Kita berdua janji kalo kita bakalan nemenin elo sampai
masalah ini selesai. Ya, kan, Reyn?” Zastan menengadahkan wajahnya ke langit. Ia
membayangkan Reyna, kekasihnya yang sudah lama meninggal mendengar apa yang ia
ucapkan barusan. Ia yakin Reyna masih berada di sekitar mereka dan selalu
membantu di saat sahabat-sahabatnya itu mengalami kesulitan.
“Reyn?
ELO KENAPA?” Christoper mendorong pundak Zastan mencoba menyadarkannya kalau
Reyna sudah lama meninggal dan tidak bisa membantu mereka lagi. “Kita yakin kan
Kun bisa ngatasin masalah ini?” lanjutnya dengan penuh semangat.
Kuncoro
menggerakkan tangannya supaya kedua sahabatnya itu diam. Ia merasakan ada
sekelabat cahaya melintas di depan mereka. Christoper dan Zastan serentak tak
bergerak, secara perlahan ketiganya menyatukan tangan mereka satu sama lain,
dan dalam waktu sekian detik ketiganya tiba-tiba tidak tampak oleh mata,
melebur menjadi bayangan putih seperti kabut yang tembus pandang. Sementara
sekelebat cahaya yang merupakan jelmaan dari salah seorang pria pembunuh Mr. Carlos tadi kebingungan. Ia yang semula
merasa mendengar suara-suara dari dalam lorong kemudian berbalik, dan berlalu
di balik kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar