CINTA TANPA KATA
Aku kembali menatap lentik bulu
mata itu. Pipi tembem dan bibir mungilnya masih bergerak seolah sedang
menikmati susu yang biasa ia hisap dari puting ibunya. Anak itu sudah terlelap
dalam mimpi masa kanak-kanaknya yang indah. Dan aku hanya akan bisa tidur
setelah puas memandangi bayi lucu itu dan memastikan ia aman dalam sleeping box-nya.
Bayi
perempuan mungil, cucu pertamaku itu sehat dan menggemaskan. Ia terlahir normal
dari rahim anak perempuanku yang tuna wicara. Begitupun ayah bayi itu,
menantuku, juga memiliki kekurangan yang sama. Keduanya bertemu dalam sebuah club olahraga yang mereka sama-sama
tekuni. Cinta kemudian tumbuh melalui bahasa mereka yang kerap kali tidak aku
pahami.
“Lusy
suka sama Sapto?” tanyaku sebelum pernikahan mereka berlangsung beberapa bulan
kemudian.
Anakku
mengangguk. Binar di matanya memancarkan jawaban dari pertanyaan yang aku
ajukan. Dalam bahasa isyarat ia mengatakan kalau Sapto juga mencintainya. Pada
awalnya aku ragu, bagaimana mereka bisa menyelami perasaan cinta itu satu sama
lain sementara mereka hanya bicara melalui gerakan tangan dan bibir dengan
sedikit suara terbata. Padahal aku sendiri, terkadang masih agak sulit memahami
apa yang Lusy bicarakan.
Lusy
menggenggam tanganku, memohon dukungan. Aku
mengangguk seraya mengecup keningnya sebagai bentuk kebahagiaan yang aku
rasakan. Aku memang merasa sangat bahagia mendapati puteriku yang sudah
beranjak dewasa telah menemukan tambatan hatinya. Aku bahagia atas kebahagiaan
yang telah diraih anakku.
Beberapa
bulan kemudian Lusy dan Sapto menikah dalam acara yang cukup sederhana sesuai
dengan keinginan mereka. Bagi mereka
–dan kami pun sependapat- acara resepsi yang sederhana sama sakralnya dengan
acara yang digelar besar-besaran. Yang penting adalah doa dari semua undangan.
Kemudian,
atas permintaan kami, Lusy dan Sapto tinggal bersama kami. Sapto ternyata
menantu yang baik dan sopan. Kami mencintainya seperti kami mencintai Lusy anak
kami sendiri. Aku bahkan bisa memastikan kalau cinta Sapto kepada Lusy begitu
besar.
“I Love You,” dengan gerak bibir dan
tangan, aku melihat Sapto mengutarakan isi hatinya kepada Lusy ketika
mengetahui Lusy mulai mengandung anak mereka. Kebahagian semakin sempurna.
Lusy
menitikkan air mata bahagianya. Tuhan telah mempertemukan ia dengan seorang
lelaki penuh tanggung jawab yang mencintainya sepenuh hati. Sapto telah
memberikan Lusy bukan saja cinta dan rasa percaya diri, tetapi ia telah membuat
Lusy menjadi seorang ibu dari bayi cantik yang dilahirkannya sembilan bulan
kemudian.
Aku
semakin yakin bahwa cinta memang tidak memerlukan kata-kata untuk disampaikan
secara verbal. Bahasa hati jauh lebih bermakna dan lebih mudah dipahami,
ketimbang kata-kata yang bisa saja berupa dusta belaka.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar