Senja.
Senja kapan yang tak pernah sekalipun
singgah di benakku? Senja berarak jingga yang payungi langit tempat kita
berpelukan kala itu? Senja merah saga dengan semilir angin di akhir musim kemarau saat kita bergandengan tangan dan
bertaut janji sehidup semati? Juga senja dengan semburat lembayung yang
terpantul dari kristal yang berguguran di kelopak matamu?
Semua senja sama. Selalu membuatku
tersenyum. Juga menangis. Selalu mengingatkanku tentang kamu. Tentang
janji-janji yang tak tertepati. Tentang
masa-masa yang takkan pernah terlewati kembali.
Aku duduk diantara ilalang yang
menari bersama sepoi angin. Sendiri. Menikmati senja terakhir di bulan Maret.
Bulan terakhir pertemuan kita, April.
Masih hangat terasa, saat kau
rebahkan kepalamu di bahuku, setahun yang lalu. Di sini, di tempat ini, kita
saksikan tenggelamnya mentari di cakrawala barat. Perlahan sinarnya meredup,
membaur bersama jingga dan kelabu. Lalu kau bisikkan, “Cintaku takkan pernah redup
dan tenggelam padamu, Julian,” padaku.
“Aku berjanji, kau akan terus
menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi jiwaku, sepanjang hayat, sampai maut
yang akan menggugat,” kataku kala itu.
Lalu bibirmu melengkung. Indah.
Seindah pelangi saat bias air mengaburkan pandangan.
Kita pun pulang, meninggalkan padang
ilalang tempat kita melepas senja. Senja terakhir di bulan Maret.
“Bulan depan usiaku akan bertambah,
sekaligus berkurang satu tahun,” ucapmu. Ada nada sendu yang tertangkap gendang
telingaku.
“Wah, iya, tidak terasa ya… hubungan
kita juga sudah berjalan hampir dua tahun. Kamu ingat kan, kamu menerima
cintaku saat perayaan ulang tahunmu itu?”
Kembali kau tersenyum. Bahagia
terpancar dari bola matamu. Lentik bulu yang membingkai pesonamu begitu indah,
meneduhkan hatiku. Kamu gadis paling sempurna yang Tuhan ciptakan untukku,
April. Ribuan kali puji itu kubisikkan di telingamu. Dan Ribuan cahaya akan
menari-nari setiap kali matamu berkedip senang saat mendengarnya.
Tapi kali itu senyummu memudar. Aku
tak tahu apakah puji rayuku tak lagi bermakna.
Sepanjang pulang dari padang ilalang kau tidak begitu banyak bicara. Dan
diammu membuatku gundah. Ada apakah gerangan, April-ku?
Malam merangkak dalam gelap. Jubah
pekatnya menutup seluruh angkasa. Tiba-tiba petir bergemuruh hebat. Hujan pun
luruh dengan lebat. Berkali-kali aku berusaha menajamkan penglihatanku karena
kaca mobil yang kukendarai terhalang derasnya air yang turun dari langit.
Gerakan wiper yang cepat, sama sekali
tidak membantu. Dan aku tersentak saat sekilat cahaya yang teramat terang
tiba-tiba menguasai jarak pandangku. Putih dan amat menyilaukan.
Aku tak tahu apa yang terjadi
setelah itu. Yang kutahu, seminggu kemudian aku sudah duduk di atas kursi
roda dengan kaki yang tak lagi mampu
kugerakkan. Sedangkan kau, masih saja terlelap di atas brankar putih dengan
balutan selang yang terhubung dengan berbagai peralatan medis. Air mataku
menderas. Betapa menderitanya dirimu karena ulahku.
Seminggu, dua minggu, sebulan. Kau
masih saja terlelap. Bahkan saat kuletakkan kue ulang tahun dengan nyala lilin
berangka dua puluh satu, kau sama sekali tak peduli. April, ini hari yang kau
tunggu. Kau bilang, di usia dua puluh satu kau akan merasa semakin dewasa.
Semakin mencintai hidupmu dan hidup orang-orang yang kau sayangi. Kau bilang
akan merayakan pesta ulang tahunmu bersama anak-anak yatim piatu lain yang
selalu kau jadikan teman disaat sepi. Tapi maafkan aku, April, kau hanya bisa
merayakan ulang tahunmu bersamaku. Dalam sepi, tanpa nyanyian dan lagu-lagu
gembira. Tapi aku janji, April, aku akan merayakan ulang tahunmu bersama
mereka. Dan aku berjanji akan menjadi pelipurmu sepanjang siang dan malam. Aku takkan
pernah sekalipun meninggalkanmu di sini.
Bangunlah, tiup lilinmu, dan ucapkan
harapanmu…
Dua bulan, lima bulan, sepuluh
bulan, kau tetap saja terlelap. Tak rindukah kau padaku, April? Bangunlah
kasihku, belai wajahku seperti selalu kau lakukan saat melihat aku tampak
semakin gemuk. Dan kau bilang, “Sayang… sepertinya aku berhasil membuatmu
bahagia.” Bangun, April, sentuh bibirku agar aku bisa kembali tersenyum seperti
dulu. Tertawa bersama saat kau gelitik kupingku dengan batang ilalang yang
bunganya telah kau tiup hingga berhamburan di kepalaku. April…
Setahun… setahun kembali berlalu.
Aku yang tak pernah sekalipun jemu menemanimu lewati detik demi detik yang menyiksa
dalam tidurmu, hanya bisa menahan rindu. Air mata ini telah kering sejak kulihat
ribuan tetes air menganak sungai di pipimu. Dan kau tak pernah bangun untuk
menceritakan mimpi-mimpimu. Berbagi sedihmu, juga rasa takutmu. April, ini aku,
kekasihmu, yang telah ratusan kali mengucap janji untuk selalu setia. Atau,
apakah kau marah padaku? Kau marah sebab aku tak bisa mewujudkan keinginanmu
untuk merayakan ulang tahun bersama anak-anak itu? Kau marah karena aku telah
merenggut kebahagiaan hidupmu karena kecelakaan itu?
April… maafkan atas semua
kebodohanku.
*
Malam ini, dingin mengoyak luka di
hatiku. Perih. Dadaku bergetar hebat saat kudekap sebuah kue berhias
bunga-bunga berwarna jingga. Warna senja kesukaanmu. Lalu lilin dengan dua buah
angka dua bertengger di atasnya, menyala lembut. Menanti kau meniupnya.
Kuarahkan kursi rodaku menuju tempatmu
berbaring. Sejenak kutangkap alat deteksi jantungmu bergerak lebih cepat. Napasmu
memburu saat jemarimu kusentuh. Tapi kau tetap bergeming.
“Selamat ulang tahun, April,”
bisikku lirih. Tak terasa bergulir cairan hangat dari kelopak mataku.
Kuletakan kue ulang tahun dengan
hiasan bunga-bunga kesukaanmu di atas nakas, lalu kutatap dirimu.
“Aku tahu kamu marah padaku. Maafkan
aku, April. Semua ini salahku. Aku janji akan menemanimu sampai kapanpun.
Sampai kamu terjaga dan kita kembali seperti dulu.”
Setetes air menggenang di kedua
sudut matamu, lalu perlahan luruh. Kau mendengarku , April? Setelah sekian
bulan aku menunggumu, hari ini kau bisa merespon ucapanku.
“Lihat, April, aku bawakan hadiah
ulang tahun untukmu. Anak-anak itu…”
Aku membuka pintu kamar dan
mempersilakan masuk belasan anak panti asuhan. Mereka akan menyanyikan lagu
Selamat Ulang Tahun untukmu.
Panjang
umurnya… panjang umurnya… panjang umurnya serta mulia
Serta
mulia … serta mulia …
Air matamu menderas. Tubuhmu
terguncang hebat karena isakmu. Tapi matamu tetap terpejam.
Potong
kuenya… potong kuenya... potong kuenya sekarang juga
Sekarang
juga…
Lanjutku dengan derai yang jauh
lebih hebat. Lalu kukecup keningmu, dan kau kudekap dengan erat.
Petir tiba-tiba bergemuruh di luar
sana. Hujan kembali luruh. Pelukku semakin erat karena tiba-tiba saja kau menggigil.
Kilatan cahaya yang sangat terang, disusul suara petir yang sangat dahsyat
membuat tubuhmu terlonjak.
“A… aku takut, Julian…” bisikmu terbata
dengan mata tetap terpejam.
Aku tersentak tak percaya.
“Ju… Julian… jangan ting… galkan aku
lagi…” rinai meluruh dengan deras. Gegas kuhapus dengan perasaan tak tentu.
Apakah aku sedang berhalusinasi?
Perlahan-lahan kelopak matamu
terbuka. Redup, tetapi memancarkan kerinduan yang membuncah.
“April…” pekikku tertahan. Benarkah
…
Kepalamu mengangguk lemah. “Te… terima
kasih, Julian…” kau mencoba menggerakkan tanganmu untuk menyentuhku. Aku yang
lalu meraih jemarimu dengan haru. Bahagia sebab kau telah kembali.
“April,” hanya namamu saja yang
terus kuulang.
“Julian, apa kau baik-baik saja?”
tanyamu. Tak kusangka dalam keadaan seperti ini kau masih saja
mengkhawatirkanku. Mungkin kau pikir baru terjaga setelah terjatuh dari motor
beberapa saat lalu. Bukan dua tahun lampau.
“Jangan pergi, Julian,” desismu.
Kucium jemarimu yang menghangat,
dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
“Aku janji, April, aku janji,” balasku.
Perlahan matamu mengedar.
Anak-anak dari panti asuhan itu serentak
tersenyum menyambutmu. Mereka lalu bergantian menyalamimu. Kau tampak sangat
bahagia. Dan itu membuatku jauh lebih bahagia.
*
Di atas tripod lukis yang menghadap langit
berwarna kuning kemerahan, tergantung sebuah kain kanvas dengan gambar yang
baru saja selesai kau lukis. Rambutmu tergerai indah, tertiup angin yang sekian
lama merindukanmu. Senyum indah merekah saat bola matamu tertumpu padaku.
“Beres!” teriakmu, membuatku tak
sabar untuk segera melihat hasilnya.
Kugerakkan kursi rodaku, tetapi
segera kau menghambur ke arahku karena kau lihat aku kesulitan memutarnya. Kerikil-kerikil
kecil itu menggoda dengan menghalangi jalanku.
“Makasih ya,” ucapku tulus.
Lalu kau dorong aku menuju tripod
lukismu. Dan kau biarkan aku mematung lama dengan mata berderai.
Sebuah lukisan langit kala senja, dengan semburat jingga di tepi
atas, dan warna hijau di bagian bawahnya. Warna rumput ilalang dengan
bunga-bunga putih halus yang siap terbang saat angin menggelitiknya. Seorang
lelaki yang tengah duduk di atas kursi roda menatap cahaya matahari yang meredup
di cakrawala, di balik awan berwarna merah saga. Itulah aku. Laki-laki yang telah
membuatmu kembali tersenyum meski separuh kakinya tak lagi bisa digerakkan.
“Aku yang seharusnya berterima kasih
padamu, Julian,” kau raih jemariku, lalu perlahan kaukecup. Matamu terpejam
seolah tengah meresapi cinta yang menjalar lewat nadi-nadiku.
“Kalau kamu tak setia menemaniku
tertidur selama dua tahun ini, mungkin aku tak akan pernah bangun lagi. Tak
akan bisa menikmati senja seperti dulu. Tak akan bisa memelukmu. Aku bahagia
karenamu, Julian.” Tanganmu merentang dan memeluk pundakku dari belakang kursi
roda. Bibirmu mendarat halus di ubun-ubun kepalaku.
Aku juga bahagia, April. Sangat
bahagia. Kita bisa menikmati senja terindah di bulan April. Bulan kelahiranmu.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar