‘DZIKIR JANTUNG FATIMAH’
( Sebuah resume sederhana untuk
novel yang Luar Biasa karya Naning Pranoto)
Oleh : Kamiluddin Azis
Seharusnya saya atau siapapun
yang telah membaca buku indah ini bisa membuat sebuah resume yang luar biasa,
sebagaimana isi novel ini yang di mata saya sangat spektakuler. Akan tetapi
karena keterbatasan saya dalam membuat sebuah tulisan, saya harap ‘pujian’ saya
terhadap buku ini - meskipun dikemas dalam bahasa yang sederhana- bisa mewakili
rasa takjub saya yang tidak bisa digambarkan sepenuhnya melalui aksara.
Adalah Ayu, Sri Rahayu, gadis
yang belum genap enam belas tahun dan memiliki keterbatasan fisik karena derita
folio menyebabkan kakinya harus ditopang alat bantu agar bisa berjalan dengan
normal ini, yang membuat saya jatuh hati -setengah mati- pada novel ini. Gadis
belia ini memiliki pembawaan yang sangat dewasa dengan pola pikir yang matang
dan sikap yang mencerminkan intelektualitas yang tinggi serta budi pekerti yang
luhur. Bunda Naning sangat bijak dengan menciptakan tokoh Ayu sebagai tokoh
utama yang sangat kuat dalam novelnya.
Sifat
Ayu yang begitu cerdas ini timbul akibat tempaan problematika hidup yang ia
lewati. Ayahnya yang meninggal pada saat ia masih kecil, dibesarkan oleh ibunya
yang memiliki sifat matre dan selalu royal dalam segala hal tidak lantas
membuat Ayu tumbuh menjadi gadis kolokan. Bahkan sampai Ayu dibawa ke negeri
Kanguru karena sang ibu menikah dengan pria bule di sana pun, Ayu tetap menunjukkan
sikap yang sangat dewasa. Konflik batin berkecamuk antara ingin berontak
menghadapi kondisi hidupnya di negeri asing bersama ibu dan ayah tirinya yang
sama sekali belum ia kenal, dengan keinginannya untuk mencari dan mendapatkan
cahaya hidup dari-Nya. Sebuah pergolakan jiwa yang sangat apik yang dituturkan
Bunda Naning dengan gaya bahasa khas satrawan yang kaya akan majas dan
metafora.
Meskipun
di depan cover buku ini tidak dilabeli dengan tulisan ‘novel religi’ atau
‘novel Islami’, dengan membaca judulnya saja : Dzikir Jantung Fatimah, sekilas orang akan langsung mengklaim novel
ini sebagai novel dengan tema yang Islami. Dan tidak bisa dipungkiri novel ini
memang kental dengan ajaran Islam. Bunda Naning bahkan mengutip banyak hadis
dalam percakapan Ayu dengan Marco, seorang tokoh muslim mualaf warga Australia
yang kemudian menjadi sahabat dan ayah angkat Ayu. Contoh-contoh perilaku
muslim-muslimah yang shaleh, dan beberapa tokoh islami yang kemudian juga hadir
meramaikan perjalanan Ayu selama berada di Australia membuat pembaca terutama
saya mendapat banyak pengetahuan tentang perkembangan Islam di Australia.
Saya,
dan pembaca lain merasa semakin dekat dengan Islam dan Allah, karena di
sepanjang novel ini, Bunda Naning selalu mengumandangkan doa-doa dan
dzikir-dzikir dengan menyebut Asmaul Husna. Doa-doa yang setelah kita
membacanya, meresap ke dalam jiwa sebuah ketenangan dan kenyamanan. Rasanya
Allah dan cahanya-Nya semakin dekat menuntun, seperti halnya Ayu yang selalu
dimudahkan jalannya dalam menghadapi segala kesulitan hidupnya dengan
dipertemukannya dengan banyak orang baik di negara asing yang baru sekali itu
ia kunjungi. Mereka adalah perpanjangan hasta-Nya, begitu Ayu selalu
mengistilahkannya.
Dzikir
Jantung Fatimah bukanlah novel biasa. Novel ini berhasil menggugah semangat
hidup saya dan –saya yakin- pembaca lain, dengan menonjolkan sifat Ayu yang
selalu sabar dan senantiasa ingat kepada Sang Khalik. Ayu yang selalu
meneladani sifat-sifat Fatimah Az-Zahra puteri Rasulullah. Ayu yang berani
mengambil sikap tegas untuk menjalani hidupnya sendiri dan berani menentukan
masa depannya. Dan Novel ini kemudian menjadi sangat luar biasa di mata saya
karena dalam setiap Bab, nama Allah dengan indah dan agung Asmaul Husna-Nya
selalu disebut satu persatu. Dalam rangkaian doa, dan keluh kesah seorang hamba
yang didera kesulitan hidup, Asma Allah menjadi penyejuk dan penuntun jalan
menuju kebenaran.
Kisah
sederhana namun unik yang diramu dalam bahasa sastra yang begitu indah adalah
bonus karena kekuatan lain dari novel Bunda Naning yang satu ini adalah prosa
liriknya yang begitu memesona, menyentuh dan sangat kaya akan sentuhan Islami
yang menggelorakan semangat untuk selalu
mengingat-Nya.
Kalau
saja semua jariku jempol semua, sudah pasti saya akan bentangkan sepuluh jari
ini sebagai bentuk apresiasi saya terhadap karya indah Bunda Naning Pranoto
ini. Subhanallah, two tumbs untuk persembahan Bunda dalam dunia sastra
Indonesia yang selalu sarat akan makna hidup dan kaya akan pesan moral. Saya
akan membaca semua karya Bunda Naning lainnya.
Bandung, 21 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar