CUPLIKAN CERPENKU
Untuk diterbitkan bersama cerpen lain karya sahabat Pustaka Inspirasiku dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2012
.................................
-o0o-
Damar
mencengkram kerah bajunya sendiri. Geram
ia karena tidak mampu melakukan hal itu pada orang lain, seperti yang orang
lain seringkali lakukan pada dirinya. Matanya tetap terpaku pada seonggok batu yang
lelah dipermainkannya hingga terkapar di
tanah tanpa pernah menyentuh sasaran yang hendak ia tumpahkan kemarahan
padanya.
Angin berdesir menyapu keringat
yang meleleh pasrah. Masih berkilat bara di matanya yang siap meletupkan api yang bisa membakar apa
saja yang dilaluinya. Ia tidak tahu dengan cara apa ia bisa mencairkan gejolak
yang mengoyak harga dirinya yang hancur terinjak. Dengan cara bagaimana ia bisa memulihkan kembali
kepercayaan ayah dan ibunya setelah semua yang ia lakukan, selalu saja salah di
mata mereka. Damar mengatupkan bibir, mengulum kecewa dan perih dalam waktu
yang bersamaan.
“Pokoknya ayah tidak mau tahu.
Kembalikan semua yang sudah kamu ambil
dari tas
kerja ayah,
atau ….” Aidil tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.
Nyaris telapak tangannya yang kekar melayang ke pipi Damar kalau saja Rista tidak segera
menghalanginya.
“Tampar saja Ibu, Ayah! Mestinya Ayah membela
anak kita yang belum tentu bersalah, bukan malah memojokkannya seperti ini,” urai air mata Rista berjatuhan seperti
rintik hujan yang tumpah dari langit. Ia sudah tak tahan melihat perlakuan
suaminya yang kerap kali ringan tangan dalam menyelesaikan masalah anaknya yang
baru dua belas tahun itu. Ia sadar benar kalau selama ini Damar selalu
menimbulkan masalah dalam keluarganya. Kenakalan dan tingkahnya yang selalu
membangkang sangat sulit dikendalikan. Dan semua ini bukan karena mereka, kedua
orangtuanya lalai dalam membimbingnya. Tidak kurang ajaran moral dan agama
ditanamkan sejak kecil kepada Damar, juga Sandra adiknya. Tiada henti rasanya
kasih sayang dan perhatian dicurahkan kepada kedua anak mereka dengan harapan
keduanya bisa menjadi anak yang manut kepada orangtua dan tidak berbuat hal
buruk di lingkungan masyarakat. Ada yang salah dalam pergaulan anak ini. Ada
yang tidak sanggup Aidil dan Rista kendalikan saat Damar berada di luar rumah.
Dan ini salah siapa kalau memang ada pihak yang harus disalahkan. Tetapi apakah
harus dengan cara kekerasan seperti ini Aidil menyelesaikannya?
“Kamu memang terlalu memanjakan
anakmu ini. Lihat.. lihat kelakuannya sekarang, sama ayahnya sendiri, mana
pernah dia takut! Dasar pembangkang!” Aidil membanting pintu kamar dan meninggalkan
istri dan anaknya itu terpaku dalam kebisuan. Ia lalu menenggelamkan dirinya dalam perasaan
hancur seorang ayah yang tidak sanggup mendidik anaknya dengan benar. Aidil
tahu, anak lelaki seumur Damar sedang senang-senangnya berpetualang dengan
banyak hal. Tetapi membiarkan dirinya tersesat karena peranan ayah yang tidak
berada pada tempatnya membuat Aidil merasa semua ini menjadi kesalahannya semata.
Menjadi tanggung jawabnya. Ia merasa dirinya telah gagal dalam mendidik dan
membesarkan Damar.
Rista memeluk Damar yang
mematung tanpa sepatahpun kata terucap dari bibirnya. Anak itu seolah sedang
mencerna semua kebencian yang tumpah dari mulut ayahnya dan membiarkan rasa itu mendarah daging dalam jiwanya,
mematenkan dirinya sebagai anak pembangkang seperti yang selalu ayahnya
teriakkan. Damar melepas pelukan Rista dan berlari meninggalkan ibunya yang
berusaha menggapainya lemah.
Angin kembali menyentuh kulit
pipinya yang menghitam terbakar terik. Rambut jagungnya menari riang seolah
hanya anginlah yang bersedia menggelitik dan mengajaknya bermain. Hanya angin
yang sanggup mengulas senyum dari bibir keringnya dan membiarkan tawa terurai
saat ia melihat bunga-bunga kapas ilalang berterbangan. Matanya mengedipkan sebuah harapan.
Berjatuhanlah kristal-kristal asa itu, bermuara pada lekuk kakinya yang
menganga, kemudian menghilang, melebur bersama darah yang mengering, dan
meresap, menindih luka lain yang tak terobati.
Sebuah botol berisi cairan
beraroma menyengat ditimangnya. Liurnya ditelan paksa, sejenak sebelum ia
membuka tutup botol itu dan menikmati baunya. Matanya kembali berair. Kesedihan
sudah memuncak, tetapi bukan karena itu derai menganak sungai, beriak dari
lautan seperti tsunami yang menghantam daratan. Bukan lantaran amarah yang
menggunung dan siap memuntahkan lavanya ke segala arah. Tetapi kedamaian
tercipta setelah semua asa menguap seperti aroma cairan dalam botol itu yang
dengan sekali siram sanggup mengusir segala kuman yang bahkan bersembunyi di
balik kilap. Menghapus dosa yang tak mungkin termaafkan. Damar tersenyum.
Senyum yang kemudian membawanya menuju sebuah tempat yang tak pernah sanggup
dijangkaunya.
-o0o-
.......................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar