“Sialan!”
rutuk Andika, sesaat setelah keluar dari ruang BP.
Nando,
Diwan dan Ruby yang sejak setengah jam lalu menunggu di luar ruangan langsung
mengerubutinya.
“Hape
lo ditahan Dik?” Diwan melotot tak percaya.
“Emang
lo gak bisa nego? Lo kan paling jago negosiasi?” timpal Nando.
“Terus,
enaknya diapain tuh si cupu?” Ruby mengepalkan tangannya, geram.
Wajah
Andika memerah. Jelas tak mampu menahan amarah yang menggelegak di kepalanya. Berondongan
pertanyaan dari teman-teman satu gengnya, mendorong Andika untuk segera menemui
cowok culun itu. Ketiga temannya mengekor dari belakang.
*
Yanu
masih memandangi brosur android Samsung
Galaxy yang sudah dilipat entah berapa kali. Kertas itu sudah kumal dan nyaris
robek. Namun semangat Yanu untuk memiliki gadget
yang diidamkannya itu tak pernah surut.
Setiap
hari, sepulang sekolah, Yanu pergi ke pasar. Ia membantu berjualan pizza di
depan sebuah toko elektronik, di salah satu sudut keramaian Pasar Rebo. Jam
kerjanya cukup fleksibel. Ia hanya perlu membantu Pak Syam, pemilik kedai pizza
itu, mulai jam dua siang sampai dengan jam delapan malam. Upahnya lumayan besar untuk menambah uang
saku dan bisa disimpan untuk membeli sesuatu yang selama ini ia impikan. Sebuah
hape android bermerk, seperti yang Andika dan CS-nya pakai. Ia sudah bosan dan
malu memakai hape jadul yang ia beli sejak masih di bangku SMP.
“Heh,
Cupu!” bentak Ruby, membuat Yanu tersentak.
Mengetahui
siapa yang tiba-tiba muncul di hadapannya, Yanu beringsut mundur. Menghadapi kelompok
perusuh sekolah seorang diri bukanlah pilihan bijak. Apalagi selama ini, Yanu
selalu jadi objek bully mereka dan
tak pernah ada seorang pun yang berani menolongnya. Siapa juga yang mau
berurusan dengan Andika and the gang
kalau buntutnya bonyok dan kena skors.
“Mau ke mana, lo!” Nando dan Diwan
menghalangi tubuh Yanu.
Andika muncul dengan seringai penuh
kebencian. Di tangannya sebuah kayu tumpul diayun-ayunkan ke udara.
“Ada apa ini?” Yanu semakin panik.
“Jangan pura-pura bego, lo!
Gara-gara lo, hape si Andika ditahan guru BP. Lo harus tanggung jawab!” timpal Diwan.
“Salah gue apa?” Yanu mulai
bergetar. Bagaimana tidak, satu lawan tiga sudah pasti tidak akan seimbang.
Terlebih, tidak ada siapapun di taman sekolah setelah jam pulang usai selain dirinya
dan keempat teman sekelasnya itu.
“Dasar cupu!!” Andika maju dan tanpa
tedeng aling-aling mengarahkan kayu yang dipegangnya ke tubuh Yanu. Yanu
berhasil mengelak. Namun pada pukulan kedua, lengan kiri Yanu terkena sabetan
kayu yang dihantamkan Andika. Yanu pun terjungkal ke tanah. Diwan dan kedua
teman lainnya beramai-ramai menendangi tubuh Yanu. Tak peduli cowok kurus itu
merintih, menahan sakit.
“Hey….” Sebuah teriakan disusul
derap kaki mendekat, menghentikan aksi brutal geng Andika.
Seorang
cewek berlari ke arah Yanu sambil merutuk kelakuan gangster sekolah yang paling
ditakuti itu.
“Lo
semua beraninya main keroyokan!” pekik cewek itu. “Gue laporin ke kepala
sekolah atau lo pergi dari sini sekarang juga?!” ancamnya dengan bibir
dimonyongkan.
Andika
memberi isyarat kepada ketiga temannya untuk mundur. “Cabut, guys!” sambil
melemparkan kayu di tangannya ke arah Yanu.
“Dasar,
cat women kesiangan!” umpat Ruby,
sambil mendongakkan wajahnya ke cewek itu.
Keempat
cowok bullier itu pun berlalu dengan wajah
setengah puas, setengah dongkol.
“Lo
nggak apa-apa, Nu?” cewek itu membantu Yanu bangkit.
“Makasih
ya, Nad. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah remuk.” Yanu mengusap seragamnya
yang terkena lumpur. Sambil meringis ia menarik tas cangklong yang terlempar ke
tanah.
“Sakit
ya, Nu? Lagian lo juga sih, ngapain coba cari perkara dengan mereka?” Nadea
masih menyimpan rasa kesal melihat kelakuan Andika dan teman-temannya tadi.
“Memangnya
salah gue apa, Nad? Gue nggak ngerti,” kembali Yanu mempertanyakan di mana
letak kesalahan dirinya sehingga ia harus menerima bogem mentah dari Andika dan
teman-temannya.
“Lo
itu polos apa beneran cupu sih, Nu? Hape si Andika itu ditahan oleh guru BP
karena ketahuan dipake pas pelajaran sekolah,” jelas Nadea.
Sejenak
Yanu mengingat-ingat kejadian kemarin.
Pada
saat pelajaran Matematika, Yanu melihat sebuah handphone tergeletak di lantai, tepat di depan bangkunya, tidak
jauh dari tempat duduk Andika. Tanpa pikir panjang, Yanu meraih hape itu dan
menilik-nilik, siapa kira-kira pemiliknya.
“Itu
punya Andika, “ bisik Rama, teman sebangku Yanu.
Yanu
pun memanggil Andika dengan nada pelan
agar tidak ketahuan Pak Fadly, guru killer
itu.
Andika
menoleh dan kaget mendapati hapenya berada di tangan Yanu.
“Kok
hape gue ada di lo?” bisiknya dengan nada marah seraya merebut handphone miliknya.
“Gue
nemu di bawah,” jawab Yanu jujur.
“Bilang
aja lo pengen hape dan mau ngembat dari gue ya?”
Sebelum
Yanu membela diri, Pak Fadly sudah mematung di hadapan Andika. Dan dalam
hitungan sepersekian detik, hape terbaru Andika berpindah tangan ke Pak Fadly.
“Pulang
sekolah, menghadap ke guru BP!” ucap Pak Fadly tegas.
Andika
pun mendapatkan hukuman. Sesuai dengan peraturan sekolah, selama jam pelajaran
berlangsung, siswa yang membawa telepon genggam wajib menyimpannya di loker.
Siapapun yang kedapatan menggunakan hape di kelas selama proses belajar
mengajar berlangsung akan dikenakan sanksi. Telepon genggam siswa yang tidak
mentaati peraturan akan disita selama 3 bulan.
Kalau
sudah begini, bagaimana mungkin Andika bisa memamerkan foto-foto cewek hasil
bidikan kamera handphone-nya ke
teman-teman segengnya. Tanpa gadget cowok
seperti Andika akan mati gaya. Ia tidak mau terkesan cupu seperti Yanu,
satu-satunya siswa yang sampai saat ini masih belum memiliki telepon genggam
pribadi.
Yanu
tahu peraturan sekolah selalu ditegakkan. Hanya saja ia berpikir kalau Andika
akan membela diri kenapa hapenya tidak disimpan di loker itu karena hilang, dan
baru ditemukan saat pelajaran matematika berlangsung. Tapi itu ternyata tidak
menjadi bahan pertimbangan yang meringankan hukuman. Barulah Yanu merasa
bersalah. Benar kata Andika, semua ini
salah gue, aku Yanu dalam hati.
*
Suasana sekolah pada jam istirahat
sedang ramai-ramainya. Tapi Yanu tidak beranjak dari ruang kelasnya. Ia hanya
membolak-balik buku tulis dengan pikiran kosong.
“Ke kantin yuk, Nu!” ajak Rama
sambil berdiri, siap-siap untuk keluar kelas.
“Males,” jawab Yanu singkat.
“Lo kenapa sih, Nu? Dari tadi gue
perhatiin, galauuu melulu. Lo masih mikirin hapenya si Andika?”
Yanu mengiyakan dengan anggukan.
“Ya elah, biarin aja, napa! Itu
pelajaran bagus buat anak belagu seperti dia,” cibir Rama.
“Tapi semua ini kan salah gue.”
“Bujug… terus mau lo apa, Nu? Lo mau
ganti hape si Andika? Mahal tau! Hape jadul lo dijual aja palingan laku berapa?
Lo duit dari mana? Kalo gue sih ogah!” Rama kembali duduk, berusaha berempati
pada Yanu.
“Iya, tadinya gue mau tuker tambah
hape jadul gue dengan Android ini. Tapi sekarang, kayaknya gue malah harus
kerja lebih keras buat nambahin tabungan supaya cukup buat ganti hape Andika
yang ditahan di BP. Atau gue ganti aja kali ya dengan ini?” Yanu menyerahkan
brosur android idamannyaitu kepada Rama.
“Ini sih tipe lama, Nu. Punya si
Andika udah lebih canggih daripada ini. Lagian kenapa mesti diganti sih, toh
nanti tiga bulan ke depan juga bisa diambil lagi kan hapenya?”
“Tapi kan, Ram…”
“Udah deh, Nu, untuk orang seperti
Andika, beli hape baru lagi juga pasti mampu. Mending kalau memang udah ada uangnya
lo beliin android buat lo aja. Atau, lo beli aja hape lain yang lebih murah,
sisa uangnya bisa lo tabung buat keperluan lain,” saran Rama. Rama tahu betul
kondisi keuangan Yanu. Untuk membeli barang semahal android, Yanu pasti banting
tulang bekerja. Upah jadi pegawai pizza kaki lima berapa sih? Perlu menabung
berbulan-bulan untuk bisa membeli sebuah android. Tipe lama sekalipun. Saat
uang sudah terkumpul, mungkin model hape yang diinginkan beberapa bulan lalu
sudah tidak ada, karena lahir lagi model baru dengan harga yang lebih mahal.
“Tapi, gue juga kan ingin gaul
seperti kalian. Membahas trending topic
di internet, atau status- BB teman-teman yang selalu jadi bahan candaan seru di
sekolah. Bisa facebook-an dan main games. Rasanya semua yang kalian anggap
biasa itu, terasa mewah buat gue. Hape jadul gue nama bisa begitu…”
“Yanu… Yanu… handphone itu yang
penting fungsinya buat komunikasi. Selebihnya sih cuma buang-buang waktu doang,
Nggak penting. Lo lihat hape gue? Mana, nggak ada keren-kerennya sama sekali,
kan? Yang penting pas bokap nyokap telpon, gue bisa dihubungi. Terus buat
ngabarin ke ortu kalau gue pulang telat karena ada tugas kelompok atau
pelajaran tambahan. Atau seenggaknya pas ada kejadian di jalan, misal harus
ganti ban dalam sedangkan isi dompet sudah ludes buat jajan, gue bisa telepon
kakak gue buat jemput. Mau gaya-gayaan juga kapan kali, Nu. Selama sekolah, tuh
hape juga dikurung di loker. Hahaha.” Rama menderai tawa.
Yanu mengangguk setuju. Tapi
diam-diam, keinginannya untuk memiliki sebuah android tetap belum terusik. Kali
ini ia hanya ingin membuktikan diri bahwa dirinya sanggup membeli sesuatu dari
hasil keringatnya sendiri. Ia tidak akan minta kepada orangtua dan menyusahkan
mereka. Dalam kondisi keuangan keluarga yang tak menentu, Yanu sadar, ia tak mungkin
meminta yang macam-macam kepada Bapak dan Ibunya. Sebagai anak tertua, Yanu harus
mandiri. Makanya ia membantu keuangan keluarga dengan menjadi pegawai paruh
waktu di kedai pizza roda Pak Syam.
Mungkin seminggu lagi uang Yanu baru
cukup untuk membeli android itu. Dan setelah dipikir-pikir, ia urung menjual
hape jadulnya sampai waktunya hape Andika dikembalikan pihak sekolah. Android
yang ia beli akan dipinjamkannya ke Andika.
*
Harga android yang ada di brosur itu
sekitar satu juta delapan ratus ribuan. Namun dari Nadea dan Rama, Yanu
mendapat info bahwa harganya sudah turun. Lumayan,
batin Yanu. Sisanya bisa ia berikan untuk ibu atau adik-adiknya.
Sore itu, saat awan teduh memayungi
Jakarta, Yanu dengan riang pulang dari kedai pizza Pak Syam. Ia sengaja meminta
izin untuk kerja sampai dengan jam lima saja. Ditemani Rama, Yanu akan membeli
android di Roxy. Ia ingin segera meminjamkannya pada Andika supaya hatinya
lebih tenang, dan tak merasa bersalah lagi.
Di
tengah perjalanan, motor Rama tersendat kemacetan. Rupanya ada sekelompok anak
sekolah yang terlibat perkelahian. Rama menepikan motor untuk menghindari aksi
lempar batu.
Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, sepertinya Yanu dan Rama mengenali seragam salah
satu kelompok tawuran itu.
“Itu
Andika!” pekik Rama, yakin dengan seragam sekolahnya.
Yanu
mendongak. “Iya benar, kita harus bantu mereka!”
Tanpa
dikomando, Yanu berlari menuju Andika yang tengah dikeroyok oleh lebih dari
tiga orang siswa sekolah lain. Sedangkan Diwan, Ruby, Nando dan siswa satu sekolah lainnya sudah lebih
dulu mundur karena jumlah mereka lebih sedikit dibanding lawan.
“Yanu jangan!!!” teriak Rama, putus asa. Ia meringis
melihat Yanu terkena pukulan besi yang dijadikan senjata musuh. “Tolong, Pak,
tolong, Pak,” Rama hanya bisa berteriak-teriak, tapi tak ada seorang pun warga
yang peduli.
Tak
lama kemudian terdengar sirine polisi meraung-raung. Siswa-siswa yang terlibat
tawuran pun lari tunggang langgang.
Yanu
menarik tubuh Andika yang sudah babak belur dan kabur menuju tempat yang lebih
aman. Rama melihat tindakan Yanu dan dengan sigap ia membawa motor mengejar
mereka.
“Cepat
naik….!!!”
Yanu
menyeret tubuh Andika dan menaikkannya ke motor Rama, yang berhenti tepat di
depan mereka. Motor ngebut menghindari tangkapan petugas.
“Kita
harus ke rumah sakit!” Yanu memegangi tubuh Andika yang lunglai. Darah mengucur
di kening dan bibir cowok itu. Seragamnya koyak dan penuh noda merah. Yanu
sendiri tak peduli dengan luka-luka tubuhnya.
Sesampainya
di rumah sakit, Andika dan Danu mendapat perawatan di UGD.
“Pakai
uang ini.” Yanu yang tergolek di brankar, menyerahkan plastik berisi uang
lembaran kepada Rama.
“Tapi,
ini kan buat beli android lo, Nu,” cegah Rama.
“Nggak
apa-apa. Ini lebih penting,” balas Yanu.
Akhirnya,
Rama pergi ke bagian administrasi untuk mengurus biaya rumah sakit..
*
Penulis yang lahir di Cianjur pada
23 Juli ini ialah seorang akunting sebuah perusahaan swasta di Bandung. Sudah
menerbitkan 5 buah novel remaja dan dewasa sejak tahun 2013. . Beberapa
cerpennya pernah dimuat di majalah remaja, juga sudah dibukukan dalam lebih
dari 25 antologi bersama penulis lain. Penulis juga pernah menjadi Top5 dalam
Lomba Karya Ilmiah Remaja ICMI Se-Jawa Barat tahun 1993.
Penulis
bisa dihubungi melalui email : kamiluddinazis@gmail.com
dan telpon di 083829021076
Tidak ada komentar:
Posting Komentar