Sepeninggal
Aki Isak, banyak orang percaya bahwa ilmu sakti yang dimilikinya tidak akan
hilang. Konon ilmu seperti itu akan menurun pada selang generasi. Kakek ke
cucu, lalu dari cucu ke cucu berikutnya lagi. Dan seterusnya. Mulailah warga
kasak-kusuk. Cucu manakah yang akan menjadi pengganti Aki Isak, orang pintar
yang terkenal seantero kampung itu?
“Mungkin Yusup. Pembawaannya tenang.
Bersahaja,” tebak seorang lelaki berkumis lebat pada suatu siang diantara
kerumunan peminum kopi tubruk di warung Ceu Romlah.
“Kalau menurut saya mah, si Adim. Sejak kecil wataknya
keras. Baragajul[i].
Pergaulannya luas, dan dia itu pemberani, persis seperti kakeknya,” timpal lelaki
paling tua diselingi batuk kering.
“Saya curiga si Samil. Biarpun cuek,
tapi sorot matanya eta tah, siga heulang rek newak anak hayam[ii]!!”
bantah seorang hansip, yakin.
“Tapi budak eta mah pinter teuing. Nggak bakal percaya ilmu begituan!” Ceu
Romlah berbisik. Ia tidak sadar saat seorang pemuda tiba-tiba muncul. Sambil
melepas ransel, laki-laki itu duduk di kursi pojok.
Atmosfir berubah sunyi.
“Kopi, Ceu!” Diraih sepotong pisang
goreng, lalu dikunyah perlahan. Dua-tiga orang saling sikut tertangkap Ekor
matanya.
Ceu Romlah tergopoh menyeduh kopi
tubruk. Tangannya bahkan gemetar kala menyodorkan kopi panas beralas piring
kecil ke hadapan laki-laki berparas tampan itu. “Ke mana saja, Mil?” basa-basi
Ceu Romlah dengan suara berfibra.
“Ada, Ceu.” Ditatapnya wajah
orang-orang yang berada di sekitarnya. Satu persatu. Tidak banyak berubah, batinnya. Penuh curiga dan apatis.
“Sekarang Aki sudah almarhum. Jadi,
tidak ada alasan untuk percaya hal-hal mistis lagi,” celetuk Samil. Kata-katanya
setegas apa yang selama ini ia dengar. Ia gemas dengan sikap warga yang selalu
mengagungkan dunia takhayul. Kini, sudah saatnya untuk berubah.
“Jangan sembarangan ngomong, maneh[iii],
Mil! Aki Isak baru tiga hari dikubur. Bisa murka dia!” Berdiri seorang lelaki
berbadan tegap. Dari mulutnya menyembur amarah.
Samil bergeming.
“Terus, Bapak mau berimam ke siapa?”
“Mil, jaga omongan kamu, jangan
bikin kampung kita tambah kisruh!” Pak hansip angkat bicara.
Samil ikut berdiri. “Kisruh, Pak? Seingat
saya, kampung kita ini tak pernah benar-benar tenang. Atau warga sini merasa
aman-aman saja?” sindir Samil lagi, “Sudah jelas kemadorotan berkembang biak dengan mudah di sini. Apakah
Bapak-bapak tidak sadar kalau setiap hari hidup berdampingan dengan setan?!”
“Sangeunahna
siah[iv]!”
Laki-laki berbadan tegap itu menggulung dengan cepat lengan kemejanya. Mukanya
terbakar.
“Sudah, sudah, Pak, jangan bikin ribut
di warung saya!” Ceu Romlah panik.
“Biarkan saja dia omong apa. Kita
jalani hidup kita seperti biasa saja,” Pak Tua melerai. “Kalau si Samil tidak
mau jadi penerus Aki Isak, masih ada sembilan cucu si Aki yang bisa kita
angkat.”
Wajah Samil tak kalah membara. Jika
ia tidak mau menjadi penerus Aki Isak, maka ia juga tidak akan membiarkan
keempat kakak dan kelima adiknya mengambil alih. Tidak ada seorang pun yang
berkewajiban menjadi penerus praktik perdukunan Aki Isak. Semua sudah berakhir!
Setelah meletakkan selembar uang di bawah alas kopinya, Samil berlalu. Tak
peduli tatapan garang dan penuh tanya menyelimuti wajah orang-orang yang di
matanya terlihat aneh dan memprihatinkan itu.
*
Kampung
Simpang Layang itu tampak mati. Padahal lamat-lamat adzan Maghrib belum lama
hilang. Lereng Gunung Gede angkuh berkuasa.
Samil menyandarkan punggungnya di dipan berkasur
kapuk. Pikirannya masih dikabuti perdebatan siang tadi. Setelah kepergiannya selama lebih dari empat
tahun, ternyata paradigma masyarakat di kampung ini belum berubah. Mereka masih
memercayai hal-hal yang berbau klenik. Mistis. Peruntungan lewat ramalan yang
nampak melalui air yang ditiupkan doa orang sakti. Doa atau lebih tepatnya
mantera dari mulut Aki Isak, kakeknya. Mereka lebih memilih mendengarkan apa
yang Aki Isak katakan ketimbang meminta isyarat dari Gusti Allah.
Kini, setelah orang yang menjadi
tetua, pemberi petuah dan tempat meminta tolong jika sedang dirudung kesusahan
itu sudah tiada, orang-orang ketakutan. Kampung akan dilanda petaka hebat,
simpul mereka. Selang sehari kematian Aki Isak saja, keributan terjadi di ujung
kampung. Seorang warga kehilangan kambing, dan menuding warga lain yang
mencurinya. Tidak ada bukti. Tapi pertengkaran itu tak terlerai. Seorang
menjadi korban bacok dan harus dilarikan ke rumah sakit. Coba kalau ada Aki
Isak, mungkin maling itu sudah ketahuan, begitu celetuk warga. Malam
berikutnya, seorang perempuan melahirkan anak cacat. Kematian Aki Isak lalu
dihubung-hubungkannya.
Sudah sejak puluhan tahun, Aki Isak
dianggap sebagai pelindung kampung dari segala marabahaya. Karenanya, kematian
laki-laki seratus Sembilan tahun itu adalah musibah besar. Namun warga yakin
ada diantara cucu Aki Isak yang mewarisi kebisaannya, sehingga kelak mampu
menyelamatkan kampung. Dan santer beredar, --dari sikap Aki Isak selama ini-- Samil-lah cucu terpilih itu.
*
Barangkali
menjejakkan kaki kembali ke tanah kelahiran bagi sebagian orang adalah berkah.
Tapi tidak bagi Samil. Kehadirannya yang sudah ditunggu banyak orang bukanlah
alasan ia pulang. Ia hanya menaruh hormat kepada mendiang, dan kedua orangtuanya.
Warga yang menduga bahwa kepulangan Samil ialah
untuk menerima warisan ilmu kakeknya dibuat kecewa. Marah bahkan. Pemuda itu
terang-terangan menolak, seperti yang ia lakukan sebelum minggat dulu. Pilihan
hidupnya jelas. Masa depannya bukan di depan batu-batu pualam dengan ukiran
naga melingkar, dan keris-keris pusaka. Bukan bersama benda-benda keramat berbau
aneh yang saban tanggal empat belas dimandikan dengan air bunga dan doa orang
sekampung.
Sejak dulu Samil tak percaya. Semua
yang terjadi –warga yang terhindar bencana, usaha seseorang maju pesat,
dikasihi banyak orang, dan semacamnya-- selalu dianggapnya kebetulan. Atau
lebih ia yakini sebagai kasih sayang Tuhan kepada mereka yang dirundung malang.
Bukan lantaran campur tangan Aki Isak. Sugesti kuat orang-orang itulah yang
mungkin berpengaruh. Keyakinan itu sendiri kemudian membuktikan kebenarannya.
Mereka lupa, kekuasaan Tuhan-lah yang sebetulnya bekerja.
Samil sudah berusaha mati-matian
untuk menolak permintaan Aki Isak, ataupun Badrun, bapaknya, ketika kakeknya
itu masih hidup. Ia tak ingin cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi
terhalang oleh beban yang Aki Isak bilang sebagai tanggung jawabnya terhadap
masyarakat. Samil ingin berbakti kepada masyarakat, tapi tidak dengan cara
menjadi penerus kakeknya. Bukan dengan menjadi dukun. Samil lalu kuliah di kota
dan bertekad takkan pulang sebelum ia dibutuhkan.
Mungkin kini saatnya. Dirinya
terpanggil untuk merubah stigma masyarakat. Meskipun warga membencinya, namun ia
akan tetap tinggal dan membuktikan bahwa kampung akan tetap aman, kendati sang
penjaga, Aki Isak sudah tiada. Besok, Samil akan menemui kakak-kakaknya
yang tinggal di kampung lain.
*
Langit-langit kamar berubah kelabu.
Mata Samil baru sekejap terpejam, saat keributan membahana di luar rumah.
“Buka !!!” seseorang berteriak, disusul gedoran
pintu mengelegar.
Samil terperanjat.
Pintu berderit. “Ada apa ini?” suara Badrun gemetar.
Teriakan bersahutan, seperti guruh saat longsor
terjadi beberapa tahun silam di kampung sebelah.
“Mana anakmu yang sok pintar itu?”
“Keluarkan si Samil!”
“Aya naon?[v]”
ulang Badrun waspada.
“Dia menolak permintaan warga, tapi diam-diam
menyantet anaknya Pak RW sampai gila!” rutuk lak-laki berseragam hijau ulat.
“Saha? Budak saha[vi]? Kumaha caritana?[vii]”
Lisah, emak Samil ketakutan. Adik-adik Samil yang beranjak remaja bersembunyi
di balik pintu.
“Gara-gara ditinggal kawin, Latifah
diguna-guna,” jerit seorang perempuan.
“Munafik! Tidak percaya dukun, tapi nyantet!” pekik si
hijau, disahuti rentetan makian pedas lainnya.
Teriakan itu makin berkobar saat Samil muncul. Keningnya
berlipat-lipat.
“Itu dia! Kita bakar saja!”
“Tunggu… tunggu!” hardik Badrun.
Cahaya obor yang diusung puluhan warga berjingkrakkan diterabas angin
gunung. Wajah-wajah berang termakan
hasutan timbul tenggelam di pelupuk mata Samil.
Dua orang lelaki berbadan tegap menerobos tubuh
Badrun. Dengan mudah mereka menyeret Samil dan mengaraknya ke tengah-tengah
warga. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuh laki-laki kurus itu.
Tak ada rintihan mengiring gemeletuk rusuk patah. Mata Samil hanya sedikit
berkabut, memandangi siluet wajah emaknya yang meronta, meminta pengampunan.
Keyakinannya kini telah mati.
“Cukup… hentikan…,” rintih Lisah tak mampu
membungkam amukan warga. Amarah itu sudah mencapai puncaknya. Menolak
permintaan warga adalah sebuah penghinaan. Terlebih warga meyakini kemampuan
Samil sama hebatnya dengan Aki Isak.
Samil tidak tahu, kebenaran mana yang
sekarang sedang dibuktikan. Tapi Aki Isak tahu, Samil pergi bukan hanya karena
tak ingin menjadi pewaris ilmu perdukunannya. Samil tak ingin menyaksikan
Latifah hidup dengan lelaki lain yang sudah dijodohkan orangtuanya. Namun
terdengar kabar Latifah tidak bahagia. Suaminya main kasar, dan baru-baru ini
memadunya. Beberapa hari setelah Samil kembali, sempat dilihatnya Latifah
sedang mencuci di sungai. Samil hendak ke bukit untuk menghirup udara segar dan
mencari inspirasi. Mereka bersitatap. Perempuan itu menunduk. Samil menangkap kegelisahan di bening matanya. Ia
tahu, Latifah menderita, seperti juga dirinya.
[i] Baragajul = nakal (bahasa Sunda, kelakuan anak muda yang selalu
cari masalah)
[ii] siga heulang rek newak anak hayam = Seperti elang hendak menerkam anak ayam (bahasa Sunda)
[iii] Maneh = kamu (bahasa Sunda, setengah kasar)
[iv] Sangeunahna, Siah! = Seenak saja! (bahasa Sunda)
[v] Aya naon? = Ada apa? (bahasa Sunda)
[vi] Budak Saha? = Anak siapa? (bahasa Sunda)
BalasHapusThank you for sharing a very useful article, Download Free Tool IM below this :
Download Free Tool IM