Kiren
memperbaiki ikatan rambut panjangnya sambil mengawasi orang-orang yang berada
di pintu keluar Bandara Hang Nadim. Tangan kirinya memegang trolley bag Louise Vitton, sedangkan
yang kanan menenteng tas mungil dengan merk yang sama. Gadis itu mendesah.
Membuang lelah. Batam sangat berbeda dengan kota kelahirannya, Bandung.
Prakiraan cuaca dunia menyebutkan, dengan suhu 24-30 derajat celcius, hari ini akan
turun hujan di Batam. Tapi tak ada tanda-tanda mendung di langit. Panas
membekap udara sekitar Kiren berdiri. Tubuh gadis berkulit langsat itu
bermandikan keringat. Lengket. Berkali-kali ia mengibasi leher dengan keempat
jemarinya yang disatukan membentuk kipas.
"Ah,
lama banget," keluh Kiren. Bola mata bundar dengan bagian hitamnya yang
besar mengedar sekeliling. Tak ada orang yang mengacung-acungkan kertas besar bertuliskan
nama Kiren Muthia di depan pintu keluar bandara. Yang ia lihat hanya hiruk
pikuk orang-orang yang tengah membawa bagasi mereka menuju taxi atau mobil
jemputan pribadi. Sambutan yang
menyebalkan, desahnya dalam hati. Lalu ia mengeluarkan blackberry dari tas
tangannya, menekan beberapa tombol, kemudian melekatkan ke kupingnya. Nada
tunggu sebuah lagu Korea yang asing di telinganya mengalun.
Kiren
menghela napas. Sudah tiga kali panggilan teleponnya tak dijawab. Ke mana sih
orang yang akan menjemputnya? Seharusnya ia sudah stand by sebelum Kiren turun dari pesawat. Kiren melangkahkan
tungkainya dengan cepat, membelah kerumunan orang yang terburu-buru.
"Di
mana, Mas?" pekik Kiren begitu telepon tersambung. Hembus angin
mengibaskan sejumput rambutnya yang tak terikat.
"Saya
sudah di sini, Mbak," balas seorang pria dengan suara bas yang tenang.
"Iya,
di sini di mana?" balas Kiren dengan mulai tak sabar. Ia bertambah kesal
karena sopir perusahaan yang diminta menjemputnya, kini entah berada di mana. Dan
herannya, orang itu malah terdengar tenang-tenang saja. Kiren mendongakkan
lehernya ke kiri dan kanan. Lalu ia berhenti saat melihat seseorang, juga tengah
melakukan hal yang sama.
Seorang
pria bertubuh jangkung dengan kemeja putih dan jins biru muda menghampiri Kiren
sambil melepas headset dari
kupingnya. "Maaf, sudah menunggu lama, ya?" sapanya dengan senyum
tipis. Matanya yang agak sipit membentuk lengkungan yang mengarah ke bawah,
seolah ingin menunjukkan sebuah penyesalan. Sejenak laki-laki itu terdiam.
Benar kata Ronald, perempuan pasundan yang akan dijemputnya ini memiliki
kecantikan yang alami. Rambut hitam panjang yang diikat satu hingga bagian tengah
kepalanya itu membingkai wajah oval yang manis. Tidak menyesal ia menggantikan
sopir perusahaan untuk menjemput HRD Manager baru ini.
"Malah
bengong!" Kiren masih belum bisa menahan rasa kesalnya. Ia yakin laki-laki
ini yang akan mengantarnya ke hotel sekaligus kantor tempat kerja barunya.
Tapi, masa iya sopirnya keren begini? Wajahnya yang bersih, dipermanis dengan
sedikit brewok yang menyambung hingga dagu. Potongan rambut hitam kecolkatannya
kaku, seperti model-model penyanyi korea yang sedang digandrungi ABG. Senyumnya
terlihat… bukan ramah, tapi … agak terkesan menggoda. Ah!
"I...
Iya, Mbak. Maaf. Mari saya bawa bagasinya," laki-laki itu terperangah. Heran, cantik, tapi juteknya minta ampun,
gerutunya dalam hati.
"Nggak
usah," ketus Kiren sambil melewati bahu laki-laki itu.
Laki-laki
itu membiarkan Kiren melengos. "Mbak... Mbak..."
"Ada
apa lagi sih?"
"Jalannya
ke sini, Mbak," ucap laki-laki itu sambil menahan tawa melihat Kiren
mengambil jalan yang salah.
Kiren
membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah yang ditunjukkan laki-laki itu.
Si
sopir keren mengikuti langkah Kiren dengan cepatnya. Mereka lalu tiba di depan
sebuah Honda Jazz model terbaru yang berjejer rapi dengan kendaraan mewah lain
di lapangan parkir.
"Batam
ini kotanya kecil, Mbak, tapi ramenya luar biasa. Banyak wisatawan asing dan
domestik singgah ke Batam. Mereka suka dengan wisata pulau di sini,"
laki-laki itu membuka percakapan setelah ia dan Kiren berada di dalam mobil. Ia
menoleh Kiren yang memilih duduk di belakang dari spion di atas dasbor.
Kiren
tak menghiraukan ucapan laki-laki itu. Pandangannya malah dilempar jauh rimbunnya
pepohonan di kiri dan kanan jalan. Matanya tak lepas dari Tugu Burung Garuda
sebagai simbol selamat datang di Batam. Tapi Niken masih saja mendengar sopir tampan
itu terus menerus berceloteh tentang apapun yang berkaitan dengan Batam
meskipun Kiren sama sekali tidak menggubrisnya.
"Kamu ini driver atau tour guide
sih sebenarnya?" celetuk Kiren setengah menyindir.
"Hehe
dua-duanya, Mbak," balas laki-laki itu dengan seringai lima jarinya.
"Pantesan!"
"Pantesan
pinter Ÿåªą, Mbak?"
"Bawel!"
“By the way, saya Bayu,” kembali laki-laki
itu menyeringai dengan sorot mata jenaka. “Emh, Mbak mau saya anter ke
apartemen dulu atau langsung ke Beautiful Hotel… Maksud saya, kantor kita? Atau…
barangkali mau shopping window dulu ke Nagoya Hill?”
“Ke
mana saja, asal di tempat itu saya nggak ketemu dengan orang-orang yang banyak
bicara,” jawab Kiren telak.
Bayu
menggaruk kepalanya meski sama sekali tak berasa gatal. Ia paham betul apa yang
dimaksud wanita ini. Kesan pertama yang dibangunnya runtuh sudah.
*
Kiren
melenggang dengan penuh percaya diri. Ia terbiasa berjalan dengan leher tegak
dan kepala mendongak, seolah orang lain yang ada di sekitarnya itu memiliki
kedudukan di bawah dirinya. Saat masih di Bandung, gadis dua puluh tujuh tahun
ini juga menjabat posisi Manager HRD, hanya saja perusahaan tempatnya bekerja
itu hotel bintang dua. Karenanya ketika ada penawaran kerja di Batam, yang nota bene hotel bintang empat, ia
langsung menyanggupi. Apalagi gaji yang ia dapat bisa tiga kali lipat dari
sebelumnya. Dan yang lebih penting, ia bisa dengan mudah melupakan masa
lalunya. Menguburnya dalam-dalam, dan memulai kehidupan baru dengan lebih
tenang.
Setelah
berkenalan dengan karyawan-karyawan hotel, mulai dari front office hingga bagian staf di dalam, Kiren diantar Bayu menuju
ruang kerjanya. Sebuah kantor berukuran enam kali enam meter dengan interior
mewah dan modern. Seperti kebanyakan kantor-kantor eksekutif yang ada di Batam.
“Welcome… Ini ruang kerja Mbak Kiren,”
seringai Bayu ramah. Ia meletakkan trolley
bag Kiren di belakang pintu, lalu menunjukkan letak toilet, ruang tamu, dan
apa saja fasilitas yang ada di ruang kerja Kiren.
“Tas
saya jangan disimpen di situ dong, Mas! Kalau saya kesandung gimana?” delik
Kiren dengan ekor matanya ke arah pintu.
Bayu
mendengus pelan sambil menggeser tas besar itu ke tempat lain yang lebih
tersembunyi. Whatever, batinnya.
Kiren
acuh melihat sikap laki-laki itu. Ia lalu mendekati jendela kaca setebal satu
sentimeter yang menghadap ke tengah-tengah kota Batam. Matanya tak berkedip
melihat pemandangan yang menakjubkan di depannya. Lalu lintas kendaraan mewah
di sana-sini dan bangunan-bangunan raksasa yang megah memenuhi hampir seluruh
isi kota.
“Di
sebelah utara, itu Panorama Regency Hotel yang sangat terkenal, di timur sana
itu banyak hotel lain yang baru berdiri. Kebanyakan hotel-hotel baru itu selalu
full vacancy. Terutama saat week end. Dan saingan terberat kita ada
di deretan paling depan hotel bintang empat itu. Turis-turis asing lebih senang
memilih hotel-hotel itu dibanding Beautiful.”
Bayu berdiri di samping Kiren, dan memberikan banyak informasi tanpa gadis itu
minta.
“Saya sudah tahu. Riset saya sudah cukup
lengkap sebelum saya memutuskan kerja di sini,” balas Kiren sambil menggeser
posisi berdirinya. Kemudian dalam sekian detik berikutnya, ia berlalu dari
samping Bayu. Ia lebih senang memilih menghempaskan tubuhnya di sofa tamu,
daripada berdekatan dengan lelaki yang di matanya terkesan sok akrab itu.
“Ok… I
see… kalau begitu saya pamit. Selamat bekerja. Jika ada yang Mbak Kiren
butuhkan, saya ada di ruang sebelah. Atau mau langsung bicara dengan big bos, juga monggo.” Bayu mendengus
pelan. Ternyata beramah tamah dengan perempuan ini hanya buang-buang waktu
saja. Sambil menghela napas Bayu berlalu dari hadapan Kiren.
Ruang sebelah?
batin Kiren. Sopir juga punya ruang kerja? “Tunggu!”
Tapi
Bayu sudah menghilang di balik pintu.
*
“Sudah siap, Yu?” Ronald membuka Lenovo, dan
meletakkannya di atas meja. Lalu ia menekan tombol ON dan menunggu beberapa
saat dengan gelisah.
“Sudah,” balas Bayu datar. Ia mengecek
proyektor yang akan dipakai untuk meeting
siang ini. Sebentar lagi, para Manager dan Assisten Manager dari berbagai
divisi akan memenuhi ruang pertemuan ini.
“Gimana dengan Kiren?” lanjut Ronald dengan mata tak lepas dari
layar monitor. Ia sedang membaca surat-surat yang masuk ke alamat email
pribadinya. Merasa Bayu tak menggubris pertanyaannya, Ronald berhenti sejenak,
seolah menunggu jawaban dari Bayu.
Bayu
malah mengendikkan bahu. “Aku baru tahu, ternyata tidak semua mojang Bandung
itu ramah,” balasnya. Setelah proyektor siap, Bayu duduk di kursi yang
berhadapan dengan Ronald, General Manager Be Hotel, yang juga teman sekampusnya
saat masih kuliah di Australia. Ia meletakkan kedua sikutnya di atas meja lebar
dan mendengus ke arah Ronald.
Ronald
terkekeh, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, hasil perawatan rutin
di spesialis dentist terkenal di Singapura. “Gadis itu bukannya
tidak ramah, Bro, tapi tegas dan penuh wibawa,” sanggahnya. Diperbaikinya
posisi dasi Armani biru bergaris yang menggantung di lehernya, seolah sebentar
lagi, ia akan segera bertemu dengan seseorang yang sangat khusus. Setidaknya ia
ingin membuat kesan positif saat bertemu dengannya.
“Aku kurang suka caranya memperlakukan orang
yang sudah membantunya.” Bayu masih tampak tak enak hati mengingat bagaimana
sikap Kiren di awal perkenalan dengannya siang tadi. Bayu sama sekali tidak tersinggung
seandainya Kiren menganggap ia sebagai sopir perusahaan. Tapi apakah sikap
seorang manager pada seorang sopir harus seperti itu juga? “Kamu dapat dari
mana?”
“Linked. Dia yang paling cocok dari semua
perempuan yang entry aplikasi
lamaran. Aku juga udah wawancara online
dengan dia beberapa kali. Dan hasilnya tetap sama. She is the best.” Laki-laki keturunan Singapura itu sebenarnya
sangat excited menunggu saat-saat
dirinya bertemu dengan Kiren. Ronald memang baru tiba dari Singapura, sehingga
ia belum sempat bertemu dengan Kiren. Selama ini ia hanya melakukan interview melalui chat room. Kesan cerdas masih melekat kuat saat Ronald mengutarakan
beberapa pertanyaan berat pada Kiren, dan gadis itu mampu menjawabnya dengan
sistematis, logis, cukup teoritis dan menunjukkan bahwa ia sangat berpengalaman
di bidangnya. Dan yang lebih mengesankan bagi Ronald, ialah suaranya yang tiba-tiba
membuat malam-malamnya menjadi berbeda. Gelisah. Seandainya bisa, ia ingin melakukan
wawancara kerja pada gadis itu, setiap hari. Tapi untuk apa ia melakukan hal
itu, kalau pada akhirnya Kiren-lah yang akan ia rekrut untuk mengisi kekosongan
HRD.
“Selamat sore,” Kiren datang dengan langkah
cepat. Matanya tampak kikuk begitu melihat Ronald, laki-laki yang selama ini
hanya ia kenal lewat chat room sudah berada di ruang meeting.
Ronald
mendongak. Bayu ikut melirik Kiren yang berada tepat di sampingnya. Wajahnya
tampak merasa bersalah. Ini adalah meeting pertamanya, Kiren tak ingin
memberikan kesan kurang baik di mata bos
dan rekan-rekan kerja lainnya. Apalagi ruang pertemuan sudah hamper terisi
penuh.
“Maaf,
Pak, tadi saya keasyikan me-review report beberapa bulan ke belakang, jadi…” Kiren terbata-bata.
“It’s ok… silakan duduk,,” balas Ronald,
berusaha tenang. Padahal, andai Kiren tahu, dadanya tiba-tiba bergemuruh begitu
mendengar suara itu. Suara yang terakhir kali ia dengar lewat telpon, saat
dirinya menyatakan kelulusan Kiren dan mengundangnya untuk menandatangai
kontrak kerja. Ternyata, gadis ini lebih
cantik dibanding foto profil yang ia kirimkan kemarin, batin Ronald. Jiwanya
yang masih sendiri merasa seolah mendapat sebuah angin segar yang memberinya
harapan baru. Setidaknya ia membutuhkan seorang perempuan. Ia tak ingin
hidupnya selalu kering, dan hampa.
Setelah
mempersilakan Kiren duduk, Ronald memulai meeting sore itu dengan
memperkenalkan Kiren sebagai Head Dept
HRD yang baru. Lalu General Manager Beautiful Hotel & Resort itu mempresentasikan
hasil kinerja bulan lalu dan menjabarkan agenda kerja bulan mendatang. Di sela-sela
presentasinya, mata Ronald tak henti-hentinya mengarah pada Kiren. Bukan karena
gadis itu adalah orang baru yang memerlukan pengetahuan banyak tentang company profile, melainkan karena ada
sesuatu yang terpancar dari mata gadis itu yang membuat Ronald seolah
terhipnotis untuk terus menatapnya.
Sebaliknya,
Kiren lebih banyak menunduk. Apalagi pada momen, ketika matanya bertabrakan
dengan pandangan Ronald. Kiren pun terhipnotis. Suara dan penampilan Ronald
sangat memukaunya. Gadis itu tak menyangka bahwa laki-laki yang memiliki kedudukan
paling tinggi di kantor ini, yang mewawancarai dan menerima dirinya bergabung,
masih sangat muda. Suaranya yang
berwibawa dan performanya yang tenang membuat hati Kiren merasa menemukan
sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sesuatu yang mungkin pernah dicarinya, tetapi
sejauh ini tak pernah ia temukan.
Pada
saat yang sama, Kiren terhenyak sebab baru menyadari bahwa Bayu juga berada di
ruang meeting, bersama dengan para Head Dept dan Assisten Head Dept. Ternyata
laki-laki ini bukan sopir pribadi seperti yang ia duga, melainkan Manager
F&B. Kiren mencoba melirik ke arah
Bayu, tapi pandangan laki-laki itu sama sekali tak bergeser sedikitpun dari
layar dinding yang menampilkan slide-slide
presentasikan Ronald. Kiren tiba-tiba merasa tak nyaman berada di sampingnya.
*
“Harusnya
kamu kuat menghadapi semuanya, Ren,” Liana membiarkan kepala Kiren lunglai di
bahunya. Air matanya ruah tak terbendung.
“Aku
nggak bisa, Na… aku nggak bisa. Terlalu menyakitkan buatku.” Suara Kiren semakin
parau. Ia tak tahu lagi harus pergi ke mana. Ke manapun ia pergi, bayang-bayang
menyakitkan itu selalu menghantui. Di setiap kota yang ia singgahi, kenangan pahit itu selalu dating, tanpa
pernah mampu Kiren hindari.
“Kiren,
kamu harus move on! Masih banyak laki-laki selain Rezqy di luar sana, yang
tampan, tajir, jauh lebih baik dibanding dia.” Liana mengguncang-guncang bahu
sahabatnya.
“Semua
laki-laki sama saja, Na. Setiap aku pindah ke kota lain yang kupikir takkan
pernah bertemu dengan Rezqy, selalu saja ada duplikat laki-laki itu. Senyumnya
yang penuh tipu daya, kelakuannya, fisiknya, apapun! Aku nggak suka dikelilingi
oleh laki-laki manapun yang selalu pamrih dalam berbuat kebaikan.”
“Kiren,
dengar aku… Tidak semua laki-laki itu sama, sori… brengseknya dengan mantan
pacar kamu itu. Kamu tidak bisa seperti ini terus!”
Kiren masih ingat apa yang selalu
Liana, katakan setiap kali dirinya menangis di bahu sahabatnya itu, atau
tersedu di belakang telepon genggam saat
terpisah ratusan kilometer jauhnya sekalipun. Pada Liana, Kiren selalu
menumpahkan kesedihan dan kepedihan hidupnya.
Sejak
Kiren batal menikah tepat pada hari yang telah ditentukan, kepercayaan dirinya
hancur. Ia tak berani bertemu dengan orang-orang yang ia kenal. Kiren memilih
pindah dari satu kota ke kota lain. Dari Jakarta, ia pindah ke Surabaya. Tetapi
ketika ia bertemu dengan salah seorang teman lamanya di sana, yang lalu
menanyakan kabar pernikahan Kiren dengan Rezqy, hati Kiren kembali terpukul. Ia
lalu pindah ke Medan. Di sana Kiren malah bertemu dengan laki-laki yang sangat
mirip dengan Rezqy. Setiap hari Kiren bertemu dengan ia karena tinggal di
sebuah apartemen yang sama. Entah Kiren yang masih terobsesi rasa benci pada
laki-laki itu, atau memang hanya kebetulan mirip belaka. Yang jelas hanya
sebulan tinggal di Medan, Kiren rela melepaskan pekerjaannya di sana.
Kiren
juga pernah tinggal di Semarang, Manado, dan Denpasar. Di tempat-tempat itu
bayangan Rezqy seakan tak pernah bisa hilang dari ingatannya. Ia juga pernah
tinggal selama beberapa bulan di Belanda. Tapi ia tak betah berlama-lama di
negeri orang. Selain tidak ada pekerjaan yang sesuai, dunianya ternyata sama
saja.
“Tak ada yang akan berubah selama
kamu belum bisa memaafkan Rezqy.” Liana sudah kehabisan akal menasehati Kiren.
Ia juga sempat marah dan benci pada Rezqy yang juga teman baiknya semasa SMA
dulu. Kenapa laki-laki itu menyia-nyiakan cinta Kiren. Tanpa alasan yang jelas,
Rezqy tidak hadir pada acara pernikahannya dengan Kiren. Laki-laki itu seolah
menghilang ditelan bumi. Setelah berbulan-bulan, baru Liana mendapat kabar dari
teman-teman lamanya bahwa Rezqy menikah dengan seorang anak pejabat. Pestanya
sangat meriah, bahkan mereka menikmati bulan madu di Eropa. Tapi kali ini Liana
bertekad untuk merubah hidup Kiren. Ia harus bisa membuat Kiren bangkit, dan
menemukan seseorang yang bisa membuat hidupnya kembali bergairah.
Sebelum pulang dan memutuskan untuk
bekerja di kota kelahirannya, Bandung, Kiren sempat tinggal dan mengajar di
sebuah sekolah pariwisata di Banjarmasin. Lagi-lagi Kiren dipertemukan dengan
seorang laki-laki yang menurutnya juga mirip dengan Rezqy. Meskipun secara
fisik mereka berbeda, tetapi laki-laki pemilik sekolah pariwisata itu begitu
baik, sampai-sampai Kiren mengira itu hanya modus belaka untuk bisa
mendekatinya. Dan kenyataan mungkin menyerupai apa yang pernah Kiren alami saat
bersama Rezqy. Laki-laki itu buaya. Ia hanya menginginkan sesuatu dari Kiren.
Perhatian yang ia berikan, berujung tuntutan untuk menjadi kekasih gelapnya.
Berada
di Bandung, di tengah-tengah orang yang tahu betul bagaimana sejarah percintaan
Kiren, membuat ia justru semakin merasa terjebak dalam kenangan pahit. Makanya
dengan bulat hati, Kiren memutuskan untuk pindah dari Bandung. Dan, kali ini ia
membidik Batam. Kepulauan kecil, tetapi modern. Ia berharap, Batam bisa menjadi
pelabuhan terakhirnya. Mungkin Liana benar, hidupnya tidak akan pernah jauh
lebih baik jika Kiren tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Anggap saja
Rezqy sudah mati, begitu kata-kata pamungkas Liana yang selalu Kiren ingat.
Meskipun Kiren pernah sangat mencintai Rezqy, tapi pada kenyataanya, laki-laki itu
bukanlah yang terbaik. Tuhan telah menunjukkan bahwa Rezqy bukan jodohnya.
Lalu
siapa dan di mana jodoh Kiren? Entahlah! Yang jelas bukan mereka yang bermuka
dua yang pernah Kiren temui di kota-kota sebelum Batam. Mungkin justru di kota
kecil yang ia harapkan jadi pelabuhan terakhir dalam hidupnya ini, Kiren
menemukan seseorang yang berbeda. Seseorang yang bisa mencintainya dengan
setulus hati tanpa pernah ada niatan untuk mengkhianati dan meninggalkannya
begitu saja saat semua harapan akan masa depan telah dibangun sempurna.
Tiba-tiba
saja, ingatan Kiren tertumpu pada kejadian siang tadi, saat seorang laki-laki yang ia kira sopir perusahaan
menjemputnya di Hang Nadim. Bayu. Laki-laki yang ternyata seorang Manager Food
& Beverage di Beautiful Hotel, atau yang lebih terkenal dengan nama Be
Hotel itu. Laki-laki yang bukan saja tampan, pintar tetapi juga punya berkepribadian
ceria. Seolah orang lain juga memiliki pembawaan yang sama dengan dirinya.
Tapi Kiren merasa, ada yang berbeda saat ia
dan Bayu bertemu di ruang meeting.
Bayu sepertinya berubah seratus delapan puluh derajat. Sikapnya acuh dan dingin.
Bahkan selepas meeting, laki-laki itu
langsung meninggalkan ruangan dan beralasan tak jelas saat Ronald mengajaknya
untuk dinner bertiga di Bukit Senyum
sebagai bentuk sambutan untuk rekan kerja yang baru. Kiren beranggapan bahwa
semua ini ada hubungannya dengan kejadian di bandara, dan sikapnya yang kurang
ramah setibanya di kantor. Seandainya Kiren tahu lebih awal bahwa Bayu bukanlah
sopir hotel, mungkin Kiren tidak akan sejutek itu. Apakah Bayu tersinggung dengan sikapku? Hati kecil Kiren merasa tak
nyaman.
“Mungkin
hanya perasaan kamu aja,” komentar Ronald, saat Kiren mengungkapkan kejanggalan
hatinya akan sikap Bayu. “Lagi sariawan kali tuh orang,” canda Ronald sambil
mengulas senyum dan memamerkan lesung pipit di kedua pipinya.
“Bapak
bisa aja….” Kiren tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar keluar dari
hatinya sejak ia menginjakkan kaki di kota wisata belanja ini. Laki-laki yang
akan menjadi atasannya ini, ternyata tidak sekaku yang ia bayangkan. Selain
masih muda, tampan, smart, juga tidak ada tanda-tanda tipe pimpinan yang
arogan.
“Jangan
panggil bapak. Berasa udah tua jadinya, hehe… panggil aja Ronald. Apalagi ini
kan bukan jam kantor.” Ronald meyakinkan Kiren dengan kembali tersenyum. Kali
ini dengan sedikit bibir terbuka, sehingga garis wajah indonya yang tertarik
oleh lengkung bibir itu semakin nyata. Matanya sebiru laut di pantai Sekilak.
Teduh dan menyejukkan.
“Oke,
oke…,” Kiren terpaksa menurut. Mau bagaimana lagi, Ronald masih muda dan sangat
casual, memang akan lebih nyaman jika ia memanggil dengan sebutan namanya saja.
Malam
merangkak sangat pelan seolah memberi ruang bagi Ronald dan Kiren untuk saling
kenal, lebih dari sekedar apa yang mereka bicarakan lewat dunia maya selama
ini. Namun basa-basi yang pernah mereka obrolkan di-chatting-an kembali diulang karena satu sama lain masih merasa
canggung. Hebatnya, Ronald berhasil melempar candaan-candaan ringan yang
membuat Kiren tertawa, hingga terpingkal-pingkal. Kiren tak menyangka jika hari
pertamanya di Batam akan semenyenangkan ini.
“Lihat
deh, Ren. Di tempat ini pemandangan kota Singapura bisa dilihat dengan jelas.
Indah banget, kan?” Ronald menunjuk kerlip lampu serupa sekawanan kunang-kunang
yang sedang menari gembira.
Kiren
tak melewatkan pemandangan eksotis di pelupuk matanya. Lampu-lampu dari
gedung-gedung mewah di kota Singapura dan kapal feri yang lalu lalang di atas
air tenang, sangat memukau. Semilir angin mengibas anak rambut Kiren. Membelai
pasangan muda-mudi yang dengan santainya duduk di atas rumput, dan
bangku-bangku panjang di taman yang disediakan penjaja makanan dan pujasera
sekitar. Ronald dan Kiren memilih sebuah kafe mungil yang memiliki tempat
paling memungkinkan mereka melihat indahnya ocean
view di malam hari.
Kiren
menghela napas, Lama sekali rasanya ia tidak pernah menikmati malam bertabur bahagia.
Dengan atau tanpa seorang laki-laki di sisinya. Di sini, malam ini, Kiren
kembali bisa tersenyum, tertawa dan termanjakan oleh indahnya dunia yang selama
ini tersaput kabut kesedihan di matanya. Terpesonakan oleh sosok lelaki tampan
dan penuh kharisma di hadapannya. Juga seseorang yang seharusnya juga berada di
sini. Manager cheerful yang tiba-tiba
menghindarinya.
Coba tadi Bayu ikut…
bisik hati Kiren. Mungkin malam ini akan
jauh lebih sempurna. Tapi lalu gadis itu menepis kelebat bayangan laki-laki
itu dari pikirannya, Kenapa tiba-tiba aku
teringat dia? Apa karena Bayu-lah orang pertama --dan setelah Kiren pikir-pikir
memberikan kesan berbeda— yang menyambut kehadiran Kiren di Batam? Atau…
“Kenapa,
Ren?” Ronald melihat ada sesuatu yang Kiren sembunyikan darinya. Tapi itu tentu
saja bukan urusannya. Meskipun terbersit rasa khawatir dalam diri Ronald,
tetapi laki-laki itu memilih untuk tidak mendesak saat Kiren menggelengkan
kepala sebagai jawabannya. Ia melepas jaket jins-nya lalu menyelimuti pundak
Kiren, berharap dugaannya bahwa gadis itu kedingingan tidak salah. Dan sikapnya
ini tidaklah berlebihan mengingat hanya ia satu-satunya laki-laki yang Kiren
kenal di tempat itu, yang harus memberinya perlindungan dari cuaca malam yang mulai
dingin.
“Terima
kasih.” Kiren tak sengaja menangkap cahaya mata Ronald yang lurus menembus
retinanya. Tapi buru-buru gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Di
matanya kini tergambar pemandangan, warung-warung yang berjejer di sepanjang
Bukit Senyum. Aneka makanan ada di sana. Mulai dari yang bercita rasa internasional,
sampai makanan tradisional khas Indonesia, seperti warung nasi padang, dan tahu
Sumedang. Kiren tersenyum tipis mengingat makananan kesukaannya dijual juga di
Batam. Mungkin karena daerah ini sering juga disinggahi wisatawan asing,
sehingga warga juga ingin memperkenalkan khasanah kuliner nusantara.
“Kalau
tidak keberatan, dalam seminggu ini mungkin aku akan antar jemput kamu dari
apartemen ke hotel dan sebaliknya,” ucap Ronald kikuk. “Emh… aku cuma tidak mau
kamu nyasar. Tempat ini kan cukup asing buatmu,” paparnya memberi penjelasan
logis kenapa ia harus melakukan hal itu, selain sebagai bentuk tanggung
jawabnya sebagai atasan pada anak buah yang baru direkrutnya.
“Nggak usah, Nald. Aku bisa google search. Lagian Batam ini kan
kecil, di tabletku semua bisa kebaca,” tanggap Kiren. Ekor matanya menangkap segaris
kecewa di bibir Ronald.
“Oke….”
Ronald yakin Kiren bukan anak kecil yang akan kesasar di rimba mall gemerlap
ini. Tapi… jika Kiren menyetujui ajakannya,
tentu itu akan sangat menyenangkan. “Atau… bagaimana kalau aku minta Bayu yang
mengantar jemput kamu, Ren?” dan
sekali-dua kali aku akan menggantikan tugas Bayu itu… lanjut Ronald dalam
hati. “Aku suruh Bayu invite PIN kamu
ya, jadi dia bisa ngasi tahu kamu kalau dia mau jemput.”
“Nggak
usah… nggak usah… aku aja yang invite…
Maksudku kalau aku berubah pikiran atau kesasar di suatu tempat, aku tahu harus
minta tolong sama siapa. Kan nggak mungkin aku minta tolong atasanku untuk
menjemput,” buru-buru Kiren mencegah Ronald yang sudah membuka blackberry-nya.
Dengan
alis bertaut, Ronald lalu mengirimkan no PIN Bayu ke BB Kiren. “Tapi, aku harap
kamu tidak sesungkan itu sama aku.”
Sepulang
dari Bukit Senyum, tak henti bibir Kiren
melengkung ke atas. Ternyata Ronald juga memberikan PIN Kiren ke Bayu, dengan
alasan biarlah Bayu yang invite lebih
dulu. Harusnya memang seperti itu, katanya, laki-laki yang mengajak dan
menawarkan diri, dan bukan perempuan yang meminta sesuatu meski sebenarnya ia
membutuhkannya. Sikap laki-laki yang sangat gentleman.
Kiren berharap BB-nya segera berbunyi dan menampilkan inviting dari Bayu. Kiren tak akan menunggu lama untuk meng-accept-nya. Ia ingin segera menghubungi
Bayu, meminta maaf dan menebus kesalahannya dengan mengajaknya makan di suatu
tempat. Tempat yang sangat special. Di mana ya… Mungkin di pulau-pulau kecil
yang tersebar di sekeliling Batam sambil menikmati gonggong dan semilir angin
pantai.
*
Kamiluddin
Azis, lahir dan besar di Cianjur. Kini pria yang sudah berumah tangga ini
tinggal di Bandung. Selain bekerja sebagai karyawan kantoran, ia juga menulis
novel dan mengurus perpustakaan umum untuk warga sekitar. Novel yang sudah
terbit antara lain Kau Bisa Mencintaiku
(Zettu, 2013), My Lovely Beetle
(PlotPoint, 2013), dan Di Dekatmu
(PING!, 2014) serta 2 novel lagi dalam proses terbit. Beberapa cerpennya pernah
dimuat di Majalah Aneka dan Majalah Cerpen Magz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar