TEMBAKAU TERAKHIR
Dialah lelaki yang tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun.
Tidak kata ‘iya’ ataupun kata ‘tidak’. Hanya anggukan kecil atau tatap kosong
yang menjawab setiap pertanyaan ku. Kadang sebening embun menggenang di pelupuk
matanya, menjadi cermin setiap ekspresi wajah orang-orang yang terpaku menatapnya.
Begitupun dengan aku. Tidak sedetik pun aku lepas dari gerak mata yang seolah
bicara dan menungguku bertanya kembali.
Dalam diam, akhirnya tetesan embun itu bergulir
menelusuri lekuk hidungnya yang bengkok. Jatuh dan berhenti sejenak di sudut bibirnya
yang mengering sebelum akhirnya merembes diantara retakan bibir biru yang
terluka. Tidak ada isak ataupun rintihan. Hening menyelimuti hati dan jiwanya.
Aku pun hanyut dalam momentum yang sulit diartikan. Seperti saat kita terpaku
diantara benda-benda yang berseliweran dan bergerak sangat cepat. Atau Mendadak
tuli diantara aneka suara bising di pusat keramaian yang penuh orang.
Lelaki itu tertunduk, menumpahkan resah dan marah. Hanya
gerakan tangan ritmisnya yang bisa membelah hati yang beku menjadi
kepingan-kepingan es yang akan mencair dengan mudah. Dengan sigap tangan-tanagn
itu melinting tembakau berserat kasar di dalam kertas rokok yang ujung-ujungnya
sudah basah oleh liur sebagai pengganti lem. Waktu kecil dulu, aku pernah
sekali menjilat ujung kertas tipis yang biasa disebut pahpir itu. Rasanya manis dan mengundangku untuk mencoba menjilat
kertas-kertas pahpir lainnya. Apakah
rasanya akan selalu sama, itu pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab sebelum
semua kertas pahpir basah dan Bapak
menjadi marah karena ia tidak bisa melinting tembakau untuk dijadikan rokok.
Tetapi lelaki itu tidak akan pernah marah. Dan aku sudah
tidak berminat dengan pahpir pembungkus tembakau itu. Satu lintingan berhasil
ia buat. Kini ia siap menyulut rokok buatan tangan itu dan menikmati rasa
tembakau paling alami. Lalu asap tebal akan keluar dari mulutnya. Membuat bibir
keringnya seperti terbakar perih.
Aku menatapnya. Dan ia balas menatapku. Hampa. Aku akan
segera pulang setelah semua orang meninggalkan lelaki itu di dalam kamarnya
yang sempit. Dan tentu saja dengan bau asap tembakau menyeruak di manapun orang
berusaha menghirup udara untuk bernapas.
“Saya pulang ya, Mas,” sudah waktunya aku pamit.
Sepertinya lelaki ini tidak akan nekat lagi seperti tadi. Setidaknya setelah ia
mendapatkan sebungkus tembakau dariku.
Kembali tatapan kosong itu sebagai jawabannya. Aku
berusaha tersenyum, membuang kalut dan khawatir dengan apa yang akan terjadi
pada lelaki itu.
Lelaki itu bernama Satrio. Tubuhnya memang sudah tidak seperkasa
namanya. Aku pernah melihat foto Mas Satrio waktu masih gagah dulu. Badannya
tegap dengan bahu lebar dan dada bidang. Sorot matanya tajam dan senyum selalu
mengembang di berbagai kesempatan yang berhasil diabadikannya dalam Polaroid. Aku pernah melihat Mas Satrio berdiri di atas
batu sambil bergaya penuh percaya diri. Ada juga foto Mas Satrio bersama
teman-temannya. Rambut keritingnya masih gondrong waktu itu. Dan ini yang
membuat Mas Satrio mudah ditemukan saat aku mencarinya dalam keruman orang-orang
yang berfoto dengannya.
Tumpukan foto-foto masa lalu Mas Satrio itu aku temukan
dalam kotak usang yang hampir diangkut pemulung. Suatu waktu -aku lupa kapan
tepatnya- aku melihat Mas Satrio mengamuk dan melempar semua barang yang ada di
kamarnya. Tapi beberapa saat kemudian tiba-tiba aku melihat ia dengan tenangnya
memindah-mindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat lain. Lalu membawa
tumpukan kotak dan menaruhnya di bak sampah. Aku menyaksikan semua itu di dalam
loteng kamarku yang tepat lurus dengan kamar Mas Satrio di loteng seberang
rumah. Dan karena begitu penasaran, aku mengendap-endap untuk memungut
barang-barang yang ia buang tadi.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kotak-kotak
yang aku pungut itu adalah barang-barang berharga -jika itu adalah milikku:
Ijazah sekolah mulai dari sekolah dasar, SMP sampai SMU, ada juga beberapa
transkrip nilai dari sebuah perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Tapi aku
tidak menemukan ijazah perguruan tinggi itu. Mungkin Mas Satrio belum menyelesaikan
kuliahnya, atau ia menyimpannya di tempat lain.
Dalam kotak lain aku menemukan foto-foto itu. Foto-foto
yang dicetak dalam bentuk polaroid di
beberapa tempat wisata, dan foto-foto lain yang dicetak di kertas foto biasa.
Aku bahkan mencuci film negatifnya hanya karena rasa penasaranku yang besar.
Dan aku mendapatkan petunjuk baru tentang siapa Mas Satrio sebenarnya. Aku
seperti sedang melakukan riset atau mempersiapkan pembelaan jika suatu waktu
warga marah karena ulah Mas Satrio yang kurang menyenangkan, lalu mengusirnya
keluar dari perkampungan warga sini.
Beberapa waktu lalu masyarakat memang kerap geram dengan
apa yang dilakukan Mas Satrio akhir-akhir ini. Mengamuk tanpa sebab seperti
orang kesurupan makhluk halus. Marah-marah dan Menendang apapun yang ia temukan
di jalan. Anak-anak menangis ketakutan kalau melihat ia mendekat, sehingga
ibu-ibu berfikir lelaki itu akan melakukan hal-hal yang tidak wajar. Tetapi di
lain kesempatan Mas Satrio tampak seperti orang biasa : berperilaku wajar dan
bertindak santun. Ia tidak banyak bicara, dan orang yang jarang melihatnya akan
berfikir lelaki ini adalah pemuda pendiam yang ramah.
Tetapi tanpa sebab yang jelas ia bisa tiba-tiba saja menjerit dan melempar barang-barang yang ada
di kamarnya. Warga sekitar tentu saja kaget dan merasa sangat terganggu. Lalu
tidak begitu lama kemudian suasana kamarnya mendadak sepi, sampai-sampai
orang-orang berubah menjadi khawatir sekaligus takut, jangan-jangan lelaki aneh
itu sudah mati bunuh diri. Tapi aku tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam
keadaan yang mendadak sunyi itu, ia pasti sedang melinting pahpir dan tembakau, lalu menghisapnya dalam-dalam. Kalau sudah
begini tampaknya permasalahan yang ia hadapi sebelumnya seperti terbang bersama
kepulan asap tembakaunya. Aku melihatnya dengan jelas seperti sedang
menyaksikan film di depan televisi.
Mas Satrio adalah lelaki muda berusia dua puluh enam
tahun. Tiga tahun lebih tua daripada aku. Dengan postur tubuhnya yang tinggi
besar orang kadang salah menduga kalau ia sudah berusia di atas tiga puluh dan
sudah berkeluarga. Ia baru pindah sekitar dua bulan yang lalu dan mengisi kamar
kontrakan tetanggaku di lantai dua. Hanya ada tiga kamar di lantai dua. Dan
kebetulan dua kamar lainnya tidak berpenghuni.
Waktu pertama datang, akulah yang membantu Mas
Satrio membawa koper-kopernya. Waktu itu
kebetulan aku baru pulang kuliah dan melihat ia kerepotan membawa barang
bawaannya yang lumayan banyak. Aku tidak banyak bertanya waktu itu. Yang aku tahu
Mas Satrio berasal dari Jombang. Ia meninggalkan perkebunan tembakau milik
keluarganya. Seiring berjalannya waktu, aku jadi sering bertemu dan punya
banyak kesempatan untuk ngobrol dengan Mas Satrio.
Ternyata Mas Satrio datang ke Jakarta bukan untuk mencari
pekerjaan. Setidaknya itulah kesimpulanku karena aku tidak pernah melihat ia keluar kamarnya dengan
mengenakan pakaian yang umumnya dipakai orang untuk melamar pekerjaan,
menjalani test atau interview kerja. Tapi aku tidak begitu ambil pusing, yang
penting aku bisa berteman dengan Mas Satrio. Aku sering bertukar pikiran, apalagi kalau aku lagi sumpek dengan
permasalahan di kampus dan hubungan
dengan teman-teman atau dosenku. Mas Satrio sering memberikan aku wejangan dan
nasehat. Ngobrol dengan Mas Satrio, aku seperti memiliki kakak lelaki sendiri.
Maklum aku anak tunggal, jadi mendapat teman seperti Mas Satrio membuat aku
merasa punya tempat untuk mengadu.
Tetapi belakangan ini sejak aku sibuk menyusun skripsi
dan sering pulang malam, aku jadi jarang
main ke kostan Mas Satrio. Hanya saja, dari awal perkenalan dengan Mas Satrio
aku memang sering memperhatikan kegiatan Mas Satrio selama di kamar kostnya.
Dari seberang kamarnya, tepatnya di kamarku sendiri, aku bisa melihat sekilas
apa yang Mas Satrio lakukan. Apalagi jendela dan pintu kamarnya jarang ditutup.
Jadi setidaknya aku tahu kalau ada hal janggal yang sering ia lakukan.
Aku tidak tahu pasti apa yang menimpa lelaki itu. Mas
Satrio tiba-tiba saja menjelma menjadi seseorang yang tidak aku kenal. Atau
mungkin aku memang belum mengenal dia lebih jauh. Aku hanya tahu bahwa sejak
kecil Mas Satrio hidup dan tinggal di perkebunan tembakau di Jombang, tempat
bapaknya dipercaya oleh pemilik tanah perkebunan itu. Sebagai anak kecil yang
selalu terlibat dengan kegiatan orangtua mereka yang sibuk bekerja di
perkebunan, Mas Satrio tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki cukup waktu
untuk bermain dan menikmati masa kanak-kanaknya. Ia pernah bercerita ingin
sekali memiliki mobil mainan seperti yang dimiliki anak majikannya. Tetapi
bapaknya tidak mungkin bisa membelikan mainan serupa yang harganya pasti sangat
mahal.
Meskipun nasib baik kemudian berpihak ke keluarga Mas
Satrio sejak bapaknya dipercaya mengelola sendiri salah satu perkebunan yang
baru dibuka di daerah lain, tetap saja kehidupan Mas Satrio tidak berubah
banyak. Keadaan ekonomi memang sudah jauh lebih baik dibandingkan dulu, tetapi
Mas Satrio tidak berusaha menebus apapun yang dulu sempat ia inginkan. Ia
terlanjur menjadi anak penakut yang tidak pernah yakin bisa memiliki sesuatu
yang ia inginkan.
Karenanya Mas Satrio keluar dari zona yang membuat
mentalnya semakin lemah itu. Ia sedang berusaha mengejar sesuatu yang aku
sendiri belum tahu apa itu. Dan ia meninggalkan Jombang untuk mendapatkan itu
di Jakarta.
‘Sebuah perjalanan’, itu adalah judul blog yang tanpa
sengaja aku baca karena kebetulan laptop
Mas Satria masih terbuka waktu aku hendak pamit pulang tadi. Aku menanyakan
apakah harus aku matikan laptop Mas Satrio atau tidak. Tetapi Mas Satrio
kelihatan sudah tertidur. Hanya dalam hitungan menit sejak ia menyalakan
tembakaunya, ia sudah berubah menjadi
bayi yang lelap tertidur. Aku pun mengurungkan niat untuk meninggalkan Mas
Satrio dalam keadaan seperti ini. Setidaknya aku bisa menemani Mas Satrio
sambil membaca isi blog yang masih online itu.
Ternyata ini adalah blog pribadi Mas Satrio. Banyak foto
dalam postingan blog itu yang aku
kenal. Kebanyakan postingan berisi
tulisan biasa dan bukan artikel yang membahas tentang materi tertentu. Malah,
kelihatannya ini blog yang berisi curahan hati pemiliknya. Ya, Mas Satrio
mengisi blog ini setiap hari dengan berbagai keluh kesah dan beragam cerita.
Tapi yang menarik perhatianku tentu saja postingan
yang sudah lama, beberapa bulan yang lalu misalnya.
Dengan membaca tulisan-tulisan lamanya, aku akan bisa mengenal Mas Satrio lebih
jauh lagi.
Dalam diary maya-nya Mas Satrio menulis kisah masa
lalunya. Masa kecil yang diisi dengan kegiatan membantu orangtuanya mengiris
tembakau, menjemur, sampai mengangkut hasil panen ke pabrik. Kebanyakan anak-anak
di Jombang melakukan kegiatan yang sama, yaitu membantu para orangtua menjadi
buruh di pabrik tembakau di daerah mereka. Begitupun dengan Mas Satrio.
Sepulang sekolah ia langsung sibuk mengerjakan tugas-tugas yang sama dengan
yang dilakukan ayahnya.
Kehidupan keluarga Mas Satrio termasuk agak sulit. Dengan
tiga orang anak, kedua orang tua Mas Satrio berusaha membesarkan anak-anak
mereka dengan bekal pendidikan yang cukup. Mas Satrio sendiri lulus dari
sekolah menengah atas di kecamatan. Tetapi namanya juga
anak-anak,
banyak keinginan yang menjadi impian Mas Satrio. Membeli mainan baru, bermain
bersama teman-temannya tanpa harus memikirkan beban pekerjaan yang sebenarnya
bukan tanggung jawabnya. Sampai menginjak remaja ia juga ingin menikmati masa
remaja seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
Tetapi nasib selalu berbeda. Ia yang hanya anak buruh
biasa, tidak mungkin bisa mengalami nasib yang sama dengan anak majikannya. Adalah Danang, anak majikannya yang selalu menjadi patokan
cita-cita Satrio kecil. Saat Danang memperlihatkan mainan barunya berupa
mobil-mobilan yang pintu-pintunya bisa dibuka dengan remote control dari jarak jauh, malam harinya Satria bermimpi bisa
memiliki mainan serupa. Waktu Danang memamerkan sepatu roda barunya, Satrio
bertekad untuk bisa memiliki sepatu roda entah dengan cara bagaimanapun. Tetapi
cita-cita dan keingin Satrio tidak lantas bisa cepat terwujud. Atau mungkin
malah terjebak dalam kantong angan-angannya saja.
Beruntung Danang selalu mau berteman dengan Satrio, dan
kerapkali meminjamkan mainannya. Meski kadang-kadang anak-anak kecil tiba-tiba
saja berubah menjadi saling bermusuhan, tetapi
keduanya kemudian tertawa bersama-sama lagi seolah tidak pernah ada
yang menyakiti ataupun tersakiti. Tetapi lain ceritanya
ketika kedua anak berbeda kasta ini beranjak remaja, perbedaan tidak kemudian
menyatukan mereka menjadi dua sahabat yang saling melengkapi. Tidak untuk
urusan yang satu ini.
Seorang gadis, seolah merupakan permainan baru yang memunculkan kompetisi
diantara kedua anak baru gede berbeda nasib itu. Tetapi sang gadis tidak bisa
memilih keduanya sekaligus. Mungkin tidak juga salah satunya. Danang berusaha
sekuat tenaga dengan berbagai maneuver yang menunjukkan statusnya sebagai anak
orang kaya untuk mendapatkan hati sang gadis. Begitupun dengan Satrio yang
dengan kesederhanaannya berusaha membeli hati sang gadis
dengan menjual sikap manis dan penuh perhatiannya. Mungkin dengan puisi
dan kata-kata romantis yang biasanya meluluhkan para gadis..
Lara, sang gadis pun jatuh cinta pada Mas Satrio. Tetapi
kisah cinta mereka tidak semulus jalan tol yang baru dibangun waktu itu. Ayah
Danang yang sangat jeli dalam berbagai urusan bisnis, membuka kembali jalan
cinta Danang yang sempat tersendat. Ia meminta ayah Lara yang juga salah satu
staf kepercayaannya untuk menjodohkan anak mereka. Dan untuk menutupi semua itu
–setidaknya yang menjadi perkiraan Mas Satrio, ayah Mas Satrio dipindahtugaskan
untuk mengelola satu perkebunan baru yang kurang produktif. Konon ayah Mas
Satrio menyanggupi ini sebagai sebuah tantangan dalam karier hidupnya.
Waktu berjalan cepat, Danang dan Lara pun menikah. Entah
dengan dasar cinta yang kemudian tumbuh, ataukah hanya
karena sebuah keterpaksaan, Lara tidak bisa menolak nasib
yang sudah digoreskan. Ia melupakan cinta yang pernah tumbuh di hatinya untuk
Mas Satrio, dan bahkan membiarkan cinta Mas Satrio mengering untuk kemudian
mati merana.
Dalam postingan beberapa bulan kemudian, Mas Satrio
menceritakan keresahan dan sakit hati atas perlakuan nasib terhadap dirinya.
Aku tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya sampai-sampai ia menulis begitu
banyak puisi tentang kesedihan dan dendam. Ia ingin melupakan semuanya, tetapi
ia tidak bisa melepaskan masa lalunya yang terikat kuat dengan dunia tembakau.
Dunia yang sudah membesarkan sekaligus menghancurkan hidupnya.
Karenanya Mas Satrio meninggalkan kota tempat
kelahirannya. Ke mana saja, asalkan ia jauh dari Jombang, Lara
dan Danang, juga tembakau. Mungkin ia pernah tinggal di beberapa kota sebelum akhirnya
menetap di sini. Tetapi di manapun ia tinggal, ternyata
ia tidak
pernah bisa melupakan semuanya. Terutama tembakau. Setiap hari ia
menghisap puluhan linting tembakau untuk mengenang sekaligus membangkitkan
kembali dendam di hatinya. Kalau sedang kalut dan marah, ia tidak akan
menghisap tembakau itu, tetapi ia akan membakar bertumpuk-tumpuk tembakau dan
membiarkan asap memenuhi kamarnya, menyesakkan dadanya, dan membuat matanya
berair sampai pagi. Lalu ampas tembakau yang tidak terbakar akan ia seduh
bersama kopi kentalnya, dan dihirup hingga tandas. Setelah itu akan merasa sangat puas karena dengan begitu ia bisa melupakan cintanya yang kandas.
Seperti apa yang
sudah ia lakukan beberapa hari yang lalu rupanya. Dan
saat ini aku
masih bisa merasakan aroma tembakau terbakar di mana-mana, seperti bau
pembakaran jerami atau sampah kering. Tetapi ada bau khas yang memabukkan dan
lebih menyesakkan dibanding asap knalpot bajaj ataupun bis tua. Bau yang
kemudian bisa saja membunuh saraf-saraf siapapun yang berlama-lama menghirupnya.
Aku memeriksa denyut nadi Mas Satrio. Lemah. Dalam
keadaan panik aku segera menelpon rumah sakit dan meminta ambulan menjemput Mas
Satrio. Untungnya tidak lama berselang ambulan yang ditunggu datang.
Bersama-sama dengan beberapa teman, pemuda warga sini dan petugas medis rumah
sakit, aku mengangkat tubuh Mas Satrio yang lemah dan membawanya ke dalam
ambulan. Jerit ambulan menarik perhatian warga sehingga mereka berkerumun dan
kasak kusuk setelah melihat apa yang terjadi.
Aku mengantarkan Mas Satrio sampai rumah sakit, mengurus
administrasi dan berbagai keperluan lainnya.
Dan di sinilah aku sekarang, menjaga Mas Satrio, orang yang belum lama
aku kenal tetapi sudah memberikan cukup banyak pelajaran berharga dari
pengalaman hidup yang dilaluinya.
Menurut diagnosa dokter, Mas Satrio mengalami keracunan
tembakau. Bukan tembakaunya yang mengandung racun, tetapi dosis yang ia
konsumsi melebihi kapasitas tubuh manusia dalam menerima asupan zat nikotin dan
karbondioksida dari hasil pembakaran tembakau. Kalau saja Mas Satrio terlambat
dibawa ke rumah sakit, aku tidak akan pernah tahu bagaimana nasibnya.
Beberapa hari kemudian Mas Satrio sudah mulai pulih.
Meski selang infus masih bergelantungan di kiri kanan tangannya, tetapi Mas
Satrio sudah diperbolehkan duduk tegak. Tabung oksigen yang sebelumnya menjadi
gantungan hidup Mas Satrio, kini hanya dipasang sesekali saja. Dan dokter tidak
melarang ia menggunakan laptopnya kembali.
“Makasih ya, Gilang, kalau tidak ada kamu, saya mungkin
sudah lewat,” Mas Satrio menepuk punggung tanganku. Tatapan matanya mulai
bersinar, tidak kuyu seperti sebelum dirawat.
“Sama-sama, Mas. Saya minta maaf karena sudah lancang
membuka laptop Mas Satrio malam itu,” balasku, mengingat kelancanganku yang
sudah membaca catatan pribadi Mas Satrio.
“Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak buka laptopku, mungkin
kamu sudah pulang, dan besoknya mendengar kabar kalau Aku sudah mati,” Mas
Satrio menyeringai. “Aku tidak tahu, kenapa aku begitu bodoh. Bagaimana cinta
yang tidak berujung ini bisa membutakan hati dan pikiranku pada dunia yang
sebenarnya masih menyebarkan banyak cinta. Heran, aku kok bisa ya kerasukan
tembakau, hahaha”
“Iya, Mas.
Tapi semua ini pasti ada hikmahnya. Yang penting sekarang, Mas Satrio harus
nurut apa kata dokter.” Mungkin ini yang lebih baik aku katakan sekarang ini.
“Iya, aku
berjanji, tidak akan mengkonsumsi tembakau lagi. Apalagi membakar dan
memakannya, haha bodohnya aku…” kembali Mas Satrio
menyeringai seolah rasa sakit sudah benar-benar lenyap dari tubuhnya.
Mungkin tembakau terakhir malam itu yang menyadarkan Mas
Satrio bahwa terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu itu
sama sekali tidak ada gunanya. Lebih baik menatap masa depan dan melangkah
untuk menggapai impian dan harapan.
Beberapa bulan sejak kejadian itu Mas Satrio meninggalkan
kontrakannya. Aku tidak tahu persisnya ke mana ia akan pergi. Tetapi setahun
setelah itu, tepat sehari setelah hari wisudaku, ia datang menemuiku.
Penampilannya sangat jauh berbeda. Dengan potongan rambut pendeknya ia
sangat tampan dan berwibawa. Kemeja dan dasinya licin sekali. Laiknya seorang executive muda, ia turun dari sebuah
mobil mewah. Aku sangat pangling dibuatnya.
“Mas Satrio?” aku tercengang. Dan yang lebih
mencengangkan, ia sengaja datang menemuiku untuk mengajakku bekerja di
perusahaan yang baru dibukanya. Tidak tanggung-tanggung aku ditawari menjadi seorang manager
marketing, sangat relevan dengan gelar yang sekarang aku sandang, sarjana
ekonomi.
“Kalau ada gadis yang perlu kamu kasi kabar, segera
kabari, karena tugas kamu lumayan berat. Mungkin baru sebulan sekali kamu bisa
nengok pacar kamu itu.” Ucapnya. Perusahaan yang Mas Satrio kelola bergerak di
bidang industri rokok. Meskipun masih ada kaitannya dengan
tembakau rupanya, tetapi Mas Satrio bilang, malam itu adalah
tembakau terakhirnya, ia benar-benar sudah tidak merokok lagi, kecuali untuk
urusan test rasa.
“Saya tidak punya cewek,
Mas,” kataku malu-malu.
“Kebetulan kalau begitu, istriku punya adik perempuan
yang ayu. Siapa tahu kalian berjodoh,” derai tawa
kami melengkapi kebahagiaanku mendapatkan rezeki nomplok pekerjaan ini.
Alhamdulillah. Teman-temanku yang fresh graduate mungkin tidak akan
semudah ini mendapatkan posisi jabatan sebagai manager. Tetapi aku.. Tuhan
memang Maha Bijaksana. Terima kasih Tuhan.
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar