CABIK LENAMU
Aku lelah mengembara.
Persinggahanku selalu sama. Laki-laki dengan beribu keinginan, beribu tuntutan
dan aturan yang memuakkan. Sedangkan mereka hanya mampu memberikan satu hal
padaku. Uang.
Setiap senyum dan kecup yang kuberikan, kulakukan semua
demi uang. Setiap malam yang kuhabiskan bersama mereka, kulakukan demi beberapa
lembar rupiah. Meski kadang lusuh. Tak mengapa asalkan lembaran itu masih
berlaku dan bisa mengganjal perutku. Setidaknya untuk malam itu.
Malam kembali menyambutku dengan sepenggal bulan yang
bertengger malas. Seperti aku, yang tidak pernah berharap malam datang dengan
lekas. Aku masih ingin menikmati siang dan teriknya. Panas dan terangnya. Aku
tidak ingin ada malam, kecuali malam itu dingin dan ramai. Aku tidak ingin
melewati malam, kecuali malam itu bisa membawaku menjauh dari sini.
Aku merapatkan punggungku ke dinding yang dingin. Aku
suka dinding tembok kokoh yang dingin ini. Setiap kali aku merasa pusing, aku
selalu menempelkan jidatku ke sana. Terapi kompres panas yang aneh menurutku,
tetapi sangat mujarab. Walaupun ruangan ini hingar bingar oleh music disco,
obrolan dan teriakan histeris para pengunjung, tetapi menyandarkan tubuh ke
dinding ini membuatku merasa jauh dari tempatku berada. Seolah menembus ke
dalam ruang yang ada di dalam dinding itu. Ruang adsurb yang kerap aku berharap bisa berada di dalamnya. Menjauh
dari kehidupanku yang nista.
“Udah ketemu Nando, May?” Alicia melempar sekotak rokok
ke atas meja. Lalu ia menyalakan sebatang dan melepas kepulnya ke udara. Bibirnya
yang merah meresapi setiap hisapan rokok beraroma rasa mint itu.
Aku menggeleng lemah. Malas rasanya kalau harus terus
melakukan hal yang sama.: menemui laki-laki itu sebelum menjalankan tugasku
setiap malam, lalu menemuinya kembali setelah semua urusan selesai. Dan kadang
malah Nando memintaku untuk tinggal sejenak, menemaninya minum kopi, kemudian
menina-bobokannya seperti anak kecil.
“Cari dulu, gih.
Bisa berabe kalau si bos nggak dikasi jatah duluan,” celoteh Alicia sambil
menghentak-hentakkan kepalanya mengikuti irama musik disko yang sudah tidak uptodate itu.
Aku berdiri malas. Meninggalkan meja dengan setengah
gelas orange juice dan Alicia yang sedang menatap DJ baru di ujung sana.
“Halo manis….” seorang cowok yang sudah kukenal baik
menyapaku sambil mendaratkan kecupan hangat di pipiku. Aku tidak bisa
menampiknya kecuali kalau aku siap diperlakukan kasar oleh mereka.
Ruang pengap ini tidak memberikan banyak udara segar ke
dalam otak manusia. Sehingga dengan mudah kita korslet dan melakukan hal-hal yang tak pernah terpikir sekalipun.
Aku yang hidup dalam remang lampu club
setiap malam mungkin sudah terbiasa untuk tidak menerapkan aturan apapun dalam
hidupku. Termasuk membiarkan siapa saja yang boleh dengan leluasa menciumku, atau meraba tubuhku. Semua
dibiarkan berjalan sebagaimana otak saat itu berpikir, dan hati kapanpun
merasa. Atau hasrat lain yang justru berbicara.
Musik yang
menghentak kembali menyadarkanku, di mana saat ini aku berdiri. Tawa renyah
dari sepasang kekasih yang saling berangkulan mengusik naluriku untuk segera
meninggalkan tempat ini. Mencari Nando.
-o0o-
Nando
adalah laki-laki yang membawaku hijrah dari kampung kecil di daerah Garut
menuju ibukota yang megah. Dari rumah panggung yang sederhana menuju sebuah
apartemen mewah dengan fasilitas modern.. Dari kehidupan desa yang ndeso ke gemerlapnya metropolitan yang
menawarkan sejuta pesona. Ialah laki-laki yang juga membuatku berubah dari
kehidupan yang alim, suci dan polos, pada kehidupan yang benar-benar polos
karena kerap aku harus menanggalkan ke-alim-anku, melepaskan ke-suci-anku,
bahkan mengumbar harga diri karena kesucian itu sendiri entah sudah ke mana.
Yah, Nando. Laki-laki dengan lesung pipi dan senyum yang
menawan itu telah membiusku dengan janji-janji yang membuatku hilang kesadaran
dan termakan bujuknya. Tatap mata dengan alis tebal yang saling bertaut
miliknya benar-benar telah menghipnotisku untuk tidak menolak sedikitpun
ajakannya menuju sebuah –yang ia istilahkan- petualangan seru hidup baru. Aku
yang masih bau kencur pun tunduk. Dan tanpa paksaan, kedua orangtuaku
mengizinkan aku untuk menjadi seorang pramuniaga toko pakaian terkenal yang
Nando miliki di Jakarta.
Awalnya memang aku dibawa Nando ke sebuah butik mewah di
sebuah mall besar. Lalu aku diperkenalkan kepada beberapa karyawan butik itu
yang kemudian aku tahu kalau mereka itu juga adalah korban seperti aku. Butik
itu memang benar miliknya, tepatnya, milik tantenya yang dipercayakan kepada
Nando. Butik yang cukup terkenal karena menjual koleksi-koleksi busana kelas
atas yang sangat exclusive, dari designer-designer kenamaan dalam dan luar
negeri. Aku sempat mendapatkan training
beberapa hari sebelum kemudian Nando, sang bos, memanggilku untuk pindah ke
bagian lain yang lebih menarik dan menantang. Konon katanya aku akan lebih
cocok jika dipindahkan ke bagian itu.
Ternyata bagian yang ia sebut lebih menarik dan menantang
buat aku adalah menjadi seorang customer
service di sebuah spa, yang juga milik keluarganya. Pada awalnya pekerjaan
di tempat ini memang sangat mengesankan. Aku merasa lebih sibuk dibandingkan
ketika aku kerja di butik itu. Banyak pengunjung spa, terutama kaum adam yang
menjadi langganan yang kemudian akrab dan menjadi temanku. Beberapa diantaranya
bahkan terang-terangan menyatakan rasa sukanya padaku.
Tapi hidupku sudah dikontrak mati oleh Nando. Aku pun
dipindahkan kembali ke bagian lain yang yang sama sekali berbeda. Di sinilah
petualangan baru itu dimulai.
“Tugas baru kamu, hanya menemani laki-laki yang aku
kenalkan sama kamu. Minum, menemani mereka melantai, atau apa saja,” jelas
Nando membuat keningku berkerut.
“Apa saja?” ulangku berharap Nando bisa mendeskripsikan
lebih detail pekerja ‘apa saja’ apakah itu.
Nando tersenyum. Senyum yang mengundangku curiga dan
membuatku perasaanku mendadak tidak nyaman berada di dekatnya. Bau alkohol
menyeruak dari mulutnya. Aku tidak tahu sudah berapa gelas ia habiskan minuman
itu sebelum ia mengutarakan hal ini padaku.
“Yah.. semuanya… Nanti juga kamu akan tahu. Sekarang
tolong antar aku pulang dulu,” Nando merangkul pundakku dengan sempoyongan.
Sambil menghela napas berat, aku terpaksa menuruti
perintahnya. Membopong tubuhnya yang kekar dan mengantarnya sampai ke
apartemennya.
Begitu tiba di kamarnya, tubuh Nando langsung ambruk.
Alkohol sudah merenggut kesadarannya. Bahkan ia tidak sadar kalau aku sudah dua
kali terkena muntahannya. Aku terpaksa melepas bajuku dan mengganti dengan
piyama yang ada di lemari Nando.
Nando sudah tertidur saat aku selesai mengganti pakaianku
dan bingung harus berbuat apa. Kutatap wajah tampan Nando saat pulas. Lelah
menggurat di wajahnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Mengapa ia
memindahkan pekerjaanku? Mengapa aku harus berganti profesi menjadi seorang
pelayan bar yang kerjanya menemani tamu laki-laki. Definisi ‘menemani’ pun
belum aku pahami dengan tepat.
Bau alkohol kembali menyeruak dari tubuh Nando. Aku
refleks melepas pakaian Nando dan membersihkan badannya dengan handuk hangat.
Aku belum pernah melakukan hal ini, tetapi membantu Nando dalam keadaan seperti
ini menjadi pertimbangan khususku. Aku berharap ia segera sadar dan membiarkan
aku pulang. Aku tidak ingin besok pagi ia masih dalam keadaan mabuk dan
kebingungan atau mengkhawatirkan keadaanku.
Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu. Nando yang
tiba-tiba menggumam setengah sadar menarikku ke dalam pelukannya. Dan aku pun
larut dalam buai malam yang dingin. Sejak saat itulah kerapkali aku seperti
tidak ingin menjauh dari Nando. Mulanya aku pikir Nando memperlakukan aku
seperti ia memperlakukan seorang perempuan yang ia sukai. Tetapi aku keliru.
Nando justru menjualku pada setiap laki-laki yang
membutuhkan teman kencan. Aku berusaha menolak, tetapi perlakuan kasar Nando
membuat aku tidak bisa menghindarinya. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, aku
harus melayani Nando terlebih dahulu sebelum aku melayani para tamunya setiap
malam.
Aku merasa sangat terhina dengan perlakuan Nando itu. Tetapi apa yang bisa kulakukan. Nando
memiliki banyak sekali teman yang bisa saja mencelakaiku jika aku berusaha lari
dan tidak melaksanakan tugasku dengan baik. Dan aku tidak mau mati konyol
karenanya.
-o0o-
Aku mengetuk pintu kamar
itu. Kamar yang berada di belakang pub
malam tempatku bekerja. Sebuah suara menyuruhku menunggu. Dan tidak lama
kemudian pintu itu terbuka. Seulas senyum mengembang menyambut kehadiranku.
Senyum yang selama ini membuat perutku mendadak mual, karena setiap kali itu
pula aku teringat bagaimana senyum itu memikat hatiku sekaligus
menghancurkannya dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki itu menatapku heran. “Kenapa? Masuklah.”
Jantungku berdetak tak karuan setiap kali menatap mata
itu. Sorot mata yang tajam, yang bisa menguliti tubuhmu kapan ia mau. Sorot
mata yang bisa menghipnotis dan membuat siapapun bertekuk lutut menuruti perintahnya.
Sorot mata yang telah melambungkan anganku ke awan, kemudian menjatuhkannya
hingga dasar jurang yang paling dalam. Sorot mata yang melenakan. Tapi kali ini
aku tidak boleh terpedaya oleh tatapnya yang menipu. Aku tidak boleh larut
dalam buainya yang menjijikan.
Aku masuk kamar itu tanpa menjawab pertanyaannya.
“Nando, malam ini aku lelah. Aku ingin istirahat,” pintaku mengulur-ulur waktuku.
“Istirahat? Bagus, ya!” Bentak Nando dengan tatapan yang
berubah beringas. “Kamu tahu berapa banyak sudah aku habiskan untuk membiayai
hidup kamu? Dan sekarang kamu minta istirahat?” suaranya meninggi.
“Tapi…”
Plakkk.. sebuah tamparan keras mendarat di pipipku. Sakit
dan perih menjalar bukan saja di wajahku
yang terkena pukulan tangan Nando yang kekar, tetapi juga hatiku meringis
karenanya.
“Ya, sudah, kalau begitu kamu temani saya semalaman
suntuk,” mendadak Nando melunak. Entah apa yang ada dalam benaknya. Aku
berpikir apa yang akan dilakukannya karena permintaanku yang sudah sering
membuatnya jengkel ini tidak pernah jera aku ajukan.
Menemaninya semalaman? Itu sama buruknya dengan melayani
dua atau tiga tamu dalam semalam.
Tetapi aku mengangguk. Tidak ada pilihan lain yang lebih
baik.
Kepalaku berputar dengan puluhan rencana untuk menyudahi
semuanya. Yah,aku ingin menyudahi nasibku ini. Aku ingin berhenti mengotori
diriku dengan berbagai nista yang sebenarnya bisa aku hindari. Dan aku berhenti
pada sebuah pilihan. Aku, atau Nando yang harus ‘selesai’?.
Malam perlahan merapat. Kesunyian menyergapku. Setelah
apa yang aku dan Nando lakukan, hasrat untuk memulai rencanaku kembali
bergelora. Aku bangkit perlahan, mengamati tubuh Nando yang terbaring lemas di
sampingku. Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu. Aku beranjak dari
tempat tidur dan mengendap-endap ke dapur kecil yang ada dalam kamar ini.
Pikiranku hanya satu. Benda itu.
Aku menarik benda itu dari tempatnya. Sebuah kilatan
cahaya menyilaukan mataku. Benda kecil itu sudah pasti sangat tajam. Cukup
tajam untuk mengiris daging hingga tipis sebelum dipanggang dan dijadikan
lapisan dalam roti sarapanku. Bahkan hanya dengan sekali libas, kabel telpon
bisa putus sekaligus.
Aku menatap tubuh Nando yang terkulai lemas. Ia sudah
mendapatkan jatahnya malam ini. Dan bahkan ia memintaku melayaninya semalam
penuh, sebagai pengganti atas permintaanku untuk cuti malam ini. Setelah
menenggak beberapa gelas minuman beralkohol dan melampiaskan syahwatnya, Nando
tampak kelelahan luar biasa, Inilah saat
yang tepat untukku. Untuk mengakhiri semuanya. Mengakhiri sesuatu yang selama
ini mendera hidupku dan menjadikan mimpi burukku setiap malam.
Perlahan aku menggoreskan benda tajam berkilat itu pada
pergelangan tangan kiri Nando. Darah segar merembes, tetapi itu tidak membuat
Nando terbangun. Tubuhnya merespon dengan gelisah. Dan dalam hitungan detik aku
berhasil melakukan hal yang sama pada pergelangan tangan Nando yang lain.
Darahpun membanjiri seprai dengan cepat. Nando tampak tidak merasakan apapun.
Alkohol yang ia tenggak sudah membuatnya mati rasa. Dan aku berharap ia akan
mati lemas karena kehabisan darah.
Tubuh itu benar-benar terlena. Nando yang sudah
mencabik-cabik harga diriku selama ini tengah menikmati masa-masa terakhirnya
yang tidak ia sadari. Ia bahkan tidak tahu kalau mimpinya malam ini adalah
sebuah kenyataan mengerikan yang akan ia temui dalam dunianya yang baru. Dunia
kematian.
-o0o-
Aku mengepulkan asap
tebal ke udara. Bulatan asap yang tercipta kemudian memudar tertiup angin.
Gerimis menemani sepiku. Dingin. Tetapi tubuhku sama sekali tidak menggigil.
Aku merasa tenang. Bebas. Tidak ada lagi beban yang menumpuk dalam pundakku.
Aku tidak tahu apakah semua ini merupakan efek setelah apa yang aku lakukan
pada Nando beberapa waktu lalu. Atau malam benar-benar sedang gelisah karena
seseorang tengah meregang nyawa tanpa ia sadari sama sekali. Sebegitu parahkah
dampak minuman keras dan cumbuanku sehingga membuat lelaki itu benar-benar
terlena? Aku tidak peduli bagaimana semua ini harus berakhir seperti ini. Aku
bahkan tidak peduli bagaimana nasibku setelah ini.
Yang aku inginkan hanya satu. Aku harus mengakhiri
semuanya. Bagaimanapun caranya. Dan ini adalah balasan setimpal yang bisa
laki-laki itu terima.
15 Maret 2012
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar