HAPPINESS ISLAND
“Pokoknya, Mami tidak
setuju!” Puncak ubun-ubun Christine nyaris meledak.
Kalau saja tensi darahnya sedang tinggi, mungkin
Christine akan langsung pingsan, koma, atau bahkan mendadak terkena serangan
jantung begitu mendengar apa yang baru saja Dean utarakan. Anaknya itu pernah
menyampaikan hal yang sama beberapa waktu
yang lalu. Tapi saat itu suasana hati Christine mungkin tidak sekacau
saat ini, sehingga ia tidak begitu menanggapi omongan Dean, yang justru
dianggapnya sebagai sebuah kelakar seorang anak bau kencur. Tapi kali ini,
Christine tidak menemukan nada guyon dalam suara Dean. Sinar mata Dean yang
meredup menunjukkan kesungguhan. Itulah yang membuat Christine bersikukuh pada
pendiriannya.
“Kalau sampai kamu menikah dengan perempuan itu, Mami
akan pergi!” Ancam Christine menjadi ultimatum terakhirnya.
Dean menarik napas berat. Tubuhnya menegang. Kepalanya
terasa baru saja dihantam palu godam saat ia sedang lengah. Dean melempar
pandangannya pada daun-daun yang tertiup angin di luar jendela. Pada
burung-burung yang hinggap dan menghisap putik sari bunga-bunga yang tumbuh di
beranda rumahnya. Ia mencoba membuang jauh-jauh pikiran buruk tentang akibat
yang akan terjadi pada kesehatan maminya kalau saja ia tetap memaksakan
hubungannya dengan Felia.
“Iya, Mam.” Lalu ia tersenyum. Senyum yang terpaksa ia
ulas demi meredakan amarah maminya.
-o0o-
Langit mendadak muram.
Semuram wajah Dean yang sejak siang tadi ditekuk, seolah tengah menyembunyikan
sebuah kabar duka. Memang tidak sekelam kabar duka yang akan membuat siapapun
miris mendengarnya, tetapi petir yang membelah awan sudah cukup menjadi
pertanda akan adanya badai di hati Dean.
Apakah salah kalau
aku mencintainya?. Ratusan kali Dean menggumamkan pertanyaan itu. Ia
seorang laki-laki, dan Felia seorang perempuan. Mestinya Mami lega bahwa Dean, anak lelaki Mami satu-satunya ini
‘normal’. Lalu kenapa Mami malah menentangnya habis-habisan?
Apakah karena perbedaan usia antara Dean dan Felia yang
teramat jauh? Dean masih duapuluh tiga tahun, sedangkan Felia sudah hampir
kepala empat. Tapi apakah salah, kalau Dean mencintai seorang perempuan yang
usianya terpaut jauh dengannya? Apakah dilarang kalau Dean memelihara rasa itu
tetap tumbuh dan berkembang dalam dirinya?
Kenapa?
Kenapa cinta harus dibatasi oleh kasta, bahasa, dan
budaya. Apakah cinta tidak akan bisa
bersatu jika terdapat perbedaan bangsa dan agama. Apakah cinta tidak akan kekal
jika kita terpaut usia begitu jauh? Apakah masih akan ada cinta saat kita renta
dan sudah tidak memiliki apapun untuk diperbandingkan?
Dean mencoba memejamkan sepasang mata yang terus
menerawang ke berbagai pelosok kenangan
dan harapan yang saling tindih. Tapi mata itu tetap terjaga, seperti cinta yang
selalu setia meskipun terkadang cibir tak suka mengiang di telinganya.
-o0o-
“Mami kamu benar, Dean.
Aku terlalu tua untuk kamu jadikan pasangan hidupmu.” Dengan lembut, Felia berusaha meminta Dean menerima keputusan
maminya, meskipun ia sendiri merasa kalut. Felia bahkan tidak yakin, bagaimana
ia bisa mengurai benang cinta yang sudah ia rajut bersama Dean, seorang calon
dokter yang menjadi kebanggan keluarganya. Ke mana bisa ia hempaskan kenangan
manis yang ia jalin sekian lama bersama
Dean.
Dean menatap mata Felia. Di kedalaman mata bening itu ia
menemukan sebuah keraguan. Apakah Felia juga akan merasakan kehilangan yang
sama dengan dirinya jika hubungan cinta mereka berakhir begitu saja.
Tapi cinta memang bukan sesuatu yang harus dipaksakan.
Cinta hanya akan berlayar di samudra yang sama, dan akan bertemu di pelabuhan
yang sama pula.
“Felia, bisakah kita kesampingkan masalah perbedaan usia
kita. Bukankah banyak pasangan dengan perbedaan usia yang jauh tetapi kehidupan
keluarga mereka baik-baik saja?”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan, Dean?”
“Kita tetap harus menikah. Kita akan meninggalkan kota
ini.” Dean menggenggam jemari Felia. Bersama Felia, ia harus memperjuangkan
cinta mereka. Apapun yang terjadi.
“Bagaimana dengan mami kamu?”
Ucapan Felia menyadarkan Dean bahwa masih ada perempuan
lain dalam hidup Dean yang juga mencintainya dan menentang cintanya dengan
Felia. Dean tidak mungkin bisa mengabaikan cinta seorang perempuan yang dari
rahimnya ia dilahirkan. Perempuan yang memberinya susu dan kehidupan dengan
segenap cintanya sepanjang hayat. Dean tidak mungkin mengingkari cinta seorang
ibu yang tak pernah lekang dimakan waktu dan lalu menukarnya dengan cinta Felia
yang baru dikenalnya dua tahun belakangan saja.
Dean terdiam. Hatinya tidak mungkin memilih salah satu
dari keduanya : Felia, atau maminya. Bagi Dean, Christine bukan saja seorang
ibu yang telah melahirkannya, melainkan juga seorang sahabat yang selalu
membantu Dean menyelesaikan banyak hal dalam hidupnya. Maminya yang menuntun
Dean dari lorong gelap saat ia terjebak dan ketakutan. Mami yang memayungi Dean
saat hujan nyaris mengguyur tubuhnya. Mami yang menyelimuti Dean saat ia
menggigil kedinginan.
Sedangkan Felia, ia bukan saja perempuan istimewa yang
telah memberinya cinta dengan tulus. Tidak seperti cinta kebanyakan perempuan
lain yang hanya menginginkan sesuatu dari Dean tanpa bisa memberikan apapun.
Felia yang menyadarkan Dean bahwa cinta bukan sesuatu yang ditunggu atau
sekedar dicari, tetapi harus diperjuangkan dengan segenap kekuatan yang kita
miliki. Felia telah membangunkan Dean saat ia terjatuh dan terpuruk.
Dean tidak ingin maminya pergi jika ia memaksakan diri
menikahi Felia. Tetapi ia juga tidak ingin membiarkan cinta yang sudah ia
bangun bersama Felia lepas begitu saja.
Lalu apakah ‘harus’ Dean memilih salah satu diantara
kedua perempuan yang telah menerangi hati dan jiwanya itu?
-o0o-
Christine baru menutup
pembicaraannya dengan seseorang dan meletakkan handphonenya di atas meja saat
Dean melintas di hadapannya. Wajah lusuh Dean mengundangnya untuk menghentikan
langkah Dean dan mengajaknya bicara.
“Dean, kenapa kamu? Ada masalah di rumah sakit?” Sejenak
Mami menunda hal penting yang sedari tadi hendak disampaikannya. Apalagi masih
hangat obrolan Cristine dengan Maria, sahabatnya di telepon barusan.
“Biasa aja, Mam. Tapi hari ini memang agak kurang
konsentrasi dalam menangani pasien, jadi beberapa kali Dean mendapat teguran
dari dokter setelah mendengar pasien-pasien itu komplain,” jelas Dean.
“Apa kamu masih terus memikirkan perempuan itu?” nada
suara Christine berubah tegas.
“Tidak, Mam,” elak Dean membuat rasa curiga Christine
sedikit menguap.
Yah, Christine memang
kerapkali curiga jika melihat sikap Dean yang tiba-tiba berubah. Pasti karena
perempuan yang telah memengaruhi hidup Dean itu. Perempuan tua yang tidak tahu
diri, yang bisa-bisanya mencintai laki-laki yang usianya terpaut jauh sekali
dengannya. Tadi pun Christine sempat berpikir kalau Dean masih berhubungan
dengan Felia.
“Bagus deh. Oh ya, Dean, tadi Mami ditelpon sama Tante
Maria. Katanya, Nadia, anak kedua Tante Maria, tahun ini juga akan bertugas
menjadi coass di rumah sakit tempat
kamu praktek. Jadi selain kalian bisa saling kenal, sesama coass kalian juga bisa saling berbagi ilmu. Yah, syukur-syukur
kalau kalian berjodoh..”
“Mami apa-apaan sih, pakai acara jodoh-jodohan segala,”
protes Dean.
“Mami tidak menjodohkan kalian. Kalian kan sudah saling
kenal. Kamu ingat tidak waktu Nadya merayakan ulang tahun ketujuh belasnya, dia
kan terus-menerus memperhatikan kamu. Sepertinya, dia suka sama kamu. Jadi
boleh dong mami menaruh harapan sama kalian, yang sama-sama masih muda dan
punya masa depan cerah pula untuk lebih mengenal satu sama lain. Mami akan
senang kalau bisa besanan dengan sahabat mami sejak sekolah dulu.”
“Tuh, kan,” Dean memberenggut. Tapi ia segera memeluk
maminya, untuk mengalihkan perhatiannya dari topik pembicaraan yang membuatnya
bosan, sembari mencoba mencairkan suasana hatinya yang kembali galau. Felia,
sedang apa kamu sekarang. Kalau Mami menginginkan seorang menantu seorang
dokter, kenapa ia tidak menyetujui saja hubunganku dengan Felia, yang juga
seorang dokter, specialist bahkan.
-o0o-
Satu tahun berlalu sejak
Dean memutuskan hubungannya dengan Felia. Dean berusaha menyimpan kenangan
bersama Felia selama ia bertugas menjadi coass-nya
di rumah sakit tempat Felia praktek. Sulit memang, melepas ikatan cinta secara
terpaksa dengan seseorang, sedangkan kita
masih harus bertemu dengan orang itu setiap hari. Itulah yang terjadi
dengan Dean dan Felia. Hanya tugas kedokteran yang selalu mereka pegang secara
professional saja yang menjadi batasan mereka. Semua ini mereka lakukan demi
kesehatan mami Dean.
Tapi kesehatan Christine tidak kemudian membaik. Seiring
dengan pertambahan usia, Christine sekarang lebih sering sakit. Apalagi kalau
ia sedang memikirkan Dean yang masih saja belum menunjukkan tanda-tanda
menyukai Nadia atau perempuan lainnya. Yang ada Dean semakin menutup diri dan
selalu menghindari maminya jika ditanya tentang hubungannya dengan perempuan
selepas gagalnya rencana pernikahannya dengan Felia.
Semula Christine curiga kalau Dean masih saja menjalin
hubungan dengan Felia. Tetapi itu tidak terbukti sama sekali karena selama Dean
ada di rumah, Christine tidak pernah memergoki Dean sedang menelpon siapapun,
terlebih perempuan, atau bahkan Felia. Meskipun Felia sama-sama berfrofesi sebagai
seorang dokter, tetapi Mami tidak ingin Dean menikah dengan perempuan yang
usianya sudah hampir senja itu. Tetapi melihat Dean yang selalu mengurung diri
di kamar, kekhawatiran Christine semakin menjadi-jadi. Kekhwatiran inilah yang
kemudian membuat kesehatannya memburuk.
Sampai pada puncaknya Christine jatuh sakit akibat
tensinya yang naik tajam. Ia pun harus
menjalani perawatan selama beberapa hari di rumah sakit. Christine mendapat
perawatan paling istimewa karena dr. Dean Prayoga, anak semata wayangnya juga
bertugas di rumah sakit itu.
Dua hari dirawat di rumah sakit membuat kesehatan
Christine membaik. Ia mulai banyak menemukan hal baru tentang Dean dan Felia
yang selama ini tidak ia ketahui.
Beberapa coass yang tertangkap
berbisik-bisik membicarakan dokter mereka, yaitu dr. Dean Prayoga dan dr. Felia
Indah Nugraha, yang terpaksa membatalkan rencana pernikahan mereka demi
membahagiakan sang mami. Kebesaran hati dr. Felia yang rela mundur demi
kesehatan mami dr. Dean membuat seisi
rumah sakit yang mengetahui kisah cinta mereka merasa takjub dan salut kepada
dr. Felia.
Jadi, selama ini
yang memutuskan hubungan cinta itu adalah Felia, dan bukan Dean? Apakah Dean
begitu mencintai Felia sehingga hal ini membuatnya berubah menjadi dingin? Lalu
kenapa Felia sampai sekarang masih saja melajang sejak ia memutuskan
hubungannya dengan Dean? Apakah perempuan itu juga memiliki perasaan yang sama
dengan Dean? Hati kecil Christine terus melontarkan pertanyaan yang
sepertinya sulit untuk dijawab, jika tidak kepada mereka berdua ia
menanyakannya secara langsung.
Dan Christine memang membutuhkan jawaban itu. Ia tidak
ingin menyiksa anaknya dengan batasan cinta yang ia buat sendiri. Dinding tebal
yang sulit ditembus yang telah ia bentangkan diantara Dean dan Felia membuat
kedua insan itu semakin merana. Kendati jarak diantara mereka tidak begitu
jauh, tetapi Christine yakin bayang-bayang dirinya selalu menghalau mereka
semakin jauh. Kalau saja Mahendra, papi Dean masih ada, pasti Chsitine tidak
akan sekeras ini. Christine hanya tidak ingin Dean memilih perempuan yang
salah. Perempuan yang tidak tepat untuk dijadikan pasangan hidupnya sampai tua.
Ia tidak ingin melihat anaknya bahagia dengan pasangan hidup yang ia pilih
sendiri tetapi sekaligus mengingatkan dirinya pada perasaan hancur yang pernah
ia alami dulu.
Christine menghapus setitik air yang bergulir di pipinya.
Masih tergambar jelas sosok lelaki itu. Adrian, lelaki muda yang membuatnya
tergila-gila. Dulu. Puluhan tahun silam, ia pernah sangat jatuh cinta pada
seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda daripada dirinya. Hubungan mereka
pun ditentang habis-habisan oleh kedua orangtua Christine. Dan hubungan cinta
yang telah dibangun lama pun kandas tak bersisa. Hal ini membuat Christine
frustasi berat. Sampai suatu waktu kedua orangtuanya menjodohkan dirinya dengan
Mahendra Prayoga. Perlu waktu cukup lama bagi Christine untuk bisa menumbuhkan
benih cinta di hatinya untuk Mahendra. Kendati rasa itu kemudian tumbuh dan
berkembang, terlebih setelah kehadiran Dean kecil, tetapi perasaan sakit itu
masih belum bisa sirna.
“Ibu baik-baik saja?” suara selembut peri membuyarkan
lamunan Christine. Ia menyembunyikan kesedihan dengan memupus air mata yang
berjatuhan dari matanya.
“Iya, saya baik-baik saja,” jawab Christine sambil
menatap wajah perempuan bersuara peri cantik itu. “Dokter…?”
“Saya Felia, Bu. Maaf, apa Ibu sudah lupa dengan saya?”
Felia menjabat tangan Christine sambil tetap tersenyum. Senyum yang sama yang
pernah ia ulas sewaktu Dean memperkenalkannya pada acara makan malam di rumah
Dean.
“Saya belum lupa,” balas Christine tanpa melepaskan
pandangannya pada wajah cantik yang ia tatap beberapa tahun silam, yang
kemudian selalu ia usir setiap kali berkelebat di wajahnya saat melihat binar
bola mata Dean jika sedang
membicarakannya. Setitik air mata kembali luruh.
“Saya mau pamit, Bu. Besok saya harus pindah tugas ke
rumah sakit di luar kota. Ibu cepat sembuh, ya. Beruntung sekali Ibu memiliki
anak seorang dokter, jadi kesehatan Ibu bisa terus terpantau.”
Ini adalah hari terakhir Felia bertugas di rumah sakit
itu. Rumah sakit yang juga telah membesarkan namanya sebagai seorang internis
terkenal. Rumah sakit yang juga telah mempertemukannya pada sebuah cinta sejati
dari seorang lelaki, sekaligus melepas cinta itu demi sebuah cinta yang paling
jujur dalam hidup ini. Cinta pada seorang ibu. Besok Felia sudah akan bertugas
di sebuah rumah sakit yang lebih kecil di luar kota. Ia dipercaya mengemban
tanggung jawab yang lebih besar di sana,
menyangkut kesehatan warga sekitar yang rentan tertimpa wabah penyakit. Satu
lagi bentuk pengabdian Felia dalam hidupnya.
-o0o-
“Apa yang kamu tunggu?”
Christine melempar senyum yang sudah sejak lama ia simpan untuk Dean. Dean pun
melengkungkan garis bibirnya melihat binar bola mata maminya melebar.
“Jadi Mami setuju?”
Christine mengangguk sambil memejamkan matanya dengan
tulus.
Dean memeluk maminya dengan penuh cinta dan haru. Ia
berkali-kali mengecup pipi Christine sebagai ungkapan bahagia dan rasa terima
kasihnya yang paling dalam.
Christine merasa sangat bahagia melihat Dean begitu
antusias mengejar cintanya yang telah lama kandas. Christine yakin Dean akan
mampu membawa bahtera yang karam itu ke tengah lautan dan mengarunginya bersama
Felia di sana. Mereka berdua akan berlabuh di sebuah pulau bernama Happines Island.
25 Maret 2012
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar