Alan
hendak merogoh kunci kamar kos dari saku jins-nya saat ia menangkap tawa pelan
disertai gemerisik ritmik dari kamar sebelah. Diliriknya sekilas sepasang sepatu
kulit mengkilat tergolek di samping keset pintu, sebelum ia bergegas masuk. Dari
balik gordeng, tampak sebuah sedan mewah terparkir mentereng diantara
mobil-mobil lain milik para penghuni kosan, termasuk mobil sport tua miliknya. Wajah
Alan semakin muram, kini.
Kemarin
Nata bercerita bahwa ia resmi menjalin hubungan dengan seorang pengacara muda yang
raut tampannya sering nongol di televisi dan belakangan jadi pembicaraan publik
di mana-mana. Tak sedikit artis yang sengaja mencari-cari masalah agar kasus
yang mereka hadapi bisa ditangani oleh pengacara kondang itu.
Alan
pun tak bisa memungkiri bahwa si pengacara memiliki pesona luar biasa yang
sanggup menghipnotis ribuan wanita dalam sekali tatap. Hanya saja, Alan belum
siap menghadapi kekecewaan luar biasa yang pasti menghinggapi dirinya jika Nata
juga menjadi korban keramahan palsu laki-laki perlente dan penuh kamuflase itu. Korban yang secara sukarela menyerahkan
dirinya demi kepuasan sesaat dan kebanggan semu. Atau justru sebaliknya?
Laki-laki itu yang terpedaya oleh kecantikan dan rayu Nata?
Alan
begidik membayangkan Nata berada dalam pelukan laki-laki itu. Entah apa yang
menjadi obsesi gadis yang tak pernah sedetik pun lengah dalam ingatan Alan itu.
Perempuan asal Manado yang mencari peruntungan di Jakarta dengan modal nekat, tanpa
bekal keterampilan khusus itu lebih suka menjalin cinta dengan pria berduit
daripada bekerja, demi menjamin kelangsungan hidupnya. Ia berani melakukan
apapun asal bisa tetap bertahan.
“Kalo sampai kamu yang kalah
taruhan, kamu mesti menuruti semua keinginanku!” Kesepakatan sepihak itu
meluncur dari bibir Nata saat Alan menyatakan tak percaya jika Nata bisa menggaet
Fariel, pengacara fenomenal itu. Dalam hati, Alan sebenarnya tak meragukan sedikitpun
kemampuan Nata. Ia tahu persis perempuan berambut ombak itu bisa meruntuhkan
hati banyak laki-laki, menggoda, dan menjebaknya ke dalam perangkap penuh
hasrat. Meskipun merebut Fariel dan membuat perhatiannya teralih dari sekian
banyak perempuan yang bergelayut manja di bahunya, bukanlah perkara mudah,
namun Alan yakin Nata pasti bisa melakukannya. Hanya saja, Alan tak mungkin
menunjukkan hal itu pada Nata.
Sialan!
Aku nggak mau jadi budak Nata untuk kesekian kalinya! Rutuk Alan. Sambil
membuka lemari pendingin mungil di bawah nakas, pikirannya melayang dalam ilusi
yang terjadi di kamar Nata. Dikeluarkannya kaleng minuman bersoda, diteguk
sedikit, lalu beranjak untuk menyalakan televisi. Sekedar mengalihkan
perhatian. Acara gosip masih merajai waktu. Ia pindahkan ke saluran lain yang
memutar acara olahraga. Lalu berganti acara parodi. Pindah ke sinetron. Ganti
ke berita kriminal. Ah, isi kepalanya hanya Nata dan laki-laki yang sedang
menindih tubuhnya hingga menimbulkan suara gemerisik penuh desir dan tawa-tawa
ringan yang menggoda.
Argghhh, menggoda? Menyiksa,
tepatnya!
Harusnya Alan tidak terlalu peduli
dengan apa yang Nata dan laki-laki itu, atau laki-laki manapun --seperti yang
sering Nata ceritakan dengan penuh gairah--, lakukan. Harusnya Alan cukup
mendengar dan tak perlu memikirkan bagaimana rasanya menjadi laki-laki yang
selalu mengelilingi hidup Nata. Ah, perempuan itu memang pandai menyiksa jiwa
kelelakian Alan dan membuatnya merana sepanjang malam, sejak pertama ia
mengenalnya di sebuah klab malam tiga bulan silam.
Malam itu, Alan sedang dirundung
amarah. Buncah dadanya oleh kebencian pada bos angkuh yang mempekerjakannya ibarat
budak jaman Jepang. Tak ada waktu libur, bahkan saat-saat santainya di kafe pun
terusik oleh dering telpon atau deretan perintah dalam BBM-nya. Bos, sialan! Senja di bawah temaram
lampu kafe khusus pengunjung dewasa itu sama sekali tak bisa Alan nikmati
hingga ia bertemu dengan Nata.
Perempuan itu berjalan meliuk ke
arah Alan, seumpama ular betina yang sedang menggoda sang pejantan. Bibirnya
merekah. Bulu matanya berkedip secepat sayap kumbang koksi di udara. Dan dalam
jarak yang tak lebih dari satu inchi, bahu keduanya nyaris bersentuhan,
menimbulkan riak rasa yang tak wajar bagi Alan. Tapi mungkin, biasa saja bagi
Nata.
“Sendirian?” pertanyaan pertama Nata
menjadi pembuka meluncurnya tanya-tanya lain, celoteh manja hingga akhirnya
berbuntut kemesraan sesaat. Malam pun ditutup dengan pelukan hangat di atas
sofa apartemen Alan.
Hari-hari berikutnya Alan mencari Nata
di tempat yang sama, namun entah kenapa gadis itu seolah menghilang. Dari
seorang lelaki yang Alan yakini sering mangkal dan membunuh waktu di kafe itu,
didapatlah tempat tinggal Nata. Sebuah kos tertutup di kawasan perumahan elit.
Alan berpura-pura mencari tempat singgah selama ia bertugas sementara di
Jakarta. Dan dengan sejumlah uang yang cukup untuk membayar rumah kontrakan
selama satu tahun, Alan menyewa sebuah kamar kos kosong tepat di samping kamar
Nata sampai dua bulan ke depan. Ia masih harus mengeluarkan uang tambahan pula untuk
meminta penghuni kos sebelumnya pindah ke kamar lain yang kebetulan kosong.
Alan
biarkan apartemen mewahnya kesepian seperti dirinya yang selama ini terpenjara
di sana. Berharap kehangatan, di dalam sebuah kamar kos sederhana di samping
kamar Nata. Gadis itu memekik tatkala mengetahui laki-laki tampan berdagu belah
dengan senyum setulus orang yang tak pernah mengobral cinta itu menjelma di
hadapannya. Ia tak percaya, seorang pendengar setia keluh kesahnya semalam
suntuk kala itu, kini berada semakin dekat dengan dirinya. Nata akui, ia membutuhkan
laki-laki seperti Alan.
Setiap
hari, Nata menunggu Alan pulang dari kantor, di depan teras kamar kosnya. Lalu
ia akan memberondong Alan dengan kisah-kisah yang dilaluinya hari itu. Tentang
laki-laki yang merayunya, yang memberinya hadiah barang-barang mewah atau memaksanya
berkencan. Mulanya Alan menikmati perjalanan hidup Nata dan membiarkan dirinya
larut dalam rasa takjub betapa Natasya Pramestiana yang datang jauh dari pulau
seberang mampu survive tanpa
menggantungkan diri pada orang lain, di megapolitan yang tak ramah ini. Alan
merasa malu dengan keluh kesah akan beratnya persaingan dan tekanan hidup di
Jakarta, yang selama ini membebani langkahnya. Dan diam-diam rasa suka Alan
terhadap Nata semakin kuat.
Nata
adalah perempuan yang pandai membaca isyarat yang tersembunyi di kedalaman mata
laki-laki. Dari desah suara dan gestur tubuhnya saja, Nata paham apa yang Alan
harapkan dari dirinya. Pelan-pelan ia membiarkan Alan meluapkan rasa, agar
laki-laki itu sadar, perempuan seperti apa Nata. Mungkin yang dibutuhkan Alan hanyalah
sebuah pengakuan, bahwa ia layak mendapatkan tidak sekedar cerita hidup Nata,
tetapi juga cinta dan seluruh yang ada dalam diri perempuan itu.
Semuanya
kemudian berubah menjadi lebih indah bagi Alan. Penantian Nata di ambang pintu
menjadi pelepas penat setelah seharian Alan berkutat dengan dunia angka. Dan
malam-malam menjadi semakin hangat. Terkadang panas, bahkan.
“Bagaimana
kalau kita tinggal di apartemenku saja. Sepertinya tempat tinggalku butuh
sentuhan tangan wanita,” ucap Alan pada suatu malam yang gaduh oleh angin dan
deras hujan. Di dadanya tercium wangi
olive dari pucuk kepala Nata.
“Aku
belum siap. Aku lebih menikmati kebersamaan kita di sini saja. Mencuri-curi
kesempatan dari pandangan orang-orang yang seolah membatasi, tetapi sebenarnya
tak peduli,” balas Nata acuh.
“Tapi
aku membutuhkanmu, Nat.”
“Seberapa
butuh? Apa hanya sebatas untuk melewatkan malam-malam sepimu saja? Atau kamu
akan jadikan aku bagian dari hidupmu?”
pertanyaan itu mengambang di udara. Nata tak pernah berharap laki-laki
manapun membutuhkan dirinya lebih dari sekedar pemuas dahaga yang mencekik
akibat hormon testoteron mereka bekerja over aktif. Bukankah selama ini tak
pernah ada pula yang membutuhkan dirinya lebih daripada itu?
“Tentu
saja kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, Nat,” kening Alan berkerut.
“Ya,
aku pernah jadi bagian dari hidupmu,” ucap Nata retoris. “Juga bagian dari
banyak lelaki lain yang mengakui hal yang sama.”
“Maksud
kamu?”
“Kamu
nggak usah berpura-pura menaruh rasa suka, atau lebih ekstrim lagi, ‘cinta’
padaku, Lan. Perasaan itu tak pernah ada dalam kamus hidupku. Bahkan aku tak
percaya rasa cinta itu ada di dunia.” Desis Nata skeptis. Ia melepas dekapan
Alan.
Dan
sejak malam itu Nata mulai menarik diri dari Alan. Ia tak ingin laki-laki itu berharap
terlalu jauh seperti juga dirinya yang tak mampu memberi lebih. Alan terlalu
baik untuknya.
Dalam
kegamangan yang sangat, Alan mencoba memahami kenyataan bahwa ia bukanlah
laki-laki yang layak menjadi kekasih untuk Nata. Alan tak bisa memberikan kemewahan
apapun untuk membuktikan cintanya. Alan merasa ia kalah bersaing dengan
laki-laki urban lain yang bergelimang harta dan punya kehidupan yang jauh lebih
mapan. Meski sakit, ia mundur secara perlahan dan lebih memilih untuk
berpura-pura tak pernah memiliki rasa cinta untuk Nata.
Namun
ajaibnya, waktu seperti menyedot mereka pada masa sebelum malam-malam penuh
gairah terjadi diantara mereka. Hubungan tanpa ikatan, menjadi pilihan paling
sempurna untuk keduanya. Seperti pilihan kebanyakan pasangan muda kota Jakarta
lainnya. Bagi Alan, cinta Nata ibarat sebuah fatamorgana.
“Jadi,
sekarang selebritis dadakan itu jadi pacar kamu?” simpul Alan datar, setelah
Nata berkoar tentang betapa baik Fariel padanya, sehari sebelum laki-laki itu
terkunci di kamar kos Nata.
“Kok
nadanya sentimen gitu sih? Fariel itu baik banget, tahu!” canda Nata, sambil
memasang wajah pura-pura marah.
“Iya,
dan aku sama sekali nggak pernah berbuat sedikitpun kebaikan sama kamu,” sindir
Alan lagi. Tangannya yang semula sibuk membersihkan handycam, sontak berhenti.
“Cemburu,
ya?” ledek Nata seraya menjawil dagu Alan.
“Cemburu?
Nggak pernah ada kata itu dalam kamus hidupku.”
“Kalau
begitu kita taruhan saja…”
Dan
nyatanya, Alan kalah. Nata berhasil menjadikan Fariel kekasihnya.
*
Jakarta semakin panas. Semrawut.
Meski pemimpinnya selalu blusukan dan
menjanjikan keamanan dan kenyamanan bagi
penghuninya, namun ia tak pernah bisa menjamin ada kebahagiaan dibalik megahnya
jantung ibu kota negara itu. Modernisasi hanya menyentuh sisi fisik kehidupannya
saja. Mentalnya tetap bobrok dan takkan ada yang mampu mengendalikan. Kecuali
jika jiwa-jiwa merana itu menemukan muara yang sama, yaitu kedamaian hati.
Bagi kaum pendatang, megapolitan
bukanlah siapa-siapanya. Mereka takkan peduli seandainya Jakarta dikendalikan
oleh robot berkekuatan super --yang mampu memindahkan manusia dari satu titik
ke titik lain dalam sekali kedip-- sekalipun. Mereka tak pernah mencintai
Jakarta sebagaimana penduduk asli yang kini semakin tergusur entah bersebaran
ke mana saja. Yang mereka tahu dan mau, Jakarta mampu menaikkan citra hidup
sehingga orang-orang di kampung asal mereka merasa takjub dan iri. Mereka
bangga dicap sebagai kaum urban yang berhasil!
Alan datang dari sebuah kampung
kecil di Jawa Timur, membawa mimpi yang kemudian ia gantung tinggi-tinggi di
langit Jakarta yang kelam. Lalu dipertemukan dengan kemewahan dan gaya hidup
metrosexual yang pelan tetapi pasti melesap dan mendarah daging dalam tubuhnya.
Cinta dan kepedulian terhadap sesama dengan mudah menyublim, menguar menjadi
pelengkap polutan di angkasa yang muram. Kecuali satu: hasrat untuk memiliki
hidup Natasya masih menggelora, seperti kobaran api yang meletup-letup di atas
bahan bakar cair.
Namun, kekalahan terasa akrab di
hidupnya. Setelah diperbudak oleh waktu, oleh bos yang tak berperikemanusiaan,
oleh jalanan macet dengan asap mencekik, kini cinta mengoyak sisa hidupnya.
Cinta pada Nata yang tak pernah berbalas rasa.
“Nanti malam jadi ya, Lan!”
terdengar tidak seperti sebuah pertanyaan, melainkan perintah atau sesuatu yang
sudah seharusnya Alan lakukan.
“Oke.” Alan menutup teleponnya. Laki-laki
itu selalu tunduk pada kebodohan dan rasa takut kehilangan.
Bukan lantaran Alan kalah taruhan
dengan Nata lalu ia bersedia melakukan semua yang perempuan itu inginkan.
Bukan! Alan masih menyimpan rasa sayang, suka, dan cinta pada Nata. Karenanya
ia rela memperbudak diri sendiri dengan menjadi kambing congek setiap kali Nata
dan Fariel menjalin kasih. Alan bungkam seribu bahasa tanpa Nata ataupun Fariel
minta. Popularitas Fariel sama sekali tak tercemar oleh kelakuannya yang gemar
mempermainkan wanita, sementara di rumahnya yang nyaman dengan setia istri dan
anak-anaknya menanti.
Hanya sesekali pengacara play boy itu bercengkrama di kosan Nata,
karena khawatir penghuni kos lainnya menaruh curiga dan berkoar seperti nyamuk.
Selebihnya mereka sering menghabiskan waktu di hotel atau sebuah apartemen
pribadi yang Fariel persembahkan untuk Nata. Alan mengetahui semuanya. Semua
yang terjadi diantara Nata dan Fariel!
Saat purnama sempurna menggantung di
langit Jakarta yang tidak biasanya ramah, Alan duduk di balik kemudi, menunggu
kehadiran Nata yang sedang bergegas mengunci pintu kamarnya. Dari balik spion
tampak ibu kos menghampiri Nata dan berbincang beberapa saat sebelum akhirnya
berlalu sambil melambaikan tangan.
Tak lama, Nata membuka pintu dan
mengempaskan punggungnya di kursi penumpang di samping Alan. “Ibu nitip
dibelikan blackforest untuk ulang
tahun suaminya. Katanya mau ngasi kejutan,” ucap Nata sambil mengenakan safety belt. “Jadi ketahuan deh kita
jalan bareng,” lanjut Nata sambil menggigit bibir seolah gagal untuk
sembunyi-sembunyi pergi dengan Alan.
“Bagus dong,” komentar Alan seraya
menyalakan mesin. Mobil keluar pekarangan kos, kemudian melaju lebih cepat di
jalan beraspal, membelah malam bersama mobil-mobil lain yang saling berkejaran
entah mau ke mana.
Mereka berhenti di sebuah hotel mewah
di kawasan Jakarta Pusat. Menaiki lift menuju lantai delapan, dan mengetuk
pintu salah satu kamar dengan sebuah kode khusus.
“Lama banget!” gerutu seorang
laki-laki sambil melemparkan remote TV ke sofa.
Alan dan Nata saling berpandangan.
Selalu maklum dengan tingkah laki-laki itu.
“Maaf Fariel… tadi tuh macet banget,” Nata bergelayut di pundak
laki-laki itu dan dengan lembut melepas kancing kemejanya satu persatu.
Fariel menahan jemari Nata, lalu
beralih ke arah Alan. “Bisa sambil…” tangannya menunjuk benda berat yang
melingkar di bahu Alan. Sebuah perekam video berukuran mungil yang bisa diset
di atas tripod pendek dengan kualitas hasil terbaik. Lalu dengan cekatan ia
melingkarkan lengannya ke pinggang Nata dan menggendongnya menuju kamar. Nata
berpura-pura meronta agar terasa lebih romantis.
Alan
mengikutinya dengan dada berloncatan. Ia buru-buru melepas alat perekam itu,
meletakkannya di atas meja yang mengarah langsung ke tempat tidur. Setelah
mengesetnya dengan benar, ia lalu menekan tombol ON. Kemudian Alan membuka tas
hitam dan mengeluarkan handycam untuk
merekam sisi-sisi lainnya.
Semula Alan ragu saat Nata
memintanya untuk merekam adegan mesra drinya dengan Fariel. Untuk apa? Hanya
akan menyakiti dirinya sendiri, jika ia menyaksikan kemesraan orang yang dicintainya,
dengan lelaki lain. Namun Nata terus mendesak dan mengatakan bahwa ini adalah
permintaan terakhirnya.
“Setelah ini, perjanjian kita
selesai. Hutang kalah taruhanmu itu lunas,” rayu Nata.
Meski jiwanya berontak, Alan
menyanggupi permintaan gila Nata. Baginya, ini adalah satu-staunya cara terbaik untuk menyudahi rasa cinta tak
terbalasnya pada Nata. Setelah ini semuanya selesai. Tamat. Dan Alan akan
terbebas dari belenggu cinta menyakitkan yang telah meracuni hidupnya.
Detik terasa lambat. Kisah
percintaan itu terekam jelas bukan saja dari balik kamera yang Alan pegang,
melainkan juga dalam benak dan hati Alan yang teriris. Gemuruh di dada Alan
seolah mampu membelah jantung dan memecahkan tempurung kepalanya. Bara membakar
raganya. Namun ia berusaha bertahan karena ini akan menjadi malam terakhirnya
dengan Nata. Dengan hidup dan harapan palsu akan cintanya.
Fariel terhempas dengan wajah
terpuaskan. Pun Nata. Namun hati Alan hancur berkeping seperti serpihan pesawat
yang lumat menabrak lautan.
Keesokan harinya Fariel sudah terbang
ke Eropa bersama keluarganya. Ia tak tahu bahwa di televisi nasional santer diberitakan
tentang ditemukannya mayat seorang perempuan di pinggir tol pada dini hari tadi.
Lehernya nyaris putus dijerat tiga lintang kawat oleh pembunuhnya. Berdasarkan
data diri dan saksi yang menguatkan, tuduhan mengarah pada seseorang yang
terakhir kali berjalan bersamanya.
*
Malam itu, selepas Nata dan Fariel meluapkan
cumbuan terakhirnya, Alan pun memutuskan, pertemuan itu sebagai malam terakhir
baginya bersama Nata. Biarlah rekaman video itu saja yang akan dilihatnya, jika
kelak ia merindukan Nata. Rencana itu bahkan sudah ia mantapkan sejak Nata
memintanya untuk merekam kenangan abadinya dengan Fariel, seminggu sebelumnya.
Karenanya di tengah hujan yang tiba-tiba turun deras, Alan menghentikan
mobilnya di pinggir jalan tol. Nata yang saat itu tengah terlelap. sempat
terbangun sesaat sebelum menyadari jeratan kawat melilit leher dan mengakhiri
hidupnya.
Alan membuang jasad Nata di pinggir
tol begitu saja. Ia melaju tanpa merasakan beban apapun. Menguar sudah semua
rasa cinta, benci dan dendam bersama riak air yang membungkus tubuh kaku
perempuan yang telah membunuh hatinya. Alan tak pernah takut, karena kini ia
memiliki Fariel. Hidup lelaki itu dalam genggamannya.
Fariel terpaksa menyudahi masa
liburan bersama keluarga, sebab polisi menghubunginya, atas permintaan
tersangka pembunuhan Nata yang menunjuk Fariel sebagai pengacara pribadinya.
Laki-laki itu tersentak saat melihat Alan berdiri di balik jeruji dengan senyum
dan binar mata penuh kepuasan.
“Terima kasih sudah mau menjadi
pengacaraku,” desis Alan. “Aku yakin, kamu pasti tahu apa yang harus kamu
lakukan!”
Fariel tersudut. Ia hanya mampu
menelan ludah dan berpikir keras bagaimana membebaskan laki-laki yang pasti
akan mengancam kebahagiaan hidup dan membunuh popularitas yang telah
dibangunnya sekian lama. Namun akal liciknya lebih cepat bekerja dibanding
nuraninya yang buta dan bisu.
Hanya dalam waktu sebulan saja, Alan
bebas dari segala tuntutan. Nata dinyatakan mati dibunuh oleh teman kencannya
yang menjemputnya di sebuah toko kue. Dini hari itu, usai menghabisi nyawa
Nata, Alan kembali ke kosan dan menyerahkan sebuah kue ulang tahun kepada Ibu kos. Katanya itu titipan dari
Nata sebelum ia pergi bersama laki-laki yang tak dikenalnya itu.
“Saya meminta Nata membeli black forest, dan Nata pasti akan
membelikan kue sesuai pesanan saya karena ia tahu, itu adalah kue kesukaan
suami saya yang berulang tahun esok hari itu,” sanggah Ibu kos pada sebuah
kesaksiannya di depan majelis.
Namun Fariel dengan mudah mematahkan
teori bahwa Nata selalu menempati janji itu, karena menurutnya malam itu Nata yang
rencananya hendak nonton bersama Alan, tiba-tiba saja berubah pikiran dan malah
pergi dengan laki-laki lain. Belum lagi kesaksian penghuni kos lain yang sering
melihat Nata menerima tamu lelaki yang berbeda-beda, menguatkan bahwa Nata bisa
saja dibunuh oleh siapapun yang menjadi teman kencannya malam itu.
Setelah itu, sebuah skenario apik lain
yang Alan ciptakan, membuat penyelidikan kasus tewasnya Natasya Pramestiana
buntu, dan nyaris dipeti-eskan. Alan melenggang dengan senyum penuh kebebasan.
Meskipun hatinya tetap merasa perih, namun setidaknya semua penyebab rasa sakit
itu sirna, ditelan keangkuhannya sendiri.
Dan Fariel, pengacara licik itu pun
merasa bebas dari ancaman Alan yang tak pernah terucap itu. Usai penutupan
sidang kasus yang membebaskan terdakwa yang ia bela, matanya melirik seorang
gadis cantik yang sejak hari pertama sidang selalu setia duduk di pojok ruang
sidang.
Sadar
bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian sang pembela, gadis itu berjalan
perlahan ke arah Fariel.
“Selamat ya, saya kagum dengan
kelihaian Anda membela klien,” ucapnya seraya menyodorkan jemarinya.
Fariel menyentuhnya dengan ragu. “Terima
kasih. Emh, apakah kita pernah bertemu sebelum ini? Rasanya…” Semula Fariel hanya
berbasa-basi seperti yang sering ia lakukan saat bertemu dengan seorang
perempuan yang menarik hatinya, namun pada detik berikutnya dahi Fariel
berkerut. Ia mencoba mengingat sebuah momen yang mungkin menghubungkannya
dengan gadis berambut pendek yang ada di hadapannya itu.
“Tentu saja,” bisik gadis itu. “Saya
pernah melihat Anda di kosan Natasya. Dan malam itu kita berpapasan di lobi
hotel saat Anda bersama terdakwa dan gadis itu berpisah di sana.”
“Maksud Anda?” Fariel tersentak. Ia
menarik perempuan itu keluar dari ruang sidang dengan sikap yang wajar.
“Bagaimana kalau Anda menjemput saya
malam ini? Kita rayakan kemenangan Anda dengan dinner khusus. Ini alamat saya.”
Sebuah kartu nama berpindah ke
tangan Fariel. Bibir merah gadis itu mengembang. Tak perlu menunggu jawaban
dari sang pengacara, ia melenggang, meninggalkan Fariel yang mematung di
tempatnya. Laki-laki itu terpaku membaca ukiran nama indah dan jabatannya
sebagai redaktur sebuah tabloid terkenal di Jakarta.
Fariel buru-buru menyelipkan kartu
nama itu ke dalam saku jasnya, dan bergegas menemui Alan yang sedang sibuk
menjawab pertanyaan para kuli tinta di luar ruang sidang. Laki-laki yang baru
bebas dari tuntutan pembunuhan itu menyambut Fariel dengan senyum dan pelukan
hangat. Mata keduanya melepas bayang seorang perempuan melintas anggun dari
kejauhan.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar